Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Kamis, 18 November 2010

Novel : SENGGEGER KECIAL KUNING JARAN GUYANG ( 11 )

Mbak Widia memiliki pehatian yang sangat besar menyangkut hidupnya yang dilanda kemelut. Ia begitu kasihan melihat apa yang tengah menimpa dirinya. Indranya yang ke enam memang agak tajam mengamati apa yang sedang dialaminya. Mbak Widia masih berdarah bangsawan keturunan brahmana. Orang pertama yang mengatakan dirinya kena pelet, tidak dia percayai sama sekali. Rina sudah tidak mempercayai kata-kata suaminya sendiri. Entah kenapa bisa begitu. Begitu hebatnya pengaruh haji Saidi dalam senggegernya hingga sangat kuat mempengaruhi hidupnya untuk melupakan suaminya sendiri.
Ketika mbak Widia mengatakan hal yang sama persis seperti apa yang pernah dikatakan suaminya tentang senggeger, ada sedikit dorongan yang muncul dari dalam dirinya sendiri untuk mencari penyembuhan. Rina ingat satu tempat yang pernah ditunjukkan seseorang tentang sebuah ashram di daerah Karangasem, Bali. Rina mengemukakan itu kepada temannya. Ada niat untuk mengunjungi tempat itu. Namun rencana itu dia undurkan berhubung masih menunggu persalinan adik iparnya yang menjadi tanggung jawabnya mengenai pembiayaan. Setelah itu mungkin rencananya akan merayakan hari ulang tahunnya haji Saidi, karena Rina diharapkan untuk hadir menemani harinya yang sangat spesial. Namun dorongan mbak Widia lebih kuat memaksakan dirinya untuk bergegas melakukan pengobatan.
”Jangan menunda waktu lagi, mbak Rin” itu kata-katanya mbak Widia yang tidak mau dibantah.
Rina akhirnya mengikuti saran temannya setelah beberapa hari kemudian keponakannya lahir. Lepas sudah satu beban tanggung jawab dalam hidupnya. Pertama-tama ia disarankan untuk membersihkan diri ke pantai sebelum melakukan perjalanan ke ashram yang dimaksud. Tidak ingat betul apakah ini saran mbak Widia ataukah dorongan dari dalam dirinya sendiri untuk melakukan pembersihan diri ke pantai.

Selasa, 16 November 2010

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (29)

Artinya matanya sulit ditebak apa makna dan apa maunya.
Namun kalau melihat bokong wanita, matanya berbinar.
Bercahaya.
Terang benderang.
Berkilau.
Berkilat laksana belati yang siap menikam mangsa.
Senior itu panggilan khas yang diberikan teman-temannya untuk istilah singkatan ‘senang istri orang’.
Salah satu bentuk sapaan yang halus terkesan memberi rasa hormat namun dibalik itu sesungguhnya mengejek prilaku Saidi yang bermoral bejat dengan menggauli istri-istri temannya sendiri.
Demikian kata-kata tetangganya yang sudah tidak simpati melihat gaya-cara hidupnya yang tidak mencerminkan seorang guru atau sebagai tenaga pendidik.
Dan sangat memalukan kalau hal itu sampai terdengar oleh ustazd maupun ustazah yang sering datang ke rumahnya mengetahui apa yang dilakukan secara diam-diam oleh Sahidi, atau paling tidak mengetahui cara-cara tindakannya yang tak terpuji dengan merengut kehormatan rumah tangga temannya sendiri.
Gila betul.
Betul-betul gila.
Sahidi memang gila.
Ada orang yang gila kekuasaan, ada yang gila duit, ada yang gila kehormatan, ada yang gila judi, ada yang gila minum minuman keras beralkohol terkadang hingga klimaks bermuara di awang-awang mabuk.
Mabuk kepayang.
Mengawang!
Di kedalaman hati nan rawan.

Minggu, 14 November 2010

ASMARA TIDAK TUMBUH DI JALAN,SAYANG!

Sayang, cinta itu tidak tumbuh di jalan kendati kebanyakan tanpa sengaja bertemu tatap untuk saling jatuh cinta
karena cinta ketika berada di tengah kebisingan jalan dalam deru derap jalanan gilasan roda-roda cidomo sepanjang jalanan yang penuh tahi tahi kuda
: adalah cinta yang menggelitik
begitulah cinta kita sayang, manakala dompetku kosong melompong yang tak akan jelas merawat kasih sayang ini hanya dalam kiasan kata kata kosong
itu bohong, sayang!
sayang, ternyata cinta ini tidak tumbuh di jalan yang juga kebanyakan sengaja dipertemukan di setiap suasana hati yang menyenangkan
dan kutahu saat itu dompetku lagi penuh terisi usai gajian
tapi sayang, cinta ini mungkin perlahan terpendar lamur, kabur dan nyungsep di selokan manakala melewati pelaminan perjalanan panjang setiap hitungan cicilan akhir bulan kita : tekor!
Sayang, cinta itu tidak tumbuh di jalan, pada setiap cerita kita pungut sebagai pernak-pernik yang akan kita kalungkan pada atap rumah kita yang bocor termakan cahaya panas dan hujan
jikalau engkau ketemu kasih sayang di jalan yang menjanjikan janganlah percaya, sebab merekalah yang menjajakan kekecewaan tersembunyi

Sabtu, 13 November 2010

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (26)

Biarlah agama membawa kebenarannya sendiri-sendiri.
Nanti ada waktunya tobat kok!
Penari-penari gemulai yang rata-rata bugil semua memperlihatkan segala kerahasiaan tubuhnya yang seharusnya disembunyikan.
Buah dadanya yang disukai Sahidi.
Bokong indahnya, itu juga kesukaan Sahidi.
Terpejam-pejam ia menyaksikan.
Terpejam-pejam ia dikuliti maksiat.
Berkali-kali terpejam.
Mengingat usianya yang berlebih, napsu gede tenaga geloyor.
Geloyor-geloyor dalam napsu tumpang-tindih.
Antara napas dan tubuhnya yang saling menindih.
Susah dibedakan!
Mana yang menindih.
Mana yang ditindih.
Yang mudah diingat hanya matanya yang memejam rasa merasakan persentuhan.
Yang masih mudah diingat pula bahwa di usianya yang mendekati bau tanah itu, dia masih belum mati dalam bersetubuh.
Ahaai?
Mati bersetubuh?
Pernahkah terbayang seorang lelaki tua menyetubuhi wanita muda yang kedapatan mati kaku dalam pencapaian puncak pelampiasan total?
Geli dan sangat menggelitik
Maka tanpa sengaja: dengan bantuan jin, dengan dorongan setan-setan segala roh-roh yang dihidupi dukunnya ikut juga pada akhirnya memberi kesaksian.

Jumat, 12 November 2010

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (25)

Stempel dibuat palsu dan proposal copy-paste serta pengajuan dana tidak tanggung-tanggung, manakala terjadi audit arsipnya semua berantakan.
Nikmat nian hidup ini dibawah kendali rekan rekan kita semacam Sahidi.
Dan Hooooplaaaa, besok urusan dinas menyangkut formalitas pendidikan, tinggal main mata aja. Patgulipat. Sim - Sa-la-bim…….abrakadabra!
Yang penting sama-sama mengerti dan kantong tetap berada pada posisi aman. Urusan Pemeriksaan, KPK, itu hanya soal nanti aja.
Semua juga korupsi dengan cara halal sepanjang masih pintar-pintar menutupi, sepanjang masih belum ketahuan untuk diciduk di sel tahanan.
Ah, kalau dipikir-pikir ini khan hanya soal dana kecil. 100 juta. 200 juta.
Itu ya masih kecil.
Kecil-lah untuk ukuran PKBM macam begini dibanding kerja provonsi yang mencari nilai ganjil genap pembahasan KUA-PPAS.
Wow, kalau yang ini jangan terlalu memasuki wilayahnya.
Janglah terlalu jauh membahas atau lebih-lebih beraninya lagi mengomentari jalur pola distribusi sebuah anggaran.
Itu periuknya eksekutif.
Kita cukup membahas priuk kita di lembaga.
Periuk kita di PKBM itu enaknya harus bagaimana.
Kalau dana ngelontor siapa-siapa saja nama-nama yang dibagikan di jajaran yang ikut memberi andil peran cairnya kehidupan ini. Nah…….. itu dia!
Ngeri!
Ngeriiiiiiiiiiiiiii…..mak!
Ini kalau mendekati positip ganjil adalah gaya zamba bermain taktik yang indah.
Soal pembenaran agama?
Biarlah agama membawa kebenarannya sendiri-sendiri.

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (24)

Dan khususnya kalangan pejabat-pejabat dinas pendidikan tempatnya mengadu untung dan mencari peruntungan nasib hidup, yang dikenal Sahidi selain hal-hal pemberian di atas salah satunya juga ada jamuan.
Gathering yang khusus disertai wanita-wanitanya yang sexy.
Gathering yang di follow-up lewat ticket perjalanan dinas, atau kalau tidak perlu ticket karena sudah ditanggung dinas maka, sangu bekal buat belanja jalan-jalan ke luar kota saja-pun itu cukup.
Gathering dalam kepuasan bathin dengan memberi sebuah gimmick berupa laptop.
Yang namanya disuguhkan barang jenis demikian pejabat mana yang tak akan ngiler.
Di jaman zig-zag negeri kaliyuga justru kekolotan akan tumpang tindih dalam kiasan definisi yang sok munafik.
Menampik di depan tapi dibukakan pintu samping rumah, Sttttt! Jangan sampai ketahuan, ini buat kelangsungan hidup kita.
Buat kelangsungan lembaga yang kita bina.
Buat kelangsungan PKBM yang lagi ngalir-ngalirnya dana atas nama masyarakat.
Buat kelangsungan binaan keaksaraan fungsional yang memberikan jamur bagi pertumbuhan rongga lambung hijau pejabat terkait hingga memberikan rasa empuk hingga para kroni yang saru-saru lapar.
Saru lapar itu ceritanya begini : salah satu cara untuk membedakan mana aksi fiksi dan mana yang kenyang beneran.
Kalau yang beneran kenyang logikanya segala kegitan komplit, dari pengajuan rencana kerja selembar bahkan berlembar-lembar proposal.
Tandatangan jelas.
Stempel-pun jelas.
Nah, kalau yang namanya fiksi itu memang benar-benar serakah.

Paparikan : DG. Kumarsana GEK ANOM NGIGEL

Seledet lan kisel ngawetuang tiang wirama
ngedil ngujarang bebai
wewangian sane ngelumurin sang pengawak
kuning langsat
ngelawanin kitip uyang makadi munyin musike : queen, deep purple
utawi mabanyolan ngakahin pajumu music dance
tusing!, kupinge enu tawah ningehang munyin gong
bruag-bruag nyalukin keneh lantang nyerit nujuhin gamelan
mrungusang bungan sandate buka ilegan sang bungan natah
alum dadi panglila cita lan ngae angob
ngulangunin limane
buka masanggul ane labuh sekabesik di natah wantilane
nganteg lebuh merajane agung
matembang bungan natah
dadi ngigelang bulan sakewala eda nyancang matane
baan igelan api ulian petekan matanai
ngigel, ngancan ngigel duh kuning langsat
nebekin tresna malawat semaya sunar saha asledetan : runtag bayun tiange
ajer manis buka ngusudin keneh
nyeledet nembangin wirama ane pacang likad baan lenga
duh, iluh maumah di gumi pangipian
gelayah-gelayah abet tiange;
nebarang miik-miikan sig galang semeng: mabo jatiraga magpag warsa mani wekas
katebenan nugtug uyang-nrugtug tangkahe, nganti keles kenehe
sekabesik

Paparikan :DG. Kumarsana ANGEN SESAPI IV

Mula taen ngenehang lawat sesapi joh ngindap
dulengek natakin langit natakin lintang tan masunar
awinan pajalan sadina-dina ngawetuang tuuh, ampehang semara
ngentungin gatra tan katampi, tampiasang jengah
katampes lek ngidkid
nyulurang baneh masuluh ngengkebin tatujon
mula dinane ene sane jail
nyumunin lan mabuaka natakin galahe telah maganti
baan angen
tareke taen lawatne sesapi matinggah nekepin keneh
sig carang kayu ane wayah
sajaba lung!

Ngenyor nekol di duur bungan bokne
lantang magambahan
ngulungin lawat
sig duur natah
natakin keneh

kene te iraga ngantiang kliaban kampidne
sig bucun gumi nyedsed maganti
busan busan ngelepak mutbutin tresna
nyaruang saru tekening demen
tresna asih : (nyen kone luh masujen maanting-anting?)

masan nadi natahe
ngaliwat
sesapi makeber mesbes langit

MAJALAH KIDUNG……MAJALAH KIDUNG ( BARU SAYA TAHU)

Majalah Kidung adalah Majalah Seni dan Budaya yang diterbitkan Dewan Kesenian Jawa Timur. Redaksi mengundang kawan-kawan penulis untuk mengisi rubrik yang tersedia. Naskah dikirim dalam bentuk file dokumen ke: **sekretariat Dewan Kesenian Jawa Timur Jl. Wisata Menanggal Surabaya 60234 (Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jatim) atau melalui email:majalahkidung@yahoo.com. Pengiriman naskah disertai biodata...
Kata Kunci : dewan kesenian jawa timur, majalah kidung

Novel : SENGGEGER KECIAL KUNING JARAN GUYANG ( 10 )

”Pulanglah dik, nanti aku jemput. Ayu sedang sakit, sekarang sedang opname di rumah sakit. Tengoklah dia. Dia mengiggau dan sangat merindukan kehadiranmu,” sekali lagi laki-laki itu memohon dengan memperalat pikiran Rina melalui anaknya Ayu yang diketahui hubungannya sangat dekat dengannya. Selalu saja Ayu dimanfaatkan sebagai senjata untuk melemahkan pertahanan Rina yang rapuh. Karena gadis kecil itu demikian akrab dengannya sewaktu dia masih dalam pengaruh senggeger. Dan berulang kali lelaki itu selalu menyebut-nyebut nama anaknya yang ke dua.
Rina mengernyitkan alisnya yang berbentuk indah. Bak burung camar melintas. Lama-lama kesal dengan kecengengan ini. Telinganya jadi gatal oleh celoteh haji Saidi yang memuakkan.
”Ayu? Hmmm... apa hubungannya denganku. Mamanya ’kan masih ada? Ada yang lebih berhak mengurus hidupnya. Bukan aku?! Aku juga punya anak yang selama ini telah kutelantarkan kebahagiaannya. Aku lebih berhak buat anak-anakku. Urus sendiri anakmu pak haji!” desis Rina tajam memberi jarak.
Ketika sudah mulai suntuk dalam aktifitas ashram, pernah nama anak itu disebut-sebut. Dalam masa transisi proses pengobatan sedang berlangsung, terlebih di tempat yang terisolir ini sempat Rina terpengaruh dan menghubungi mbak Widia, menyarankan temannya untuk mewakili menengok anak itu. Kata haji Saidi anaknya lagi opname di rumah sakit. Entah ini cerita sungguhan atau hanya rekayasanya orang itu.
” Hati-hati gek. Biasanya orang yang berperawakan pendek itu banyak akalnya. Bli perhatikan sekilas matanya seperti menyembunyikan kelicikan.” Pernah Rina diingatkan dengan kata-kata demikian oleh suaminya.
Mbak Widia ini adalah tetangga dekatnya yang sama-sama satu profesi sebagai pengusaha salon dan juga bergerak dalam kegiatan lembaga pelatihan kursus kecantikan, seperti yang dia kerjakan. Mbak Widia inilah orang ke dua setelah suaminya mengatakan hal yang sama mengenai kejadian yang menimpa dirinya.

Paparikan :DG. Kumarsana ANGEN SESAPI III

Sakewala sesapine magpag angen
nadiang ilik langite malawat tresna
andap gati kenehe

sakewala sesapine enu magpag angen
ngindang ngejohin pengawakan, makeber ngentasin dedet
sang penapakan :
maboros sunia
kaboros baan inguh

lan sesapi makeber tegeh nebekin langit
nebekin tresna
ngalayutin lintang
maglayut
negul purnamaning ning ning
ngurung masunar galang
sig keneh

Paparikan : DG. Kumarsana ANGEN SESAPI II

Sakewala nyesed sabilang dina matemu
suba dadi nabdabin deweke nyaruang liang
ngapak-apak ngerajah inguh paling
mula ulian sebet mengkeb di lawat bayune
nengil
ngulgul kasunia ning dedet

angen ne angen, nyen ngakuin, nyen ngelah
lamun sabilang ngenah sinah runtag
ngelemesin sang sesapi uli pitehan
sebet
ngudiang angen nengil tan kaucap
wainan matemu ngancan ngamatiang keneh
; sekabesik sesapi nyandang ilang
magpagin langit
ngulungin lawat, magpag ujan

luh, sesapine ene nyen ane ngelahang
kadirasa maboros
baan lilih:
tareke buka keto, luh?

Kamis, 11 November 2010

paparikan: DG. Kumarsana ANGEN SESAPI I

Mirib nu sangsaya sayan kebiat-kebiat lintange
ngerajah gulungan ombake tegeh nyejehin
ngentas ring geliapan matan luhe, ngancan saru
tan maguna
sig dalem daken tengah pasihe
ane encen kone madan daken
sabilang celepin kenehe konyangan bek

magpag matan luhe ngurukang keneh bawak
bawak pisan!
keto luh ngegolang keneh, ngeca semaya
kadirasa kapupungan, naduanin ngeraksa keneh
sakewala bucun matan luhe nyaruang kendel

kadakep baan sebet ngitungang keneh
lintange akit sig langit, liu mapasangan
kaboros bulan masunaran ngutang samaya kingking
”nak mula tresna matane ngenehang”
ngancan buduh metekin warsa majalan
yen sunia mapunduh kal engkebang : luh jegeg
sig duur sunia langite
galang

Rabu, 10 November 2010

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (23)

Kasihan nian kalau hal itu sampai terdengar semua tetangganya yang sekarang rata-rata sudah mulai tidak peduli terhadap keadaan.
Ada beberapa tetangga kampung sebelah malah mendoakan dia segera mati.
Ada yang berkata begini : ntar kalau Sahidi di rampok, apalagi perampoknya disertai dengan cara kekerasan, dengan cara-cara keji bahkan penuh gaya sadisme, apalagi sampai dibunuh, maka biarlah dia mati oleh para perampok itu.
Karena kematiannya mewakili rasa sakit hatiku padanya.
Hmmm, sakit hati yang bagaimana?
Memang kamu pernah dibuat sakit hatinya olehnya?
Memang kamu pernah dizolimi olehnya?
Memang kamu pernah dibuat penasaran olehnya?
Memang kamu pernah diperkosa olehnya?
Apamu yang diperkosa?
Hak-hak kamu ataukah keperawananmu?
Jangan-jangan kamu sudah tidak perawan lagi ketika diperkosa.
Jangan-jangan kamu tidak punya hak dalam hidup, sehingga hakmu bukan diperkosa, malah diiklaskan. Ah!??
Kalau memang tidak pernah, kenapa engkau berharap sekali bahkan sangat menginginkan dia mati?
Aaaaaah………!!!???
Ada yang benci dirinya, ada yang sayang dirinya.
Yang benci adalah beberapa diantaranya yang terlibat masalah dengannya, sementara yang sayang adalah yang sering menerima duit darinya.
Pokoknya segala macam pemberian–pemberian yang berhargalah, seperti dipinjamkan mobil oleh Sahidi, ditraktir makan.

Novel : SENGGEGER KECIAL KUNING JARAN GUYANG ( 9 )

Rina yakin lelaki itu tidak mampu mencerna tiga keinginan yang dia ungkapkan. Semudah itukah haji Saidi membalikkan kata-katanya sendiri? Padahal barusan lelaki itu menceritakan tentang kejelekan istrinya sendiri. Barusan dia meminta saran padanya bagaimana caranya untuk mengenyahkan istrinya yang dianggap selalu menjengkelkan. Lelaki itu menanyakan, entah merupakan pertanyaan pancingan dengan mengatakan dimana bisa di tunjukkan orang pintar. Haji Saidi ingin membunuh istrinya sendiri.
”Kalau bisa saya ingin memberikan racun dalam makanannya, dik. Biar langsung meninggal.” Itu kata-kata yang dia keluarkan barusan. Oh, sadis sekali! Dan sekarang semudah itu dia mengatakan untuk menyanggupi tiga hal yang Rina inginkan. Akankah seseorang yang punya rencana jahat ingin membunuh istrinya sendiri secara tiba-tiba pada wanita lain berkata berbeda untuk menyanggupi menyayangi, menghargai apalagi akan melindungi?
”Itu sih sangat mudah sekali, dik” lagi dia dengar suara lelaki itu.
”Mudah? Bukankah barusan pak haji mengatakan padaku merencanakan akan membunuh istri pak haji sendiri?” Rina membalikkan ucapan laki-laki itu.
Tak terdengar suara di seberang. Barangkali kaget mendengar ucapan Rina yang tiba-tiba datangnya. Menghujam bagaikan belati.
”Seandainya nanti aku harus memilih pak haji sebagai suami, terus kalau pak haji sudah bosan, aku yakin pak haji akan memperlakukan hal yang sama seperti istri-istri pak haji sebelumnya. Kamu pasti akan membunuhku juga ’kan? ”
”Ah, tidak mungkin itu dik” Suara lelaki itu terdengar kacau.
”Aku berada di sini atas kehendakku. Biarkan aku menemukan jati diriku di sini sebelum menentukan pilihan, mana orang-orang yang bisa dipercaya. Untuk saat ini aku tidak bisa mempercayai siapa-siapa. Suami sendiripun belum bisa aku percaya. Entah siapa yang benar dalam hal ini, aku belum tahu. Aku belum siap untuk kembali sebelum mengetahui siapa sesungguhnya yang bisa aku percaya!”

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (22)

Sahidi oh Sahidi, lelaki penganut setan yang rabun dalam kebenaran moral, itu kata sang tokoh agama yang masih ingat akan Tuhannya.
Tapi pengadilan agama mampu dia beli dalam akta siri lewat kompensasi mata uang.
Entah ajaran sesat sesaat yang alpa dari ingatannya yang juga mulai rabun akan ketakwaannya selaku penganut agama.
Namun setan memujanya dengan kata-kata manis.
Jadilah ia pemuja setan.
Engkau atheis yang penuh humor, nak; begitu kata-kata yang terlontar.
Itu pula salah satu penyebab terjadinya perpisahan Sahidi dengan istrinya manakala setiap pagi istrinya sibuk sholat duha, telinga lelaki itu bagai tersengat ribuan tawon mendengar lapat-lapat lafaz yang keluar dari ruangan sholat yang keluar melewati biliknya.
Terkadang manakala kalau mendengar Sahatun ngaji selepas sholat magrhib, Sahidi pasti ngamuk seolah tidak senang mendengar istrinya dzikir.
Allahuakbar……Allahuakbar…Allahuakbar…. demikain berulang-ulang hingga tiga puluh satu lafaz
Subhanallah…….Subhanallah….Subhanallah…..demikian berulang-ulang hingga tiga puluh satu lafaz.
Laillahaillahallah….Laillahaillallah…Laillahaillallah….demikian berulang-ulang hingga tiga puluh satu lafaz
Suara-suara yang keluar dari istrinya saat mengaji terasa bagai hujaman belati di hatinya yang kusam berbalut setan.
Jelas sudah hawa setan dari pengaruh senggeger telah menguasai hidup Sahidi, hingga menjadi lupa Tuhannya.
Kasihan nian kalau hal itu sampai terdengar mertuanya.
Kasihan nian kalau hal itu sampai terdengar anak-anaknya.

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (21)

Apakah wanita yang telah mampu dia raih.
Bisa jadi.
Bisa jadi wanita yang sekarang mampu dibuatnya hamil dan ternyata ada yang tersentak kaget, ialah mantan suaminya dari wanita yang direngut Sahidi.
Lelaki itu bernama Amsiah, Oh, bukan. Amdal Wow, salah atau barangkali Nurman? Tidak. Tidak!!!
Mantan suami wanita yang kini dalam rengkuhan Sahidi ternyata bernama si Anu, yang belakangan orang-orang mengenal sebagai si linglung atau yang terjadi perubahan karena pergeseran jiwa di luar dugaan, di luar kehendak yang status kekeluargaannya terhapus begitu saja dalam sebuah album akta nikah yang kena wabah ‘delete’
Sahidi oh Sahidi, lelaki,licik cilik yang kuat dalam temperamen bercinta.
Licik-cilik, cilik yang licik menyeringai
Sahidi oh Sahidi, lelaki yang berstatus guru memalukan.
Mempermalukan diri sebagai seorang guru yang sebetulnya adalah sebagai sang pemberi tauladan bagi para siswa-siswanya.
Begitu seharusnya.
Seharusnya memang begitu!
Sahidi oh Sahidi,lelaki yang berkemas kembali menjadi seorang calon ayah dari istri yang dia curi di sebuah rumah tangga yang sudah ranum dalam kebahagiaan.
Sehingga membuat kebahagiaan keluarga yang lain pupus layu.
Pupus mendayu-dayu.
Kasihan, sungguh kasihan.
Maksudnya kasihan anak-anak wanita itu walau tak pantas di sebut sebagai status mantan anak. Memang tidak ada mantan anak kalau berdebat dalam kacamata perceraian.
Yang pantas barangkali mantan ibu dari sebutan anaknya yang ditinggal kawin paksa dalam kebejatan moral serta kenikmatan sesaat dalam merengut kasih sayang tak jelas tapal batasnya.

Selasa, 09 November 2010

Novel : SENGGEGER KECIAL KUNING JARAN GUYANG ( 8 )

”Ayolah! Ikut aku dik. Segalanya akan kuberikan padamu” Haji Saidi memelas melepas janji setengah menangis penuh harap. Lelaki yang miskin kasih sayang. Lelaki yang kekurangan cinta. Lelaki yang sempurna dengan kerapuhannya.
”Terus kalau seandainya Aku harus memilih pak haji, apa yang akan kamu berikan padaku?” Rina memancing.
”Apa yang adik mau? Harta berupa rumah? tanah? Uang? Semuanya akan aku berikan.” Suara itu menjawab cepat.
Rina tersenyum sinis.
”Aku tidak minta itu!”
”Terus apa yang adik mau?”
”Aku hanya minta tiga hal. Apakah pak haji sanggup menyayangi, melindungi dan menghargaiku?”
”Oooo, kalau hanya itu yang adik minta mudah. Gampang itu. Sangat mudah ” suara yang terdengar di seberang demikian ringannya. Semakin membuat Rina tersenyum sinis. Lebih sinis dari biasanya kalau terlihat di hadapan lelaki itu. Tiga permintaannya itu dianggap mudah? Semudah apa? Inilah laki-laki yang terlalu gampang mengumbar janji. Rina tidak percaya kata-kata lelaki itu.
”Tidak mudah lho pak haji. Ini lebih berat dari harta berupa rumah, tanah ataupun uang yang kamu janjikan. Rina tidak yakin itu.”
”Kenapa?”
”Karena tiga permintaan yang aku ajukan itu sesungguhnya sangat susah untuk dilakukan. Tidak semudah menggeluarkan kata-kata.”
Terdengar suara mendehem. Suara yang biasa dia kenal. Tanpa makna sama sekali. Entah lagi berusaha menjampi-jampi. Seperti yang biasa dilakukan padanya sewaktu masih di bawah pengaruh ilmu itu.

Novel :

PUSTAKA EKSPRESI (menjelang HUT ke-3) ANTOLOGI PELANGI

SEBAGAI salah satu penerbit yang merambah para penulis-penulis baik lokal di Bali maupun luar Bali dalam jelang HUTnya yang ke-3 terkait juga dengan HUT Tabanan lagi-lagi ikut aktif memancing greget para penulis2 dengan menerbitkan antologi PUISI TABANAN.
Dalam TIGA TAHUN ekspresi berjalan selain secara rutin telah menerbitkan EKSPRESI MAGAZINE yang secara berkala hampir setiap bulan hadir di hadapan sidang pembaca, juga telah menerbitkan sekitar DELAPAN buah buku karya-karya penulis diantaranya:
• BIKUL (cerpen berbahasa bali karya MADE SUGIANTO)
• JENGGOT KAMBING (karya IGP BAWA SAMAR GANTANG)
• JANGKRIK MAENCI (karya IGP BAWA SAMAR GANTANG)
• ISTRIKU DAN SENGGEGER (karya DG KUMARSANA)
• KOMEDI BIROKRAT (karya DG KUMARSANA)
• KETIKA PENYAIR BERNYANYI (karya NGURAH PARSUA)
• SANDIWARA BULAN SABIT (karya WAYAN ARTHAWA)
• SEGARA ANAK (karya SINDUPUTRA SUGABADI)
Dan rentang waktu dalam peringatan HUT kota pelangi Tabanan PUSTAKA EKSPRESI lagi-lagi tidak pernah ketinggalan akan menerbitkan ANTOLOGI PUISI TABANAN


Rekan-rekan penulis SE-MANCANEGARA ayo serbu ESKPRESI DAN IKUT UNJUK KREATIFITAS.

E-mail.
Pustaka Ekspresi :expresikansaja@yahoo.com
Made Sugianto : madesugianto@gmail.com
Gusti Putu Bawa Samar Gantang : samargantang@gmail.com
Call: 081338722483

KARYA CIPTAKU: ASMARA TAK SEKADAR OBSERVASI : menatapmu, membayan...

KARYA CIPTAKU: ASMARA TAK SEKADAR OBSERVASI : menatapmu, membayan...: "Asmaramu adalah asmara jajan kelepon asmaraku adalah asmara keju kendati kelepon tidak dibuat dari singkong, karena kamu: aku jadi doyan ja..."

ASMARA TAK SEKADAR OBSERVASI : menatapmu, membayangkan gula kelepon yang yang muncrat di bibirmu

Asmaramu adalah asmara jajan kelepon
asmaraku adalah asmara keju
kendati kelepon tidak dibuat dari singkong, karena kamu: aku jadi doyan jajan kelepon
cintaku mangkrak di tepi trotoar jalan pagi hari yang menyingsing
matahari belum membakar jalanan namun asap knalpot kendaraan banyak lengket di aspal
dan engkau menutup hidung, bukan karena asap-asap knalpot yang berkerak
tapi kaget manakala kecipratan gula jajan kelepon yang muncrat di matamu
Lalu sama-sama bimbang ketika gula yang mengalir dari rinai kornea keleponmu berubah menjadi air mata
Engkau tidak menangis dalam kesedihan gula pemanis yang tiba-tiba habis terisap waktu
karena aku lebih memilih cara menebak asmara dalam kebisingan kota
dan engkau tidak suka itu
mari kita pilih-bilik tersendiri lewat bilik hati yang sulit mengungkap rahasia
engkau sungguh rahasia
hatimu kerahasiaan yang dalam penuh teka-teki

Sambil menguliti sisa-sisa jajan kelepon, engkau bergumam:
cinta tidak tumbuh di tengah kebisingan
apalagi dalam hingar kota yang semrawut
walau cinta tak pernah mati, marilah kita coba menepi dalam kegairahan hening hati yang dalam
tapi bukan buat coba-coba, sayang!

Asmara bukan sebuah percobaan
bukan kalkulasi angka
ataupun membangun prasangka

Asmara juga bukan teka teki
ramalan kata
ataupun observasi
Cinta adalah sepoi angin asmara yang mengalir pada setiap lembah kedahagaan jiwa yang dalam
walau cinta tidak pernah mati, janganlah kita coba bunuh diri ketika hati tak sampai
Itu tidak baik, sayang!
tidak baik!!
karena engkau tahu:
Cintaku cinta jajan kelepon manakala membayangkan engkau mengalirkan pemanis lewat gulanya nan penuh memikat sukma

Hingga kini sukmaku lengket di urat-urat jajan kelepon
yang selalu menguliti jiwaku

PUISI PUISI TABANAN- BALI Antologi ‘PELANGI’

Menyambut HUT Kota Tabanan, kami berencana membuat Antologi Puisi yang berisi penyair-penyair yang sekiranya pernah membuat puisi tentang Tabanan atau imajinasi tentang apa pun yang berkaitan dengan Tabanan.

Untuk itu, kami minta sumbangan puisi dari teman-teman tentang Tabanan atau imajinasi yang sekiranya berkaitan dengan hal-hal atau orang yang ada di Tabanan. (kata "Tabanan" tidak terlalu mengikat)

Antologi ini salah satunya sebagai dokumentasi yang akan dibagikan gratis ke sekolah atau lembaga yang berkaitan dengan sastra di Tabanan maupun di luar Tabanan dan tidak untuk dijual.

Puisi dikirim ke email adnyana_ole@yahoo.com paling lambat 12 Nopember 2010. Rencananya antologi diluncurkan 29 Nopember 2010

Naskah dikirim ke:
Pustaka Ekspresi : expresikansaja@yahoo.com
Made Sugianto : madesugianto@gmail.com
Gusti Putu Bawa Samar Gantang : samargantang@gmail.com

MIMPIMU MANIS

Manis, engkau pasti akan malu kalau kuketahui
Diam-diam
Mengintip mimpiku dan menggerayangi setiap lekuk malam
Engkau pasti tertawa geli ketika mengetahui aku
Diam-diam
Menggerayangi mimpimu

Sabtu, 06 November 2010

Novel : SENGGEGER KECIAL KUNING JARAN GUYANG ( 7 )

Dan Rina mengikuti prosesi agni hotra hingga larut malam berlanjut di dalam kamar ashram hingga tersungkur tidur bersama mimpi-mimpi dan harapan-harapannya yang pernah hilang.
Pagi membuka kembali.
Suasana yang diawali oleh dinginnya hawa embun pagi Ashram Ratu Bagus.
Sesungguhnya Rina bukan tidak sengaja terdampar di tempat ini. Tindakannya tidak seenaknya seorang diri pergi begitu saja meninggalkan suami. Meninggalkan anak-anaknya yang masih butuh teman bercanda di kala penat usai melepas segala rutinitas. Meninggalkan rumah selama berhari-hari.
”Aku harus mencari jawaban dari semua kejadian-kejadian yang menimpa hidupku. Disini!” desisnya berulang-ulang, di kala rasa percaya dirinya yang hilang.
Rina merasakan kenyataan hidup masa remaja sebelumnya dan setelah beberapa tahun berumah tangga sangat jauh berbeda. Entah apa yang menyebabkan semua ini terjadi. Rina hanya tersenyum kecut tidak percaya ketika suaminya mengatakan dirinya telah dipelet seseorang. Ah, cerita dari mana itu? Benarkah sampai separah itu? Masak sih Rina kena pelet? Apa benar masih ada yang suka bermain pelet dalam kehidupan yang sudah sangat modern ini?
”Ayolah dik, pulang! Ngapain lama-lama disana? Buang-buang waktu saja. Aku sangat merindukanmu,” berkali-kali lelaki itu menghubunginya lewat ponsel. Lagi-lagi haji Saidi. Suara cengeng laki-laki yang tak tahu malu. Edan! Suka-sukanya dan sangat kurang ajar punya niat tidak baik ingin merebut istri orang. Huh!
”Tidak bisa! Aku disini tidak ada yang memaksa. Siapapun tidak ada yang boleh mengatur hidupku dan mempertanyakan aku harus berada dimana. Semua yang aku lakukan atas kehendakku sendiri. Bukan kehendak siapa-siapa. Pak hajipun tidak berhak lagi mengatur hidupku” Rina menolak dengan kata-kata yang cukup tegas.

PADA PERSIMPANGAN JALAN

Siapa melambai
memanggil manggil gigil meninggalkan cuaca
pada jalan-jalan retak terinjak-injak kudaku
membagi kata
membelenggu dalam nyanyi sunyi
tinggal janji belulang mati, siapa ikut serta nyanyikan lagu kematian?
mengelupas ringkihan kudaku teriakan yang panjang terbang tinggi
membelah langit. Langitku membagi jarak
”dimana asmara membelah dada, matamukah kesunyian hasrat?”
kita membagi-bagi; cinta hanya singgah di kedai kedai kopi cafe-cafe malam, pada terjal bebukitan sebuah drama satu babak, pada tayangan iklan TV, pada sinetron tak jelas, bioskop-bioskop tak beratap,pada stasiun kereta api, terminal-terminal, semua dermaga. buang jauh-jauh ke tengah laut
kesunyian langit
tak berbintang

MIMPIMU MANIS

Manis, engkau pasti akan malu kalau kuketahui
Diam-diam
Mengintip mimpiku dan menggerayangi setiap lekuk malam
Engkau pasti tertawa geli ketika mengetahui aku
Diam-diam
Menggerayangi mimpimu

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (20)

Sebuah adegan terselubung dengan menyimpan gadis-gadis cantik.
Bahkan istri teman pun diembat semau-maunya.
Teman-teman organisasinya banyak, teman-teman ssesama pengajar banyak, jangan tanya para pejabat-pejabat di dinas pendidikan.
Hampir paham benar.
Pada akhirnya setiap bertemu tatap muka dengan sejawat sesama lembaga di jajaran PKBM akan memanggilnya dengat sebutan santun.
Mr. Senior hehehe maksudnya senang istri orang, itu singkatannya lho.
Sahidi guru yang dijuluki sang senior yang senang istri orang. wow? Tidak!
Tapi itu gunjingan diam-diam mengenai dirinya yang sudah tidak malu-malu lagi telah melarikan istri orang bahkan hebatnya sudah hamil dibuatnya secara perlahan-lahan.
Hamil yang diam-diam.
Hamil yang tidak terpaksa, namun dipaksa untuk menjauhkan dari rumah tangga temannya sendiri.
Cara kurang etis dalam menghancurkan rumahtangga orang lain dengan cara demikian licik. Sahidi memang licik, kalau melihat penampilannya yang pendek, tapi oh, lihatlah matanya.
Matanya menyimpan sejuta kelicikan musang.
Mata yang senantiasa memburu.
Itulah bagian lain dari kelicikan di balik statusnya sebagai seorang guru.
Itulah bagian lain dari kelicikannya di balik kedisiplinannya mengatur dalam strateginya meneladani orang-orang di kampungnya.
Semula kitapun berpikir kalau kebanyakan dari kita adalah orang-orang bodoh yang termakan kata-katanya yang manis.
Dia pintar bertutur demikian manisnya, seolah-olah sudah mampu mempengaruhi orang lain, eitttt nanti dulu.
Siapakah yang terkecoh?

Minggu, 31 Oktober 2010

AJI SUAP (premanisme DPR)

Sajan, ru…….
200 jute nyuap
ulian kursi pemrentahan
mimih…menek ia dadi ketua partai
baan mata nelik, kijap-kijap nakeh bati

paparikane, ru…….
ngandelang proyek pacang nampi
pacekang gumine dadi sugih baan korupsi

Sabtu, 30 Oktober 2010

PAPARIKAN GELEM

Buka I belog-tiwas naenang gelem makelo
matane kijap-kijap ngenehang ubad
seger ento maal ajine

gelem i tiwas tekening i sugih mula melenan
lamun ia sugih ubadne masi lebian
I tiwas gelem tegep baan paracetamol lan vitamin C
nanging lamun lebian misi darah tinggi, stroke muah kanker
nyandang pesan idihin pamrentahe
pamrentahe sugih liu ngelah pipis
ubad maal baan i tiwas ngancan ngae bangka
las mati !!
Nanging i sugih keten-keten krana kesugihane sing dadi aba mati
ilik anak tiwas bes daat naenang gelem

BANGGA NEGERI INI MISKIN

Persimpangan lenggang cucuran air taman membasah aspal jalanan
anjal mengadu nasib setiap kendaraan lalu lalang
menjaga jarak tibum yang siap memangsa
pancang spanduk lebar-lebar kampanye berjarak
siapa menjual partai seharga janji tak jelas
politikus yang berdebat bak bertepi melahirkan kemiskinan baru
mengumbar janji dana pendidikan si miskin yang menjadi merk komoditi
tuntaskan buta aksara! Entaskan kemiskinan yang tak tuntas-tuntas
aku bermimpi air taman kota mengucurkan minyak tanah berlimpah
aku bermimpi anjal di mimbar membaca, menghitung para korup di gedung legislatif
menyanyikan riwayat kota ini sebagai lahan pengangguran
dan menyematkan tanda jasa angka termiskin
sambil menghitung-hitung berapa yang tersisa saldo jaring-jaring pengaman
buat jaring-jaring saku
buat jalan jalan ke negeri tetangga
bagaimana mempopulerkan kemiskinan negeri sendiri
untuk menunggu sedekah
sebagai medali penghargaan negeri termiskin
serta piagam negeri terlunta-lunta
negeri hura-hura di ladang kesuburan pengemis jalanan
bangga negeri ini negeri miskin negeri populer di dunia
untuk digarap dalam proposal:
kekayaan kita hanyalah menjual kemiskinan dalam tender bertajuk
komoditas!

Cerpen : DG. Kumarsana PING

”Ping, aku semakin sangsi padamu. Beribu hari lalu telah dimakan waktu. Gema suci kidung sinden terperangkap sepi..........,” demikian kali ini dia baca keras-keras memasuki kamarku. Aku terusik juga. Sudah kukatakan berulang-ulang, aku tidak mengerti sajak. Jangan bacakan itu lagi, tapi laki-laki itu tetap saja dengan tingkahnya.
”siapa kali ini Gus?” Sengaja aku memberikan perhatian, walau sesungguhnya aku tidak tertarik. Karena pernah apa yang dia bacakan sebagaimana kebiasaan-kebiasaan yang lalu dan aku tidak terlalu memberikan reaksi apa-apa terhadap tingkahnya itu, lama dia merajuk. Apa yang terjadi? Segala permintaanku selalu ditolak. Aku kali ini tidak mau ambil resiko. Aku harus memberikan perhatian, antusias, memuji bahkan kalau bisa langsung tepuk tangan di hadapannya.
Dan itu memang aku lakukan. Selain memberi perhatian yang dalam aku juga tepuk tangan sekalian menepuk punggungnya penuh rasa sayang. Ping? Entah siapa Ping kali ini yang dia maksud. Apakah Ping yang selama ini dia sebut-sebut saat sama-sama melakukan aktifitas ke gunung atau Ping saat work shop sewaktu kampusnya mengadakan ajang lomba memasak untuk persiapan masa depan sebelum akhirnya barangkali kita semua disarankan untuk membuka warung makan lesehan kalau-kalau putus kuliah karena kiriman uang dari kampung tidak datang sama sekali?
”Itu kalimat siapa, Gus, ” aku mengulang pertanyaan ketika dari tadi tidak ada jawaban sama sekali. Kulihat matanya bersinar nanar, sepertinya sangat senang ketemu aku, atau mungkin saja aku yang ge-er. Tapi anggap saja demikian karena aku terlampau merindukan kehadirannya.
”Itu sajak milik temanku, cukup lama ditulis. Sekitar tahun tujuh puluhan, tapi entah dimana sekarang apa masih hidup atau sudah mati. Dulu aku sering sama-sama dengannya, makan bersama, menemani jalan-jalan. Dia itu paling takut tidur sendiri, makanya aku diminta menemani dengan segelas bir, aku mau aja di suap hehehe..” Gustaman berceloteh panjang lebar, suaranya sama dengan sajak yang ia bacakan: memenuhi ruangan ini. Ruangan yang penuh sesak dengan diktat jadi semakin penuh sesak.
”Namun Rein, aku tidak tahu apa profesinya sekarang, apakah ia jadi dokter ataukah kuliah di kedokteran malah keluar jadi insinyur atau barangkali jadi kondektur...... aku tidak tahu” ia terlihat tercenung dengan ucapan sendiri
”Wah aku belum lahir, Gus tahun itu barangkali ayah dan ibuku lagi berpacaran.”
Memang begini barangkali kalau bersentuhan dengan seniman. Pacarku seorang seniman, waduh, tidak pernah aku bayangkan. Apa kata orangtuaku nanti di kampung? Jauh-jauh merantau menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi, dengan biaya kuliah yang mahal eh pulang-pulang malah mengajak seorang penyair. Entah kalau apa yang menjadi angan orangtuaku: Rein, kamu selesaikan studimu dengan baik, rintis masa depan dengan baik dan kalau ketemu jodoh ,dari keluarga yang baik-baik yang nanti akan mampu menghidupi keluarga, rumahtangga yang harmonis dengan cucuku yang manis-manis, pastilah demikian nasehat yang keluar. Tapi apa yang salah? Kupikir tidak ada keliru, pacarku seorang penyair atau insinyur atau dokter atau dosen, apa pentingnya status? Toh terkadang orang punya status sarjana banyak yang miskin, jadi pengemis birokrat bahkan jadi penipu ulung di pemerintahan dengan berlagak pilon memainkan angka-angka fiktif, berbakat jadi aktor yang pintar memainkan proyek-proyek masyarakat miskin dengan kantong-kantong ajaibnya.
Ah, terlalu jauh aku berpikir. Itu nanti saja. Ini juga belum pasti apakah aku benar-benar menyukai Gustaman atau hanya sekadar cinta monyet setelah lepas dari pertemuan lalu bubar atau hanya hubungan teman biasa. Atau apa sudah pasti ia menyukai aku? Aku juga tidak tahu pasti. Kutatap matanya yang bergerak-gerak jenaka. Ia memang humoris, banyak bahan bicara, banyak canda dan selalu menghibur di saat-saat aku kesepian di tanah rantau,saat-saat aku terbawa hanyut kerinduanku akan kampung halaman, kerinduanku akan orang tua dan orang-orang yang kucintai di rumah.
”Ping, dimana kamu Ping. Masih hidupkah kamu?” terpecah lamunanku. Lagi lagi Gus mendeklamasikan kenangannya akan Ping.
”Hush! Jangan keras-keras Gus” Aku menasihati pelan.
Suara music di ruangan yang semula keras memekakkan telinga aku buat sedikit rendah. Volume tape aku kecilkan. Pada lagu tikus-tikus kantor suara emas Iwan fals, Gustaman sengaja malah lebih membesarkan volumenya. Dia memang menyukai lagu-lagu ini. Sebuah lagu pemberontakan terhadap keadaan pemerintahan saat ini. Aku meringis. Seandainya dia jadi legislatif entah demokrasi mirip apa yang akan terjadi.Atau jangan-jangan malah dia biang tikusnya, ah ndak tahulah.
Di pojok kamar kulihat guntingan koran lapuk. Gustaman memang sering aneh. Suka memberikan spesialisasi terhadap suatu peristiwa politik. Contohnya berita yang sengaja dia simpan menyangkut di daerah dimana dia tinggal saat ini. Tertulis besar-besar : ”DUGAAN KORUPSI BANSOS, SEKDA LOBAR JADI TERSANGKA”. Masih saja Gustaman suka berlaku yang aneh-aneh. Entah apa yang dia nikmati dari guntingan koran daerah yang rencananya akan dia kliping. Entah kapan dikerjakan. Buktinya guntingan koran tentang seorang bupati di daerahnya yang korupsi milyaran saat menganggap ruang sidang sebagai sebuah WC dengan berprilaku lupa sempat membuang air kencing di ruangan tersebut. Terkadang sering dibuat bingung manakala pejabat tertangkap basah dan tak pernah melepas kesan arogansinya dalam sebuah pengadilan. Memang pejabat di daerahnya terbilang lihai memainkan angka milaran rupiah buat mengelabui rakyatnya yang dianggap bodoh. Saking juga tidak mau dianggap bodoh, Gustaman sampai saat ini masih juga menyimpan guntingan berita di koran usang yang termakan oleh waktu.
Namun kalaulah Gustaman cerita tentang Ping sobatnya yang lebih ekstrem, malah aku lebih terpana lagi. Gustaman saja kayak begini, bagaimana kalau berjumpa Ping. Dan aku berpikir perpaduan diantara mereka berdua saat berhalusinasi dengan sebuah peristiwa. DAN PING SEKARANG DUDUK DI KURSI PESAKITAN SEBUAH BANGUNAN KEJAKSAAN TINGGI NEGERI YANG SURAM : sambil mengipas-ngipas lehernya berkeringat dengan lembaran uang, setebal nuraninya yang sakti.

ANGEN SESAPI III

Sakewala sesapine magpag angen
nadiang ilik langite malawat tresna
andap gati kenehe

sakewala sesapine enu magpag angen
ngindang ngejohin pengawakan, makeber ngentasin dedet
sang penapakan :
maboros sunia
kaboros baan inguh

lan sesapi makeber tegeh nebekin langit
nebekin tresna
ngalayutin lintang
maglayut
negul purnamaning ning ning
ngurung masunar galang
sig keneh

Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Aktivis Pendukung Komodo

Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Aktivis Pendukung Komodo

Deadline 31 Desember 2010,

Dalam rangka menggalang dukungan agar Taman Nasional Komodo masuk 7 Keajaiban Dunia dan menumbuh kembangkan minat masyarakat terhadap Dunia Sastra.Aktivis Pendukung Komodo mengadakan Lomba Menulis Puisi dan Cerpen dengan ketentuan sbb :

1. Ketentuan Umum.

1. lomba terbuka untuk seluruh WNI
2. materi lomba dikirim ke- abdul_mail@ymail.com dgn Subjek : Peserta Lomba APK. (diikutkan juga slip transfer dan identitas diri).
3. peserta wajib mendukung Taman Nasional Komodo di- www.new7wonders.com (User Name dan Password diikutkan dalam email)
4. membayar biaya pendaftaran.
Bank NTT
Kantor Cabang Khusus Ladies Branch
No.Rek : 01602.02.001811-3
a/n : Muhamad S.S. Kamaludin

1. Ketentuan Khusus.

1. Lomba Menulis Puisi :
a. Tema Puisi bebas (diutamakan ajakan mendukung Komodo).
b. Puisi merupan karya murni, bukan saduran, terjemahan atau plagiat.
c. Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp.25.000 / Puisi.
d. Panjang Puisi dan ketentuan lain tidak mengikat.

2. Lomba Menulis Cerpen :
a. Tema Cerpen bebas.
b. Cerpen merupan karya murni, bukan saduran, terjemahan atau plagiat.
c. Ditulis dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan EYD. Namun, disahkan penggunaan istilah Asing atau Daerah.
d. Panjang Cerpen 4 – 8 Halaman A4, Times New Roman 12, Spasi 1,5.
e. Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp.30.000 / Cerpen.

1. Tim Juri.
Berjumlah 5 orang yang berkompeten dibidangnya dan sedianya akan di umumkan pada tanggal 31 Oktober 2010.

“Tidak Dibenarkan Adanya Surat-Menyurat”


1. Hadiah.
Untuk Juara 1, 2, dan 3 dari masing-masing lomba adalah Uang Tunai, Piagam, Hadiah Hiburan dari Sponsor, dan Buku Novel (Atma Putih Cinta Lamahala - Kupang), Buku Antologi Puisi dan Cerpen komunitas PenulisMuda Indonesia (Phantasy Poetica dan Imazonation).

Catatan : 1. Informasi akan di-update pada 31 Oktober 2010.
2. Dengan demikian Lomba Musikalisasi Puisi ditiadakan.
3. Info Lengkap : (0380) 825609 / 081237247715 (Abdul).

Copy dari blog dengan link berikut:
http://puisiampunk.blogspot.com/2010/10/tentang-lomba-aktivis-pendukung-komodo.html

Kamis, 28 Oktober 2010

ANGEN SESAPI II

Sakewala nyesed sabilang dina matemu
suba dadi nabdabin deweke nyaruang liang
ngapak-apak ngerajah inguh paling
mula ulian sebet mengkeb di lawat bayune
nengil
ngulgul kasunia ning dedet

angen ne angen, nyen ngakuin, nyen ngelah
lamun sabilang ngenah sinah runtag
ngelemesin sang sesapi uli pitehan
sebet
ngudiang angen nengil tan kaucap
wainan matemu ngancan ngamatiang keneh
; sekabesik sesapi nyandang ilang
magpagin langit
ngulungin lawat, magpag ujan

luh, sesapine ene nyen ane ngelahang
kadirasa maboros
baan lilih:
tareke buka keto, luh?

Rabu, 27 Oktober 2010

Novel : SENGGEGER KECIAL KUNING JARAN GUYANG ( 6 )

Tubuhnya kemarin sempat terguling-guling, terpental beberapa meter dengan kepala membentur kursi. Hingga siang ini rasa pusing di kepala belum hilang akibat benturan itu.
Acara yang kedua ini berakhir hingga jam empat sore hari dilanjutkan dengan mandi sore. Rina punya alasan tersendiri juga di samping sering kelolosan tidur pada jam ke dua. Proses tutuh yang dilakukan di ashram dalam sehari saja bisa dilakukan dua sampai tiga kali. Itu semuanya tergantung dari ketahanan tubuh masing-masing. Rina nggak usah ditanya, kalau soal tutuh bisa saja dia lari menghindar. Sehingga memilih jadwal ketiga setelah makan malam yang dimulai jam tujuh sampai dengan jam sepuluh malam. Dia hanya akan mengalami sekali tutuh untuk selanjutnya kembali melakukan meditasi sampai jam sepuluh malam.
Satu jam setelahnya dilanjutkan dengan melakukan kegiatan agni hotra mengelilingi api suci di antara kayu bakar dengan ritual membentuk lingkaran secara bergantian mengelilingi disertai nyanyian puja-puji untuk Dewi Agni. Agni hotra dilakukan di halaman luar ashram.
Agni hotra dilakukan setiap malam tujuannya untuk memuliakan Dewa Ciwa, memohon keselamatan, kekuatan beliau dengan meminta apa yang menjadi harapan-harapan ataupun keinginan-keinginan kita agar terkabul.
Malam hari, setiap agni hotra berlangsung hingga jam sebelas malam, Rina senantiasa memohon terkabulkan harapannya untuk dapat lepas dari pengaruh ilmu pelet yang telah memporak-porandakan dan menghilangkan rasa percaya pada siapapun. Rasa percaya pada suamipun telah hilang dibuatnya. Rina mohon atas kemuliaan Dewa Ciwa untuk dapat dikembalikan lagi hari-harinya dalam kebahagiaan hidup bersama keluarga.
”Ya, Dewa Ciwa, atas kemuliaanmu hamba memohon, kembalikanlah hidup hamba ke jalan yang benar dan jauhkan hamba dari segala perbuatan kotor. Kembalikan diri hamba pada keluarga hamba yang demikian mengasihi dan menyayangi hamba.....”

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (18)

Belajar mengendalikan muka dengan cara bermuka-muka.
Belajar memahami topeng dalam menyembunyi preingai nan busuk.
Belajar mengendalikan kemarahan orang lain dengan membeli keahlian sang dukun.
Belajar memainkan angka-angka yang menggelontor di depan mata untuk memainkan aplikasi. Belajar mengeja kata-kata yang tepat buat penyusunan proposal serta merta belajar membangkitkan kepercayaan orang-orang agar mereka tidak mengetahui wajah sesungguhnya di balik topeng yang dia kenakan.
Seandainya dia ketemu maka matilah terbantai kemarahan keluarga sang dara muda yang hilang masa depannya oleh ulah bejat Sahidi.
Ketika berjumpa dalam pertemuan yang telak. Sahidi tidak mampu menolak.
Dipinang siri untuk menjaga prebawa kehormatan keluarga besar.
Senang, tentu senang Sahidi mengeram janin tak terkontrol. Geram tentu geram Sahatun yang pernah berupaya menjalin masa depan.
Semua menjadi sia-sia……..
Nasi telah membubur sehangat cinta tahi ayam.
Hanya hangat di luarnya saja.
Sahidi yang ibarat Wisrawa yang gagal mumpuni para siswa-siswi anak didik nusa dan bangsa.
Namun dia bukan Begawan
Lebih tepat disebut Don Juan yang mencoba perkakas segala bentuk pernik-pernik senggeger.
Senggeger yang mampu membuat wanita terkulai lemah.
Senggeger yang mampu membuat wanita ketagihan.
Senggeger yang mampu membuat wanita termudahkan
Senggeger yang mampu menampik moralitas sebagai ranjang kebebasan
Dalam merebut birahi cinta siluman
Sekali lagi, namanya cinta tahi ayam
Yang hangat sesaat

ANGEN SESAPI I

Mirib nu sangsaya sayan kebiat-kebiat lintange
ngerajah gulungan ombake tegeh nyejehin
ngentas ring geliapan matan luhe, ngancan saru
tan maguna
sig dalem daken tengah pasihe
ane encen kone madan daken
sabilang celepin kenehe konyangan bek

magpag matan luhe ngurukang keneh bawak
bawak pisan!
keto luh ngegolang keneh, ngeca semaya
kadirasa kapupungan, naduanin ngeraksa keneh
sakewala bucun matan luhe nyaruang kendel

kadakep baan sebet ngitungang keneh
lintange akit sig langit, liu mapasangan
kaboros bulan masunaran ngutang samaya kingking
”nak mula tresna matane ngenehang”
ngancan buduh metekin warsa majalan
yen sunia mapunduh kal engkebang : luh jegeg
sig duur sunia langite
galang

Cerpen: Olih : DG.Kumarsana BERUNG

Bakat kenehang, krana metatu abedik cara bintilan. Bintul-bintul barak ane sing suud-suud bakat gesges dadine ngedenang lan merupa berung. Bengu sing kodag-kodag yan adekin. Besil dini-ditu. Blenget gati.
“Aruh....!! tiang ja suba kenjel ngarawat tatun tiange ene, apa ja dadine buin mani tiang sing nawang. Cutetne tiang sing ja nyak ngerunguang buin ” Luh Ayu ngemigmig sambilange nyebak. Pisaga ane nelokin pada jejeh. Makejang anake pada jejeh. Apa sing lakarang jenis tatu keto bisa ngalimbak wiadin ngranang gerubug di desa. Anake makejang pada ngrimikang.
Sabilang Luh Ayu liwat di aep pisagane ane pada mepunduh bruak-bruak ngorta, nadak makejang pada mendep sing ada pesu munyi sambilange nekep cunguh. Ngenah sajan ngewada. Saru apa ulian jejeh ngalimbak panyakitne ento, apa krana demen ugig jak timpal.
“Suud monto nyebak. Tusing pragat ulian nyebak dogen. Pareksaang awake malu ka dokter. Ngidih pengubadan lan resep apang tusing ngancan ngedenan, lamun dadi tagih ubade ane maal pang enggal seger” Ratih , timpalne puru di kantor ngorahin. Nyelag ngojok ka umahne.
”Suba. Suba!! Suba kaperiksa baan dokter. Doktere ngemaang ubad ane meranen tur maal gati. Delokin ja ditu,” Luh Ayu masaut sambilange nujuhin kaputan ubad uli klip plastik di duur mejane. Limane iteh kaskas-keskes.” Sabilang minggu tiang luas ka dokter, kewala tusing ada perubahan nyang abedik. Tiang tandruh apa sujatine sakit tiange ene? Ane sangat bakat kenehang buin yaning ubadin ngancan ngedenang tatune lan nyakitin sajan. Nyen Sujatine belog? Doktere apa panyakite. Asanang doktere mirip ane belog tusing ngidang ngebaang ubad penawar ane meranen. Mirib tusing ja ada ubad meranen jaman jani anggon ngubadin tatu cerik nganti dadi berung kakene” ia ngrumuk sambilanga misuhin doktere. Panyakitene padidi masih kena pisuh. Kadirasa blasak dogen kenehne. Receh sajan-sajan.

”O, ento madan korengan, Luh ” kadek Doglong mapi-mapi nedasang, kenehne suba ririh pisan krana ulian nlektekin panyakit jenis keto bisa tawang kenken kone kaidupan Luh Ayu dugase cerik yan demen maplalian di endute, wiadin maplalian di tukade ane bek misi luu muah tain jaran, konden buin tain ubuh-ubuhan ada ane ngenceh lan meju ditu, sing tawang masih di tukade ada bangken cicing kampih. Kadek Doglong nyatuang timpalne dugase cerik ane demen maplalian nyanyad patuh ja cara panyakitene Luh Ayu jani. Mula perlu seken-seken runguang! Sing dadi campahang sajan gejala-gejalane ane mara ngenah.Tusing ja maarti apa-apa, Bes ngenah campah, api ja berud abedik, sakewala sanget ngranaang lek lan ngulgul tur likad nyemak gae sewai-wai di kantor. Kengken sing likad, sabilang ia ngomong ajaka relasi bisnisne kanti misi ngengkebang lima ane korengan. Makejang timpal-timpal lan relasi bisnisne di kantor mretenin. Ada ane teleb gati mretenin,kadirasa likad Luh ayu Kenken anake ngelah olas asih nepukin limane buka keto. Ngelek hati api ke nganggo baju ane melah lan maal-maal, lakar sing ja nyidang ngengkebin korengane.
” Ento madan berung .” bli Putu milu masih ngimbuhin nedasang.
”Nah, api ja koreng jawata berung apa kone bedane? Lakar kanti tua naanang sakit buka keto?” kadek Doglong nungkasin. Krana ento lakar ngusak bayun relasi-relasi bisnisne di kantor. Lamun ada anak muani ajak Ni Luh Ayu, kenken carane? Bli Putu nlektekin matane i kadek. Seken-seken!. Ngujang ia sangat ngerunguang sakitne Ni Luh Ayu? Ah, miribang I Kadek Doglong ada keneh ajake Ni Luh Ayu. Nganti kaketo carane mretenin. Tresna pisan abetne.
Anak muani ajake dadua ento pada mendep. Luh Ayu ngentas sambilanga nekepin map di limane ane ngenah berung. Ebo pengit ngebekin ruangan perkantorane.
“Suud ngomongang timpal,” bli Putu ngorahin Kadek Doglong. Ngenah sajan munyine misi ngelonin Ni Luh Ayu.Kenken sing padalem lamun nepukin Luh Ayu cara anak ruyud majalan sambilange tekol. Ngenah likad di paninggalane.
Sabilang peteng Ni Luh Ayu malik-malikang palet surat kabar ane suba makelo sing kabaca. Tuah iseng dogen nyen nawang ada pabligbagan abedik atawi resep manjur pang sing ja nganti tuyuh kemu-mai ka dokter kulit. Sujatine pabrik ubade ento mirib ia ”fiktif” indikasi-ne, keto kenehne ane majalan ”ekstrem”. Makejang ubade ane kawedar di pasaran, makejang ubade ane kaadep di apotek lan makejang jenis ramu-ramuan jamu ane kaadep di toko-toko ubad ia ngorang raos bogbog. Tusing ada meranen. Mogbog mengkeb-metapel di durin karirihan iklan dogen! Iklan ubad-ubadan pada pagedenang kamuat di surat kabar wiadin majalah-majalah sujatine ento ngedengang muan-muan anake luh jegeg-jegeg dogen, bentuk-bentuk batis ane luwung, sakewala sing ja nyak ngedengang kenken kone proses berlangsungne ngubadin panyakite uli mara kena kanti nyidang seger. Ah, uluk-uluk ento. Apang nyak anake meli barangne! Bes ngenah bogbogne! Bobab sajan! Ento madan ”penipuan publik”, ragragan “komoditi” ajak nak ngelah kebrebehan. “Komoditas konsumen” anake ane sayan gelem muah ja kapercaya, yadiastun ajine maal, ngemigmig sambilange gedeg Luh Ayu padidiane. Med sajan naenang berungne, memeka sing suud-suud ,mekelo-kelo ningalin ibane ngeranaang kenehne sebet. Nah, ne ia di palet kesehatan ada kone pabligbagan ubad penemuan baru panyakit diabetes, kenken carane ngae seger ane melah, aluh lan mudah nganggo buncis. Dadi anggon lakar jukut. Dadi masih ngae olah-olahan kacampur baan wortel abedik anggon nyegerang sakit mata. Ni Luh Ayu ngenggalang nelpun timpalne, ia menyet memekne I Neni enu nyakit diabetes. Suba ngantos stadium telu lan aminggu ane maluan “urgent” parintahe dokter bedah maang tindakan, abesik kacing batisne amputasi krana suba membusuk. Masisa tulang kabungkus baan kulit abedik. Biasane penyakit keto lamen ja suud operasi, lakaran makelo tuhne, asanan keweh uas. Tiban-tibanan bonyok ngancan menekang nuju matan batisne nganti ka paane. Jejeh lamun ngenehang dugas ninggalin I Neni sebet nyatuang kakewehan memekne. Ni Luh Ayu masih maan milu ngenemin dugase operasi memekne I Neni di arep kamare bedah minor rumah sakit umum. Keto luung abetne Luh Ayu enu masih inget kakewehan timpalne yadiastun ia patuh ngelah keweh. Ento madan ngedum keweh bareng-bareng. Milu masih bincuh nulungin timpal.
”Ada masih ane lebian parah sakitne katimbang tiang,” Ni Luh Ayu molmol sambilange ngolesin berungne baan salep lantas ngusap-usapin baan kapas cotton bud. Adan salepe nyzoral cream, doktere ngorahang ubad meranen, ubad “high class”. Apa kaden madan keto, Ane penting uas berunge.
Inget dugase belabar gede di desa, yehe menek tegeh kanti neked bangkiang ukuran anak kelih. Pada nyapnyap makejang. Yehe menek ka umahan. Makejang pada sepanan ngisidang lan bincuh ngajang isin perabot umah. Nyap-nyap tekening sekayane sowang-sowang. Tusing suba ngenehang apa dogen ane kampih di yehe ento. Luu , bangken kuluk nganti kompor lan makejang isin paone pada kampih. Gede pesan yehe apa buin warnane coklat macampur selem, apa kaden lakar sinah dadi sumber panyakit kulit, jalir, demam berdarah ulian legune lakar pada kemu-mai lan liu lakaran anake pada ngencit, ngutah mising. Pisaga makejang sambrag pada rarud. Blingsatan malaib kemu-mai paling. Konyangan paling. Sajan-sajan enteng kenehe.
Suba liwat abulan sagetang Ratih teka ka umahne Ni Luh Ayu nekedang gatra anyar sambilange ngelkel kedek.
”Apa ada gek?” Ni Luh Ayu ngaukin Ratih baan ”gek” ulian ja muane jegek sakadi artis sinetron kesayangan Luh Ayu ane sawai pabalih di televisine.
”Jani pisagane makejang luh-muani, teruna-bajang, cenik-kelih telah pada kaskas-keskes. Ada ane berung gede nganti bongkeng, ada masih ane bonyok.”
“Dadi keto?”
“Tinggalin ja I Galuh Bonjor jani nganti ka song jitne berung,” kaukine Galuh Bonjor ulian bungutne cara bungut bemo kewala demen ugig, nyadcad timpal.
“Dadi nawang ?”
“Tolih ja pesu makejang pada kaskas-keskes.!!”
”Apa ulian tiang?”
Ratih sing masaut, laut magedi ngalahin Luh Ayu bengong padidian.
Jani Pisagane di Desa makejang pada kena berung. Telah kas-kas kes-kes. Sabilang ngaliwat tepukin ada ane ngeskes lima,ngeskes batis,ngeskes jit sambilange memisuh. Misuhin belabar ane suba liwat. Ulian yeh bandange ene makejang dadi kakene. Panyuud blabar dadi mesuang gering agung. Padadine gerubug desane.
Jani ja suba pada suud anake makejang ngrimikang Luh Ayu. Sakewala jani makejang pada ngrimikang dewekne padidi. Ngenehang sakitne padidi. Jani ja suba pada suud makejang anake pada nekep cunguh sabilang nepukin Luh Ayu ngentas. Sakewala jani makejang pada nekep cunguh lan bungutne padidi. Ngenehang berungne padidi.
Ane sing suud-suud ngelkel kedek tuah ja I Ketut Aget, krana dugase blabar gede ento ia mula luung tongos umahne di duuran pisagane ane lenan. Tusing celepin yeh gede. Ngelkel sing suud mekadi nepukin timpalne liu pada kaskas-keskes sambilange nyelek jit. Mimih dewa ratu!! Pedalem pisan pisagan tiange. Tusing kaunduk baan nulungin krana sing pedas baan ubad-ubadan.

Selasa, 26 Oktober 2010

PEPATAH KATA

Kata terpatah patah
oleh sumbu airmu yang tak pernah kering
bagai hujan yang telah engkau alirkan airnya menyusuri perjanjian yang pernah kita sepakati
lalu engkau lunglai ketika kata kataku mengalir di setiap jengkal tubuhmu
seolah-olah aku telah menguasai langit dan bumi
yang menjadi rahim setiap percintaan kita
dan kau lipat setiap harapan yang tumpah pada lekuk nadiku
bahwa peradaban yang memagari setiap mahkota kebenaran adalah agama dari ibumu
dimana bermula igau yang mengajarkan moral
namun sepatah kata yang engkau katakan hanya isyarat untuk tetap memulai indahnya
kebusukan kita :
setiap percumbuan selalu kau jadikan pepatah
yang diam-diam tetap engkau simpan
di rahimmu

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (17)

Kembali pada Ukang, ceritanya begini, hmmm menurut cerita seorang teman, manakala Ukangnya remaja punya masa-masa tersendiri yang entah tabiat apa membuahkan rasa pada sang guru yang telah beristri.
Karena lamunannya pergi kelain hati, tentu pula menjadi keheranan segenap keluarga manakala mengetahui betapa tergila-gila pada bapak guru Sahidi.
Tidak mampu ditawar-tawar, maka berkecamuk keluarga besarnya memburu dan bukan saja berkeinginan untuk membunuh, bahkan pula kalau sekiranya bisa mencincang habis tubuhnya yang kecil kurus.
Dapat dibayangkan kalau seorang manusia mencincang manusia, bahkan mungkin pada jaman itu sudah hadir istilah mutilasi. Dapat dibayangkan kalau semua peristiwa itu terjadi, maka Sahidilah korban pertama yang mengecam homo homini lupus itu berlangsung.
Tapi memang demikianlah adanya kalau hidup ini dipenuhi segala sifat serigala, karena sesungguhnya serigala itu sendiri adalah Sahidi yang punya andil memulai hidupnya serigala-serigala lainnya yang dipaksa untuk ikut beringas.
Dan bahkan mungkin Sahidi-lah yang akan memulai sorotan itu seandainya bukan karena senggeger menyelamatkan hidupnya.
Sang pemburu memburu ular hijau. Sahidi licin bagai belut. Sembarang lobang dia masuki sebagai tempat persembunyian.
Sebagaimana kelihaiannya memburu lobang-lobang kegelapan setiap betina yang menjadi gelegak irama senggamanya nan tak lepas-lepas.
Tidak ada yang sisa. Semua lobang menjadi pelarian.
Para Keluarga yang siap menghakimi melepas geram.
Sahidi oh Sahidi
Sang guru dari jembatan kembar
Dari desa yang dulunya terpencil dari dunia pendidikan
Sang guru ketakutan terkencing-kencing.

Senin, 25 Oktober 2010

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (16)

Tanpa perlu menjelaskan omzet hasil usaha dalam angka-angka manajemen yang memusingkan kepala. Manakala kebuntuan jadi penyumbat dalam dialogpun segala kemunikasinya tetap mendatangkan harmoni, karena perbedaan akan memberi warna pada setiap perjalanan rumah tangga. Sekali lagi, perbedaan selain memberi keindahan tetap merupakan aroma yang manis untuk dikecap kenikmatannya.
Dan kenikmatan itu sendiri malah disalah-artikan ketika mulai mengencani sang belia dari cinta yang bermula di sudut sebuah tata usaha sekolah.
Terkatung-katung dalam ketakberdayaan.
Cinta yang seterusnya berlanjut di luar dugaan, dari satu gadis, menuju dua wanita.
Entah cinta lepasan ataukah cinta sisa-sisa remahan.
Janda ataukah gadis sama saja dalam mengecap dahaga sesaat.
Dan inilah komunikasi tersumbat.
Belajar memahami seorang Ukang, menghampiri Heni, hingga melahirkan benih angan dalam percintaan sewot oleh di luar kehendak.
Seandainya Sahidi bak titah air soma para dewa yang dititahkan sang raja Saryati, begitulah Sahidi memulas warna mukanya seolah elok sang maha rsi Chyawana.
Merasa jadi muda kembali disaat-saat tiba masa tuanya. Serta merta merasa tua bercinta dalam asmaranya yang kelam.
Namun selalu menginginkan keabadaian Chyawana mengeram air soma. Menginginkan hari nan elok rupawan.
Berpikir demikian karena Sahidi bak raja Saryati yang mampu membelai ke empat ribu orang istri-istrinya.

AIRMATA PURNAMA


Purnama tidak pernah singgah disini
ketika mendung tidak membawamu pulang
melewati jalan rumah yang selalu sama
purnama muncul saat airmatamu tumpah bersama hujan yang jatuh di pelataran hatimu
dimana akan singgah nanti
di rumahmu?
atau di rumahku

Purnama ini telah menandakan bahwa kita sama sama satu tujuan untuk berumah dalam cahaya
yang tak bakal meruntuhkan airmata, ketika mendung telah mencairkan kekecewaan

SINDUPUTRA SANG PETUALANG DONGENG ANJING API


DALAM PERJALANAN BATHINNYA DI BUMI GORA SERIBU MESJID yang juga sang pemenang penghargaan khatulistiwa Literay Award 2009, kali ini menembang lewat SEGARA ANAK yang diterbitkan Pustaka Ekspresi, salah satu penerbit yang ikut peduli terhadap perkembangan sastra Indonesia dan SASTRA BALI khususnya.
Para pecadu sastra diharapkan kehadirannya nanti dalam Bedah buku sang penyair Sanur bertempat di Toga Mas Tanjung Bungkak, sabtu 30 oktober 2010 jam 19.00 wita.

Minggu, 24 Oktober 2010

Paparikan : DG. Kumarsana NGANCAN PETENG


kengken kone carane nyujuh jebag nuju titi swargaloka
galang candra nyambang kenyem manis sig bucun lawat endih lampu margane
idupe tuah mula ja bek malawat baan sunaran galang peteng: maboros sunia
pabligbagan ane ngelekadang pianak lan mentik di masan ujan
sig masan rahayune nengel
ngancan landuh
nadiang baa tresnan idupe sig tengahan sunia gumine lawas
malawat alep
lakar nyancangin langit nyagra peteng : nylibsib
nganti keweh sukeh-sukeh baan ngusuin uli dija kaden tekan kiape
jag sing kodag-kodag
dermagane ane kentel ilang di pasimpangan dedet
ilang pasihe gede
ane seken-seken gelah ragane : buka pasih selem
lan tileh masamaya pabligbagan ane soleh
sibarengan ombake gede sekagenti teka mesahin
dedetne ngengkebang matanai
ane tusing taen neked
ngepungin

lamun dinane ene likad maekin
utawi kenehe ngalintang masiluman
maekang
boya nenung peteng ane onya ulian keneh boya-boya
sada pocol lonto tepukin

EKSPRESI MAGAZINE PEDULI

(Mengundang rekan-rekan penulis se-Indonesia)
Mengemban misi “pendidikan buat anak negeri”, majalah beroplag lokal untuk dibaca kalangan nasional: mengundang rekan-rekan pecinta sastra budaya untuk berpartisipasi dalam mengirimkan naskah-naskah anda berupa : Puisi, Cerpen, esai, catatan budaya, novelette, novel, ataupun artikel serba-serbi dunia pendidikan. Karya-karya yang anda kirim adalah wujud kepedulian pada kaum remaja Indonesia yang haus membaca;
Naskah dikirim ke:
Ekspresi Magazine: expresikansaja@yahoo.com
Made Sugianto : madesugianto@gmail.com
Gusti Putu Bawa Samar Gantang : samargantang@gmail.com
DG.Kumarsana : pade_dewo@yahoo.com
Alamat Redaksi : Jalan Raya Alas Kedaton, Br Lodalang No. 54 Kukuh Marga Tabanan Bali Indonesia. Telp (0361) 7849103. Sms: 081 338 722 483
Partisipasi anda adalah Guru teladan buat anak-anak didik kami; anak-anak kita SEMUA!!!

Sabtu, 23 Oktober 2010

TRIWIKRAMASENA

Pada saat prabu Triwikramasena mengakhiri masa kejahatan seorang samyasa
maka dia berubah menjadi hakim dalam tonggak kebenaran
maka dia berubah jadi angin menghembus sang bayu
maka dia berubah menjadi api yang membakar pundak brahma
maka dia berubah menjadi air bah yang membasahi kerling mata Wisnu
maka dia berubah jadi zat pralina yang melebur kantong pathogen Ciwa
yang menentukan segala-galanya
menjadi hakim, menjadi angin, menjadi api, menjadi air bah, menjadi zat pralina, menjadi
gumpalan cuaca bahkan menciptakan musim segala musim atas segala petir-petirnya yang
menggetarkan langit :
muara peristiwa dunia
dan hukum persoalan kejahatan di atas dunia hanyalah dagelan.
Apakah dia bangsawan kerajaan yang telah melakukan suatu tindakan melebihi kejahatan
raksasa?
Tidak!
Teka-teki tak terpecahkan. Atau fakta diputar-balikan
Ternyata suatu sikap terhadap reaksi individu manakala akan terampas hak-hak hidupnya, akan
diperlakukan tidak adil serta sangat semena-mena,
maka reaksi yang timbul adalah membunuh daripada dibunuh.
Tidak hanya dari kalangan petinggi, bahkan rakyat dapat lebih brutal akan kebiadaban permainan
keadilan yang dipolitisir, keadilan yang terlunta-lunta, keadilan yang dipelintir.
Ada satu penilaian terhadap diri sang samyasa.
Kebenaranlah yang dipegang untuk ukuran dirinya.
Baginya sisi buruk dalam kejahatan adalah yang kekal, ketika perilaku berbuat jahat itu muncul
sebagai sebuah definisi sebuah jiwa yang kekal.
Jiwa yang mengantarkan dirinya pada satu titik kekekalan yang abadi.
Jiwa yang tidak pernah mati. Jiwa yang terpecah-pecah
Tidak oleh sebilah belati ataupun pedang yang tajam.
Tidak juga oleh keris atau jenis senjata lain terlebih lagi senjata titisan dewa Wisnu dalam
gelegar awataranya.
Pedang Triwikramasena sebelum mengungkapkan kebenaran akan adanya teka-teki tak berjawab
nantinya adalah anugerah sang Siwa,
adalah Sanghyang Mahadewa yang selanjutnya mengubah pola pikir sang miskin berpikir :
sang miskin idealisme
yang ngeri memikirkan Pancasila tidak sakti-sakti
yang dianggap wibawanya bercahaya saat peringatan setahun sekali.
Sebuah anugerah tanpa kata sebagai sebuah penghargaan memberikan jawaban yang tidak sia-sia
untuk sebuah pilihan pertanyaan yang terlanjur keluar sebagai sebuah misi yang telah selesai
diemban.
Adakah suatu harapan yang tidak terpenuhi, kalau hatimu telah puas?
Triwikramasena tidak pernah tersenyum dalam pengembaraaan dharma untuk memerangi
kemunafikan sang samyasa.
Tidak juga mengartikan akan jawaban yang diberikan selepas Ciwa menyodorkan kemungkinan
baru dalam intruksi selanjutnya.
Karena bagaimanapun Triwikramasena tidak akan pernah mengungkit-ungkit kebenaran sebagai
sebuah dharma yang mutlak untuk dijalankan di hadapan sang penggugat kebenaran itu sendiri.
Dua sisi perlambang adanya sesuatu yang hidup dalam keseimbangan perputaran dunia.
Triwikramasena adalah produk sang Ciwa sebagai putranda raja Wikramasena yang selanjutnya
akan menyatu kembali dalam keabadian kebenaran.
Siapakah produk samyasa yang bernama Ksantisila itu?
Beberapa cerita telah tercecer mencari babaknya
Atau kurangnya waktu untuk merampungkan bagian dari cerita yang masih tercecer itu.
Atas apa yang menjadi saktinya Ciwa : Durgha kian merubah wajah dalam kecantikan angin
Tidak terlepas dari pikiran kotor dan rela berkorban bagi penyaluran hasrat seksual atas nama
kesetiaan.
Di negeri yang berazaskan hukum, ada yang menyatakan keterikatan hanya buat rakyat kecil.
Tidak boleh lepas dari rel. Tapi keretanya melintas di samping…ahaiii, ironis sekali!
Karena hukum itu sendiri coretan kertas buram dan kabur dalam penglihatan.
Dapat diajak untuk bernegosiasi. Bisa dihadiahkan uang.
Hukum yang bersaudara dengan nepotisme. Hukum yang dibentuk oleh mata uang.
Dan percayalah, hukum itu bisa dibeli, karena untuk menjadi ahli hukum butuh uang banyak.
Kalau tidak ada uang hukum tidak berjalan, kalaupun berjalan semata-mata hanyalah
menjalankan jadwal yang telah dibuat di balik kemegahan kewibawaan institusi.
Karena butuh uang banyak untuk jadi ahli hokum maka setelah toga bersandar harus ada
kompensasi prima mengganti biaya kuliah. Dan itu pasti mudah dilakukan di iklim Indonesia
yang rakyatnya manut-manut.
Karenanya Triwikramasena sang prabu tidak cocok bercokol di Indonesia, karena akan bernasib
sama dengan bang Munir yang nyawanya disiasati kaum pembeli hukum.
Keadilan hanyalah lagu usang yang asing untuk tidak didendangkan dalam preparat kebenaran.
Keadilan hanyalah sandiwara atas nama kebenaran.
Yang sesungguhnya impoten!

CERUKCUK KUNING (1)


Pajalane konden suud luh. Konden pragat
(sujatine apa ane madan pragat?)
begbeg iluh ngimbuhin baan munyi dahat aksara
nyen ngelangkarain ngelangkahin keneh dewek ane mara malajah ma-saa?
tuah ja munyin crukcuk makules buka lengis sanglir
ane ngaranayang luh jalir buka kene
nang inem isin gelase uli dija kone nyisir anginne ngetohang paundukan, paiketan buka luh jani ngedum bagia?
kalara-lara baan keneh bawak nanging ngancan tandruh nuruhin isin kenehe, mula ja sebet
ngancan peteng magpag pangipian, boya katandruh

Luh, tegarang kenehang abedik krana konyangan keciwa ngempelin tangkah
kadirasa maboros baan lilih
nyen kone ento,wih? di singsale ene lakar ngengkebang singid
nganti bintang bintang engsap ngalihin langitne
lan purnama ngancan dadi tuh nlektekin lawatan di duur enjekan tuara tatas
luh, dija sujatine tatujone ene, majalan mulih neked di pintu kaping kuda
lakar ngedil ngampakang buka ngarepin keneh?

Enu mase ia nyuguang zat ane ngaranayang enggal neked ka langit
Pengawakan berpacu baan rahina lan malajah makeber barengan jak kedise ane lenan
lumure ngancan puyung, luh
tusing ada ane pocol di mangantiang
tara masisa
di patuhang keneh
pidan ngawitin, ngentas matan luhe dini
di itungan bucun rahina ane gangsal pisan makiba
di itungan ane sasidan-sidan liwat

rikala nepukin wates di pungkur
raga masi pada kenjel
mulih, luh
enu ada ane ngantiang jumah
tumanang semarane angon mani-puan

Rabu, 06 Oktober 2010

PAKSI SEBET GALANG KALA

Sahananing dinane runtag ane ngukupang ujan kalawan api
bayune milu runtag
ngudiang kone kiape lantas ngelekas bega
nyujuh pangipian ane sukeh baan alihin
tresna, angene ene ngancan mucuang panganti nganti: tibanan
paksine ngancan joh makeber ngindang di bucun langite
mengkeb di bucun sayong ngenceabng wirama gela
tusing ulian med-wadih, uduh lawatan sane-sinah kalara-lara
rompod sesapine kenjel maangkihan ngepungin kampid abesikan tastas
kenjel ngantiang lan ngenceg di bucun kayune cerik ane kepeh
di selat sebete nu mase ngewarnain abet, mabelatan baan keciwa
malajah ngipi sambilang ngedum keneh di rong petenge ane lenan
: dija tongosne medem?
paksi buka nyancang keneh wiadin nyedsedin iwas
tiwas kenehe
lara ngalungin pengawak atine sane gulem, plaibin angin
aketelan wacana nyabran sangsara nyikutin keneh inguh paling
apan uyang paling ngepungin rasa maboros baan kendel
tusing nyangketang keneh nekedang ring awak adiri
tusing taen neked : nyen buin nampi?
kalaning kala lebuh

C E R M I N

Kalau bukan karena wajah jelek ini, Warni tak mau lama-lama menatap cermin yang tergantung di kamar. Sangat jelek. Coba bayangkan, mukanya lobang-lobang bekas jerawat. Bahkan ada yang membekas hingga membisul saking tangannya tidak bisa diam memencet-mencet. Hidungnya pesek, belum lagi mata yang tidak mau searah lirikannya. Pokoknya mata ini tidak pernah mau sinkron untuk dipakai melirik. Apalagi ketika mama pernah menyarankannya untuk ikut serta kursus menari bersama kakak-kakaknya yang perempuan, apakah tidak nanti orang akan menertawakannya? Belum lagi kesepuluh jari tangan Warni pendek-pendek dan bengkok jelek. Pokoknya jelek. Tidak panjang lentik seperti kebanyakan penari. Ah, tidak mungkin semua itu dilakukan. Dan coba lihat dengan postur tubuh yang pendek mana gemuk lagi. Bah! Bagaimana mungkin jadi seorang penari sementara melirik saja membutuhkan konsentrasi untuk dapat sinkron antara bola mata kanan dan kiri. ”jadi pemain sinetron aja War, lagi dibutuhkan pemeran dengan wajah kayak kamu,” temannya pernah mengolok. Warni hanya tersenyum pedih. Ingin dicolok mata temannya yang mengolok. Memangnya mau apa punya wajah jelek. Kalau di kamar akan dia tumpahkan semuanya lewat tangisan. Coba lihat kalau Warni tengah tersenyum, ih, sangat jelek sekali. Apa lagi sampai harus menangis dengan wajah sedih. Warni jadi risi dengan gerak-geriknya sendiri. Dia tercenung dan mulai mengumpat-umpat, jengkel dengan keadaan yang sebenarnya. Benar-benar memuakkan. Sangat menjengkelkan. Dan sebaiknya memang dia harus mengurangi tangisannya yang tidak perlu itu. Akan semakin jelek kelihatan.
Dia pikir dengan memiliki wajah yang sangat jelek ini, sekalipun berhias dengan bedak yang harganya sangat mahal dengan mempergunakan produk luar negeri sekalipun tidak akan membantu dan belum tentu dapat merubah dirinya seanggun dan secantik putri Cinderella. Itu hanya ada dalam komik. Ataupun dengan mandi air susu dan luluran dengan harum kembang cempaka tidak akan membuat dirinya secantik dewi Subadra dalam cerita pewayangan. Sesuatu hal yang sangat mustahil. Subadra terlalu sempurna digambarkan pengarangnya. Itu membuatnya jadi sangat membenci hasil karya-karyanya tersebut. Kenapa sih tidak diceritakan tentang gadis yang jelek rupa untuk dijadikan tokoh dalam cerita? Terkesan terlalu membeda-bedakan rupa obyek penciptaannya. Pasti kalau yang rupanya jelek akan digambarkan sebagai orang yang memiliki jiwa dan pikiran jelek. Sifatnyapun biasanya buruk. Jiwa yang timpang. Labil. Warni tidak setuju dengan cerita-cerita demikian. Ia jadi benci tentang kisah Subadra. Ingin hatinya mengorek habis wajahnya yang digambarkan pengarang sebagai seorang wanita yang memiliki kecantikan yang maha sempurna. Warni benci! Kalau bisa ia ingin membunuh Subadra. Akan dipotong-potong lehernya dan akan dicungkil matanya yang dikatakan sangat indah. Mata Subadra akan ditaruh di matanya biar indah. Tubuhnya yang sintal akan ditaruh di tubuhnya. Rambutnya yang hitam terurai akan ditaruh di kepalanya. Warni pasti cantik. Pasti akan berubah jadi bidadari. Warni pasti mirip dewi Subadra. Biar tidak hanya Subadra saja yang sendirian cantik di dunia ini. Warnipun ingin cantik. Dan dialah tokoh cantik dalam dunia pewayangan itu. Dan kalau sudah demikian Warni tak membutuhkan cermin lagi untuk mematut-matutkan wajahnya yang sudah memang benar-benar cantik. Karena pemuda-pemuda yang naksir padanya akan menjadi sebuah cermin dalam bentuk pujian-pujian yang melambungkan. Dan mereka akan terpikat padanya. Mereka akan terpukau dan akan terkena panah asmara.
”Di dunia ini tidak ada yang abadi, anakku. Ada baik ada buruk. Ada cantik rupa ada buruk rupa. Kamu tidak usah menyesali apa yang sudah kamu miliki. Itu hanya akan memperburuk keadaan,” ayahnya menasihati dengan memberikan dorongan. Kerongkongannya terasa tercekat dan manakala dia bertemu dengan Rani, teman sekelasnya yang cantik atau dengan Yuni yang manis, tiba-tiba dia menjadi merasa sangat rendah diri. Begitu saja air mata ini jatuh bercucuran. Ah, kecengengan orang bodoh! Kenapa sih dilahirkan dengan memiliki wajah yang sangat jelek? Dan kalaupun dia mengenakan gaun apapun akan selalu tidak pantas terlihat. Sekalipun gaun yang dikenakan itu terbuat dari bahan yang mahal.
Coba lihat mbak Yanti kalau mengenakan pakaian. Apapun yang dikenakan akan selalu sesuai dengan badannya. Dan itu akan lebih memperlihatkan penampilannya yang cantik. Apalagi mbak Yanti memang benar-benar cantik dan anggun.
”Apapun pakaian yang dikenakan Yanti selalu saja cocok dengan penampilannya dan malah terlihat semakin cantik,” pernah suatu ketika mama mengomentari pakaian yang dikenakan kakaknya.
Warni ngiris mendengar pernyataan ibunya itu. Pujian itu bukan untuk dirinya. Bukan ukuran baginya untuk berpenampilan sepadan dengan Yanti. Tak terasa perkataan yang keluar itu membuat perbandingan pada anak-anaknya. Warni sadar dirinya memang benar-benar jelek. Tapi ibu, tidak seharusnya mengeluarkan perkataan seperti itu. Ia jadi curiga, jangan-jangan Warni bukan anak kandungnya. Coba lihat mas maman wajahnya cakep. Hidungnya mancung. Tubuhnya tinggi tegap. Mirip ayah. Mbak neni memiliki hidung yang bangir dengan mata yang indah, walau tubuhnya tidak setinggi mas Maman. Sementara mbak Yanti sudah cantik bentuk badannya juga bagus. Kenapa diantara saudara-saudaranya hanya dia yang dilahirkan memiliki tubuh paling jelek? Mana tubuhnya pendek dan gemuk. Uh, muak dia di depan cermin kalau melihat wajah dan badannya sendiri yang maha jelek.
Praaaaaang.......!!!?
Seisi rumah kaget. Warni membanting cermin di kamar tersinggung ketika mama mengatakan : ” kamu itu sebenarnya cantik tapi...........”
Warni tahu mama hanya basa-basi dengan mengatakan dirinya cantik. Dia tahu mama sesungguhnya hanya ingin mengatakan kalau sebenarnya hidungnya pesek, wajahnya bolong-bolong penuh jerawat yang sangat menjijikan. Warni jengkel sekali mendengar perkataan mama seperti itu.
”Ada apa?”
Seperti biasa semua saudara-saudaranya melongok ke kamar kemudian berlalu seakan-akan sudah mendapat jawab dari semua peristiwa itu. Sudah terlalu sering terjadi. Ayah hanya batuk-batuk kecil, mungkin sekadar menghilangkan sesak di dada. Dan Warni tahu, esok mama pasti akan membelikan cermin yang sama. Dan cermin itu diterimanya dengan setengah hati, sedikit dongkol walau sesungguhnya sangat berharap. Berharap untuk kembali melihat wajahnya yang jelek. Mematut-matut serta untuk menilai pribadinya lewat bayangan cermin. Dan setelahnya dia tahu dengan perasaan jengkel cermin itu akan kembali mengalami nasib yang sama sebagaimana cermin-cermin sebelumnya. Pecah berantakan. Tidak! Kali ini tidak terjadi demikian. Ia melihat bayangan aneh menyelimuti wajahnya lewat pantulan cermin itu. Ia merasa dirinya bukan Warni yang ia kenal. Bukan Yanti kakaknya yang cantik atau Neni. Bukan mas Maman yang gagah. Ia adalah dirinya. Warni bingung. Ditatapnya cermin itu lekat-lekat. Kemudian ditatap satu demi satu fotonya yang jelek di atas meja belajar. Ditatapnya foto-foto dirinya yang tergantung di dinding kamar. Pandangannya seperti menerawang jauh. Bimbang. Ada sesuatu yang terjadi pada dirinya? Warni tak percaya. Dipandang lekat-lekat wajahnya lewat pantulan cermin. Tidak! Ini benar-benar aneh. Ini sebuah kenyataan. Sebagaimana kenyataan-kenyataan lain melihat wajah kakaknya Yanti atau mbak Neni. Sebagaimana melihat mas Maman yang gagah dalam pesona pantulan wajah ayahnya. Warni kian terlelap dalam ketakpercayaan penuh. Dalam lelapnya ketakpercayaan itu Warni kian bersemangat kembali untuk meyakinkan bahwa dirinya merupakan bagian dari kehidupan keluarga itu. Bahwa ia benar-benar anak kandung dari ibunya yang melahirkan. Anak kandung dari ayahnya. Saudara kandung dari Yanti, mbak Neni maupun mas Maman.
”Eh, War, kemana aja, kok ngilang?” Rani mencuwil pundaknya.
”Memangnya aku Putri Nirmala apa bisa menghilang?” Warni menyambut. Tumben temannya ramah tidak biasanya.
”Wah, bisa bercanda sekarang.” yang lain menimpali.
”Memang selama ini aku putri malu?” Warni kian membuat temannya pada cekikikan.
”Wah...wah... kian kenes aja.” Wiwin ikut-ikutan komentar.
”Memang ada apa nanya-nanya?” Sahut Warni dengan gerakan bibir terkesan ketus.
”Itu lho mas Pram nanya kamu terus. Memangnya ada janji apa?”
Bagai tersengat lebah Warni spontan diam seribu bahasa. Mulanya lincah akhirnya memang benar-benar jadi putri malu yang sebenarnya. Pram? Ada apa? Kenapa? Bukankah kehadirannya sering menjadi bahan olok-olok temannya? Tapi apakah secara diam-diam dia ada hasrat terhadap dirinya? Ah, Warni tidak percaya. Jangan-jangan ini hanya olok-olokannya Rani karena tidak ada sasaran lain untuk dijadikan bulan-bulannya selama ini. Dasar memang kalau masuk dalam kelompoknya Rani selalu sehati dengan kelompok mas Pram dalam menggoda orang.
”He...he, dikasi tahu malah ngelamun.?” Warni terkejut. Buyar lamunannya tentang pemuda itu. Warni hanya melengos lalu pergi menuju ruang kelas. Kelas di samping bersebelahan dengan Pram, kakak kelasnya. Di pojokan parkir kendaraan anak-anak nampak gulungan asap rokok mengepul. Beginilah kalau guru belum menentukan jadwal pelajaran. Barangkali juga gurunya lagi sibuk cari obyekan buat tambah-tambahan. Anak-anak lebih menentukan sikap dengan gaya dewasanya. Warni menyapu pandang diantaranya sambil berharap-harap cemas. ”Mudahan kamu tidak ikut-ikutan latah,” bisik hatinya. Dan ada rasa senang ketika seseorang yang dia bayangkan tidak ada diantara kepulan asap rokok itu. Itu memang tidak dia harapkan. Kalau dia akan menjadi kekasihku pasti aku tidak menyukai kebiasaannya yang buruk itu. Kebiasaan yang akan terbawa nanti ke anak-anak. Ih, kok sudah jauh sekali lamunannya tentang seorang anak? Warni jadi malu dan senyum-senyum sendiri.
”Nah....tuh udah mulai senyum-senyum sendiri. Pasti lagi jatuh cinta ya?” temannya menggoda.
Warni jadi tersipu-sipu. Lagi-lagi ketangkap basah kalau sedang melamun.
Sekarang sejak tahu ada sejumput harapan dalam hidupnya, Warni jadi suka tersenyum. Warni jadi suka melamun sendirian di kamar. Dan sejak itu pula hampir tak terdengar lagi suara barang yang di banting di rumah. Keluarganyalah sekarang yang jadi merasa aneh dengan keadaan itu. Diam-diam mereka semua mulai menyelidiki perubahan-perubahan yang terjadi pada diri Warni. Ada apakah gerangan? Apa yang terjadi pada Warni sehingga dia sering melamun sendirian di kamar. Senyum-senyum sendirian. Apakah Warni telah gila sehingga seisi keluarga dibuat was-was. Apakah yang menimpa salah satu keluarga mereka. Apakah Warni sedang jatuh hati? Jatuh hati pada siapa? Pangeran manakah yang mau menentukan pilihan dan jatuh hati pada Warni. Siapakah sang pangeran itu? Mereka bertanya-tanya.
Diliputi tanda tanya besar

Senin, 04 Oktober 2010

NEGERI SENGGEGER (3)

Siapa yang menangis dalam pelukan malam
menyadari putik tak jadi mengembang
terhisap kecial jalang
begitu teganya kau menjaring madu dalam kegelapan malam tanpa menyisakan sedikitpun dahaga masa depan
dan malam tetap menjadi gelap dalam cahaya jahanam yang kau hujamkan di kilaunya asmara yang melesak memaksa diam-diam dalam berbagai rongga kenikmatan
“Aku khilaf, dik……”
engkau hanya bengong menjalin kembali mahkota yang retak
dalam asmara terpaksa
begitu ajaibnya mantra ini
-dan engkau terpekik

Jumat, 01 Oktober 2010

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (11)

Dan seperti biasa di warung remaja ia berlaku. Warung lahan yang mudah buat merencakan niat busuknya. Dan rencana Sahidi mengalir lancer dalam kebusukan-kebusukan bak makanan yang masuk dalam liang lambungnya yang tak menyembunyikan kebusukan, namun mampu membius orang sekitarnya untuk lupa sesaat.
Tentu dia akan berlama-lama ke belakang sebelum menemani teman kencannya. Entah apa yang dilakukan di belakang. Sesaat lama keluar dengan binar yang tanpa sadar setelah sang wanita mencicipi hidangan itupun menjadi turut berbinar-binar melupakan latar belakang. Lalu tertawa bersama dan bersenda gurau dengan bahasa vokal mendekati vulgar. Lalu bercengkrama. Lalu saling cengkeram. Dan pada akhirnya sama-sama tidak menyandang status. Dan pada akhirnya membentuk garis lurus. Tidak membentuk norma lagi. Pada akhirnya sama-sama belajar mengigau. Tapi kalau seandainya dia tidak tunduk maka Sahidi menambah kegaiban spare-part lebih spesifik lagi, bila perlu dibuat hingga terlena lupa untuk membedakan mana daratan dan mana lautan. Mana hunian rumah serta lupa jalannya pulang. Inilah jurus kedua yang diterapkan pada setiap wanita yang tak mampu menolak asmara yang ditawarkan. Tak mampu ditawar tawar Tak mampu!!! Kembali pada masa-masa sebelum keemasan yang cerah.

Rabu, 29 September 2010

Sajak : DG Kumarsana SEKUNI KETAR KETIR MERABA SENTIR (3)

Sekuni berubah menjadi satria telaten
terpingit di gudang arsip berganti rupa
meminjam baju kutang gatotkaca dan belajar terbang
membidik penguasa baru
berharap dapat jatah kursi
“sim salabim abracadabra….!” Sekuni merapal japamantra
berharap sang penguasa baru terkecoh dengan gagasannya
tunduk bertekuk jidat dalam dekadensi nuansa bedebah
dan para ponggawa berdebar-debar menuai hati pongah
berharap bratayudha tak terjadi
namun apa mau dikata
sejarah tak mau berbalik arah

Senin, 27 September 2010

Cerpen: PRANI

Kalau aku diberikan hak untuk menentukan pilihan maka aku lebih baik tidak memilih untuk kecewa, maka aku tidak akan memilih untuk sedih, maka aku tidak akan memilih untuk sakit, aku tidak akan memilih untuk benci, maka aku tidak akan memilih untuk susah dan akupun tidak akan memilih untuk menangis. Dan kalau dalam hidup tidak perlu ada cinta akupun tidak akan pernah belajar mengenal cinta, karena kata kekasihku waktu itu; demikian dekat jarak antara cinta dan benci, hanya terhalang seutas benang tipis yang sewaktu-waktu akan mudah putus, rengat dan menyakitkan. Dan kalau aku ada karena benih-benih cinta, kalau aku terlahir hanya karena benih-benih asmara kasih sayang maka aku tidak akan dihadapkan pada kekecewaan, maka aku akan mengutuk habis-habis cinta kasih sayang sebagai sebuah kebohongan besar dan aku pasti akan menyesalkan kelahiran ini. Dan pasti aku akan memaki orangtuaku kenapa mereka menanam benih benih cinta untuk melahirkanku.Dan akan betapa cengengnya kalau aku harus menderita karenanya. Itu tidak perlu terjadi.
“Cukup sekali saja aku menangis dan tidak akan ada tangisan lagi,” katanya tegar.
Aku tercenung, betapa tidak sempurnanya hidup ini. Aku harus siap menghadapi pilihan ini.”Aku hanya takut terlalu lama hidup bersamamu. Hidup ini terlalu banyak bohongnya,” seperti suara lirih yang menyuarakan kekecewaan.
“Dulu akupun berpikir demikian, betapa terikatnya sampai-sampai aku bertanya pada diriku sendiri pada suatu malam yang terlalu banyak menyisakan airmata, kenapa aku begitu sangat mencintaimu dan di saat kesakitan-kesakitan ini kau berikan padaku aku menangis dan bertanya; dimana hatiku kamu simpan, pada bagian sebelah mana?di lekukan sebelah mana? Kalau memang ada kamu simpan, tolong kembalikan hatiku dan di malam-malam kesendirian dalam kesedihan itu aku memohon padaNya, Tuhan tolong kembalikan hatiku yang telah diambil, jangan berikan aku cinta, itu terlalu menyakitkan dalam keterikatanku dengannya,”
Aku tercenung mendengar kejujuran kata-katanya.
”Dan aku telah berhasil. doaku terkabul..............”
Berulang-ulang putaran lagu I Can’t Stop Loving You di kuping yang terdengar justru hanya suara sumbang lagu jeritan nada-nada cinta yang menyayat kalbu tentang perjalanan seorang wanita menanti kekasihnya dari medan perang yang telah lama terjerumus dalam ikatan cinta. Sebuah penantian dalam kelelahan perjanjian yang terikat oleh cincin pertunangan. Larut aku dibuat dalam nada-nada lagu itu. Seolah-olah mengisyaratkan sebuah pertentangan hati. Kamu tidak akan pernah sanggup untuk mengerti, kamu tidak akan pernah untuk berpaling sekejappun. Aku terperangah malu, seakan sebuah kebohongan yang terbaca, seakan sebuah rahasia yang berusaha untuk disembunyikan pada setiap lekuk-lekuk catatan harian yang panjang dengan deretan kalimat-kalimat yang dibuat sedemikian indahnya namun dibalik semua itu ternyata hanyalah sebuah kamuflase bagi siapa saja yang sempat membaca catatan harianku. Eh, ini catatan pribadi, tak seorangpun boleh membaca. Kenapa kamu iseng membaca, padahal kamu suka ingin mengetahui isi hatiku yang aku tuang dalam catatanku? Kupikir jarang orang yang mau menyodorkan rahasia hatinya untuk diceritakan ataupun seperti sebuah perbuatan yang sangat bodoh untuk memperlihatkan catatan harian yang terlalu pribadi sekali sifatnya.
”Maksudnya doa itu sudah mampu melepaskan ikatan cinta diantara kita?” aku mengejar.
Dia mengangguk.
Tidak kudengar lagi alunan lagu itu di telinga sepertinya pendengaranku sudah mulai tertutup menikmati letak sendi-sendi pada sebuah keindahan irama lagu. Tidak kudengar lagi apa yang menjadi kekecewaannya dan mulai saat itu aku mulai belajar untuk memahami sikapnya yang selalu diam, tidak tersentuh pancingan untuk menimpali dialog. Aku tahu betul wataknya kalau dia sudah bersikap demikian. Aku merasa egois oleh sikap-sikap keangkuhannya, entah ini dibuat-buat, hanya untuk mengurangi beban yang ada di dalam dada. Tidak pernah kulihat dia berubah seperti ini. Apakah ini artinya dia tengah menanamkan benih-benih baru di rahimnya untuk mengawali sebuah perdebatan baru? Benih yang namanya sebuah kebencian tidak mendasar?
”Hush! Anak kecil ndak usah mendengarkan pembicaraan orang dewasa,” dia melambaikan tangan ke arah pintu yang sedikit terbuka. Sosok bayangan kecil terlihat menjauh dalam langkah kaki yang lapat-lapat terdengar melemah. Keponakanku yang nomor dua memang selalu demikian. Tidak pernah tenang mendengar suara bisikan-bisikan bersahutan yang muncul dari orang dewasa dengan aksen sedikit kadang kadang tegas tak terbantah. Dia mewarisi sifat ibunya yang selalu ingin tahu urusan orang ataupun urusan pamannya, apalagi sesuatu pertengkaran yang pernah demikian hebat terjadi pada adik iparku. Aku mendehem halus, semakin membuat pintu itu tidak tersentuh bayangan. Aku tahu keempat orang ponakanku lagi asyik membuat kesibukan yang tak begitu berarti di ruang tengah.
”Apa warna yang bagus untuk batang pohonnya, tante?” Keponakanku yang paling kecil nyelonong masuk kamar sambil menyodorkan buku gambarnya.
”Pakai warna coklat agak tua, sayang.” Aku menjawab sambil memperhatikan gambar yang sedang dia tunjukkan ke arah ibunya. Sebuah gambar pemandangan berlatar belakang gunung dengan hamparan sawah dan danau.
“Yang mana namanya coklat?”
Kalau sudah demikian biasanya adikku akan menggendong menuju ruang tengah dan membimbing disertai dongeng-dongeng menarik. Kami memiliki seorang tetangga janda dengan aksen khas bataknya. Sudah terlalu lama merantau. Dan biasanya adikku manakala mendongeng di hadapan empat anak-anak selalu disertai aksen khas bataknya sehingga membuat mereka pada ketawa terpingkal-pingkal. Anak-anak menyukai gaya bercerita ibunya.
”Lagi ma...lagi mendongeng,” anak-anak mulai mengerubungi ibunya. Ketahuan sudah kecolongan dengan gaya menarik dari pertengkaran itu untuk dibuat istirahat sejenak dengan memancing anak yang paling kecil untuk menggiring ibunya keluar kamar. Mereka membentuk sebuah lingkaran dengan masing-masing menelungkupkan badan dan serempak dengan kedua tangan berpangku pada dagu sebelah kanan dan kiri.
Sejenak tiada perdebatan.
Terlihat yang paling manja selalu yang terkecil dengan menarik-narik tangan ibunya sembari menyodorkan buku gambar.
“Hush, adik. Kita dengar mama mendongeng dulu ya. Tuh ma, tentang sang kancil dan buaya....”
“Nggak. Nenek lampir aja ma!” yang lain menyerukan dengan mengangkat nakal kakinya ke atas badan kakaknya.
Demikian terus terdengar gelak canda anak-anak. Rumah yang riuh suara-suara membahagiakan. Ada yang menyanyi-nyanyi kecil. Ada yang merengek-rengek diselingi suara bentakan kecil salah satu kakaknya yang merasa dewasa.
Rumah yang sederhana.
”Entah benih ini milik siapa? Kenapa begitu kerasan berada dalam rahimku?” katanya beberapa hari kemudian.
”Engkau mengadung benih yang salah,” kataku spontan.
”Mungkin.”
”Benih yang bernama sebuah kebencian...”
”Dan benih kecelakaan!”
”khilaf yang mengada-ada”
”Iya, berwujud darah dendam, suatu ketika lahir kelak, ia akan menjadi gumpalan-gumpalan darah yang tak wajar.”
”Engkau tak patut mengandung bibit karma yang tak jelas dalam rahimmu.”
Ia mengangguk-angguk. Diam sesaat. Seperti melihat ratusan korawa lahir dari ketakberdayaan drestarata.
”Aku tidak pernah ada keinginan untuk menghakimi takdir. Aku tak pernah menyesali segala sesuatu yang pernah terjadi antara kita. Namun setiap dosa yang kita yakini dan jelas-jelas kita lakukan bersama sepertinya kita tidak ingin ada karma turut andil dalam setiap kekhilafan yang kita lakukan.”
Aku terhenyak. Aku merasa benar-benar telah berada dalam lingkaran dosa. Aku merasa seperti ada yang diam-diam mengharapkan semua itu terjadi. Perbuatanku atas dorongan kemasiatan setan telah mengubah jalan hidupku. Diam-diam seperti ada yang menguping dengar pembicaraan itu. Aku gemetar. Badanku penuh bulir-bulir yang bergulir berebutan diantara rongga pembuluh kulit terluar. Mengelupas menjadi darah. Darah yang menyudutkan pikiranku. Aku merasa ketakutan-ketakutan ini semakin nyata. Ketakutan-ketakutan ini kian tak wajar. Ketakutan yang membentuk logika terbungkus kecemasan-kecemasan akan tuntutan karma nyata.
”Seandainya dia tahu,” katanya.
Aku gemetar.

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (10)

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI
(10)

Dan lelaki di hadapannya adalah sosok lelaki bertubuh kekar dan dinamis mengutarakan keinginan. “Engkau harus tunduk di hadapanku……..Engkau harus bercumbu denganku………” Dan segala sesuatunya berlanjut di luar kehendak. Selanjutnya wahai, wanita: engkau yang datang merayu-rayu. Menagih-nagih keinginan. Akan menjadi gila karenanya, manakala Sahidi sedemikian rupa bergelut dalam kesibukannya yang khas : menyapa setiap penjabat yang sarapan di warungnya yang elite dekat pelabuhan. Warung yang mampu menyulap pendatang menjadi ketagihan untuk datang menyantap berkali-kali segala keramahan yang ditawarkannya. Warungnyapun cukup khas dikenal dan hampir semua pejabat yang dibawanya berkenan mampir mencicipi negosiasinya.
Semuanya jadi relasi. Nama warung itu ‘Gadis Remaja’ yang semula remaja berhubung gaya penampilan Sahidi mirip don juan penakluk dara menjadi ada tambahan sinonim yang tidak terlalu menjolok namun ideal. Warung yang sangat sederhana buat lidah yang mewah. Selanjutnya datang kembali bersama wanita mengenalkan warungnya. Dan warung yang sesungguhnya pengelolaannya adalah masih menjadi milik keluarganya bagi lidah yang dating justru sangat mengesankan. Kalau di warung keluarga satunya dia datangi bersama teman kencannya yang bukan istrinya maka mereka pada berkilah : Eh, perek mana lagi yang kau bawa. Oh, kalimat sengak yang memang sudah menjadi tabiat Sahidi untuk dikomentari saudaranya.
Itu menandakan Sahidi dianggap suka membawa perek untuk dibawa mampir ke warungnya, selanjutnya disuguhkan pelet dalam campuran makanan secara diam-diam. Itu yang terjadi setelah dipikirkan berlama-lama meninggalkan tamunya ke ruang belakang.

Minggu, 26 September 2010

Peparikan : DG. Kumarsana KASMARANIN

Peparikan : DG. Kumarsana


KASMARANING PAKSI


Paksi punyah puun uluh sunia
buka nyaksiang taru majejer di bucun telagane
langite engketan belus
ulian ambune kabebelan sunaran masunar galang
ane sinah makeber nekepin surya
ulap lan saru
ngilang gremeng

Angin ngisis
nakep keneh rikala ia dengeh nyengenget gelayah-gelayah
nekepin kendel, ngengkebang kenjel
di pangapiane
nganti keles
kampidne buka katih nigtig keneh
pasarean anyar, dadi ulian
newek mangipi
dadi-ke?

Kaborbor kasmaraning, njadsad
galang ulian pangipian tuh maboya-boya
kanistayang

paksi ne kone ala ayu pajalan paksi.......!?
ilang puun kasmaraning
abu sang paksi angen gelu gelu
sadina-dina