Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Sabtu, 31 Desember 2011

DI BALIK JENDELA, WAJAHMU(kah?)

Di balik kaca jendela, wajahmu
merah dadu bersemu bak kisah percintaan Romeo dan Juliet yang frustasi
mengatakan, cinta kita tak sampai hanya berbatas pagar reyot
dan hanya angin yang menyampaikan kabar
tidak, kau mengelak dan menolak
cinta kita ibarat sampek ingtay yang berburu bulan dalam percintaan tak sampai
serta menjadi kupu kupu yang mengisap asmara tak karuan
itu yang kau katakan dengan senyum mengembang menjanjikan
ah, engkau keliru dik,

Mari kita ciptakan cinta kasih asmara tidak seperti dalam novel percintaan, drama asmara
ataupun roman picisan yang membuat ikut-ikutan patah hati
serta tokohnya sengsara demikian menyayat mengakhiri kisahnya dalam airmata
di balik jendela, wajahmu menatap bayang bayang bulan yang memancar menembus malam
menjanjikan keanehan : janganlah menjadi Romeo, janganlah menjadi Sampek
jadilah bulan yang cahayanya memagari hatiku ketika tidak ada hati yang mau nangkring kemari
wahai, aku suka maumu
tahukah itu:
diam diam
sepanjang malam aku memasuki jendela hatimu bersama cahaya yang
menyelusup dalam kegilaan,
menyusun mimpi mimpimu yang akan aku terka
engkau berteriak kaget
“bukan itu mauku!?”
aku tercengang
kupikir engkau sepasang Juliet dan Engtay yang diam-diam lesbi tak seronok
ah, hanya menduga
itupun dalam mimpimu tak jelas

SEBUAH KOTA YANG HILANG

di jauhnya kotamu
selalu cerita tentang dunia yang terampas
manusia merajah lidahnya
dengan belati terbuat dari mata ikan
kemudian kau mengacung acungkan ke dalam kotak
berbentuk 'belantara keadilan'
namun kotamu hilang begitu saja
di telan ikan
habis hirup lautmu
tanpa sisa
kota mati
burung burung terbang tanpa sayap
melupakan rumahnya sendiri membakar hingga tujuh turunan tak mencatat sebagai catatan
limbah limbah janin yang hilang, ribuan bahkan jutaan
melupakan sayapnya sendiri tergantung di langit
terbang di angkasa lepas tak bernama
leluhur telah lama gagu: membahasakan keturunan masing masing
melepas makna
menjelma sebagai mata ikan
laut sunyi
sunyi lautku
kota sunyi
sunyi kotaku
puing puing keadilan
sirna
(dari antologi kidung atheis penerbit pustaka ekspresi 2012

ASMARA DI GUNUNG PENGSONG

Alam pegunungan Pengsong menghijau usai disapu hujan. Bersih. Sebetulnya bukan pegunungan sebutannya, namun terlanjur orang-orang, para pengunjung serta beberapa teman-teman yang senang nangkring disana menyebut dengan istilah gunung. Itu bukit, sayang, kataku pada seseorang yang sebetulnya hatinya sudah terlibat denganku.
“Ndak mau! Ndak mau. Itu gunung, itu gunung Pengsong, Pokoknya itu gunung!” Bulan merengut, sepertinya istilah gunung dan bukit sangat berarti baginya. Gunung mungkin saja diartikan tonjolan bumi bagian atas, tonjolan yang rendahan menurutku lebih sreg rasanya menyebut bukit.
“Iya…iya gunung. Itu gunungmu, sayang,” aku mengalah. Dari hasil mengalah itu aku memperoleh sebuah kecupan mesra.
“Eiiiits, sayang, nggak boleh mesum disini,” aku pura-pura mengelak kendati sedikit monyongkan mulut, walau sasaran bibirnya sebenarnya hanya pipiku saja. Pipi yang penuh bekas-bekas bongkahan jerawat sewaktu es-em-pe. Tapi sudah sembuh lho. Hm,, rajin pake acnol. Tapi nggak apa-apalah kalau hanya mengalah untuk sebutan gunung dan bukit buat Bulan demikian berarti, aku akan menjadi senang juga. Lagipula mengalah untuk bukit dan gunungnya Bulan, eh, maksudku mengalah untuk menerima kenyataan kalau bukit itu memang berbeda di mata Bulan, kekasihku yang jelita, aku akan sangat senang sekali. Seandainya monyet yang ada disana dia katakan gorilapun aku akan setuju, karena apa-apa yang menjadi anggapannya serta merta aku menyetujui dan mengiyakan, pasti Bulan akan menghadiahkan ciuman lagi. Siapa tahu kali ini di bagian bibirku, hehehe biasanya saking girangnya Bulan pelampiasannya padaku bisa diluar dugaan. Aku akan dirangkul kuat-kuat dan ngok! Lipstick itu akan menyala-nyala berbekas di sekitar wajahku yang ganteng.
“Kok diem sih? Bener khan itu gunung?” Bulan mengagetkan khayalanku.
“Eh..eh iya Bulan, iya bener itu gunung. Kalo monyet itu apaan Bulan?” Aku berusaha memancing. Siapa tahu khayalanku tepat.
“Monyet ya monyet! “ Bulan menjawab kenes.
Wow meleset. Kukira dengan mengatakannya gorilla aku akan menyetujui dan bibir kami saling berpagutan, hehe keliru ya.
Tapi melihat monyet-monyet yang sibuk berjumpalitan di dahan pohon sepanjang bebukitan itu membangkitkan kenanganku akan Bintang, pacar pertamaku yang hilang entah kemana. Lenyap bak ditelan bumi. Bukan karena monyet itu jadi biang keladinya. Memang aku pernah salah omong saat ngajak dia duduk-duduk nongkrong sambil makan jagung bakar. Beli jagungnya di jalan Udayana sana terus bakarnya di halaman depan pengsong. Biar lebih mesra dan ada cerita jadi sambil bakar jagung aku peluk saja dia. Hanya sekadar memeluk pundaknya. Entah kenapa juga Bintang selalu suka mengajakku kemari. Apa barangkali yang menjadi alasannya. Mungkin dia hobby mendaki sehingga sangat suka melihat tanah bebukitan, namun nggak mau aku mengatakan kalau Bintang itu kelahiran dari seekor monyet sehingga shionya monyet. Tidak! Aku ndak mau berpikir seperti itu, karena sesungguhnya Bintang itu sangat cantik, kemayu, kenes dan sedikit genit. Wajahnya putih mulus tidak ada jerawat seperti wajahku dulu. Dan wow, matanya itu lho, demikian indah dan menawan. Pantas kalau ortunya kasi nama Bintang. Memang mirip Bintang. Kalau menatap matanya lama-lama dan terlalu lama, aku pasti akan nakal. Tapi jangan, ah. Tidak etis, apalagi disini banyak monyet. Tapi belum berakhir pikiranku tentang matanya yang indah, benar saja! Beberapa ekor monyet telah menyambar jagung kami yang sedang dibakar. Bintang menjerit-jerit dan lari tunggang langgang. Dan aku selain kaget ikut lari tapi memilih untuk mengejar Bintang. Bukan monyet.
Hai Bintang ketakutanmu itu keliru sayang, kenapa tidak lari dalam pelukanku saja?
“Dasar monyet, jadah!!” Aku mengumpat.
“Apaaaaaa???? Siapa yang monyet?” Tiba-tiba saja Bulan teriak di sampingku. He, aku terlalu jauh melamun. Di sampingku ini Bulan. Bukan Bintang.
Aku kaget. Kulihat Bulan melotot.
“Siapa yang kamu bilang monyet?”
Aku bengong kayak orang blo’on.
“Ayooo jujur saja, siapa monyet?” Bulan mendekat. Matanya masih melotot. Dan beberapa cubitan mampir dipaha dan lenganku.
“Hahahaha, hei Bulan, sabar..sabar. Aku tuh melihat monyet jadi terkenang cinta monyetku hehe kayak kita, Bulan…” Aku ngoceh seadanya. Tapi justru makin membangkitkan marahnya Bulan.
“Berarti bener khan menganggap aku itu monyet?” Bulan semakin gemas mencubit. Oh, sakitnya. Cubitan Bulan lebih menyakitkan ketimbang cubitan Bintang.
“Hei, sayang, kenapa dikau sensi begini, sih? Maksudnya Cinta monyet itu cinta pertama. Cinta kita yang pertama kali. Cinta pertama kita, sayang. First love honey hehehe cintaku pertama padamu, Bulanku,” Aku menggombal.
Bulan terperangah, setengah terpana. Bibirnya tak mau mingkem. Tatapannya polos nian. Dan tangannya mulai berhenti mencubit. Matanya sudah berkurang membelalak, kayak mata barong tadi kulihat.
Bulan termakan rayuanku. Buktinya dia tersenyum senyum. Hidungnya kembang kempis ketika kukatakan ia cantik jelita, mirip Bulan. Tetapi ketika melihat Bulan senyum-senyum begitu, aku tak mau mengalihkan pandangan ke arah monyet monyet yang pernah nakal padaku sewaktu bersama Bintang dulu. Nggak! Aku tidak mau melihat monyet itu, ntar kalau Bulan hamil aku nggak mau anakku kayak mahluk itu. Hiii
HANYA EMPAT MINGGU………….
Ya……hanya empat minggu cintaku bertahan. Tak putus dirundung sial. Apa karena monyet ini? Tiba-tiba saja Bulan berkata padaku:
“Hei Arjuna, mulai detik ini kamu jangan lagi main ke rumahku.!”
Waduh!
“Sudahlah, nggak usah frustasi gitu. Masih banyak gadis lain kok di kota ini. Kamu tahu di dunia ini perbandingan pria dan wanita itu satu berbanding empat.” Surya menghibur hatiku yang gundah.
“Sompret empat banding satu, katamu!!??” Aku menunjuk hidung sobatku itu. Surya juga yang memperkenalkan aku dengan Bintang dan Bulan. Dia memang sahabat yang baik hati.
“Empat banding satu, tiganya janda semua…” Aku ngedumel mengeluarkan ucapan yang tak pantas keluar. Tapi kalaupun kata-kata itu terucap juga tak pantas untuk di dengar.
Surya memegang bahuku. Menatapku trenyuh. Sangat hati-hati memulai pembicaraan, mungkin khawatir aku tersinggung kalau lidahnya mendadak keseleo salah ucap.
“Arjuna, sahabatku, mungkin aku bisa minta kamu hentikan dulu dah kebiasaan burukmu itu,” Surya lebih pelan berkata.
“Maksudmu?”
“Yahhh, kekurangan seseorang hanya sahabat baik yang bisa memberitahu. Itulah artinya sebuah persahabatan yang tulus,” Surya melanjutkan seperti ingin kata-katanya yang keluar di anggap berfilsafat.
“Iya apaaaaa kebiasaan apaaaaaa?” Aku tak sabar lagi. Huh. Benar-benar aku seorang Arjuna yang tak sabar. Ingin kupentang busur panahku dan kupanah rembulan itu agar meleleh mengeluarkan airmata. Airmata duka dari cinta yang terpenggal. Cintaku yang selalu sia-sia.
“Kamu hilangkan kebiasaanmu kentut di depan orang terutama di depan cewek. Itu saja!”
Aku kaget.
Jadi itu penyebabnya kenapa Bintang dan Bulan secara sontak, mendadak seketika tak ada angin tak ada hujan memutuskan tali kasih yang sesungguhnya kuanggap demikian membahagiakan. Ya, Tuhan, kenapa demikian cepat berlalu apa yang seharusnya engkau berikan padaku dalam kebahagiaan yang secuil ini? Secuil bagiMu yang sesungguhnya demikian besar artinya buatku. Oh, Tuhan……….. Jadi bukan karena monyet-monyet itu.
Bukan karena monyet, seperti perkiraanku.
Sengkongo, Mei 2011

(dari kumcer dadong inges penerbit pustaka ekspresi 2012)

HANYA SEDIKIT SAJA

Hanya sedikit, anggaran proyek ini kusulap
Jadi kantong penghuni rekeningku
Demi anak anak yang butuh sanggu dan jalan jalan menebar sukma
Demi istri yang butuh perhiasan untuk lebih anggun tampil
Demi para dedemit yang minta jatah kompens batu akik perambah pengasih asih
Agar sedikit mampu bertahan menjaga jabatan

Dan kalau bisa seedikit lagi, anggaran proyek ini kusulap
Buat bekal kampanye untuk melanggengkan kepercayaan politik
Pada rakyat
Serta menina bobokan hatinya
Yang berlimpah kemiskinan

DASAR……!!!! ANAK BINATANG…!!!!

Temanku punya kebiasaan aneh. Setiap sore melihat anak anak yang tengah asyik bermain bola di gang sebelah rumahnya, selalu keluar umpatan maha dahsyat”…dasar anak binatang! “
Hari harinya dipenuhi emosi meledak-ledak. Anak anak, termasuk pula anakku yang mendengar makian demikian tentu saja marah, tidak terima. Dan anak anak sebagian dari mereka tentu saja menceritakan kedahsyatan umpatan dari orang yang dikatakan orang tua kepada orang tuanya pula. Lebih bijak mereka ternyata dari temanku yang suka latah mengeluarkan makian ajaib itu. Suatu ketika, beberapa diantara orang tua mereka iseng nongkrong di ujung gang sembari memperhatikan anak-anak mereka bermain bola. Barangkali sekadar ngobrol ngobrol sore untuk lebih akrab sesame tetangga, barangkali juga ingin membuktikan kebenaran kata-kata anak-anak mereka akan umpatan yang pernah mampir di telinga tentang kata-kata Dasar….anak binatang!!!
Dan seperti biasa, mendengar keramaian anak anak, temanku keluar dari rumahnya. Namun hanya kepalanya saja melongok keluar sebatas pagar rumah, badannya menciut kembali ke dalam begitu melihat para bapak bapak sedang santai ngobrol di ujung gang. Temanku urung untuk mendamprat, bahkan mungkin sebuah atau beberapa makian yang akan keluar dari mulutnya yang mungil tanpa kumis, ditelan kembali.
Temanku ini memang sangat lucu. Sebuah kelucuan yang ganjil dengan kurang begitu bisa menunjukkan simpati pada anak anak yang tengah riang gembira menikmati masanya.
Barangkali temanku ini kurang nyaman hidupnya melihat anak anak gembira, sementara dia tidak bisa membaurkan anaknya sendiri dalam kegembiraan bersama sama mereka. Tentu saja! Baginya barangkali harga sebuah kegembiraan merupakan belati maut yang menikam tubuhnya, menikam otaknya, menikan kepalanya untuk tidak bisa menikmati hari-hari. Karena sebuah kegembiraan sama artinya dengan pisau maut yang dapat mengganggu aktifitasnya. Apa sih aktifitas temanku ini, pada hari hari dimana seharusnya bisa berbaur dalam kegembiraan anak-anak, kendati tidak harus menyediakan sarana untuk bersama sama menikmati dengan anak anak yang sedang butuh-butuhnya kegembiraan.
Wah, akan sadis terdengar kalau temanku ini menganggap kegembiraan atau bergembira sesaat adalah ancaman bagi hidupnya. Dengan demikian manakala melihat anak anak bermain bola dengan bergembira maka itu sama artinya dengan mengamcam hidupnya. Itu berarti, ancaman demikian harus dibalas dengan ancaman yang sama, memaki. Ya, dia akan memaki dengan kata-kata “Hush! Anak nakal, anak binatang…dasar anak binatang!”
Apakah dengan demikian anak anak akan diajarkan juga untuk balas memaki?
Wah!
Sampai suatu ketika, aku mendengar kabar anak anak dilaporkan ke polsek setempat dengan kasus pelemparan rumah. Dengan berbekal bukti tak jelas, saksi entah siapa, beberapa orang tua yang merasa anaknya menjadi tertuduh dalam kasus ini mendatangi polsek setempat beramai ramai. Belum ada kejelasan, apa makna di balik melaporkan tindak kenakalan anak anak yang pemicunya dari ungkapan “Dasar anak binatang!” justru keluar dari mulut si pelapor itu, yang juga sebagai temanku sendiri, yang juga ternyata dia merupakan salah seorang anggota yang bertugas di polsek itu. Katanya, berkas laporan itu sudah di teruskan ke masing masing ketua RT. Wah, semakin parah aja nih! Namun ketika salah seorang menanyakan berkas surat laporan itu ke polsek setempat, tidak ada penjelasan pasti mengenai surat itu. Apalagi kapolseknya sendiri belum mengetahui serta belum menandatangni surat tersebut. Jangan jangan ini hanya semacam laporan fiktif untuk memberi semacam shock terapi, pada anak anak yang melimbas pada orang tua anak-anak yang merasa juga tidak terima mendengar anak anak mereka disudutkan dengan kata-kata: …..DASAR ANAK BINATANG…!!!!!
Apakah dengan tindakan melaporkan anak-anak ke kantor polisi juga merupakan salah satu dari sebagian besar keanehan yang dimiliki temanku ini?

MALU AKU BERMOBIL MEWAH, PLAT MERAH

Terkadang malu hati berseliweran sana sini
bermobil mewah, plat merah
bergincu cantik terlihat menarik bak akik mulia
kalau tahu hidupku hanya manipulasi angka angka
dalam anggaran yang mampu kusulap
jadi kekayaan sendiri

Terkadang malu aku menggilas jalanan
berjas tebal mengalungkan dasi sepanjang lutut
berkoar koar tentang demokrasi, keadilan, kemiskinan
sementara kantongku depresi melafal aksara agama
bahwa menjadi maling uang negara itu bukan sesuatu yang terkutuk
namun apa mau dikata, istriku butuh rumah mewah, kolam renang, estafet mutiara dan
apa pula mau dikata, simpananku butuh rekening utuh, jalan jalan, souvenir dan
lafal agama ada dalam ungkapan skenario naisbitt meramal
negeri sia sia

Kamis, 29 Desember 2011

NEGERI TANPA WAJAH

negeri tanpa wajah
tak bertelinga
rakyat hilang lidah
penguasa bertahta
diatas kebenarannya sendiri
tiba duka negeri tanpa rakyat
pembunuhan di sana sini
hilang akal
lebih banyak mengakali

negeri tanpa wajah
membangun kuburan di atas rakyat
menggali tahta di atas keculasan
kebohongan

negeri tanpa wajah
kubangan nista

lereng pengsong des11

KEMATIAN ISMI

“Makanya jangan pernah berjanji dengan orang mati, nduk. Akan ditagih terus kalau tidak kamu tepati,” kata bude Darno ketika kudatangi ke rumah sebelah. “ Kalau kamu janji dengan orang hidup masih bisa, walau sesibuk apapun, walau jarang ada kesempatan untuk bertemu tapi paling tidak masih bisa ditunda dan cari waktu”
Aku menatap wajah Bude yang sudah tua. Gurat yang masih menyimpan kepahitan hidup dan selalu saja aku percaya apa kata-katanya. Karena Bude mengetahui banyak hal.
Suatu malam aku bermimpi tentang temanku Ismi. Dia menungguku di bawah sebatang pohon besar di dekat rumah sakit angkatan darat. Kupikir siapa namun suaranya aku tanda betul ketika tangannya menggapai dan memanggil.
“Hai Win, kemari”
“Lho, ngapain gelap-gelap berdiri disana Is?” Kulihat wajah Ismi setengah menangis.
“Antar aku pulang, Win. Aku takut sekali.”
Aku mendekat. Semakin mendekat. Kulihat Ismi berdiri di bawah pohon itu dengan kebiasaannya yang sering aku pahami. Memandang lurus ke depan dengan melipat tangan di dada. Itu salah satu kebiasaannya yang sering dia lakukan setiap ada cakapnya yang serius. Apapun gerakan anggota tubuhnya, aku hafal betul. Tangannya masih menggapai seolah melambaikan satu permohonan yang mana aku pikir permohonannya itu harus dipenuhi.
Beberapa jarak lagi langkahku semakin dekat dengan tubuh Ismi yang serupa batang pohon untuk membedakan mana tubuh manusia, mana tubuh yang terpacak pada sehamparan tanah kering dengan sebatang pohon raksasa kuat menancap. Entah berapa usia pohon itu sekarang. Dari dulu masih tetap tegak berdiri ketika aku masih sering diantar ke sekolah taman kanak-kanak Kartika Udayana oleh ayah. Pohon itu hingga aku duduk di bangku SMA sekarang masih tetap kokoh. Bangunan Rumah sakit angkatan darat yang berlokasi di jalan Udayana itu entah sudah berapa kali ganti wajah. Entah ganti genting, ganti tembok, ganti posisi bangsal dan wajah tembok yang hampir setiap tahun sekali dipermak dengan cat yang lebih baru, tapi pohon besar di sebelahnya masih tetap itu itu saja dari dulu. Tidak pernah ada yang berubah. Masih berdiri kokoh.
“Win…….”
Kudengar suara penuh ketakutan. Ada benturan gemetar dan rasa cemas bergelayut dalam pita suara yang perlahan keluar membentuk bongkahan-bongkahan rasa ngeri. Ismi lagi ketakutan, kupikir. Entah takut karena apa. Aku tidak tahu. Hanya beberapa langkah lagi sosok tubuh yang aku kenal itu kudekati. Tidak menyerupai bayangan. Itu sosok tubuh manusia. Dan aku sudah semakin dekat untuk mampu menggapai barangkali ingin untuk dapat memegang tangannya. Menarik lengannya untuk kugamit mengajak pulang ke rumahnya. Namun wajah Ismi sedikitpun tidak mengarah padaku. Masih seperti sikapnya semula. Menatap lurus ke depan.
“Ayo aku antar pulang,” kataku perlahan, seakan ingin meyakinkan bahwa aku sebagai sahabatnya selalu dekat dengan kehadirannya, disaat-saat dia membutuhkan. Namun betapa kagetnya aku ketika Ismi menoleh ke arahku. Wajahnya terlihat sangat buruk dan menakutkan. Bukan wajah Ismi cantik kenes yang pernah aku kenal selama ini. Aku terbelalak. Kulihat matanya berlobang, bibirnya menganga tanpa tulang hidung.
“Is, bukan kamu. Is, bukankah kamu sudah mati..????” Aku kaget. Tengkuk mendadak merinding, keringat sebesar biji kacang kedelai tumpah ruah. Sosok yang menyerupai tubuh manusia itu perlahan terlihat sebagai sebuah bayangan. Dan……tak lama kemudian menghilang. Hanya tinggal sebatang pohon tua yang berdiri tegak kokoh seakan ingin memberi saksi sebuah peristiwa.
“Win………….” Tiba-tiba aku tersadar dan terbangun.
Hanya mimpi……..
Mimpi yang sama untuk ketiga kalinya. Mimpi yang akhir-akhir ini mengganggu aktifitasku, seakan sebuah janji yang pernah terlontar atau apa, entahlah. Mimpi yang aneh tentang kematian temanku yang membuatku selalu berpikir. Aku mendatangi bude sebelah rumah. Aku bertanya, mengapa temanku yang sudah mati selalu mendatangiku dalam mimpi. Apakah arti semua ini?
“Kowe lagi dirasanin, nduk…..”
“Dirasanin opo, bude?” aku bertanya tak mengerti.
“Mungkin kowe pernah janji, nduk. Coba inget-inget”
Aku menatap bude Darno dengan wajah menerawang sembari menatap langit-langit kamar rumahnya dengan mengingat-ngingat sesuatu. Beberapa peristiwa yang pernah terjadi dengan sahabat-sahabatku tergambar satu persatu. Masa ketika bermain bersama-sama. Masa-masa ketika saat saat terakhir aku lihat Ismi di sekolah. Tidak ada satupun percakapan yang berarti yang perlu kuingat. Aku berempat bersahabat dengan Dewi, Artani dan Ismi. Selalu kemana-mana bersama. Ngerujak bersama. Kemanapun selalu kami lakukan bersama-sama. Kalau sehari saja salah satu dari kami tak ketemu pasti akan saling menanyakan satu dengan lainnya. Pokoknya hari-hari tiada akan pernah berarti kalau kami lalui tanpa salah satu dari kehadiran kita berempat.
Pernah ada laki-laki yang berusaha mendekati Ismi. Namanya Arman. Ismi seolah mendapat perhatian yang khusus sehingga beberapa hari isi percakapannya setiap ketemu kami sahabat berempat selalu soal Arman saja. Sedikit-sedikit Arman. Mirip lagu, mau makan..ingat Arman, mau tidur….ingat Arman, mau mandi….ingat Arman. Mau minum obat….tetap ingat Arman. Huh! Aku yang paling sebel. Maka kita sahabat yang hanya tinggal bertiga memutuskan untuk tidak pernah mendatangi rumah Ismi lagi. Akulah tentunya yang paling ngamuk. Paling tidak suka kalau ada hati lain mengendap diantara kita berempat. Perasaan cemburu yang demikian kuat membuatku beserta Artani dan Dewi sepakat untuk tidak mengajak Ismi berbicara lagi. Kami musuhan. Ketika usai pelajaran sekolah kami hanya bertiga ngumpul dan duduk-duduk di halaman samping kantin sekolah.. Di kejauhan kulihat Ismi celingak-celinguk menyapu pandang seakan mencari seseorang. Apakah kami bertiga?
“Ndak mungkinlah, dia kan sudah akrab bersama Arman,” Artani berkata sewot sambil tetap menatap Ismi di kejauhan.
“Iya…Iya…apalagi mau dekat kita, sudah nggak pernah kompak lagi huh…sebel!!” tak kalah sewotnya Dewi centil ikut menimpali.. Aku hanya mengangguk-angguk saja sambil mengisap permen manis dari buah cermen.
“Stttth….., tuh dia mendekat. Dia kemari Win,” Artani memberi isyarat dengan tangannya .
“Cuekin aja” Sahutku.
“Hai kemana aja kok ngilang semua? Aku cari-cari kalian,” Ismi berkata riang ketika mendekati kami bertiga. Suaranya tidak menunjukkan rasa bersalah.
Kami bertiga diam seperti patung.
Ismi tetap dengan tingkahnya yang riang sambil haha-hihi tertawa mengajak mereka bersenda gurau. Sesekali waktu tangannya yang jahil mencolek beberapa teman-teman kelas lain yang kebetulan lewat.
Kami bertiga tetap diam mematung.
Ketika Ismi selama dua hari ini tidak kelihatan hadir di sekolah, ketidakhadirannya-pun bukan menjadi sesuatu yang terlalu istimewa diantara kami bertiga. Tidak ada sesuatu yang aku rasakan hilang. Malah kami tetap dengan aktifitas rutin walau hanya bertiga tanpa kehadiran Ismi.
“Bagaimana keadaan Ismi sekarang nak? Apa sudah sembuh” wali kelas mereka bertanya. Aku, sekalipun berusaha untuk tetap cuek namun mendengar kata-kata ‘sembuh’ yang keluar dari ucapan wali kelas, yang namanya kuping, bagaimanapun juga gerah untuk lebih menyimak apa yang tengah terjadi. Sembuh? Berarti ketidakhadirannya selama ini di kelas dikarenakan sakit? Sakit apakah Ismi? Ternyata bagaimanapun juga untuk menutupi perasaan tentang seorang yang pernah menjadi sahabat, feeling sebagai seorang wanita masih kentara bermukim di jiwa kami bertiga. Yang paling peka perasaannya adalah Dewi, spontan dia bertanya tanpa menunggu wali kelas bertanya selanjutnya yang sesungguhnya menunggu jawaban kami bertiga.
“Sakit apa Ismi pak?”
“Lho, apa kalian tidak tahu? Bukankah kalian sahabat-sahabatnya, bapak perhatikan kalian demikian akrab dan kompak ketika berkumpul bersama-sama. Dewi, Artani dan terutama aku sendiri hanya mampu ber ah-uh tak jelas.
“Nggg, anu pak, akhir-akhir ini kami jarang bertemu,” Artani menutup kebisuan namun jawaban yang diharapkan pak Usman wali kelasnya memang membingungkan.
“Iya pak Usman, ada alasan lain yang membuat kami akhir-akhir ini, hmm yah…begitulah,” Dewi menambahkan dengan kebingungan yang sama dan membuat wali kelasnya menatap mereka bertiga penuh selidik.
“Seharusnya bapak yang mendapat informasi mengenai Ismi pertama kali dari kalian bertiga. Bapak tahu persis dan bukan hanya bapak saja, tapi guru-guru yang lainpun berpendapat demikian. Persahabatan kalian berempat sudah diketahui oleh semua guru-guru disini.,”
“Ya..iyalah…..” Aku menyahut bangga. Namun kabar sakitnya Ismi membuatku sedikit luluh. Maka hari itu juga kami bertiga segera bertindak dengan melakukan gerakan ‘solidaritas keprihatinan sesama teman’ dengan cara memungut sumbangan ke semua kelas. Untuk di ketahui, kalau kelompok kami yang bergerak, maka semua teman-teman pada patuh-patuh saja. Tak membutuhkan waktu lama untuk melakukan itu. Setelah uang cukup terkumpul bergegas kami bertiga ditambah dengan beberapa perwakilan masing masing kelas menuju ke rumah Ismi. jalan kecil menyerupai gang menuju rumah Ismi dari belokan jalan raya lumayan jauh. Kurang lebih sepanjang 3 km menuju rumahnya, kami bertiga hanya diam. Tak ingin saling berbicara, apalagi untuk bersendagurau. Aku berpikir nanti setelah ketemu Ismi, bagaimana nanti mengawali pembicaraan yang akhir-akhir ini sempat terputus hanya oleh kehadiran seseorang diantara kami berempat. Namun, ah, sudahlah! Itu tak terlalu penting untuk dipikirkan, walau terasa masih mengganjal namun ganjalan itu sebaiknya memang harus dilupakan. Lupakan dulu keegoisan masing-masing dari kami, hanya karena soal perasaan. Ya, yang perlu dipikirkan saat ini adalah perasaan Ismi, bagaimana kondisinya melawan sakitnya. Sakit apa yang diderita? Begitu sampai di depan rumah yang sangat kami kenal walau telah jarang kami mendatangi rumah itu, terlihat rumah Ismi telah dipenuhi oleh orang-orang. Demikian ramai. Ada kain berwarna kuning terpasang di halaman depan rumahnya. Aku saling pandang dengan teman-teman. Kaki serasa terpaku di depan rumahnya, halaman rumah yang dulu sering kami jadikan tempat ngumpul bersama saat acara rujakan sambil ngobrol-ngobrol.
“Cari siapa dik?” seseorang ibu tua menyapa kami
“Saya temannya Ismi. Mau ketemu Ismi. katanya sakit?” Aku mendahului menjawab. “Kami datang menengok sekalian mengantarkan sumbangan yang sengaja kami kumpulkan dari teman-teman sekolah untuk biaya Ismi berobat, tante..”
“Oh, kasihan. Adik-adik ini temen sekolahnya? Ah, kasihan sekali. Ismi sudah meninggal ..” tangan ibu itu menunjuk ke dalam rumah yang ramai dipenuhi orang-orang.
“Lho katanya sakit?” Aku bertanya seolah tak percaya mendengar berita itu.
Kami bertiga saling tatap dengan penuh kaget. Tanpa bisa ditahan airmata keluar dan tak mampu lagi mendengar apa yang dikatakan ibu itu selanjutnya. Apa yang keluar dari bibir ibu itu hanya terlihat seperti sebuah bisikan saja. Tak sampai terdengar di telinga kami. Ada rasa bersalah menyelingkupi perasaanku. Diantara Artani dan Dewi barangkali akulah yang paling merasa bersalah. Telah terlalu jauh menumpukan semua bentuk kecurigaan-kerugiaan yang tak jelas. Barangkali juga aku merasa sebagai provokasi atas semua yang terjadi mengenai hubungan yang aku lihat tentang Ismi dan teman lelakinya yang tidak aku suka kehadirannya, yang begitu saja ada ditengah-tengah kita berempat. Seolah ada satu hati yang ingin membetot dan memisahkan kebersamaan kami.
“Ayo teman-temannya Ismi kemari semua,” terdengar suara ibu itu memanggil. Kulihat tangannya menggapai mengisyaratkan untuk mendekat. Aku bengong. Bukan karena bimbang. Di sebelah tubuh yang tertutup kain kafan itu kulihat sosok wajah lelaki yang aku kenal betul. Busyett, itu Arman. Lelaki yang telah merebut persahabatan kami. Eh, ngapain dia sudah mendahului ada di sebelah tubuh sahabatku. Ah, tak perlu kupikir. Tiba-tiba ada satu tangan mencubit halus lenganku. Aku menoleh. Kulihat Dewi seakan mengajak aku dan menganggukkan kepala. Tatapannya mengarah ke tubuh yang tengah terbujur itu.
“Ayo, nak, kemari semua. Ini Lho temanmu lagi menunggu kalian semua disini,” lagi-lagi terdengar suara ibu itu. Kian mendekatt di pendengaran kami. Dewi dan Artani seakan menunggu komando. Mereka menatapku sekali lagi. Aku mengangguk dan melangkah mendekat ke tubuh yang terbujur kaku itu. Kami duduk bersebelahan, khusus aku, tak mau menyapa Arman. Sekalipun lelaki itu mengisyaratkan melalui matanya untuk mengajak berdamai. Fuiiiihhh…..mata yang berulang kali dalam tempat dan waktu yang berbeda senantiasa mengisrayatkan sesuatu yang sangat janggal kurasa. Ngapain sih pacarnya Ismi jelalatan begitu dan bukan hanya saat ini bertemu saja. Waktu-waktu sebelumnyapun tetap jelalatan ketika melihatku. Apakah begitu mata lelaki ketika tidak ada pengawasan dari pacarnya. Dasar lelaki.
Penutup tubuh Ismi di lepas. Tak tahan aku melihat wajahnya, seolah mengguratkan kesakitan. Ibunya Ismi menginginkan kami bertiga sebagai sahabat-sahabat karibnya untuk memandikan jenazahnya. Aku sedikit kaget. Kami bertiga memangku tubuh Ismi yang sudah terbujur kaku. Dewi dan Artani memangku bagian badan dan kaki saling berhadap-hadapan, sementara aku dan lelaki ini kebagian memangku kepala Ismi. Aku kaget melihat mulut Ismi yang setengah terbuka. Sepertinya kain pengikat yang melingkar di dagu dan kepalanya kurang kuat, atau memang sudah dari tadi menganga demikian. Berusaha aku meraih tali itu untuk mengencangkan kembali. Namun mulut Ismi masih terlihat menganga. Ismi yang dulunya centil memiliki sepasang gigi gingsul yang terlihat manis semasa hidupnya itu, dan gingsulnya itu pula membuat kami bertiga iri atas kelebihan yang diia miliki, kini tak ubah seperti sebuah taring yang mengerikan. Seolah dari bibirnya yang kaku tengah meneriakkan rasa sakit yang berkepanjangan. Sakit apa kamu Is, Kenapa wajahmu demikian menyedihkan? Kenapa sangat tiba-tiba kamu pergi?
Kupikir kalau Ismi masih memiliki sepasang mata yang sesungguhnya demikian indah manakala mengedik pastilah akan berkata kalau kepedihan yang dia rasa tak perlu sampai harus dirasakan oleh kami bertiga. Namun itu hanya perasaanku saja, ungkapan perasaan yang terpantul lewat sepasang mata milik Ismi yang kini terpejam tak mengisyaratkan apa-apa, sesuatu yang tak berarti lagi setelah meninggalkan kami bertiga. Aku sangat menyesal. Sungguh-sungguh merasa sangat menyesal melepas ikatan persahabatan yang semestinya terjalin cukup lama. Persahabatan yang seharusnya tidak menjadi renggang hanya karena sosok lelaki yang bernama Arman yang kini tengah duduk di hadapanku dan ah..busyet mata Arman menatapku tajam saat aku melirik. Aku sedikit tersipu. Kualihkan kegalauan tentang Ismi, rasa mendongkol tentang Arman dengan tetap mengambil gayung menyiramkan air serta mengusap-usap wajah Ismi. Kupikir kami dipanggil mendekat dan hanya duduk-duduk saja di sebelah jenazah sambil mendengarkan cerita mereka mengenai kematian Ismi yang bagiku terasa janggal dan sangat begitu tiba-tiba perginya.
“Beristirahatlah dengan tenang, Is. Maafkan segala kesalahanku. Aku pasti selalu berada dekat denganmu meski kini kamu sudah tidak mampu mengungkapkan serta aku tidak akan pernah lupa dengan segala keakraban yang pernah terjadi diantara kita. Istirahat yang tenang ya Is. Aku pasti akan datang menengok.”
“Iyo nduk, iseng tengok dia di kuburannya, kowe dirasanin itu” Aku tersentak kaget mendengar suara Bude Darno. Kejadian beberapa tahun yang lalu seperti tergambar begitu saja, seolah baru kemarin saja kejadiannya.
Kuputuskan untuk membeli kembang, sore itu juga berangkat menuju kuburan di daerah kampung jawa. Berusaha aku mencari batu nisan yang terpahat atas namanya. Namun tak kujumpai batu nisan itu. Sebelumnya aku ingat betul letak batu nisan itu, persis di deretan ke dua di pintu masuk areal tanah pekuburan. Sangat mudah kok untuk menemukan, namun kenapa sekarang tidak ada. Is, ini aku datang menyambangi dengan membawakan kembang dan makanan kesukaanmu ketika pernah saling menjalin persahabatan. Namun tak kujumpa batu nisan bertuliskan nama Ismi. Persis, padahal disini tempatnya. Aku ingat betul. Ya, di deretan ke dua pintu masuk ini. Kok, tidak ada. Aneh! Aku berusaha kembali mengitari area kuburan itu hingga dari ujung sampai ke ujung. Tidak ada! Aku mengernyitkan dahi. Berusaha kembali berjalan ke arah pintu masuk dan kembali berjalan seolah menghitung satu demi satu bahkan membaca satu demi satu nama-nama yang terpahat disana. Namun tetap tidak kutemukan. Kok bisa ya? Padahal aku ingat persis tempatnya disini, karena aku sendiri yang turut mengantar jenazahnya saat penguburan berlangsung. Sekarang kok tidak ada? Aku heran. Hingga tak terasa waktu berjalan pelan mendekat maghrib.
Ismiiiiiiiiiiiiiii, dimana kauuuuuuuuuuuuuuuuuu
Aku berteriak sejadi-jadinya di tengah senyap area pekuburan yang luas. Hari kian beranjak gelap. Dadaku kian berdebar. Debar dalam rasa yang aneh. Demikian meletup-letup. Aku menatap sekeliling dengan rasa yang aneh pula. Ada sesuatu kegamangan sebagaimana sapaan aneh dalam kehadiran Ismi belakangan ini lewat mimpi-mimpiku. Hanya rasa takutlah yang akhirnya menemani langkah kakiku bergegas keluar area kuburan menuju sepeda motor yang aku parkir. Ketika aku melempar pandangan ke arah kuburan, dalam kerenggangan waktu oleh cahaya yang kian mengabur karena kegelapan pohon-pohon sekitarnya seakan melambai membentuk tangan-tangan yang ingin mengikatku untuk kembali kesana. Aku menggeleng. Tidak, aku tidak temukan namamu disini, Is. Entah batu nisan yang bertulis namamu berada dimana. Aku tidak tahu. Entah batu nisan yang bertuliskan namamu sudah lenyap tertelan tanah. Entah juga telah berganti nama. Aku tidak tahu. Entah juga telah tertumpuk dengan kuburan baru. Sudah berusaha aku untuk mencarinya. Tetap tidak kutemukan. Kubuang jauh-jauh kengerian akan lambaian pohon dengan tangannya yang menggapai-gapai. Hari telah gelap. Aku harus pulang membawa kembali kembang dan makanan kesukaan Ismi yang semestinya kuperuntukan buatnya. Aku bawa kembali pulang dengan rasa kecewa.
“Tidak ketemu batu nisannya bude. Padahal Win ingat betul letaknya karena Win juga ikut mengantar saat saat ke peristirahatannya yang terakhir…” aku mengeluh pada bude. Hanya beliaulah harapanku satu-satunya untuk berkeluh kesah.
“Itu tandanya dia lagi marah, nduk. Dia marah sama kamu.”
“Kok bisa, bude? Terus bagaimana sebaiknya bude? Apa yang harus aku lakukan?”
“Kowe taruh saja kembangnya di pintu masuk kuburan itu, nduk. Terus kowe ngomong,” bude menjelaskan.
“Ngomong apa, bude?” Aku bertanya tak mengerti.
“Ya ngomong seperti bagaimana ketika dia masih hidup. Kowe bilang minta maaf tak menepati janji dan bilang jangan ganggu-ganggu lagi. Kita sudah berbeda alam.”
Aku mengangguk-angguk.
Keesokan harinya aku kembali ke kuburan tempat peristirahatan Ismi. Kuburan itu letaknya di daerah kampung jawa tak jauh dari rumahnya. Tepat di depan pintu masuk kuburan, aku taruh kembang dan makanan kesukaannya
“Nih, Is aku telah datang menyambangimu. Aku tidak menemukan tempat kuburanmu secara tepat, persisnya entah dimana. Disini saja aku letakkan dan jangan ganggu aku lagi ya, Is. Jangan marah padaku”
Sejak kembali dari kuburan Ismi hingga kini aku tidak pernah lagi dalam mimpi di datangi Ismi, sahabatku.

Sidakarya suwung okt 2011
`
(dari kumcer dadong inges penerbit pustaka ekspresi 2012)

J E R A W A T

Telah diputuskan untuk menghilangkan, apa yang dilakukan selama ini sia-sia belaka, usahanya tidak berhasil, ternyata tidak mau hilang-hilang juga. Jangankan untuk hilang, berkurang sedikit saja tidak bisa. Ia tidak mau ambil resiko.
“Ah, sudahlah, biar begini saja apa adanya, sudah seharusnya Neni tidak senang hanya gara-gara jerawat sial ini,” katanya pasrah setengah meringis, ia tahu belakangan ini telah terjadi perubahan yang sangat menjolok pada sikap Neni.
“Tapi itu bisa dirawat perlahan-lahan dengan teliti, ” aku menghibur, mengurangi perasaan kecewa yang melanda hatinya, betapa tidak sebelum beberapa bulan ini memang ada perubahan besar dalam sikap Neni terhadapnya, begitu mengetahui keadaan dirinya. Dia pasrah. Dia mendesah kecewa.
Ceritanya begini: temanku seorang penulis, keseharian paruh hidupnya hanya buat menulis. Waktunya dihabiskan hanya buat aktifitas mengkhayal, terkadang bengong di pinggir jalan dan suka bengong di pegunungan sambil melihat-lihat kehijauan alam. Sekarang hidupnya mulai dirasakan ada yang janggal. Dia punya jerawat di sekitar pipinya. Ia membiarkan. Rasanya muka tanpa jerawat ibarat langit polos mendung tak berbintang. Berarti tidak ada hujan, tidak ada yang membasahi bumi ini dengan air. Bagaimanapun langit tanpa mendung menggambarkan sebuah inspirasi akan karya-karyanya karena hujan biasanya disertai datangnya petir menyalak-nyalak galak, terkadang sedikit ganas. Sebagai sebuah petir yang datangnya dari langit tak ubahnya pemacu bagi langkahnya dalam berkarya. Akan halnya kepikiran dengan jerawatnya itu toh ia hanya menganggap musiman seperti datangnya musim hujan, mendung dan petir di langit. Jerawat disaat ada rasa mengalir dalam dirinya dan rasa itu terabaikan oleh sang kekasih tentu akan nonggol bintik-bintik jerawat, begitu pikirnya. Tidak hanya itu, hal sepele sekalipun mengenai hasrat tak tercapai oleh sesuatu yang namanya keinginan nan maha dahsyat pun dapat memunculkan pernik-pernik menarik di wajah. Perasaan yang sinkron dengan kulit yang paling sensitif. Aku mulanya beranggapan begitu. Temankupun berprasangka demikian.
Masalahnya jadi lain setelah beberapa lama jerawatnya bukannya berkurang, malah semakin menjadi-jadi. Kini mukanya penuh dengan bintik-bintik. Jerawat meronai mukanya yang dulunya halus dan penuh dengan penampilan yang mengundang rasa simpati sangat dalam. Muka yang diimpikan, yang merupakan pesona dari penampilannya, kini telah berubah menjadi momok yang sangat menakutkan. Sungguh sangat menakutkan bagi orang-orang yang melihat, terlebih lagi Neni. Ndak usah dikatakan lagi betapa takutnya Neni dan begitu ngerinya melihat mukanya. Sorot matanya tidak bisa menyembunyikan semua itu. Neni telah menjadi orang asing di dalam hidupnya. Hatinya bahkan mungkin siapa tahu akan bisa mendua karenanya. Kalaupun Neni bukan seorang pengkhianat, barangkali saja akan memutuskan begitu saja tali percintaan ini. Bah! Jerawat ini akan berubah menjadi momok yang sangat kronis bagi hubungan cintanya.
Memang Neni sudah berubah jadi mahluk lain dan tidak mengenal dirinya. Jangankan itu, berkomunikasipun Neni sekarang tidak mau, karena gadis itu tidak mau menatapnya sedikitpun. Dia jadi rendah diri, merasa diri jelek dan tiba-tiba saja kepercayaan pada diri menjadi lenyap. Pupus tak berbekas seperti goresan-goresan jerawat, seperti hilang imajinasi sekaligus seperti kehilangan buah pena berikut kalimat-kalimat yang akan dia tulis. Dia merasa menjadi mandul. Tidak mampu menghasilkan karya-karya yang bagus lagi. Jangankan karya seni yang bagus, berkarya saja dia sudah tak mampu lagi. Mood yang ditunggu-tunggu demikian angkuhnya, sertamerta perkara jerawat ini mampu membuatnya impotent. Dia merasa sudah seperti mati. Dia merasa tidak punya gairah lagi. Akupun merasa harus ikut memikirkan perkara jerawat temanku itu.
”Sudah kupakai segala macam obat yang kamu anjurkan,” ia meyakinkan, bahwa ia benar-benar telah memakai obat itu.
”Sudah rutin dipakai?”
”Sudah!”
”Rutin seperti yang dilakukan teman-teman yang memiliki jerawat yang sama? Perawatan rutin seperti yang dilakukan gadis-gadis. Artinya telaten, bangun tidur, akan tidur dan waktu...........”
“Sudah…….sudah. Alah, pokoknya sudah!”
Aku diam.
“Bahkan aku menambahkan dengan ramuan tradisionil. Jamu sari ayu kepunyaan ibupun kupakai. Cuci muka dengan air suam-suam kuku, setelahnya cuci muka dengan air mawar. Tapi tetap begini-begini saja,” ia mendesah kecewa. Mukanya benar-benar mengundang rasa kasihan bagi yang melihatnya.
”Bisa jadi karena seringnya ngeluyur. Terlalu banyak kena angin malam.”
”kamu percaya itu?”
Aku mengangguk.
”Tapi nyatanya seperti yang kulakukan belakangan ini, aku mulai banyak baca buku di kamar. Sekarang aku lebih senang menghabiskan waktu dengan membaca segala jenis buku. Semuanya aku lakukan di kamar, kecuali hanya pada waktu kuliah saja, aku keluar rumah.” Jawabnya keras, protes terhadap apa yang menjadi penilaianku terhadap kebiasaannya selama ini. Sepertinya dia merasa aku terlalu banyak mengatur dan mengawasinya. Dia merasa seperti dituduh telah melakukan atau berubah dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Itu karena jerawat yang kian subur nangkring di wajahnya.
”bahkan sekarang aku jadi pelanggan tetap salon untuk facial wajah. Katanya harus rutin dirawat seminggu sekali. Dan aku disarankan memakai jenis la – tulipe. Hebat kan? Orang seperti aku sudah doyan datang ke salon.”
Memang aku mengetahuinya. Mungkin saja tuduhanku terlalu ngawur dan asal ngomong saja. Tidak terlalu memikirkan perasaannya, bagaimana dia merasa terbebani dengan keadaan begitu. Memang nyatanya kini ia lebih banyak mendekam di kamar.Rak-rak kaset yang biasanya berdebu, kini jadi bersih. Ia habiskan waktunya di kamar dengan mendengarkan musik. Dan tidak perlu kaget memang kalau kebiasaannya menyanyi keras-keras semakin santer saja keluar menerobos pintu kamar. Kebiasaan lain semakin asyik dengan kegiatan lama dengan membaca-baca semua jenis buku. Buku-buku karya YB Mangunwijaya, karya Edgar Allan Poe, karya NH Dini. Bahkan novel-novel cerita anak yang ditulis ibu guru Enid Blyton pun dia lahap habis dalam beberapa seri tanpa jenuh, hanya agar betah bertahan di kamar demi sebuah ketakutan yang namanya jerawat.
”Yang pasti aku ndak mau membaca buku mengenai tata kecantikan wajah. Bosan! Itu semua terlalu banyak alternatip produk yang bersaing. Semuanya mengatakan nomor satu, tak peduli cuaca kota disini terhadap adaptasi kulit. Gombal kadang-kadang. Terlalu banyak teori.”
Yang jelas ia ingin jerawat tersapu bersih dari wajahnya. Urusan pacar nanti dulu dipikirkan.
”Pokoknya aku juga berhenti ngopi, berhenti begadang, jarang lagi merokok. Bila perlu kutulis jadwal kapan harus melakukan kebiasaan-kebiasaan itu tanpa harus mengganggu proses pengobatan yang memakan waktu dan sangat menjenuhkan ini. Lagipula nulispun aku mulai jarang. Akupun mulai mengurangi kehadiran pada pertemuan-pertemuan, segala bentuk saresehan baik itu yang berlangsung siang hari maupun malam hari. Aku telah memutuskan untuk tidak hadir sama sekali. Terserah sosialisasiku menjadi tumpul karenannya. Terserah! Ke rumah Nenipun aku mulai jarang, kurasa dia takut dan ngeri kalau ketemu aku. Aku merasakan itu. Kurasa diam-diam hubungan ini mungkin sudah berakhir begitu saja, tanpa dapat dihindari,” katanya jengkel dan sangat putus asa. Bayangkan saja kalau ia mendekatkan wajahnya pada Neni, Ia yakin kalau kekasihnya takut ketularan dengan jerawat di mukanya yang besar-besar. Sebesar bisul. Ini jerawat sialan. Ini sudah abses. Sudah dilanda wabah infeksi yang maha parah.
Aku meringis.
Kupandang satu persatu buku-buku yang berserakan, kaset-kaset yang berantakan, literatur yang berhamburan disana-sini. Bungkus-bungkus jamu sari ayu berjejer di sebelah botol-botol dan entah apa lagi dalam posisi sangat tidak beraturan. Kamar ini tak ubahnya seperti kapal pecah. Semua berantakan. Kupandang lekat-lekat wajah temanku. Jerawat bagai jamur dimusim hujan, tumbuh rata di pipinya, di sebelah kumisnya yang tipis, di dekat hidung, di dahi, di dagu, dimana-mana. Semuanya jerawatan.
Keesokan harinya aku sudah berada di kamar penampungan kekesalannya. Terkadang aku merasa geli melihatnya, terkesan hidupnya seperti terpasung. Memang belakangan ini aku jadi berpikir tentang dia. Aku jadi teringat ada sebuah obat oral, itupun informasi tidak begitu jelas dari salah seorang teman yang bekerja di bidang obat-obatan. Aku percaya karena formulanya dia yang merancang sebagai spesialis kulit. Kubeli sebotol karena ingat dia. Entah apa namanya. Kusodorkan padanya.
”Dengan butir tablet dan disertai cairan obat luar ini akan mendatangkan kembali keyakinanmu untuk hadir di segala aktifias, di setiap apresiasi yang diselenggarakan, pada setiap sudut-sudut pengembaraan bathin imajinasimu. Percayalah!”
”Pasti hilang?”
”Cobalah dulu. Tapi harus disiplin mengkonsumsinya. Jangan setengah-setengah. Jangan tanggung-tanggung. Tumbuhkan rasa percaya diri dalam pikiranmu bahwa ini semua akan menyembuhkan”
”Kau sengaja memberi sebuah keyakinan buatku? Atau kau hanya mendatangkan kegombalan untuk mengada-ada selanjutnya untuk mengata-ngatai, mengejek, menertawakan bahkan membelenggu diriku dalam ketidakyakinan atau kau......? ah, aku semakin tak mengerti.”
”Apapun alasannmu yang jelas keyakinan harus tetap ditumbuhkan, jangan terlalu mudah putus asa.”
Dia ragu sejenak. Memandang botol obat jerawat di tanganku. Ia rupanya sudah bosan dengan jerawat keparat di wajahnya. Jerawat yang membuat segala sesuatu jadi terhambat.
“Aku tidak tahu, apakah harus mempercayai, mencoba lagi dan terus berusaha meyakini apa yang engkau berikan?”
“Cobalah!” aku mendesak.
“Apakah ini sugesti ?”
“Sudahlah! Segala macam keraguan dan segala tetek bengek aturan-aturan yang mengungkung hanya akan menciptakan teori saja. Akan semakin jauh ditinggalkan oleh solusi yang kau harap-harap dengan kecemasan tak pasti! Sekarang kalau ini sebuah sugesti, berikan keyakinan pada dirimu sendiri. Terapkan dan pakai dengan sungguh-sungguh. Sugesti ini perlahan-lahan akan memberikan kesembuhan total!!.” Aku lebih menekankan sebuah semangat baru dalam kepasrahan yang melotot keluar dari kedua bola matanya.
Perlahan dia mengambil dengan berusaha menampilkan kesan wajah yang baru walau dipaksakan. Sejenak matanya berbinar bersama jerawat-jerawat segede bisul itu.

Pagutan, April 2011
(dari kumcer dadong inges penerbit pustaka ekspresi 2012)

PRANI

Kalau aku diberikan hak untuk menentukan pilihan maka aku lebih baik tidak memilih untuk kecewa, maka aku tidak akan memilih untuk sedih, maka aku tidak akan memilih untuk sakit, aku tidak akan memilih untuk benci, maka aku tidak akan memilih untuk susah dan akupun tidak akan memilih untuk menangis. Dan kalau dalam hidup tidak perlu ada cinta akupun tidak akan pernah belajar mengenal cinta, karena kata kekasihku waktu itu; demikian dekat jarak antara cinta dan benci, hanya terhalang seutas benang tipis yang sewaktu-waktu akan mudah putus, rengat dan menyakitkan. Dan kalau aku ada karena benih-benih cinta, kalau aku terlahir hanya karena benih-benih asmara kasih sayang maka aku tidak akan dihadapkan pada kekecewaan, maka aku akan mengutuk habis-habis cinta kasih sayang sebagai sebuah kebohongan besar dan aku pasti akan menyesalkan kelahiran ini. Dan pasti aku akan memaki orangtuaku kenapa mereka menanam benih benih cinta untuk melahirkanku.Dan akan betapa cengengnya kalau aku harus menderita karenanya. Itu tidak perlu terjadi.
“Cukup sekali saja aku menangis dan tidak akan ada tangisan lagi,” katanya tegar.
Aku tercenung, betapa tidak sempurnanya hidup ini. Aku harus siap menghadapi pilihan ini.”Aku hanya takut terlalu lama hidup bersamamu. Hidup ini terlalu banyak bohongnya,” seperti suara lirih yang menyuarakan kekecewaan.
“Dulu akupun berpikir demikian, betapa terikatnya sampai-sampai aku bertanya pada diriku sendiri pada suatu malam yang terlalu banyak menyisakan airmata, kenapa aku begitu sangat mencintaimu dan di saat kesakitan-kesakitan ini kau berikan padaku. Aku menangis dan bertanya; dimana hatiku kamu simpan, pada bagian sebelah mana?di lekukkan sebelah mana? Kalau memang ada kamu simpan, tolong kembalikan hatiku dan di malam-malam kesendirian dalam kesedihan itu aku memohon padaNya, Tuhan tolong kembalikan hatiku yang telah diambil, jangan berikan aku cinta, itu terlalu menyakitkan dalam keterikatanku dengannya,”
Aku tercenung mendengar kejujuran kata-katanya.
”Dan aku telah berhasil. doaku terkabul..............”
Berulang-ulang putaran lagu I Can’t Stop Loving You di kuping yang terdengar justru hanya suara sumbang lagu jeritan nada-nada cinta yang menyayat kalbu tentang perjalanan seorang wanita menanti kekasihnya dari medan perang yang telah lama terjerumus dalam ikatan cinta. Sebuah penantian dalam kelelahan perjanjian yang terikat oleh cincin pertunangan. Larut aku dibuat dalam nada-nada lagu itu. Seolah-olah mengisyaratkan sebuah pertentangan hati. Kamu tidak akan pernah sanggup untuk mengerti, kamu tidak akan pernah untuk berpaling sekejappun. Aku terperangah malu, seakan sebuah kebohongan yang terbaca, seakan sebuah rahasia yang berusaha untuk disembunyikan pada setiap lekuk-lekuk rangkaian kata per-kata catatan harian yang panjang dengan deretan kalimat-kalimat yang dibuat sedemikian indahnya namun dibalik semua itu ternyata hanyalah sebuah kamuflase bagi siapa saja yang sempat membaca catatan harianku. Eh, ini catatan pribadi, tak seorangpun boleh membaca. Kenapa kamu iseng membaca, padahal kamu suka ingin mengetahui isi hatiku yang aku tuang dalam catatanku? Kupikir jarang orang yang mau menyodorkan rahasia hatinya untuk diceritakan ataupun seperti sebuah perbuatan yang sangat bodoh untuk memperlihatkan catatan harian yang terlalu pribadi sekali sifatnya.
”Maksudnya doa itu sudah mampu melepaskan ikatan cinta diantara kita?” aku mengejar.
Dia mengangguk.
Tidak kudengar lagi alunan lagu itu di telinga sepertinya pendengaranku sudah mulai tertutup menikmati letak sendi-sendi pada sebuah keindahan irama lagu. Tidak kudengar lagi apa yang menjadi kekecewaannya dan mulai saat itu aku mulai belajar untuk memahami sikapnya yang selalu diam, tidak tersentuh pancingan untuk menimpali dialog. Aku tahu betul wataknya kalau dia sudah bersikap demikian. Aku merasa egois oleh sikap-sikap keangkuhannya, entah ini dibuat-buat, hanya untuk mengurangi beban yang ada di dalam dada. Tidak pernah kulihat dia berubah seperti ini. Apakah ini artinya dia tengah menanamkan benih-benih baru di rahimnya untuk mengawali sebuah perdebatan baru? Benih yang namanya sebuah kebencian tidak mendasar? Ataukah benih kasih sayang yang diam-diam dipendam dalam seribu dendam yang senantiasa tidak berkesudahan? Akhirnya berharap sebagai sebuah lahirnya karma yang baru?
”Hush! Anak kecil ndak usah mendengarkan pembicaraan orang dewasa,” dia melambaikan tangan ke arah pintu yang sedikit terbuka. Sosok bayangan kecil terlihat menjauh dalam langkah kaki yang lapat-lapat terdengar melemah. Langkah kanak-kanak yang demikian ringan tertangkap telinga. Keponakanku yang nomor dua memang selalu demikian. Tidak pernah tenang mendengar suara bisikan-bisikan bersahutan yang muncul dari orang dewasa dengan aksen sedikit kadang kadang tegas tak mau dibantah. Dia mewarisi sifat ibunya yang selalu ingin tahu urusan orang ataupun urusan pamannya, apalagi sesuatu pertengkaran yang pernah demikian hebat terjadi pada adik iparku. Aku mendehem halus, semakin membuat pintu itu tidak tersentuh bayangan. Aku tahu keempat orang ponakanku lagi asyik membuat kesibukan yang tak begitu berarti di ruang tengah.
”Apa warna yang bagus untuk batang pohonnya?” Keponakanku yang paling kecil nyelonong masuk kamar sambil menyodorkan buku gambarnya.
”Pakai warna coklat agak tua, sayang.” Aku menjawab sambil memperhatikan gambar yang sedang dia tunjukkan ke arah ibunya. Sebuah gambar pemandangan berlatar belakang gunung dengan hamparan sawah dan danau.
“Yang mana warna coklat?”
Kalau sudah demikian biasanya adikku akan menggendong menuju ruang tengah dan membimbing disertai dongeng-dongeng menarik. Tetangga rumah sebelah kami seorang janda dengan aksen khas bataknya. Sudah terlalu lama merantau. Dan biasanya adikku manakala mendongeng di hadapan empat anak-anak selalu disertai aksen khas bataknya sehingga membuat mereka pada ketawa terpingkal-pingkal. Anak-anak menyukai gaya bercerita ibunya.
”Lagi ma...lagi mendongeng,” anak-anak mulai mengerubungi ibunya. Ketahuan sudah kecolongan dengan gaya menarik dari pertengkaran itu untuk dibuat istirahat sejenak dengan memancing anak yang paling kecil untuk menggiring ibunya keluar kamar. Mereka membentuk sebuah lingkaran dengan masing-masing menelungkupkan badan dan serempak dengan kedua tangan berpangku pada dagu sebelah kanan dan kiri.
Sejenak tiada perdebatan.
Terlihat yang paling manja selalu yang terkecil dengan menarik-narik tangan ibunya sembari menyodorkan buku gambar.
“Hush, adik. Kita dengar mama mendongeng dulu ya. Tuh ma, tentang sang kancil dan buaya....”
“Nggak. Nenek lampir aja ma!” yang lain menyerukan dengan mengangkat nakal kakinya ke atas badan kakaknya.
Demikian terus terdengar gelak canda anak-anak. Rumah yang riuh suara-suara membahagiakan. Ada yang menyanyi-nyanyi kecil. Ada yang merengek-rengek diselingi suara bentakan kecil salah satu kakaknya yang merasa dewasa.
Rumah yang sederhana.
”Entah benih ini milik siapa? Kenapa begitu kerasan berada dalam rahimku? Ataukah dia tengah meminjam rahimku untuk sementara waktu agar dapat berdalih ketika pada saatnya harus lahir nanti?” katanya beberapa hari kemudian. Wajahnya penuh ketakmengertian yang dalam. Penuh ketakberdayaan yang terasa semakin mempertebal bentuk kulitnya.
”Engkau mengadung benih yang salah,” kataku spontan.
”Mungkin.” jawabnya ringan tanpa beban.
”Benih yang bernama sebuah kebencian...”
”Dan benih kecelakaan!” lebih ringan ia menjawab, lebih-lebih tanpa beban.
”khilaf yang mengada-ada”
”Tapi bukan karena terpaksa!” ia sedikit sewot setengah melotot
”Iya, berwujud darah dendam yang membara. Suatu ketika kalau lahir, ia akan menjadi gumpalan-gumpalan darah yang tak wajar.”
”Harus bagaimana lagi?”
”Engkau tak patut mengandung bibit karma yang tak jelas dalam rahimmu.”
Ia mengangguk-angguk. Diam sesaat. Seperti melihat ratusan korawa lahir dari ketakberdayaan drestarata.
”Aku tidak pernah ada keinginan untuk menghakimi takdir. Aku tak pernah menyesali segala sesuatu yang pernah terjadi antara kita. Namun setiap dosa yang kita yakini dan jelas-jelas kita lakukan bersama sepertinya kita tidak ingin ada karma turut andil dalam setiap kekhilafan yang kita lakukan.”
Aku terhenyak. Aku merasa benar-benar telah berada dalam lingkaran dosa. Aku merasa seperti ada yang diam-diam mengharapkan semua itu terjadi. Perbuatanku atas dorongan kemaksiatan setan telah mengubah jalan hidupku. Diam-diam seperti ada yang menguping dengar pembicaraan itu. Aku gemetar. Badanku penuh bulir-bulir yang bergulir berebutan diantara rongga pembuluh kulit terluar. Mengelupas menjadi darah. Darah yang menyudutkan pikiranku. Aku merasa ketakutan-ketakutan ini semakin nyata. Ketakutan-ketakutan ini terasa tak wajar. Ketakutan yang membentuk logika terbungkus kecemasan-kecemasan akan tuntutan karma nyata.
”Engkaulah yang paling bertanggung jawab terhadap semua kejadian yang telah menimpa diriku. Kalau dalam sidang di pengadilan nanti ada pengusutan lebih lanjut, maka engkaulah yang paling merasa punya beban, kendati engkau nanti bisa menutupi dosa-dosa yang telah terjadi tanpa dia mengetahui apa sesungguhnya yang telah terjadi. Kendati engkau bohongi dia secara terus menerus, kendati engkau bohongi semua keluargamu, semua saudara-saudaramu,semua tetangga dan para teman-teman dekatmu. Kamu bisa berbohong terhadap hakim, terhadap jaksa yang menuntutmu nanti. Tapi engkau tidak mampu membohongi nuranimu sendiri. Kamu tak akan pernah mampu membohongi Tuhanmu sendiri, pada siapa sejak kecil engkau telah diperkenalkan moralitas, dogma-dogma beragama yang benar.” katanya.
Aku gemetar.
”Seandainya dia tahu...........”
Aku semakin gemetar

Narmada,Maret 2011

(dari kumcer dadong inges penerbit pustaka ekspresi 2012)

Rabu, 28 Desember 2011

HAMIL

Terkadang sulit dipercaya memang di dunia ini, di jaman yang dikatakan sudah modern, dijaman tehnologi sudah merajai dunia dan hampir menguasai sebagian besar kehidupan manusia, ternyata masih ada orang yang punya sifat iri. Begitu merasa seolah aku ini memiliki suatu kelebihan di matanya yang mendatangkan kecemburuan? Entah! Pontang panting dengan napas sisa satu satu dalam menjalankan usaha terkadang melawan dan menepis rasa letih itu sendiri. Toko tempatku menjalankan usaha yang terbilang ramai dan hampir tak pernah sepi pengunjung, barangkali tolok ukur sebuah keberhasilan sebuah usaha, apakah itu yang ada dalam pandangannya? Apakah sih yang ada dalam pikirannya? Dan sebenarnya akupun tidak terlalu percaya dengan apa yang dikatakan orang yang memiliki kelebihan mampu jauh menembus batas pikir seseorang. Bukannya menyepelekan kemampuannya, namun apa yang dikatakan sepertinya nyaris membuatku marah dan menyepelekan kekuatan staminaku, sampai akhirnya aku menyerah dan berkata: “ memang barangkali tubuh ini sudah terlampau capek ya, bli,”
Suamiku menatap dan memandang jauh. Tidak ada satupun yang diyakini sebagai sebuah keluhan. Tidak ada satupun matanya mengisyaratkan suatu kelemahan sebagai manusia yang takluk, namun akhirnya mengangguk saja. Membenarkan kata kata istrinya dan menyarankan sesuatu.
“Cobalah kita tuntaskan dulu secara medis sebelum melangkah jauh. Jangan terlalu terpaku pada mimpi itu,” katanya sembari menghiburku dan mengajak ke dokter. Jenis obat maag yang mengandung Aluminium magnesium gel kering dengan kombinasi simetikon dalam sediaan berupa syrup aku tenggak hampir sehari tiga kali berturtut turut menandakan rasa lambung yang demikian penuh dengan angin. Lambung bertukak. Sengaja memang aku meminta jenis syrup karena semasa masih gadis dulu aku memang tidak pernah doyan dengan yang namanya mengkonsumsi obat. Jarang tahu yang namanya dokter. Kalau meriang sedikit cukup dengan pemijatan mbah Darno sedikit saja, maka lega lila rasa tubuh ini. Menurutku, segala jenis penyakit yang menyerang tubuh sesungguhnya hanya bermula dari angin. Angin itu jahat. Aku menganggap kalau tiba tiba saja kepala menjadi pusing, maka itulah angin dalam kepala yang harus dikeluarkan, dan dengan sedikit urutan maka keluarlah angin itu lewat mulut yang secara tak bisa ditahan bersendawa, maka kepalaku akan ringan seperti sedia kala. Jadi aku tidak perlu mengkonsumsi segala jenis obat sakit kepala. Bukan hanya dari masa remaja saja, bahkan dari kecilpun ibuku membiasakan pemijatan pada bagian bagian tubuh, makanya aku jarang terkena penyakit. Kalau aku menelan yang namanya tablet maka aku mesti atur napas dulu, terkadang yang terasa tertelan termuntahkan begitu saja, meski telah didorong dengan air minum. Tubuhku memang unik, jenis obat-obatan apapun jarang masuk ke dalam tubuh, dan itu artinya aku memang jarang sakit. Bahkan boleh dikatakan tidak pernah sakit. Nah, ketika perut ini tiba tiba seperti merasa melilit, kuanggap itupun hanya sekadar angin nakal yang lewat. Cukup di dorong dengan minum air hangat segelas besar hingga habis, dahi berkeringat, bersendawa sedikit, maka kurasakan biasanya….ya, biasanya perut mulai terasa nyaman.
Tapi kali ini tidak, ketika tiba tiba saja tanpa mampu kutahan seluruh isi perut tumpah ruah dihadapan pelanggan yang sedang aku tangani rambutnya, maka ini merupakan sebuah bencana yang pertama kali dalam hidupku. Padahal tadi pagi biasa biasa saja, bahkan masih sempat bernyanyi-nyanyi kecil ketika merapikan semua peralatan rias, membersihkan lantai sembari melenggang santai mengkuti irama music.
Pelangganku terkaget-kaget. Barangkali karena ia seorang perawat kesehatan, sudah menjadi terbiasa melihat kejadian itu.
“Mungkin lagi masuk angin saja, mbak,” katanya menatapku dari balik cermin rias yang tertempel di dinding.
“Iya, maaf…” dan hueeeekkkkk, lagi-lagi sebagian dari isi perut yang masih tersisa keluar dengan leluasa memenuhi lantai. Anakku yang sedang menemani aku sedari tadi dengan sigap mengambil beberapa lembar koran bekas untuk menutup muntahan yang tercecer di lantai. Mengambil beberapa lembar lagi hingga muntahan itu benar-benar tak terlihat.
Pandanganku jadi berkunang-kunang. Sebenarnya ketika pelanggan terakhir datang untuk rebonding dan sedikit penyatokan di kepala sudah aku sarankan untuk datang besok pagi. Terlalu malam selesainya untuk mengerjakan pekerjaan yang rata-rata memakan waktu sekitar 3 hingga 4 jam ini. Bukan berarti aku menolak kedatangan seseorang yang telah jauh-jauh hari mungkin sudah mempersiapkan diri untuk sebuah perawatan kecantikan. Bukan juga aku ingin menolak rejeki yang datang. Setelah obat kedua masuk di rambutnya dan sedikit penyatokan lagi akan merampungkan kerjaan kalau tidak dihabisi dengan rasa sakit yang mendadak. Perut terasa nyeri. Dokter yang kebetulan prakteknya bersebelahan dengan dengan tempat usahaku tergopoh gopoh datang memberikan pertolongan. Sebuah suntikan mampir di lengan. Kemudian secara perlahan ingatan menurun, namun masih mampu mendengar suara-suara di sekitarku yang membantu. Anakku yang paling kecil menelpon kakaknya yang sedang menghadiri acara ulang tahun temannya di daerah gebang. Dan ini juga salah satu letak keberhasilanku dalam mengajarkan anak-anak, ketika masih sekolah SMP sudah aku ajarkan belajar menyetir mobil, seperti situasi sekarang inilah, betapa berartinya dia ketika memapahku ke dalam kendaraan dan dengan ketenangan penuh ia menyetir mobil itu hingga sampai di rumah.
“Ibu pasti telat maem,” katanya seperti biasa, suaranya ketus tidak dibuat-buat. Terkadang disertai omelan. “Itulah kalau ibu lagi sibuk, selaluuuuu saja menunda perut untuk harus diisi. “
“Iya…” aku hanya mampu menyahut lemah.
“Makanya inget maem!” suara itu demikian keras terdengar di kuping. Suara anak kecil dalam kecemasan melihat keadaan ibunya dalam keadaan demikian., sehingga ada sedikit rasa bangga sebagai seorang ibu mendengar celoteh kecemasan anak, sosok yang dulunya berada dalam rangkulanku, sosok yang dulunya kecil yang selalu aku jaga dalam kecintaan dan ketulusan yang kini telah berubah menjadi demikian dewasanya menasihati ibunya. Kupikir dengan sepotong kue dan segelas teh panas barangkali akan mampu untuk menahan rasa lapar hingga siang tadi. Ternyata tidak. Tubuh ini memang punya batas kekuatan dan kini sepertinya menunjukkan kelemahannya.
Aku terlentang menatap langit-langit kamar. Menerawang dalam berbagai perasaan yang aneh. Dan mimpi itu, mimpi di siang hari di saat berat mata ini menahan kantuk entah seperti merupakan titipan pratanda akan terjadi sesuatu.Ya, itulah yang menyebabkan hingga cairan bening kumuntahkan disaat-saat sedang sibuknya melakukan pekerjaan rutin.
“Jangan terlalu terbawa-bawa soal mimpi itu,” suamiku mengingatkan.
“Tapi, bli, benar-benar mimpi aneh yang saya alami,”
“Iya coba dulu minum obatnya. Itu perutmu yang lagi kosong dari pagi belum kena apa-apa,”
“Aku bermimpi kebelet pipis dan masuk ke kamar mandi. Sungguh aneh, entah darimana datangnya begitu banyak kecoak memenuhi kamar mandi. Saking banyaknya sampai-sampai lantai kamar mandi berubah menjadi warna coklat yang bergerak-gerak. Memenuhi bak mandi, mengerubungi jamban. Aku berinjit-injit berusaha melangkah untuk menghindar. Mungkin saking banyaknya kecoak hingga sebagian ada yang mengeluarkan lender-lendir yang uuhh, menjijikan. Pikirku juga ruangan itu menjadi sangat pengap karenanya. Seolah begitu susahnya menghirup oksigen. Ketika aku dalam posisi jongkok, aku berusaha untuk menghindari jangan sampai kecoak-kecoak itu memasuki kemaluanku. Sebagian dari padanya bahkan sudah ada yang merayap di kedua kaki dan sebagian kecil ada yang merayap ke tangan. Aku berusaha mengambil centong untuk membersihkan. Namun centong itupun dipenuhi kecoak. Bergegas aku keluar kamar mandi karena napasku terasa sesak. Sepertinya dalam ruangan yang sempit itu aku berebutan oksigen dengan kecoak-kecoak yang demikian banyaknya . Aku rasakan udara yang bebas dan merasa lega berada di luar. Sungguh aneh…”
Suamiku diam mematung, bola matanya menatap dengan menampilkan wajah setengah percaya mendengar ceritaku itu.
Dan itulah yang terjadi ketika beberapa harinya aku mendadak muntah.
“Iya, walaupun itu merupakan petunjuk, tapi pikiran jangan dibawa kesana dulu,” suamiku menasihati, walau sedikit serius mendengarkan cerita tentang mimpi itu.
Selama tiga hari penuh aku istirahat total, tidak diijinkan untuk buka toko dulu semasih dalam kondisi belum sehat benar. Karena aku mulai merasakan mual yang tiba-tiba. Apakah karena gangguan lambung? Aku disarankan mengatur makanan. Menurutnya karena kondisi perut sudah dalam keadaan sakit. Ketika hari ke empat aku mulai lagi buka toko, lagi lagi aku muntah. Dan rasa mual itu memang tidak pernah berhenti. Munculnya setiap jam 9 pagi.
“Mimpi itu…”
“Aahhh, sudahlah!” suamiku menepis.
“Tapi……”
Suamiku melengos seperti tidak mau mendengar penjelasanku lebih lanjut. Benar-benar aneh.
“Kita tanya dukun..”
“Ah, jangan percaya itu..”
“Iseng saja, siapa tahu penyakitku ini ada hubungannya dengan mimpi mimpi itu.”
“Minum saja dulu obatnya”
“Tapi kenapa tidak sembuh? Malah mual-mual terus?”
“Ya, itu kan karena dinding lambungmu sudah luka.”
“Tapi kenapa rasa mual itu angin-anginan datangnya?”
“Sudahlah. Selesaikan dulu minum obatnya. Satu-satu dulu kita tuntaskan. Kalau belum sembuh, nanti kita cari alternatif lain,”
Aku mengiyakan, bisa saja kalau sudah habis jangka waktunya mengkonsumsi obat maag ini belum sembuh juga, maka bisa juga cari pengobatan secara alternatif. Pengobatan secara tradisional, misalnya. Namun beberapa hari setelah aku kembali ke aktifitas rutin, seperti biasa rasa mual itu tidak pernah hilang. Sehari bisa muncul dua kali. Pagi sekitar jam 9 dan sore hari menjelang mahgrib. Aneh!. Padahal sebagaimana penyakit yang pernah juga dialami suamiku, aku membuat racikan tradisional dengan memarut induk kunyit yang diperas dengan air hangat dan airnya di campur dengan sedikit madu dan gula batu, katanya obat ini mampu untuk menyembuhkan luka dalam seperti rasa sakit di lambung. Hanya beberapa minggu saja bisa sembuh. Tapi rasa mual itu seperti biasa tetap datang dan pergi semaunya. Seolah mengintip kegiatanku di tempat usaha.
“Jangan-jangan mbak lagi hamil,” kata seorang pelanggan yang datang mengantarkan istrinya untuk facial.
“Ah, masak sudah setua ini mesti hamil lagi.” Aku tersenyum tipis. Tapi nggak apa-apa juga kan kalau memang benar-benar hamil. Toh aku punya suami. Suamiku yang berbuat. Bukan siapa-siapa. Lain ceritanya kalau hamil tanpa suami. Itu baru aneh, demikian aku sempat berseloroh menimpali ucapan pelanggan tersebut. Tapi, masak sih harus hamil? Teringat ketika mengandung anak paling kecil. Pada saat persalinan demikian sakitnya. Kesakitan yang paling hebat aku rasakan dibandingkan dengan melahirkan kakak-kakaknya. Sehingga yang ada dalam pikiran pada waktu itu: “ hanya kali ini saja untuk yang terakhir kalinya aku melahirkan. Setelahnya tak akan mau lagi”, sebab rasa sakit itu seolah masih terasa hingga kini. Tidak! Aku tidak mau hamil lagi, walau ini memang terjadi tapi aku tidak mau itu terjadi. Semoga rasa mual ini ada kaitannya dengan lambungku yang memang benar-benar bertukak. Lambung yang sudah rusak akibat terlalu banyak menggiling angin ketimbang makanan. Itu artinya sama dengan nasihat suami dan anak-anakku, bagaimanapun sibuknya, perut harus tetap diisi. Ingat makan, itu kata anakku yang paling bengis mengingatkan. Sudah terlatih untuk mengatur jadwal makan, tapi kok masih tetap merasakan mual-mual juga. Semacam perasaan ingin muntah yang tertahan. Namun lama-lama akhirnya aku seperti ragu juga. Jangan jangan aku sedang hamil. Benar-benar hamil.
“Ah, masak sih?” aku setengah tak percaya.
“Kenapa lagi?”
“Masak sih aku hamil,bli?”
“Ah, ndak mungkin. Masak pake alat kontrasepsi bisa hamil. Ndak mungkin!” sahut suamiku cepat sambil memonyong-monyongkan mulutnya. Lucu terlihat.
“Ada pelanggan mengatakan kalau orang pake alat KB pun bisa hamil. Kata dia alat kontrasepsinya malah bisa nempel di kepala bayi, keluar begitu saja pada saat partus. Lagipula alat KB yang terpasang ini kan sudah hampir 10 tahun lebih. Hanya pernah control sekali saja. Tapi, ah, aku tidak mau hamil lagi bli. Melahirkan anak yang terakhir itu saja sudah hampir 10 tahun yang lalu, namun rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Nggak ah, aku nggak mau hamil.”
“Kalau nggak mau, ya nggak usahlah,” suamiku menjawab kalem.
“Trus gimana dong ini?”
“Iya kalau sakit… iya diobati dan itu perlu proses, nanti kalau sudah ada sedikit perubahan apalagi yang namanya gangguan lambung, iya perhatikan dulu makannya. Jangan makan ngawur dan sembarang saja apa yang mau dimakan, seperti ketika masih sehat. Kondisimu beda dengan sebelum terkena penyakit ini. Jadwal makannya juga diatur, jangan suka telat makan…”
“Kurangi ngopi…kurangi merokok, jangan suka begadang, kurangi ngeteh, jangan suka nongkrong sembarangan, kurangi jajan sembarangan di luar yang tidak sehat, kurangi….”
“Lho…lho, dikasi tahu, malah….”
“Sudahlah, bli. Pokoknya gini aja, belikan aku test kehamilan sekarang, biar aku yakin!”
“Sekarang??”
“Iya, sekarang juga”
Suamiku garuk garuk kepala.
“Lho, tunggu apa lagi??”
“Sekarang???”
“Iya..iya..sekarang…..!! Sekarang!!!”
Suamiku kembali garuk-garuk kepala.

Lereng Pengsong, 15 nop 2011
(dari kumcer dadong inges penerbit pustaka ekspresi)

NANANG

A tenga kenehné Nyoman ngoyot és kuwud di warung bucun umahné, bibihné munjung nengil. És ento tusing ngaé seger kolonganné, buka cara ibi, campah karasa! Bayuné inguh. Uyang paling kenehné, angen? Ngulangunin nyén, Néni? Badah, sai suba matemu. Bes sabilang wai tepuk masé ngaé wadih.
Ipian ibi peteng ngaé bayunné inguh. Lamun ngipi menék sepéda, menék bis ramé-ramé, negakin montor wiadin ngipi masiat, apabuin ngipi menék kapal terbang. Ento artiné suba ngawitin idup matantang baan nyalanang wisésa. Masiat di peteng buka anaké ngorahang “nyabuk”, kawisésan marupa bebadong, rikala mesiat ngarepin musuh, bebadongé dogén ané sinah luas makeber. Kéto raos anak tua pidan. Anak tua ané ngorang saja-saja ririh. Nanging ento ipian reramané Nyoman. Nanangné taén nutur, ia satmaka siap aduan.
“Siap aduan?” Nyoman sada tusing precaya ningeh satuan nanangné. Éngkén buka raga suba lekad lebian paripurna kabanding buron ngudiang buin nglekas dadi siap. Siap aduan koné buin. Nyoman ngancan sing ngerti.
Nyoman inget satuan nanangné taén masiat cara tradisi kulawarga para panglingsirné ané suba magaris turun-temurun. Lantas nganggo “gagemet”, cara kesaktian ané orahanga pekakné sukat ia menék teruna. Suba anggapa kelih bisa nampi munyi cara anak kelih.
“Ené jani aba,” pekakné ngwangsitin.
“Anggon gena né, kak? Jani tusing enu jamanné anak masiat. Apa buin nganggo kakéné!” Nyoman nyampahin yadiapin makita nampi. Nampi ulian ningalin barang tawah-tawah kéto. Jaman jani satata ané gentayangan buka démontrasi, dija-dija ké, di rurungé, di aep gedung DPR. Denyut nadi rurungé bek anaké pada majéjér ngundukang “ketidakadilan” nyerit-nyerit metoh ulian démontrasi, cerik-ceriké ané démo masé milu polos pangus ulian nasi abungkus. Ené maadan perang ékonomi puru isin gumi nganti ka tengahin guminé, perang ékonomi di sajaba keneh puru pisaga, ento ané daat kabinawa. Béh ené jani lakar anggo gena bebadongé? Nyoman momot. Tusing ngerti.
“Jaman jani anaké nglawan baan belog lan sasarané generasi muda kawujudang baan pendidikan, merangin narkoba, racun gumi teruna-teruniné. Jamané jani jaman nglawan korupsi, kak,” Nyoman nuturin pekakné cara anak cetu. Cenik tua.
“Ené sajan jelema belog! Mapi-mapi ririh, cai!” pekakné nengkik, munyiné keras madingehan. Matané nelik cara matan barong, gidatné malipet cara buntelan kain gringsut. Sambil ngedeng-ngdeng jénggotné. Liman pekaké suba sada kisut nyisaang siteng uatné dugas teruna pidan. Muani tulén tedas enu sinah dugasé pekak nyalanang teruna siteng magueng.
Nyoman tangkejut, tumbén jani ngrasaang beeng ulian pedih nak lingsir ané kaukin I Pekak.
Pekak mula saja sajan kekeh, bikasné meuat kawat mebalung besi kéwala kolongané masé buka kawat. Kenyat! ia taén ningeh satua nanangné. Lamun pekakné sujatiné bisa makeber, nambung tegeh dadi api di duur punyah nyuhé, nyidang ngrérénin ujan ané bales misi makrébékan. Manyama ajak kilap, nganti nyidang nekaang ujan. Bisa nglekas dadi apa gén, lan bisa masé ngilang. Karana ento anaké di désa nawang lamun pekakné seken-seken jelema aéng. Kabinawa. Wisésa. Takutiné ajak musuh-musuhné. Ané ngenah tur ané sing ngenah. Bisa maya-maya. Kéwala tidong mayadanawa! Péh, kedék ka tundun Nyoman. Mekita ngrikik, nanging enu masé ngelah tatakrama. Sing dadi ngedékin anak tua, apabuin ento pekak padidi. Nyén nawang seken-seken satuan nanangné ento.
Nyoman ngelah dadong papat ané suba lingsir nanging enu masé nyunarang sisan-sisan jegegné dugasé bajang pidan, ento artiné pekakné dugasé teruna pidan nak sajan-sajan mula bagus. Saking bagusné buka patpat nak luh nyelepeteg di aepné. Mirib ulian kawisésan ané gelahang i pekak. Tendasné Nyoman masé ngerasa ibané mesiib pekak bedik, apabuin Nyoman mamémé tuah aukud. Asanang nanangné sing nyak milunin bikas pekakné, ané demen ngelua. Nanging, nden malu, mimih, eda-eda nyanan bisa ibané ané lakar liu ngelah somah, sasubané ngwarisin kesaktian ento. Nanging joh di kenehné ané seken-seken sajan, Nyoman ngelidin bikas buka kéto. Tolih ja makejang dadongné. Makejang nyényé. Désané lakar uyut baan munyi anak lingsir nyényé. Ngéngkén lamun mani Nyoman ngebekin isin umahné baan Néni-Néni lénan? Béh, lakar bisa cara peken dadiné isin baléné. Nyoman sangsaya. Kitak-kituk. Nget jeg bagus gati pekakné teruna pidan nganti patpat ngelah kurenan. Mula ké i pekak madasar play boy, apa masé krana nyalanang bebadong maranén aji pangegér?
“Krana tusing ada perang setata cai anggo nyagaang déwék!!”
Nyoman ngancan tangkejut, enu pedih pekakné.
“Mimih?!” Nyoman ngancan ketug-ketug bayuné.
“Wé, Nyoman belog! Di jaman perang pidan ané nglawan musuh-musuh, ané jaga nyagaang gumi lan ngajiang déwék buka jelema biasa. Musuhé ento tedas ngenah lan i raga mesiat ngadokang wanén. Jani mesiatné nganggo cara lén. Makejangan dadi musuh tur ngelah daya patuh, kéwala muané polos kadirasa akur matimpal. Ené ané seken-seken daat kabanding masiat ané seken-seken masiat. Krana senjatané mapas angin. Tusing ngarasaang apa-apa dapetang buin mani ngutah getih, lantas matane nelik lan basangné kekeh, panyuudné nyerit lantas ngasén!”
Nyoman tusing ngerti ngenehang munyin pekakné, nanging ngaé jejeh ati.
“Tampi lan aba amanat kulawerga ené!” magumana pekakné ngraos.
Nyoman nampi buntilan kain mawarna putih kekuning-kuningan sada burem lan kumel saking makelo tusing taén maumbah. Mirib mula tusing dadi kena yéh lan sabun. Rikala buntilan kabukak tangkahné gedur-gedur, ngéndah isiné. Misi pipis merajah. Misi batu-batuan mawarna magenep. Apa kadén buin isiné.
Ujug-ujug Nyoman inget pidan dugas taén ngateh timpalné luas ngalih aji pangegér krana timpalné Ketut Lungsur makeneh ajak luh jegég timpal sekelasné. Lantas balian pangegér ento ngemaang buntilan misi pipis logam mirib cara ané baanga pekakné jani. Ketut Lungsur kadirasa Rejuna matemu dedari kagelut smara nganti ngelah panak. Tedas pesan pipisé ento meranén.
Nyoman kenyem-kenyem inget timpalné. Kerasa ginik padidi. Katlektekin buin cepok isin buntelan ento, ada keris bawak meluk lima, ada batu-batu lan apa kadén buin isiné. Mirib ené ané ngranang pekakné ngindang makeber peteng. Apija makeber boya madamar, nak galang koné sinah makejang isin guminé. Seken kabinawa!
“Apa kerisé ené ngidang ngaé tiang dadi sarjana ané dueg ngakit kapal terbang buka pagaén pak Habibi?” Nyoman ngenehang sambilanga ngusud perabot kuna ento.
“Ngudiang sing?” munyin pekakné dingeh ngrébék di kupingné Nyoman, cara nawang apa ada di kenehné Nyoman.
Nadak peluh matah ngetél neréstés uli awakné. Bayuné ngetor nyajang pesu gerapné. Apa seken ané taén dingeh uli satuan anaké di désa, apabuin satuan nanangné, sujatiné pekakné wisésa seken-seken kabinawa. Asané téknologi canggih cara janiné kondén nyidang ngadétéksi apa ané ada di keneh anak. Bisa mamaca keneh anak lén. Cutetné sesuban ngabuktiang raos pekakné ento, Nyoman sing nyidang buin makelid. Kabukti sujati pekakné mula saja-saja wisésa. Ento suba kabuktiang padidi.
“Sedek cai suba maadan sarjana kasub lan suba langkung maan jabatan ané melah, lakarang cai matemu modél pesiatan ané garjita. Pesiatan sing tan baatné anéh lan sai tepukin tusing adung ané madan mesiat. Senjata-senjata tawah nyelesek ka awak, kema-mai buka batu météor cerik ané belah-belah. Nyak dadi cundang cai? Wiadin awak cainé kena peluru cai kal tusing tawang uli dija kadén tekané?” pekak matakon sambilanga nyeledét Nyoman.
Nyoman ngikis sing suud-suud ngetor. Saja ada kéto? Nyoman sing nawang.
“Ento artiné lamun tiang ngaba perabot tenénan lakarang dadi teruna sakti aa kak?”
Pekak anggut-anggut sambilanga ngusud janggutné.
Nyoman buin nletekang és kuwud di arepné. Ngancan mulisah boya ja ulian Néni. Gagélane i Néni cundekné kapineh melah. Ipiané ibi sanja buka nak nadi. Pekakasné buka maurip, kadirasa siap aduan ané sedeng ngincer baong musuhné nganti endas musuhné ento selegek-selegek. Angkihané baat. Tuah nebek acepokan sajan “tajiné” ané kagambar baan lawatan keris mangan, musuhné ngasén tur getih anyar ngetél makembengan di natah pedésan. Nyoman kerasa gemes pesan nebek musuhné, ”musuh cangé suba bangka!” nyerit ia nglekas siap ngruyuk merkak merasa prewira.
Nuju endag surya, nyisir di galang kangin pedésan, dapetang tepuk makejang nyama braya pada sigsigan ngeling. Awak nanangné kekeh nengkayak di balé gedé pangelingina tekén méméné, adi-adi makejang, beliné, lan nyama ané lénan, ada masé nyama ulian nanangé tur nyén kadén buin bakat tingalin. Makejang sebet. Nyoman ngerasa nyesel ring déwék! Apa taji ané magambar marupa kadutan ané bakat aud tur kaentungang sing suud-suud suba mragatang atman nanangné? Apa pelih sasaran buka pinutur pekakné sekadi ‘peluru nyasar’ ané nebekin sabilang musuh ané ngentas? Petengé bas dedet. Tusing mengkeb malawat denges. Dedet ané sing nyidang ningalin encen koné timpal. Encen koné musuh.
“Nanang cainé dadi cundang, ping kudang-kudang. Nanging jani lacur tepuk nganti ngaud uripné,” buin munyin pekakné padingeh.
“Pantesné pekak nedunang aji-ajian lan pusakané ento ring i bapa,” Nyoman ngentungang sesel sing kodag-kodag.
“Nanang cainé tusing nyak nampi dadi “tameng” cara kaprawiran panglingsir i raga, pragat iteh ngitungang perabot marupa obéng, engkol, kunci tang, palu, pacul tur ané lénan anggon geginané idup,” nutur i pekak.
Nyoman mamung ulian precaya kén tusing. Kéweh ngenehang logika ané sing tedas buka lintihan anaké lingsir ané nyihnayang jelema lan sentanané dadi buka lintihan kasusun simetris buka diagram ané mabesikan dadi prebikas marupa krédépan aéng, sajan sajan aéng di alam modérn ané matuladan ring kasujatian idupé, madasar obsérvasi-obsérvasi ané Nyoman itunganga sewai-wai, tiban-tibanan anggo nglawan arus ané kuna cara unduk satuan pekakne ené. Sing cocok tekéning kenehné. Ené maadan satua modél-modél. Sing mabesikan. Sing nyak adung tekén satua jaman jani. Nanging Nyoman sing nyidang ngorahang apa? Lamun tedasang pesan nasib jelema suba titah pejalané. Tuah Widhiné ané nawang buin pidan raga mati boya ja dadi tawah. Tusing dadi matanggeh ulian sekancan perabot “gegemet” marupa pipis logam, aji-ajian, lan kadutan muah ané lénan. Widhiné tusing ngitungang jalan négosiasi. Urip ulian nyilih. Tur ané Nyoman seken-seken tawang dugas luas ngechék ka rumah sakit, data-data ané munggah di medical record rumah sakité diagnosané suba tedas gati. Sajan-sajan tedas. Nanangné kena leukemia ané sada madurgama.
Nyoman jengah. Peteng-peteng rikala bulan mati lantas kutanga joh ka tengahin segara buntilan mawarna putih kakuning-kuningan lan kumel ulian sing taén maumbah. Apang yéh pasihé acepokan ngedasang, sambil ngemigmig ia. Yéning mani buka pangraos pekakné yadiapin ia nyalanang idup suba madan suksés tur ngelah jabatan melah di kantor, serahang ring Widhiné dogén, apang élah. Praktis, tusing mikir boya-boya. Nyaké siap aduan, kuluk mapalu, macan saling tregés, manusa saling gutgut, apa nyak sing, Nyoman sing ngarunguang. Cundekné serahang makejang unduké ring Hyang Pramakawi. Ento raos ané ada di pangipiané Nyoman, laut nadiang wangsit anak lingsir. Béh, kanggoang monto malu........ Nyoman tusing makatang ngipi ané tidong-tidong, ngipi mesiat di peteng.

KEMATIAN ANAK ITU

Barangkali kalau tidak ingat suara anak itu aku tidak akan terlalu mempersoalkan kematiannya ini. Kematian anak ini aku anggap sebagai sebuah takdir yang memang sudah harus dihadapi. Karena kematian hanyalah peristiwa biasa seperti halnya sebuah kelahiran awal mulanya hadir di dunia serta fase pada saat menjalankan kehidupan. Jadi fase lahir-hidup-mati sudah diatur sedemikian adanya. Nggak perlu terlalu dipersoalkan.
”Ya, memang menurutmu nggak perlu terlalu dipersoalkan, hanya cara matinya itu yang perlu kita pertanyakan,” Temanku Anwar membantah caraku berpikir dan memandang persoalan lahir hidup dan mati terkadang terlampau berlebihan.
”Ya, itupun sudah diatur. Sudah ada dalam catatan. Ada manusia matinya di laut, matinya saat gempa, matinya dibunuh. Ada pula yang mati diam-diam, tidur bermimpi, esoknya sudah tak bernyawa lagi,” aku berkata bukan seadanya. Karena saat-saat menjelang ajal anak itu ketika peristiwa kecelakaan itu terjadi, aku sudah dan bukan hanya mengira-ngira tentunya. Sekali lagi aku bukan sembarangan mengira. Karena saat-saat dia sekarat itu, rohnya sudah jalan-jalan datang mengunjungi satu persatu teman-teman bermainnya. Bahkan rohnya sempat berbicara denganku. Jadi tidak ada alasan untuk membahas bagaimana cara anak itu mati. Atau sebagaimana orang-orang mati menurut cara-cara yang telah di atur olehNya. Semua kematian manusia sudah diatur, dari caranya lahir, bagaimana sewaktu hidup dan sampai proses menemui ajal.
”Ada yang mati bunuh diri!”
”Iya, dengan gantung diri, minum baygon, minum racun tikus......”
”Ada yang mati perlahan-lahan!”
”Iya, kena serangan stroke, makan hati...”
”Ada yang mati pura-pura!”
”Mati suri.............”
”Hidup lagi!”
”Iya......iya.....”
Biasanya kalau sore begini ia sering duduk-duduk di teras depan rumah sambil makan mie. Lalu berteriak pada seisi rumah minta diambilkan air minum. Terkadang kelihatan bersenda gurau dengan kawan-kawan sebayanya. Ada saja celotehnya yang kerap mengundang tawa. Anak itu memang sangat lucu. Terkadang aku ikut ngikik dari balik kaca jendela rumah mencuri dengar pembicaraan mereka. Pembicaraan anak-anak. Demikian lepas. Demikian polosnya berpendapat yang dibarengi dengan imaji kekanak-kanakannya.
Itu kebiasaannya ketika masih hidup.
Aku menyukai cara anak itu duduk duduk di teras depan rumah sambil teriak-teriak. Tubuh gemuknya masih terbayang jelas.
Melihat anak itu ketika sudah ajal, seperti teringat lagi apa yang dilakukan teman bermainnya saat semua suntuk mengikuti permainan apa yang tengah mereka lakukan. Aku teringat bagaimana darah yang keluar dari rongga hidungnya saat berada di rumah sakit ditunggui oleh banyak teman-teman yang ikut mengantar ke rumah sakit.
”Saat itu dia mendahului kita di depan. Dia menyalip kita semua,” demikian Anto menceritakan kronologis kejadian sebenarnya sampai ia disrempet sepeda motor yang menurut saksi mata warga di kampung itu, bahwa pengendara dalam keadaan tidak konsen mengendarai sepeda motor sambil berbicara lewat ponselnya.
”Katanya dia standing, dia kan suka mengangkat roda depannya sering akrobat di lapangan saat bermain main dengan teman-teman yang lain.,” Ridwan berkata seolah tahu betul gimana tingkah laku almarhum semasih hidup.
”Ndak tahu, soalnya dia ngebut diluar dari kebiasaannya sehari-hari, katanya mau ngaji dan dia cepet cepet pulang mendahului kita semua,” dan di tikungan itu Beni sudah tak terlihat lagi bayangannya. Hanya sepedanya saja terlihat sudah tergeletak di pinggir jalan. Ridwan lari ketakutan dengan suara tangis memberi tahu ayahnya yang lagi duduk-duduk di rumah.
”Seandainya cepat ditangani saat itu. Seandainya tidak keliling kebingungan cari rumah sakit. Tapi sudah nasib, mau bilang apa lagi.
”Tapi kalau seandainya cepat diantar ke rumah sakit terdekat, mungkin dapat tertolong. Mungkin tidak kehabisan darah.” yang lain menyambunng
”Tapi bagaimana bisa menolong. Kepalanya pecah lho!”
”Masak?”
”Iya, saat di IGD kulihat ada darah mengalir di sela-sela telinganya. Kupikir, wah, sepertinya anak ini tidak mungkin tertolong lagi,” aku berkata pelan. Teringat anak itu saat hidungnya dimasukkan slang zonde di kedua lobang hidungnya. Tangannya tak mampu bergerak. Diikat kain verban di slempangkan pada bed tempat tidur. Karena bergerak-gerak seperti menahan beban rasa sakit yang luar biasa.
Saat penguburan berlangsung, semua teman-teman bermainnya saling bertangis-tangisan. Terlihat saling sambung menyambung bertangis-tangisan. Guru-gurunya semua datang. Wajah duka menyelimuti areal pemakaman itu. Teman teman bermainnya semua tertunduk lesu. Ibunya sempat pingsan di tanah kuburan itu dan beberapa warga akhirnya menggotong ke tempat yang teduh. Menjauhkan dari jasad anaknya.
Malam itu usai tutup toko, aku pulang. Agak maghrib, jalanan sepi. Tumben tidak ada kendaraan yang melintas. Entah dalam jalur searah maupun berlawanan arah. Melewati kuburan tua di perkampungan, suasana kurasakan demikian senyap. Orang-orang kampung mempercayai kalau kuburan yang satu ini memang sangat angker. Dari tiga buah kuburan yang aku lewati menuju rumah, hanya kuburan yang satu ini membikin bulu kudukku sering merinding. Sering kalau melewati kuburan ini aku keras-keras nyalakan klakson mobil sambil memain-mainkan lampu. Itu pesan dari orangtuaku dulu. Entah kenapa perasaanku menjadi tidak enak sama sekali. Inderaku yang satunya seolah-olah mengatakan dari arah belakang seperti ada sosok wajah terus mengikuti. Sesosok wajah ke kanak-kanakan nempel di kaca mobil belakang. Ketika aku mencoba melihat melalui kaca spion, kosong. Melompong. Tidak ada apa-apa. Entah darimana perasaan takut itu tiba-tiba datang. Tubuhku menjadi merinding. Sekuat kakiku menekan pedal gas, kendaraan seolah lari dalam kecepatan yang sama. Persis di pinggir jalan, dimana saat kejadian almarhum di tabrak, kulihat seperti masih ada bekas bercak-bercak darah segar menempel di aspal. Persis di pinggir kiri jalan aspal.
Pernah aku mengingatkan Ibunya almarhum Beni kalau dibuatkan sedikit acara selametan. Karena sebagaimana dalam hukum agamaku sendiri, tidak saja kecelakaan yang menimpa hingga menghilangkan nyawa, hingga menyebabkan meninggal dunia, kecelakaan yang hanya sampai mengakibatkan luka-luka saja di jalanan, sekalipun lukanya ringan, biasanya kita mintakan pada rohnya yang masih ketinggalan di jalan untuk kita bawa pulang kembali menyatu dengan badan kasarnya. Kendati yang tertimpa kecelakaan itu masih hidup. Apalagi sampai meninggal dunia seperti yang menimpa almarhum Beni. Rohnya pasti masih ada di tempat kecelakaan itu terjadi. Aku yakin rohnya masih ada disana.
Aku yakin roh anak itu tadi sedang mengikutiku. Wajahnya terbayang jelas. Seperti ingin mengatakan sesuatu, entah apa. Mulutnya terbuka seolah ingin mengucapkan sesuatu yang tidak jelas aku dengar. Seperti ingin meminta pertolongan. Namun pertolongan dalam bentuk apa, itu belum jelas. Karenanya aku mendatangi rumah ibunya untuk mengajak bicara dan mengingatkan ucapan-ucapan apa yang pernah dikeluarkan ibunya semasa almarhum hidup, sehingga setelah meninggal itu masih diingat dan dikejar terus sebagai sebuah janji.
”Cobalah buatkan sedikit acara selametan, bu,” aku mengingatkan. ”Bagaimana menurut agamanya ibu. Sebab Beni datang tadi dan seperti berdiri di depan rumah, ingin mengatakan sesuatu.” Aku terus mengingatkan ibunya. Apalagi ketika Beni meninggal, ibunya tidak berada di tempat. Saat terjadi kecelakaan yang menimpa anaknya itu, ibunya sedang ngantar keluarganya berobat di Jakarta yang membutuhkan waktu beberapa hari. Aku ingat cerita ibunya bahwa Beni sempat telpon ibunya di Jakarta sehari sebelum meninggal, dan minta dibelikan tas sekolah. Dan suaranya di telpon sungguh aneh dia dengar. Seolah-olah seperti bukan suara anaknya.
”Barangkali tas yang ibu janjikan itu masih diingat anak itu, sehingga saat maghrib-maghrib dia sering mendatangi dan duduk-duduk di depan pintu rumah saya.” Aku menambahkan. Memang sering aku lihat dia duduk-duduk dan menampakkan diri saat aku menyisir rambut sehabis mandi atau saat duduk-duduk sore hari sehabis memberi makan si Coki, pudel kesayanganku di halaman rumah. Dan ketika aku menunduk, dari arah belakang seperti ada sepasang mata kanak-kanak tengah memperhatikan gerak-gerikku. Sepasang mata yang nakal. Aku hafal betul siapa pemilik mata kanak-kanak itu. Ya, aku sangat hafal. Mata yang dulu sering datang ke rumah bercanda mesra bermain-main dengan anak-anakku. Dan dia sangat begitu akrab dengan anakku yang paling kecil. Usia mereka sama. Sama-sama satu kelas dan juga sama-sama bersaing dalam soal nilai pelajaran. Mata itu seperti masih bermain-main di belakangku.
”Ibu melihat jelas ?” ibunya bertanya.
Aku mengangguk. Aku tahu persis anak itu seperti ingin meminta sesuatu. Biasanya kalau seseorang yang sudah meninggal sering datang mencari kita apalagi sering mendatangi rumah kita, pasti ada sesuatu yang ingin dia katakan atau menagih apa yang pernah kita janjikan semasa hidupnya.
Ibunya tercenung. Seperti berusaha mengerti apa yang aku katakan. Entah dia mempercayai ucapanku atau tidak.
”Iya, tas itu......!!! tas itu...!! Beni pernah minta itu,” Ibunya seperti teringat sesuatu setengah kaget berteriak-teriak.
Aku terkejut.
Lagi-lagi bagai orang histeris ibunya berteriak-teriak, Seperti baru diingatkan akan sesuatu. Padahal aku sudah mengatakan perihal mengenai tas itu barusan.
Nampaknya ibu itu seperti orang bingung. Terlihat dari pancaran matanya, trus sikapnya sedikit aneh, sebentar-sebentar duduk. Tak berapa lama lagi berdiri.
Pagi-pagi sekali ibu itu sudah berdiri di depan pintu rumahku. Menenteng tas besar seperti akan melakukan perjalanan jauh.
”Mau kemana?”
”Saya pamitan bu. Mau belikan tas almarhum di Jakarta.” kata-katanya terdengar seperti orang yang kebingungan. Tatapannya kosong. Sekilas kulihat tatapannya seperti mata kanak-kanak itu.
”Lho?” Aku bergetar. Aku kaget, namun tak kuasa melawan kodrat. Aku tidak boleh memberi tahu sesuatu yang sebenarnya manusia belum mengetahui. Inderaku yang satu ini seperti telah memberikan sesuatu bentuk isyarat. Warisan indera leluhur yang selalu menunjukkan keajaiban yang tepat. Apa yang kurasa, itulah yang sering terjadi. Oh, Tuhan....untuk yang kali ini saja jangan sampai terjadi. Jangan! Karena ibu almarhum demikian akrab dalam persahabatan denganku. Jangan, Tuhan. Jangan terjadi itu lagi.
Aku merasa gemetar dan tak kuasa untuk menahan kepergiaannya.
Seminggu kemudian...dua minggu...tiga minggu..sebulan...dua bulan bahkan hingga berbulan-bulan jalannya waktu aku tak pernah bertanya tentang ibunya almarhum. Karena sejak bepergiannya, sepasang mata kanak-kanak yang sering mengawasiku sambil duduk-duduk di beranda rumah juga sudah tak pernah terlihat lagi.
Telagawaru, Januari 2011
(dari kumcer dadong inges, terbitan pustaka ekspresi 2012)

IBU GURU GINANTI

Siapapun melihat wajah bu guru Ginanti pasti akan senang, karena wajahnya cantik dan senyumnya penuh simpati. Sepertinya kalau melihat wajahnya dan sorot matanya yang demikian teduh, bu guru Ginanti tidak suka marah. Gilang paling suka melihat wajahnya yang cantik. Berbahagialah orang yang menjadi suami bu Guru Ginanti. Lelaki itu pastilah sangat beruntung dalam hidupnya dari sekian banyak laki-laki yang mendambakan untuk dapat memiliki wajah ayu dan secantik bu guru Ginanti. Pastilah banyak laki-laki yang menginginkan bu guru Ginanti. Dewi Sinta Prabawati, pacarnya Gilang sebagai seorang gadis juga sangat senang dan tertarik melihat, apa lagi laki-laki. Sesama perempuan saja mereka demikian kagum. Dan itu bukan cerita kosong. Lihat saja Anik, Reni, Ayu bahkan Ningsih dan entah teman teman yang lainpun tidak menyembunyikan kekaguman. Rasa kagum yang tidak dibuat-buat bahkan terlontar pujian dari bibir mereka. Atau di sela jam kosong selalu ngerumpi tentang Ibu guru Ginanti. Seolah dengan mengagumi bu Ginanti, aura kecantikan ingin juga disebar pada mereka semua. Dan pada akhirnya selain mereka semua meniru gerak-gerik bu guru yang satu ini, merekapun berlomba-lomba untuk tampil cantik.
“Awas kalau tertarik padanya, Dewi nggak mau lagi temenan ama kamu,” Dewi Sinta Prabawati mengingatkan pacarnya yang diam-diam selalu melirik bu guru Ginanti.
Gilang senyum senyum saja di hadapan pacarnya. Nggak mungkinlah Gilang pacaran ama gurunya. Masak murid mau macarin bu guru? Kalau pak guru macarin muridnya yang perempuan sih ada.
“Itu sih karena muridnya yang nakal,” Dewi jadi memperdebatkan masalah pacaran guru dan murid.
“Iya, tapi pak gurunya nakal juga khan? ” Gilang tak mau kalah.
“Muridnya juga kok”
“Gurunya!!!”
“Muridnya!”
“Gurunya! “
“Muridnyaaaaaaaaa…!!!” Dewi berteriak keras.
“Eh, sudah! Sudah! Kok kita jadi bertengkar sih?” Gilang akhirnya senyum senyum mengalah sambil memeluk Dewi. “ Iya muridnya dah!”
“Jelek, pringas-pringis gitu. Jelek! Aku ndak suka laki-laki prangas-pringis. Jelek, tauu!!?? jelek! Jelek!!” Kontan Dewi mencubit pacarnya.
Gilang meringis.
Kalau Bu guru Ginanti sudah berdiri di depan kelas, semua teman-teman pasti terbengong-bengong bagai disihir hingga terkadang sampai lupa kalau pelajarannya sudah selesai.
“Lho, sudah selesai bu?” Anton berkomentar dengan nada kecewa. Yang lain pada mengeluarkan suara-suara tak jelas. Ketika ditanya bu Ginanti, mereka bengong tak bisa menjawab. Tangan bu Ginanti menunjuk ke arah Agus
“Khan udah ibu terangkan tadi,” Bu Ginanti menegaskan lagi sambil mendekati Agus yang duduk di bangku belakang paling pojok. Agus berkeringat. Hanya mengeluarkan suara ah-oh-ah-oh
“Hush, bu Gin nanya tuh,” Reni yang duduk di samping mencuwil lengan Agus. Masih saja Agus seolah terjebak dalam sihir tak mampu menjawab. Matanya hanya menatap bu guru yang cantik itu dengan mulut menganga. Bau wangian parfum yang keluar dari tubuh bu Ginanti semakin membuat Agus kian gelagapan.
“Hei, Gus, mulutmu jangan nganga gitu, dong!” Herman menendang kakinya di bawah meja.
Agus meringis. Seolah baru tersadar dari mimpi, menatap Herman dan teman-temannya yang lain secara bergantian. Seperti orang bego ia tengadah menatap Bu Ginanti dengan suara ah-eh-oh.
“Maaf ibu tanya apa tadi nggg….”
Teman-temannya yang lain spontan ketawa ngakak. Bu Ginanti melengos berusaha menyembunyikan senyum manisnya dan melangkah ke depan kelas sambil geleng-geleng kepala. Ruangan riuh sesaat dengan tawa anak-anak.
“Bu, kenapa nggak tanya aku aja?” seketika Gilang berteriak mengacungkan tangan, namun yiaaouuwww, matanya mengernyit berusaha tidak mengaduh. Dewi di bangku sebelah mendelik lagi-lagi menancapkan kuku di paha Gilang.
Bu Ginanti menoleh, mengarahkan pandangan. Mata beradu mata, hati belum sampai menyentuh. Gilang klemes-klemes seperti bayi kurang gizi. Kalau Dewi melihat persis: bayi yang telat diteteki ibunya.
“He.. he.. he.. nggak bu. Nggak jadi!” Gilang mendadal gagap. Linglung yang tidak dibuat-buat.
“Lho…??”
Lagi-lagi semua ketawa, bukan ngetawain bu guru Ginanti, tapi tertawa melihat ulah Gilang. Semakin membuatnya pringas-pringis kecut melirik Dewi di samping. Yang dilirik tambah melotot, ih!
Ibu guru Ginanti memang selalu penuh dengan kejutan. Seminggu tidak bertemu, anak-anak sudah pada kangen. Bukan kangen dengan pelajarannya, tapi wajah bu Ginanti itu lho! Semua di kelas seperti merasa cepat bosan tanpa kehadiran bu Ginanti. Waktu terasa begitu lamban berjalan. Jarum jam demikian perlahan detaknya. Seolah tidak bergerak sama sekali. Beberapa anak-anak lebih suka duduk-duduk di luar daripada mengikuti pelajaran di dalam kelas. Ada yang membolos nangkring di parkiran motor. Ada malah nongkrong di kantin sekolah. Sedemikian hebat pengaruh guru cantik itu.
“Hei..hei, bu Ginanti datang ….bu Ginanti datang….hari ini udah mulai ngajar,” salah seorang anak berteriak memberi kabar.
Dengan lenggak lenggok bu Ginanti terlihat memasuki ruangan kelas Gilang.
Dan apa yang terjadi? Gilang mau ketawa saja melihat kehadiran bu Ginanti kali ini. Penampilannya sangat berbeda. Ada yang berubah. Ya, ada yang lain pada diri bu Ginanti. Rambutnya itu lho. Rambutnya telah berubah jadi kriting. Wow, kian menambah cantik wajahnya. Kian menawan saja penampilannya. Membuat terkagum-kagum. Bu Ginanti memang cantik. Ck..ck..ck….Gilang-lah yang paling semangat mengikuti pelajaran bu Ginanti. Tanpa sadar tangannya mencoret-coret sesuatu di atas kertas. Lalu tertawa sendiri melihat hasil goresannya sendiri.
“Buat apa itu?” Dewi menoleh curiga. Berusaha ingin merebut kertas yang ada di tangan Gilang. Gilang mengelak dengan cara mengibas tangan pacarnya dan berusaha melipat kertas itu, meremas-remas dan memasukkan di bawah kolong meja.
Memang besar pengaruh bu Ginanti. Ruangan kelas yang semula beberapa bangku terlihat kosong, kini malah penuh, sebagian ada yang duduk bertiga dalam satu bangku. Bahkan dari kelas lainpun ikut-ikutan mengikuti pelajaran bu Ginanti. Mereka rela duduk berhimpitan dalam waktu 2 jam hanya untuk dapat memandang wajah guru cantik itu. Kalau bisa mereka ingin tidak hanya 2 jam pelajaran, bila perlu pelajaran guru lain ganti aja dengan bu Ginanti.
“Iya ganti aja,” Gilang berseloroh. Terbawa khayalannya sendiri.
“Hush, diam! Ngomong apa sih kamu? Tuh dengar bu guru,” Dewi mengingatkan.
“Ada yang bertanya?” Bu Ginanti memandang seisi ruangan. Bu Ginanti rupanya tidak begitu perhatian kalau bangku semua terisi. Nyaris tidak tahu kalau ada siswa kelas lain ikut bergabung di ruangan ini.
“Bu, kalo bisa pelajaran lain ibu aja yang ngisi, gimana?” Gilang acungkan tangan tinggi-tinggi.
“Iya bu, bener bu, ibu saja yang ngajar,” yang lain nyeletuk.
“Iya bu, kalau bisa ibu saja,” terdengar suara anak-anak.
“Iya,..iya….” yang lain ikut-ikutan bersuara, Dan ruangan kembali riuh oleh suara-suara. Bu Ginanti keplok-keplok tangan. Mirip ngajar anak-anak TK. Berarti kalau di ruang sidang senayan para wakil rakyat rapat paripurna dengan acara ngotot-ngototan bahkan sampai adu jotos segala di tonton jutaan rakyatnya, ya bermula seperti ini. Semua bermula dari sekolah, bagaimana cara bu Ginanti mengajar mereka untuk bisa santun ketika mereka nanti sudah duduk jadi anggota dewan wakil rakyat yang terhormat. Keplok-keplok tangan bu Ginanti mampu mendinginkan suasana. Semua bengong kembali seperti sediakala. Semua kena sirep. Dan melongo-longo tersihir, lalu mengangguk-ngangguk, dan segalanya bisa di atur. Demikian sempurna tanpa kurang suatu apapun. Segalanya pasti beres di tangan bu Ginanti.
Hebat!
Memang segalanya bisa beres di tangannya. Tapi untuk yang satu ini ternyata tidak. Kali ini di ruangan kepala sekolah nampak bu Ginanti nangis meraung-raung. Kecantikannya lenyap oleh isak tangis jeleknya. Guru-guru lainnya saling pandang satu sama lain. Sesekali menatap Gilang bak pesakitan duduk tertunduk lesu di ruangan guru. Kepala sekolah nampak memegang kertas bekas remasan tangan yang sedikit kucek seperti ingin menahan senyum.
“Kenapa kamu lakukan ini Lang?” pak Sahid kepala sekolah itu memandang Gilang. Gilang tertunduk lesu. Takut beradu tatap dengan bu Ginanti yang masih terdengar isaknya.
“Saya tidak bermaksud apa-apa, pak Guru. Apalagi mau bikin bu Ginanti sampai menangis.,” Gilang bersuara pelan membela diri. Tatapannya polos. Sepolos tatapan bayi tanpa mengenal dosa. Bagaimana bayi polos, ya seperti itulah tampang Gilang saat ini. Sedikitpun ia tidak merasa bersalah. Hanya saja Gilang merasa aneh. Kenapa kertas yang sudah ia remas-remas dan di buang di tong sampah bisa berada di tangan kepala sekolah. Itu saja keheranan Gilang. Siapa memberikan kertas isengnya itu? Reni, Wawan ataukah Anton sendiri? Ah, Dia jadi bingung. Atau jangan jangan? Ya, jangan jangan pacarnya sendiri yang memberikan sebagai bentuk pelampiasan kekesalan kepadanya. Iya, jangan jangan………
“Iya, tapi kenapa bu guru Ginanti kamu gambar seperti ini. Coba lihat, aduhhh, kau ini!”
Pak Sahid memperlihatkan kertas yang di gambar oleh Gilang.. Nampak gambar wajah seorang wanita berambut kriting yang di atas bibir wanita itu dibuat goresan menyerupai kumis. Melihat gambar dirinya lagi dipertontonkan di hadapan guru-guru lain, bu Ginanti kembali terisak bahkan semakin keras menangis. Saking tak tahan lalu pergi meninggalkan ruangan.
Keesokan harinya dan hari-hari selanjutnya bu Ginanti tidak terlihat lagi di sekolah itu.

Labuapi, September 2011
(salah satu cerpen dalam kumcer dadong inges terbitan pustaka eskpresi)