Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Rabu, 06 Oktober 2010

C E R M I N

Kalau bukan karena wajah jelek ini, Warni tak mau lama-lama menatap cermin yang tergantung di kamar. Sangat jelek. Coba bayangkan, mukanya lobang-lobang bekas jerawat. Bahkan ada yang membekas hingga membisul saking tangannya tidak bisa diam memencet-mencet. Hidungnya pesek, belum lagi mata yang tidak mau searah lirikannya. Pokoknya mata ini tidak pernah mau sinkron untuk dipakai melirik. Apalagi ketika mama pernah menyarankannya untuk ikut serta kursus menari bersama kakak-kakaknya yang perempuan, apakah tidak nanti orang akan menertawakannya? Belum lagi kesepuluh jari tangan Warni pendek-pendek dan bengkok jelek. Pokoknya jelek. Tidak panjang lentik seperti kebanyakan penari. Ah, tidak mungkin semua itu dilakukan. Dan coba lihat dengan postur tubuh yang pendek mana gemuk lagi. Bah! Bagaimana mungkin jadi seorang penari sementara melirik saja membutuhkan konsentrasi untuk dapat sinkron antara bola mata kanan dan kiri. ”jadi pemain sinetron aja War, lagi dibutuhkan pemeran dengan wajah kayak kamu,” temannya pernah mengolok. Warni hanya tersenyum pedih. Ingin dicolok mata temannya yang mengolok. Memangnya mau apa punya wajah jelek. Kalau di kamar akan dia tumpahkan semuanya lewat tangisan. Coba lihat kalau Warni tengah tersenyum, ih, sangat jelek sekali. Apa lagi sampai harus menangis dengan wajah sedih. Warni jadi risi dengan gerak-geriknya sendiri. Dia tercenung dan mulai mengumpat-umpat, jengkel dengan keadaan yang sebenarnya. Benar-benar memuakkan. Sangat menjengkelkan. Dan sebaiknya memang dia harus mengurangi tangisannya yang tidak perlu itu. Akan semakin jelek kelihatan.
Dia pikir dengan memiliki wajah yang sangat jelek ini, sekalipun berhias dengan bedak yang harganya sangat mahal dengan mempergunakan produk luar negeri sekalipun tidak akan membantu dan belum tentu dapat merubah dirinya seanggun dan secantik putri Cinderella. Itu hanya ada dalam komik. Ataupun dengan mandi air susu dan luluran dengan harum kembang cempaka tidak akan membuat dirinya secantik dewi Subadra dalam cerita pewayangan. Sesuatu hal yang sangat mustahil. Subadra terlalu sempurna digambarkan pengarangnya. Itu membuatnya jadi sangat membenci hasil karya-karyanya tersebut. Kenapa sih tidak diceritakan tentang gadis yang jelek rupa untuk dijadikan tokoh dalam cerita? Terkesan terlalu membeda-bedakan rupa obyek penciptaannya. Pasti kalau yang rupanya jelek akan digambarkan sebagai orang yang memiliki jiwa dan pikiran jelek. Sifatnyapun biasanya buruk. Jiwa yang timpang. Labil. Warni tidak setuju dengan cerita-cerita demikian. Ia jadi benci tentang kisah Subadra. Ingin hatinya mengorek habis wajahnya yang digambarkan pengarang sebagai seorang wanita yang memiliki kecantikan yang maha sempurna. Warni benci! Kalau bisa ia ingin membunuh Subadra. Akan dipotong-potong lehernya dan akan dicungkil matanya yang dikatakan sangat indah. Mata Subadra akan ditaruh di matanya biar indah. Tubuhnya yang sintal akan ditaruh di tubuhnya. Rambutnya yang hitam terurai akan ditaruh di kepalanya. Warni pasti cantik. Pasti akan berubah jadi bidadari. Warni pasti mirip dewi Subadra. Biar tidak hanya Subadra saja yang sendirian cantik di dunia ini. Warnipun ingin cantik. Dan dialah tokoh cantik dalam dunia pewayangan itu. Dan kalau sudah demikian Warni tak membutuhkan cermin lagi untuk mematut-matutkan wajahnya yang sudah memang benar-benar cantik. Karena pemuda-pemuda yang naksir padanya akan menjadi sebuah cermin dalam bentuk pujian-pujian yang melambungkan. Dan mereka akan terpikat padanya. Mereka akan terpukau dan akan terkena panah asmara.
”Di dunia ini tidak ada yang abadi, anakku. Ada baik ada buruk. Ada cantik rupa ada buruk rupa. Kamu tidak usah menyesali apa yang sudah kamu miliki. Itu hanya akan memperburuk keadaan,” ayahnya menasihati dengan memberikan dorongan. Kerongkongannya terasa tercekat dan manakala dia bertemu dengan Rani, teman sekelasnya yang cantik atau dengan Yuni yang manis, tiba-tiba dia menjadi merasa sangat rendah diri. Begitu saja air mata ini jatuh bercucuran. Ah, kecengengan orang bodoh! Kenapa sih dilahirkan dengan memiliki wajah yang sangat jelek? Dan kalaupun dia mengenakan gaun apapun akan selalu tidak pantas terlihat. Sekalipun gaun yang dikenakan itu terbuat dari bahan yang mahal.
Coba lihat mbak Yanti kalau mengenakan pakaian. Apapun yang dikenakan akan selalu sesuai dengan badannya. Dan itu akan lebih memperlihatkan penampilannya yang cantik. Apalagi mbak Yanti memang benar-benar cantik dan anggun.
”Apapun pakaian yang dikenakan Yanti selalu saja cocok dengan penampilannya dan malah terlihat semakin cantik,” pernah suatu ketika mama mengomentari pakaian yang dikenakan kakaknya.
Warni ngiris mendengar pernyataan ibunya itu. Pujian itu bukan untuk dirinya. Bukan ukuran baginya untuk berpenampilan sepadan dengan Yanti. Tak terasa perkataan yang keluar itu membuat perbandingan pada anak-anaknya. Warni sadar dirinya memang benar-benar jelek. Tapi ibu, tidak seharusnya mengeluarkan perkataan seperti itu. Ia jadi curiga, jangan-jangan Warni bukan anak kandungnya. Coba lihat mas maman wajahnya cakep. Hidungnya mancung. Tubuhnya tinggi tegap. Mirip ayah. Mbak neni memiliki hidung yang bangir dengan mata yang indah, walau tubuhnya tidak setinggi mas Maman. Sementara mbak Yanti sudah cantik bentuk badannya juga bagus. Kenapa diantara saudara-saudaranya hanya dia yang dilahirkan memiliki tubuh paling jelek? Mana tubuhnya pendek dan gemuk. Uh, muak dia di depan cermin kalau melihat wajah dan badannya sendiri yang maha jelek.
Praaaaaang.......!!!?
Seisi rumah kaget. Warni membanting cermin di kamar tersinggung ketika mama mengatakan : ” kamu itu sebenarnya cantik tapi...........”
Warni tahu mama hanya basa-basi dengan mengatakan dirinya cantik. Dia tahu mama sesungguhnya hanya ingin mengatakan kalau sebenarnya hidungnya pesek, wajahnya bolong-bolong penuh jerawat yang sangat menjijikan. Warni jengkel sekali mendengar perkataan mama seperti itu.
”Ada apa?”
Seperti biasa semua saudara-saudaranya melongok ke kamar kemudian berlalu seakan-akan sudah mendapat jawab dari semua peristiwa itu. Sudah terlalu sering terjadi. Ayah hanya batuk-batuk kecil, mungkin sekadar menghilangkan sesak di dada. Dan Warni tahu, esok mama pasti akan membelikan cermin yang sama. Dan cermin itu diterimanya dengan setengah hati, sedikit dongkol walau sesungguhnya sangat berharap. Berharap untuk kembali melihat wajahnya yang jelek. Mematut-matut serta untuk menilai pribadinya lewat bayangan cermin. Dan setelahnya dia tahu dengan perasaan jengkel cermin itu akan kembali mengalami nasib yang sama sebagaimana cermin-cermin sebelumnya. Pecah berantakan. Tidak! Kali ini tidak terjadi demikian. Ia melihat bayangan aneh menyelimuti wajahnya lewat pantulan cermin itu. Ia merasa dirinya bukan Warni yang ia kenal. Bukan Yanti kakaknya yang cantik atau Neni. Bukan mas Maman yang gagah. Ia adalah dirinya. Warni bingung. Ditatapnya cermin itu lekat-lekat. Kemudian ditatap satu demi satu fotonya yang jelek di atas meja belajar. Ditatapnya foto-foto dirinya yang tergantung di dinding kamar. Pandangannya seperti menerawang jauh. Bimbang. Ada sesuatu yang terjadi pada dirinya? Warni tak percaya. Dipandang lekat-lekat wajahnya lewat pantulan cermin. Tidak! Ini benar-benar aneh. Ini sebuah kenyataan. Sebagaimana kenyataan-kenyataan lain melihat wajah kakaknya Yanti atau mbak Neni. Sebagaimana melihat mas Maman yang gagah dalam pesona pantulan wajah ayahnya. Warni kian terlelap dalam ketakpercayaan penuh. Dalam lelapnya ketakpercayaan itu Warni kian bersemangat kembali untuk meyakinkan bahwa dirinya merupakan bagian dari kehidupan keluarga itu. Bahwa ia benar-benar anak kandung dari ibunya yang melahirkan. Anak kandung dari ayahnya. Saudara kandung dari Yanti, mbak Neni maupun mas Maman.
”Eh, War, kemana aja, kok ngilang?” Rani mencuwil pundaknya.
”Memangnya aku Putri Nirmala apa bisa menghilang?” Warni menyambut. Tumben temannya ramah tidak biasanya.
”Wah, bisa bercanda sekarang.” yang lain menimpali.
”Memang selama ini aku putri malu?” Warni kian membuat temannya pada cekikikan.
”Wah...wah... kian kenes aja.” Wiwin ikut-ikutan komentar.
”Memang ada apa nanya-nanya?” Sahut Warni dengan gerakan bibir terkesan ketus.
”Itu lho mas Pram nanya kamu terus. Memangnya ada janji apa?”
Bagai tersengat lebah Warni spontan diam seribu bahasa. Mulanya lincah akhirnya memang benar-benar jadi putri malu yang sebenarnya. Pram? Ada apa? Kenapa? Bukankah kehadirannya sering menjadi bahan olok-olok temannya? Tapi apakah secara diam-diam dia ada hasrat terhadap dirinya? Ah, Warni tidak percaya. Jangan-jangan ini hanya olok-olokannya Rani karena tidak ada sasaran lain untuk dijadikan bulan-bulannya selama ini. Dasar memang kalau masuk dalam kelompoknya Rani selalu sehati dengan kelompok mas Pram dalam menggoda orang.
”He...he, dikasi tahu malah ngelamun.?” Warni terkejut. Buyar lamunannya tentang pemuda itu. Warni hanya melengos lalu pergi menuju ruang kelas. Kelas di samping bersebelahan dengan Pram, kakak kelasnya. Di pojokan parkir kendaraan anak-anak nampak gulungan asap rokok mengepul. Beginilah kalau guru belum menentukan jadwal pelajaran. Barangkali juga gurunya lagi sibuk cari obyekan buat tambah-tambahan. Anak-anak lebih menentukan sikap dengan gaya dewasanya. Warni menyapu pandang diantaranya sambil berharap-harap cemas. ”Mudahan kamu tidak ikut-ikutan latah,” bisik hatinya. Dan ada rasa senang ketika seseorang yang dia bayangkan tidak ada diantara kepulan asap rokok itu. Itu memang tidak dia harapkan. Kalau dia akan menjadi kekasihku pasti aku tidak menyukai kebiasaannya yang buruk itu. Kebiasaan yang akan terbawa nanti ke anak-anak. Ih, kok sudah jauh sekali lamunannya tentang seorang anak? Warni jadi malu dan senyum-senyum sendiri.
”Nah....tuh udah mulai senyum-senyum sendiri. Pasti lagi jatuh cinta ya?” temannya menggoda.
Warni jadi tersipu-sipu. Lagi-lagi ketangkap basah kalau sedang melamun.
Sekarang sejak tahu ada sejumput harapan dalam hidupnya, Warni jadi suka tersenyum. Warni jadi suka melamun sendirian di kamar. Dan sejak itu pula hampir tak terdengar lagi suara barang yang di banting di rumah. Keluarganyalah sekarang yang jadi merasa aneh dengan keadaan itu. Diam-diam mereka semua mulai menyelidiki perubahan-perubahan yang terjadi pada diri Warni. Ada apakah gerangan? Apa yang terjadi pada Warni sehingga dia sering melamun sendirian di kamar. Senyum-senyum sendirian. Apakah Warni telah gila sehingga seisi keluarga dibuat was-was. Apakah yang menimpa salah satu keluarga mereka. Apakah Warni sedang jatuh hati? Jatuh hati pada siapa? Pangeran manakah yang mau menentukan pilihan dan jatuh hati pada Warni. Siapakah sang pangeran itu? Mereka bertanya-tanya.
Diliputi tanda tanya besar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar