Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Sabtu, 30 Oktober 2010

Cerpen : DG. Kumarsana PING

”Ping, aku semakin sangsi padamu. Beribu hari lalu telah dimakan waktu. Gema suci kidung sinden terperangkap sepi..........,” demikian kali ini dia baca keras-keras memasuki kamarku. Aku terusik juga. Sudah kukatakan berulang-ulang, aku tidak mengerti sajak. Jangan bacakan itu lagi, tapi laki-laki itu tetap saja dengan tingkahnya.
”siapa kali ini Gus?” Sengaja aku memberikan perhatian, walau sesungguhnya aku tidak tertarik. Karena pernah apa yang dia bacakan sebagaimana kebiasaan-kebiasaan yang lalu dan aku tidak terlalu memberikan reaksi apa-apa terhadap tingkahnya itu, lama dia merajuk. Apa yang terjadi? Segala permintaanku selalu ditolak. Aku kali ini tidak mau ambil resiko. Aku harus memberikan perhatian, antusias, memuji bahkan kalau bisa langsung tepuk tangan di hadapannya.
Dan itu memang aku lakukan. Selain memberi perhatian yang dalam aku juga tepuk tangan sekalian menepuk punggungnya penuh rasa sayang. Ping? Entah siapa Ping kali ini yang dia maksud. Apakah Ping yang selama ini dia sebut-sebut saat sama-sama melakukan aktifitas ke gunung atau Ping saat work shop sewaktu kampusnya mengadakan ajang lomba memasak untuk persiapan masa depan sebelum akhirnya barangkali kita semua disarankan untuk membuka warung makan lesehan kalau-kalau putus kuliah karena kiriman uang dari kampung tidak datang sama sekali?
”Itu kalimat siapa, Gus, ” aku mengulang pertanyaan ketika dari tadi tidak ada jawaban sama sekali. Kulihat matanya bersinar nanar, sepertinya sangat senang ketemu aku, atau mungkin saja aku yang ge-er. Tapi anggap saja demikian karena aku terlampau merindukan kehadirannya.
”Itu sajak milik temanku, cukup lama ditulis. Sekitar tahun tujuh puluhan, tapi entah dimana sekarang apa masih hidup atau sudah mati. Dulu aku sering sama-sama dengannya, makan bersama, menemani jalan-jalan. Dia itu paling takut tidur sendiri, makanya aku diminta menemani dengan segelas bir, aku mau aja di suap hehehe..” Gustaman berceloteh panjang lebar, suaranya sama dengan sajak yang ia bacakan: memenuhi ruangan ini. Ruangan yang penuh sesak dengan diktat jadi semakin penuh sesak.
”Namun Rein, aku tidak tahu apa profesinya sekarang, apakah ia jadi dokter ataukah kuliah di kedokteran malah keluar jadi insinyur atau barangkali jadi kondektur...... aku tidak tahu” ia terlihat tercenung dengan ucapan sendiri
”Wah aku belum lahir, Gus tahun itu barangkali ayah dan ibuku lagi berpacaran.”
Memang begini barangkali kalau bersentuhan dengan seniman. Pacarku seorang seniman, waduh, tidak pernah aku bayangkan. Apa kata orangtuaku nanti di kampung? Jauh-jauh merantau menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi, dengan biaya kuliah yang mahal eh pulang-pulang malah mengajak seorang penyair. Entah kalau apa yang menjadi angan orangtuaku: Rein, kamu selesaikan studimu dengan baik, rintis masa depan dengan baik dan kalau ketemu jodoh ,dari keluarga yang baik-baik yang nanti akan mampu menghidupi keluarga, rumahtangga yang harmonis dengan cucuku yang manis-manis, pastilah demikian nasehat yang keluar. Tapi apa yang salah? Kupikir tidak ada keliru, pacarku seorang penyair atau insinyur atau dokter atau dosen, apa pentingnya status? Toh terkadang orang punya status sarjana banyak yang miskin, jadi pengemis birokrat bahkan jadi penipu ulung di pemerintahan dengan berlagak pilon memainkan angka-angka fiktif, berbakat jadi aktor yang pintar memainkan proyek-proyek masyarakat miskin dengan kantong-kantong ajaibnya.
Ah, terlalu jauh aku berpikir. Itu nanti saja. Ini juga belum pasti apakah aku benar-benar menyukai Gustaman atau hanya sekadar cinta monyet setelah lepas dari pertemuan lalu bubar atau hanya hubungan teman biasa. Atau apa sudah pasti ia menyukai aku? Aku juga tidak tahu pasti. Kutatap matanya yang bergerak-gerak jenaka. Ia memang humoris, banyak bahan bicara, banyak canda dan selalu menghibur di saat-saat aku kesepian di tanah rantau,saat-saat aku terbawa hanyut kerinduanku akan kampung halaman, kerinduanku akan orang tua dan orang-orang yang kucintai di rumah.
”Ping, dimana kamu Ping. Masih hidupkah kamu?” terpecah lamunanku. Lagi lagi Gus mendeklamasikan kenangannya akan Ping.
”Hush! Jangan keras-keras Gus” Aku menasihati pelan.
Suara music di ruangan yang semula keras memekakkan telinga aku buat sedikit rendah. Volume tape aku kecilkan. Pada lagu tikus-tikus kantor suara emas Iwan fals, Gustaman sengaja malah lebih membesarkan volumenya. Dia memang menyukai lagu-lagu ini. Sebuah lagu pemberontakan terhadap keadaan pemerintahan saat ini. Aku meringis. Seandainya dia jadi legislatif entah demokrasi mirip apa yang akan terjadi.Atau jangan-jangan malah dia biang tikusnya, ah ndak tahulah.
Di pojok kamar kulihat guntingan koran lapuk. Gustaman memang sering aneh. Suka memberikan spesialisasi terhadap suatu peristiwa politik. Contohnya berita yang sengaja dia simpan menyangkut di daerah dimana dia tinggal saat ini. Tertulis besar-besar : ”DUGAAN KORUPSI BANSOS, SEKDA LOBAR JADI TERSANGKA”. Masih saja Gustaman suka berlaku yang aneh-aneh. Entah apa yang dia nikmati dari guntingan koran daerah yang rencananya akan dia kliping. Entah kapan dikerjakan. Buktinya guntingan koran tentang seorang bupati di daerahnya yang korupsi milyaran saat menganggap ruang sidang sebagai sebuah WC dengan berprilaku lupa sempat membuang air kencing di ruangan tersebut. Terkadang sering dibuat bingung manakala pejabat tertangkap basah dan tak pernah melepas kesan arogansinya dalam sebuah pengadilan. Memang pejabat di daerahnya terbilang lihai memainkan angka milaran rupiah buat mengelabui rakyatnya yang dianggap bodoh. Saking juga tidak mau dianggap bodoh, Gustaman sampai saat ini masih juga menyimpan guntingan berita di koran usang yang termakan oleh waktu.
Namun kalaulah Gustaman cerita tentang Ping sobatnya yang lebih ekstrem, malah aku lebih terpana lagi. Gustaman saja kayak begini, bagaimana kalau berjumpa Ping. Dan aku berpikir perpaduan diantara mereka berdua saat berhalusinasi dengan sebuah peristiwa. DAN PING SEKARANG DUDUK DI KURSI PESAKITAN SEBUAH BANGUNAN KEJAKSAAN TINGGI NEGERI YANG SURAM : sambil mengipas-ngipas lehernya berkeringat dengan lembaran uang, setebal nuraninya yang sakti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar