Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Jumat, 26 Maret 2010

Dari jendela Peracikan MR. SUBSTITUSI

Saking getolnya mengganti obat di apotek maka tahun ini dia sukses menyandang gelar Mr. Substitusi. Saking paham betul soal komposisi , indikasi,reaksi akhirnya semua obat yang diresepkan dia ganti sesuka hatinya dengan produk KF. Ketika ada keluhan dari keluarga pasien dengan ketenangan penuh tanggung jawab serta rasa percaya diri yang besar dia jelaskan dengan sangat terperinci, hingga sang pasien manggut-manggut tidak jadi marah.
“Ya, trims pak dokter,” kata pelanggan tersebut.
Mr Substitusi manggut-manggut sambil garuk-garuk kepala. Aneh sejak kapan aku alih profesi jadi dokter, begitu barangkali yang ada dalam pikirannya. berkala” untuk menyegarkan dan meningkatkan product knowledge apoteker dan asisten apoteker, yang ketiga: memperbaiki system perencanaan pengadaan barang, sehingga pesanan ke KFTD menjadi lebih baik, setiap pesanan wajib dibuatkan SP dan yang ke empat : setiap pengobatan pegawai dan keluarganya wajib mengutamakan produk Kimia Farma dan dalam hal ini di apotek dialah yang diberi wewenang penuh untuk mengganti produk tersebut. Hebat! Maka tidak heran setiap hari kerjaan mr substitusi ngintil semua outlet untuk mengechek kebenaran empat hal tersebut di atas. Apa sudah diterapkan dengan sungguh-sungguh atau belum sama sekali. Kalau belum dilaksanakan apalagi agak malas dan pura-pura lupa maka akan dapat hukuman.
Jangan sampai ada istilah, lho, saya ‘kan ndak tahu bos kalau harus diganti dengan produk KF. Lho lagi. Lho lagi. Setiap ditanya jawabnya Lho. Teorinya dari atas harus nyambung sampai tingkat paling bawah. Bila perlu pembantu AA-pun dituntut harus tahu. Ntar kalau tercapai, bonusnya bisa dinikmati beramai-ramai.
“Hei, kenapa tak kau ganti produk KF? Naaaaa, ketahuan……”
Sang tertangkap basah hanya melongo lupa mingkem sambil bersikap salah tingkah. Gimana ya, kalau yang ini lha, TST-lah.
“TST? Apaan?”
“Tau sama tau bos hehe… Tahulah bos kalau tiap malam sang empunya produk rajin nyamperin kita dengan sebungkus martabak. Laper bos kalau sampai kelewat shift pada belum makan.”
Wuaduh, gawat! Kayaknya kalau begini bagian promosi juga sepertinya tidak diberikan untuk lengah sedetik saja. Masak gara-gara ‘martabak’ kita rela jadi pengkhianat dengan mengganti produk pihak ke-III? Wah..wah…. gawat juga. Ada ndak yang punya saran untuk hal begini?
Mr. Substitusi dibuat jadi berpikir keras. Jadi tidak hanya sekadar menghafal empat hal pokok di atas. Teori dan praktek terkadang bisa berubah pikiran disaat martabak merambah perut yang lapar. Teorinya, harus menjalankan produk KF, tapi prakteknya : makan martabak. Apa iya statement dan konsistensi bisa kita pertahankan pada jenjang atas nama perut lapar? Ah, jangan-jangan hanya ulah sang perut aja yang begini, perut yang terlalu manja, atau jangan-jangan juga ketika tim promosi KF datang kita juga acung jempol tinggi-tinggi sambil berkata keras-keras:
“Hai teman, wah produk KF udah aku jalanin tuh liat obat di kotaknya ampe habis ludes, besok tinggal buatkan surat pesanan lagi dan ane lakuin kenceng-kenceng sangat kenceng hehehe hebat ‘kan? Ya, produk KF memang hebat dan mantap. Coba aja yang hanya mau beli minyak telon untuk anaknya yang susah kentut, ibunya juga ane tawarin dasabion. Hehehe kok malah ‘ngena’ and mau dibeli juga ya? “
“Wah, anda ternyata memang bener ndak omong kosong kalau dijulukin “sang Substitusi”alias mr. substitusi. Kasi tahu temen-temen yang lain di apotek untuk tetep konsisten menjalankan produk KF ya?” rekan tim pemasaran dari KFTD memuji. Yang dipuji nyengir senang sambil membayangkan martabak.
“Aku yang semangat berapi-api jalanin produk KF, dia malah yang dapet nama. Harusnya aku dong yang dipuji-puji,” gerutu temennya di belakang. Takut bersuara keras-keras, ntar kalau kedengaran malah bisa kena skorsing, tambah runyam!
Tapi akhirnya haha-hehe berakhir dengan salam-salaman sebagai wujud persaudaraan dan sama-sama berjuang untuk mencapai target yang maksimal. Tenang saja kawan, bonusnya yakin akan dibagikan. Semuanya sudah diperhitungkan kok.

SEMENIT SAJA


Beginilah barangkali cinta memanfaatkan waktu
menawarkan luka luka berbalut kekecewaan
sementara waktu bagian dari kehidupan
yang memburu suasana hati penuh jarak panjang
cinta yang megap-megap sesaat memahami jalan-jalan panjang
pada kerikil yang mengait luka
pada aspal-aspal panas menguap
pada trotoar yang selalu sempit
pada traffic light persimpangan
Apakah arti sebuah hati ketika aku belum memahami perasaan seorang wanita
pada ruang waktu yang meruang sudutmu dan hidup ini butuh kepastian
hidup takkan terbayarkan oleh cinta kalau di dalamnya penuh pergulatan panjang
apakah itu sebuah dusta

Apa arti sebuah hati manakala prasangka tercabik-cabik oleh kebohongan.
penuh kebimbangan
pada zebra-cross yang kental dengan tanda-tanda
pada penjaja koran jalanan
pada pepohonan yang kering termakan sinar matahari
Apakah cinta ini akan membangun hidupnya sendiri-sendiri dan selalu menggeliat pada setiap kisi-kisi jendela hati kian usang?
arah mana yang kau tuju,dik?
Kian bimbang terucap!

Oh, sumringahnya hati nan berkarat
penyok oleh benturan kekecewaan
tak terobati pil anti mabuk
atau nelangsa dalam pil penenang
- sekadar menenangkan syaraf pada sel yang melumuri ingatan

Cinta butuh jeda sesaat
untuk mengukur sejauh mana kesungguhan hati punya arti

Memang cinta benar-benar butuh jeda
semenit saja

Kamis, 25 Maret 2010

TENANG SOBAT


Tenang sobat,
200 juta kupersempahkan utpeti ini
Untuk sebuah kursi
Hoopla…jadilah aku ketua partai

Tenang sobat
Sebuah proyek akan menantimu
Kita jadikan negeri ini terminal bisnis

KECIAL KUNING (2) (di kamar hotel tidar)

Dan begitu hebatnya sang kecial bermanis-manis muka
lupa tempat berlabuh, mana daratan yang harus kutuju
bayangnya menebar pesona
mana hatiku terpilah kau sembunyikan di balik pantulan bayang bayang

Senyummu aroma yang memabokan
aku hilang diri lupa Tuhan telah berpihak kemana
dosa ini terlalu dini untuk dibahas
selalu saja aku menyatu dengan langit
menari-nari dalam singasana megah berkilau emas bersepuh janji janji pasti
“rencana ini terlalu vulgar menyelusup diam diam”
ke dalam tubuh
sangsi aku kebenaran
sangsi akan kegoyahan cinta yang ditebus dalam kehangatan sinar pagi
“dik, tubuhmu terlalu hangat untuk ditinggalkan”

Rabu, 24 Maret 2010

SAJAK PILEK

Kata siapa bahagia itu milik anak anak yang polos
matamu menatap dalam heningnya hati
beningnya cinta kasih?

Kan kubuktikan kebahagiaan itu, kau jalani kalau sebuah kekecewaan menunggu?
ah, katakan saja pada setiap orang kalau aku benar-benar bahagia
dalam kekecewaan yang pasti

Kata siapa cinta itu sebuah perjanjian dalam kata
sebelum dahan itu menemukan akarnya berkubang
dalam nadi waktu

Apa aku katakan bahagia
setiap pagi pilek selalu menggerayang ruang jiwaku
hingga membengkak dalam tubuh

O, hidup, tolong berikan sejenak aku kebahagiaan
dipagi yang cerah ini
bebaskan aku dari pilek kurangajar
yang membelenggu segala aktifitasku

Senin, 22 Maret 2010

Dari Jendela Peracikan: APOTEK MAKELAR ATAU CALO OBAT?

Seorang petugas apotek nampak dengan sigap membagi-bagikan kartu pelanggan kepada setiap pengunjung yang datang.
“Nanti kalau berobat kembali atau mengantar keluarga yang sakit, resepnya tebus di sini ya pak. Tuh, ada tertulis gede-gede: KIMIA FARMA. Oke pak? Oke Bu? Selamat siang, semoga lekas sembuh dan hati-hati di jalan,” kata petugas itu sopan dengan gaya bahasa yang lincah jenaka tapi tidak mirip pelawak.
Lelaki yang menerima kartu pelanggan tersebut mengernyitkan dahi.
“Ini mengharapkan saya sakit atau gimana?”
“Wow, tidak pak. Maaf pak. Mohon bapak jangan tersinggung. Kartu ini kurang lebih berarti begini: ketika bapak menikmati waktu santai di rumah, dan melihat kartu ini, bapak akan teringat sakit bapak sebelumnya. Dikala itu pastilah kondisi bapak lagi prima dan berbahagia dan memang saya harap bapak sehat-sehat saja. Kendati tidak harus kontrol rutin, paling tidak bapak pernah sembuh oleh obat yang kami berikan dari apotek kami. Ringkas’ kan pak? He he he, kamilah yang paling berbahagia melihat kesembuhan bapak karena bapak pasti akan teringat apotek kami dengan demikian……dst….dst…” demikian petugas apotek dengan keramahan yang tidak dibuat-buat mengakrabkan diri kepada pelanggan.
Memang petugas apotek Kimia Farma dididik untuk ramah dan berbahasa sopan. Itu yang pernah diajarkan dalam exellent costumer service. Bekerja dengan baik adalah ibadah. Bekerja dengan penuh keramahan pada setiap pelanggan adalah ibadah tingkat tinggi. Setiap pelanggan yang datang adalah rejeki buat kita. Tidak salah memang kalau kita berpendapat sesungguhnya kita di gaji oleh orang yang sakit. Akan sangat disayangkan sekali kalau sampai mengecewakan orang yang sudah menderita dan mesti mengeluarkan kocek untuk menebus obat, ternyata kita tidak melayani dengan ramah dan sopan. Iya nggak?? Makanya kita mesti merasa beruntung bekerja di apotek.
Walau terkadang sedikit berlaku munafik, untuk mendatangkan omzet yang harus dicapai kita kadang-kadang atau bahkan sering mengeluh, “ wah omzet turun, kok menurun resepnya ya. Hmm, kok ndak ada yang sakit datang ke apotek ya.” Sesungguhnya kita tidak berdoa seperti demikian, tapi kurang lebih dapat dimengerti, kalau tidak ada masyarakat yang sakit, tentu tidak ada resep. Dokternya tidak laku, sepi pengunjung, obatnya macet dan apoteknya lenggang. Praktis sekali kalau tidak ada masyarakat yang sakit, tidak perlu membangun rumah sakit besar-besar. Dari sekian banyak masyarakat yang ada di Indonesia tidak semuanya sehat-sehat sebaliknya juga tidak seluruhnya masyarakat yang sakit mau berobat apalagi datang ke apotek untuk menebus resep. Dilema masyarakat (terutama golongan masyarakat bawah/miskin) sedikit unik dalam hal perlakuan kesehatan. Iya nggak?
Kreatifitas untuk meningkatkan omzetpun diupayakan. Seorang petugas apotek mengunjungi temannya di sebuah rumah sakit. Dan ‘menitipkan ‘ name-card apotek. Cara halus yang sangat sopan oleh pelayan kesehatan tersebut dilakukan dengan menempelkan kartu nama tersebut pada lembaran resep. Cara yang halus untuk menggiring sampai kepada alamat yang tercantum pada kartu nama itu untuk diharapkan sampai pada apotek yang dimaksud. Seorang pasien yang awam akan dengan mudah tergiring sesuai dengan petunjuk yang tertera sembari basa-basi bertanya:
“ Ini alamatnya tidak satu jalur ke arah rumah saya, apa bisa ditebus obatnya di apotek lain?”
“Silahkan saja pak. Tapi apotek ini mempunyai jaringan luas, kalau bisa ya, sesuai dengan alamat pada kartu nama itu pak”
Pasien manggut-manggut, cukup mengerti.
Manakala ketemu pasien yang sedikit bernada kritis berkata ringkas dengan komentar sinis:
“Wah, ini malah ada makelar apotek! Feenya berapa prosen?”
Nah!
Apotek tujuan sebenarnya adalah sebagai tempat layanan farmasi, menyediakan obat utnuk pendistribusian pada tingkat pengecer dengan harga bersaing serta tidak pernah memberi iming-iming dalam bentuk fee dengan dasar perjanjian kontrak. Percaloan obat memang tidak boleh terjadi. Istilah calo obat disini dalam arti mempromosikan keberadaan sebuah apotek yang siap mendatangi para dokter penulis resep dengan iming-iming ada pembagian fee yang bisa diberikan diambil dari omzet penjualan. Berapa prosen?
“Kita memang harus mempromosikan Kimia Farma, produk layanan yang prima serta produk obatnya tanpa harus memberikan janji dalam bentuk prosentase fee. Kita tunjukkan penampilan kita yang nyaman dan orang pasti akan datang, jangan sekali-sekali memberi janji apalagi memenuhi janji dalam bentuk fee kepada setiap rekan yang mengarahkan resep ke apotek kita tak ubahnya seperti percaloan dalam bisnis obat.” itu ketegasan dari atasan saya.
Ya betul! Itu namanya apotek makelar.
Namun kalau dilihat cara kerja ini jauh lebih sehat ketimbang apa yang terjadi di rumah sakit belakangan ini. Ada sebuah rumah sakit pelayanan jasa medis yang justru memberlakukan pelayanan prima yang lebih halus lagi. Pasien rawat inap tidak pernah tahu apa yang diresepkan dalam ’visite dokter’ yang merawat, tahu-tahu sudah diantarkan obat yang rinciannya secara global digabungkan dengan biaya perawatan saat pasca opname. Tak jarang keluarga pasien kaget setelah mengetahui biaya yang justru melebihi dari persediaan dompetnya. Wah, kalau yang ini justru lebih parah dari sistem promosi kartu nama tadi.Pasien yang menyatakan complaint secara diam-diam, akan melakukan tindakan pulang paksa, tak jarang sebagian biaya tidak dibayar dan menjadi tanggungan pihak rumah sakit. Kalau pelayanan seperti itu terjadi di RS Swasta, tidak akan menjadi masalah, karena rata-rata pengunjung adalah setara dengan pasien berkelas kaliber alias ”the have”. Hanya saja kalau terjadi di rumah sakit negeri, memang patut dipertanyakan. Tapi hal ini sepertinya tidak terjadi di daerah saya. Karena kalau memang benar-benar sampai terjadi di rumah sakit negeri statusnya akan berubah menjadi rumah sakit komoditi memanfaatkan kelemahan konsumen yang sedang sakit dan menderita, terutama sekali untuk pasien yang tergolong ekonomi kelas bawah. Namun sepanjang tidak ada keluhan dari masyarakat sesungguhnya: no problem!
Dengan demikian istilah apotek makelar atau calo obat memang tidak boleh terjadi, kendati itu dilakukan dengan cara halus ataupun diam-diam. Yang jelas kita hanya mengarahkan seorang pasien mampir menebus obat ke apotek kita tanpa kesan memaksa atau terpaksa atau dipaksa-paksa harus di giring ke apotek. Mari pak, mari bu, singgah ke apotek kimia Farma. Lengkap kok. Jangan khawatir, petugas kami ramah dan sopan. Dan semoga anda puas dengan layanan kami.(dgk)

Minggu, 21 Maret 2010

KECIAL KUNING (1)

Perjalanan belum berakhir,dik
kita hirup gelas-gelas yang memberikan nasib berbagi dalam satu atap
dimana arahnya angin berdesir awalmula membagi kenangan
namun harus tetap catat keinginan keinginan tak sampai
aku ragu karena batas kekecewaan terlalu dekat
kian malam menghempaskan dalam mimpi mimpi
tak pasti

Dik, engkau isyaratkan semua kekalahan dalam benak merongga di dada
senantiasa kita memburu dengan masing masing kekalahan
siapakah engkau wahai? Dalam keterasingan ini mestinya kita menyimpan rahasia
sampai bintang bintang lupa mencari langitnya
dan purnama menjadi kering memantau bayang bayang di atas pijakan tak jelas
dik, entah pada arah yang mana engkau berjalan menuju rumah, entah usai pada pintu ke berapa
akan selalu engkau bukakan harapan?

Lewat perjamuan ini kau suguhkan zat yang membuat aku begitu cepat sampai ke langit
tubuh berpacu dengan waktu dan belajar terbang bersama burung-burung
gelas kita mulai kosong, dik
tidak ada yang sia-sia dalam penantian
tidak ada tersisa
dalam hasrat yang selalu sama
entah kapan mulainya, mata ini telah menyatu
dalam hitungan paruh waktu yang bergerak cepat
dalam bilangan angka yang berlalu

Perjamuan manakala menemukan batas akhir
kita sama sama lelah
pulanglah, dik
masih ada yang menunggu di rumah
sisakan kerinduan ini buat esok

Jumat, 19 Maret 2010

Cerpen : J E R A W A T

Telah diputuskan untuk menghilangkan, apa yang dilakukan selama ini sia-sia belaka, usahanya tidak berhasil, ternyata tidak mau hilang-hilang juga. Jangankan untuk hilang, berkurang sedikit saja tidak bisa. Ia tidak mau ambil resiko.
“Ah, sudahlah, biar begini saja apa adanya, sudah seharusnya Neni tidak senang hanya gara-gara jerawat sial ini,” katanya pasrah setengah meringis, ia tahu belakangan ini telah terjadi perubahan yang sangat menjolok pada sikap Neni.
“Tapi itu bisa dirawat perlahan-lahan dengan teliti, ” aku menghibur, mengurangi perasaan kecewa yang melanda hatinya, betapa tidak sebelum beberapa bulan ini memang ada perubahan besar dalam sikap Neni terhadapnya, begitu mengetahui keadaan dirinya. Dia pasrah. Dia mendesah kecewa.
Ceritanya begini: temanku seorang penulis, keseharian paruh hidupnya hanya buat menulis. Waktunya dihabiskan hanya buat aktifitas mengkhayal, terkadang bengong di pinggir jalan dan suka bengong di pegunungan sambil melihat-lihat kehijauan alam. Sekarang hidupnya mulai dirasakan ada yang janggal. Dia punya jerawat di sekitar pipinya. Ia membiarkan. Rasanya muka tanpa jerawat ibarat langit polos mendung tak berbintang. Berarti tidak ada hujan, tidak ada yang membasahi bumi ini dengan air. Bagaimanapun langit tanpa mendung menggambarkan sebuah inspirasi akan karya-karyanya karena hujan biasanya disertai datangnya petir menyalak-nyalak galak, terkadang sedikit ganas. Sebagai sebuah petir yang datangnya dari langit tak ubahnya pemacu bagi langkahnya dalam berkarya. Akan halnya kepikiran dengan jerawatnya itu toh ia hanya menganggap musiman seperti datangnya musim hujan, mendung dan petir di langit. Jerawat disaat ada rasa mengalir dalam dirinya dan rasa itu terabaikan oleh sang kekasih tentu akan nonggol bintik-bintik jerawat, begitu pikirnya. Tidak hanya itu, hal sepele sekalipun mengenai hasrat tak tercapai oleh sesuatu yang namanya keinginan nan maha dahsyat pun dapat memunculkan pernik-pernik menarik di wajah. Perasaan yang sinkron dengan kulit yang paling sensitif. Aku mulanya beranggapan begitu. Temankupun berprasangka demikian.
Masalahnya jadi lain setelah beberapa lama jerawatnya bukannya berkurang, malah semakin menjadi-jadi. Kini mukanya penuh dengan bintik-bintik. Jerawat meronai mukanya yang dulunya halus dan penuh dengan penampilan yang mengundang rasa simpati sangat dalam. Muka yang diimpikan, yang merupakan pesona dari penampilannya, kini telah berubah menjadi momok yang sangat menakutkan. Sungguh sangat menakutkan bagi orang-orang yang melihat, terlebih lagi Neni. Ndak usah dikatakan lagi betapa takutnya Neni dan begitu ngerinya melihat mukanya. Sorot matanya tidak bisa menyembunyikan semua itu. Neni telah menjadi orang asing di dalam hidupnya. Hatinya bahkan mungkin siapa tahu akan bisa mendua karenanya. Kalaupun Neni bukan seorang pengkhianat, barangkali saja akan memutuskan begitu saja tali percintaan ini. Bah! Jerawat ini akan berubah menjadi momok yang sangat kronis bagi hubungan cintanya.. Memang Neni sudah berubah jadi mahluk lain dan tidak mengenal dirinya. Jangankan itu, berkomunikasipun Neni sekarang tidak mau, karena gadis itu tidak mau menatapnya sedikitpun. Dia jadi rendah diri, merasa diri jelek dan tiba-tiba saja kepercayaan pada diri menjadi lenyap. Pupus tak berbekas seperti goresan-goresan jerawat, seperti hilang imajinasi sekaligus seperti kehilangan buah pena berikut kalimat-kalimat yang akan dia tulis. Dia merasa menjadi mandul. Tidak mampu menghasilkan karya-karya yang bagus lagi. Jangankan karya seni yang bagus, berkarya saja dia sudah tak mampu lagi. Mood yang ditunggu-tunggu demikian angkuhnya, sertamerta perkara jerawat ini mampu membuatnya impotent. Dia merasa sudah seperti mati. Dia merasa tidak punya gairah lagi. Akupun merasa harus ikut memikirkan perkara jerawat temanku itu.
”Sudah kupakai segala macam obat yang kamu anjurkan,” ia meyakinkan, bahwa ia benar-benar telah memakai obat itu.
”Sudah rutin dipakai?”
”Sudah!”
”Rutin seperti yang dilakukan teman-teman yang memiliki jerawat yang sama? Perawatan rutin seperti yang dilakukan gadis-gadis. Artinya telaten, bangun tidur, akan tidur dan waktu...........”
“Sudah…….sudah. Alah, pokoknya sudah!”
Aku diam.
“Bahkan aku menambahkan dengan ramuan tradisionil. Jamu sari ayu kepunyaan ibupun kupakai. Cuci muka dengan air suam-suam kuku, tapi tetap begini-begini saja,” ia mendesah kecewa. Mukanya benar-benar mengundang rasa kasihan bagi yang melihatnya.
”Bisa jadi karena seringnya ngeluyur. Terlalu banyak kena angin malam.”
”kamu percaya itu?”
Aku mengangguk.
”Tapi nyatanya seperti yang kulakukan belakangan ini, aku mulai banyak baca buku di kamar. Aku lebih senang sekarang menghabiskan waktu dengan membaca segala jenis buku. Semuanya aku lakukan di kamar, kecuali hanya pada waktu kuliah saja, aku keluar rumah.” Jawabnya keras, protes terhadap apa yang menjadi penilaianku terhadap kebiasaannya selama ini. Sepertinya dia merasa aku terlalu banyak mengatur dan mengawasinya. Dia merasa seperti dituduh telah melakukan atau berubah dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Itu karena jerawat yang kian subur nangkring di wajahnya.
”bahkan sekarang aku sudah punya salon tetap untuk facial wajah. Katanya harus rutin dirawat seminggu sekali. Dan aku disarankan memakai jenis la – tulipe. Hebat kan? Orang seperti aku sudah doyan datang ke salon.”
Memang aku mengetahuinya. Mungkin saja tuduhanku terlalu ngawur dan asal ngomong saja. Tidak terlalu memikirkan perasaannya, bagaimana dia merasa terbebani dengan keadaan begitu. Memang nyatanya kini ia lebih banyak mendekam di kamar.Rak-rak kaset yang biasanya berdebu, kini jadi bersih. Ia habiskan waktunya di kamar dengan mendengarkan musik. Dan tidak perlu kaget memang kalau kebiasaannya menyanyi keras-keras semakin santer saja keluar menerobos pintu kamar. Kebiasaan lain semakin asyik dengan kegiatan lama dengan membaca-baca semua jenis buku. Buku-buku karya YB Mangunwijaya, karya Edgar Allan Poe, karya NH Dini. Bahkan novel-novel cerita anak yang ditulis ibu guru Enid Blyton pun dia lahap habis dalam beberapa seri tanpa jenuh, hanya agar betah bertahan di kamar demi sebuah ketakutan yang namanya jerawat.
”Yang pasti aku ndak mau membaca buku mengenai tata kecantikan wajah. Bosan! Itu semua terlalu banyak alternatip produk yang bersaing. Semuanya mengatakan nomor satu, tak peduli cuaca kota disini terhadap adaptasi kulit. Gombal kadang-kadang. Terlalu banyak teori.”
Yang jelas ia ingin jerawat tersapu bersih dari wajahnya. Urusan pacar nanti dulu dipikirkan.
”Pokoknya aku juga berhenti ngopi, berhenti begadang, jarang lagi merokok. Bila perlu kutulis jadwal kapan harus melakukan kebiasaan-kebiasaan itu tanpa harus mengganggu proses pengobatan yang memakan waktu dan sangat menjenuhkan ini. Lagipula nulispun aku mulai jarang. Akupun mulai mengurangi kehadiran pada pertemuan-pertemuan, segala bentuk saresehan baik itu yang berlangsung siang hari maupun malam hari. Aku telah memutuskan untuk tidak hadir sama sekali. Terserah sosialisasiku menjadi tumpul karenannya. Terserah! Ke rumah Nenipun aku mulai jarang, kurasa dia takut dan ngeri kalau ketemu aku. Aku merasakan itu. Kurasa diam-diam hubungan ini mungkin sudah berakhir begitu saja, tanpa dapat dihindari,” katanya jengkel dan sangat putus asa. Bayangkan saja kalau ia mendekatkan wajahnya pada Neni, Ia yakin kalau kekasihnya takut ketularan dengan jerawat di mukanya yang besar-besar. Sebesar bisul. Ini jerawat sialan. Ini sudah abses. Sudah dilanda wabah infeksi yang maha parah.
Aku meringis.
Kupandang satu persatu buku-buku yang berserakan, kaset-kaset yang berantakan, literatur yang berhamburan disana-sini. Bungkus-bungkus jamu sari ayu berjejer di sebelah botol-botol dan entah apa lagi dalam posisi sangat tidak beraturan. Kamar ini tak ubahnya seperti kapal pecah. Semua berantakan. Kupandang lekat-lekat wajah temanku. Jerawat bagai jamur dimusim hujan, tumbuh rata di pipinya, di sebelah kumisnya yang tipis, di dekat hidung, di dahi, di dagu, dimana-mana. Semuanya jerawatan.
Keesokan harinya aku sudah berada di kamar penampungan kekesalannya. Terkadang aku merasa geli melihatnya, terkesan hidupnya seperti terpasung. Memang belakangan ini aku jadi berpikir tentang dia. Aku jadi teringat ada sebuah obat oral, itupun informasi tidak begitu jelas dari salah seorang teman yang bekerja di bidang obat-obatan. Aku percaya karena formulanya dia yang merancang sebagai spesialis kulit. Kubeli sebotol karena ingat dia. Entah apa namanya. Kusodorkan padanya.
”Dengan butir tablet dan disertai cairan obat luar ini akan mendatangkan kembali keyakinanmu untuk hadir di segala aktifias, di setiap apresiasi yang diselenggarakan, pada setiap sudut-sudut pengembaraan bathin imajinasimu. Percayalah!”
”Pasti hilang?”
”Cobalah dulu. Tapi harus disiplin mengkonsumsinya. Jangan setengah-setengah. Jangan tanggung-tanggung. Tumbuhkan rasa percaya diri dalam pikiranmu bahwa ini semua akan menyembuhkan”
”Kau sengaja memberi sebuah keyakinan buatku? Atau kau hanya mendatangkan kegombalan untuk mengada-ada selanjutnya untuk mengata-ngatai, mengejek, menertawakan bahkan membelenggu diriku dalam ketidakyakinan atau kau......? ah, aku semakin tak mengerti.”
”Apapun alasannmu yang jelas keyakinan harus tetap ditumbuhkan, jangan terlalu mudah putus asa.”
Dia ragu sejenak. Memandang botol obat jerawat di tanganku. Ia rupanya sudah bosan dengan jerawat keparat di wajahnya. Jerawat yang membuat segala sesuatu jadi terhambat.
“Aku tidak tahu, apakah harus mempercayai, mencoba lagi dan terus berusaha meyakini apa yang engkau berikan?”
“Cobalah!” aku mendesak.
“Apakah ini sugesti ?”
“Sudahlah! Segala macam keraguan dan segala tetek bengek aturan-aturan yang mengungkung hanya akan menciptakan teori saja. Akan semakin jauh ditinggalkan oleh solusi yang kau harap-harap dengan kecemasan tak pasti! Sekarang kalau ini sebuah sugesti, berikan keyakinan pada dirimu sendiri. Terapkan dan pakai dengan sungguh-sungguh. Sugesti ini perlahan-lahan akan memberikan kesembuhan total!!.” Aku lebih menekankan sebuah semangat baru dalam kepasrahan yang melotot keluar dari kedua bola matanya.
Perlahan dia mengambil dengan berusaha menampilkan kesan wajah yang baru walau dipaksakan. Sejenak matanya berbinar bersama jerawat-jerawat segede bisul itu.

Kamis, 18 Maret 2010

Dari Jendela Peracikan : APOTEK GENERIK


Di jaman krisis moneter ini semuanya serba mahal pak!” Seorang petugas apotek memberi penjelasan kepada keluarga pasien.
“Ya, tapi obat jangan ikut-ikutan naik dong!”
“Maaf, pak ini juga daftar harga kami terima dari pemasok, dari distributor obat. Terkadang bisa dalam waktu sebulan kita malah terima dua kali price list.”
“Ya, barang stok yang lama semestinya jangan dinaikan dulu harganya. Ini apotek latah ikut-ikutan naikkan harga. Kayak harga sembako saja. Semuanya naik melipat. Kita rakyat yang susah,” kata konsumen tersebut sambil ngeloyor pergi, tidak jadi beli obat..
Dan ucapan-ucapan yang sama sering terlontar dari para keluarga ataupun penunggu pasien yang lain. Ketika penulis sempat mewawancarai beberapa pelanggan serta dokter-dokter terdekat, jawabnya ringan-ringan saja, bahkan ada yang sewot dan ngotot menyalahkan apotek yang seenaknya naikan harga obat.
“Ah, itu’kan keuntungan pihak apotek. Dari distributor sampai ke tangan pasien entah sudah berapa kali lipat naik harganya. Kalau itu dikatakan hampir semua bahan baku import, ya habiskan dulu dong stok yang lama, baru diikuti dengan harga baru,” kata salah seorang pelanggan rutin yang complaint dengan perubahan dari harga obat yang juga rutin dibeli setiap bulan dalam jumlah cukup besar. Saking rutinnya datang ke apotek, pelanggan tersebut jadi hafal dengan jalur distribusi obat.
Namun pada kebanyakan pasien dari resep yang dibawa ke apotek, sudah langsung minta jenis obat generik.
“Tolong berikan yang generik ya? Kan enggak makan mereknya….” Ujarnya sembari meniru iklan TV swasta, sambil menyodorkan selembar resep pada sebuah apotek yang bertempelkan stiker pada dinding kaca etalase. Tertulis besar-besar : “Harga obat generik turun 50%”
Kendati dinilai masih agak mahal, toh obat tersebut dibeli juga dibandingkan dengan harga obat paten yang hampir 10X lipat harganya. Namun kalau keuangan sudah tidak memungkinkan lagi pasien dengan agak terpaksa menebus dengan setengah resep, bahkan tidak jarang malah mengurungkan niatnya untuk membeli obat. Itu berarti tidak ada obat yang diminum saat dia sakit.
Masih untung dapat obat. Di saat harga-harga sedang melambung tinggi jauh di angkasa raya, ada beberapa obat yang hilang dari pasaran sedangkan obat-obat tersebut sangat dibutuhkan oleh pasien.
“Saya sudah keliling apotek mencari voltadex tablet untuk orang tua yang lagi rheumatik. Rutin kok saya membeli obat itu. Tapi jawabnya kosong. Gimana ini?,” kata seorang bapak-bapak di depan apotek yang buka 24 jam.
Nah, kalau sudah begini harus bagaimana lagi? Tapi itu lain lagi kalau jenis-jenis obat dispensing yang memang langsung diberikan oleh dokternya. Terkadang apotek kesulitan untuk memasok kalau tidak dalam jumlah yang besar. Lagipula kabar terakhir sepertinya obat tersebut sudah tidak beredar di pasaran.
Apakah benar harga obat generik turun 50%? Ini yang mesti hati-hati diinformasikan kepada masyarakat pemakai obat.
Pada tahun 1998 pernah memang dirjen POM (pengawasan Obat dan makanan) dalam sk-nya per 18 Pebruari, bahwa harga obat generik turun menjadi normal kembali sesuai dengan adanya subsidi pemerintah sebesar Rp. 700 milyar untuk menunjang bahan baku import. Tepatnya harga obat generik tersebut tarifnya masih antara 6 s/d 66% lebih tinggi dari harga rata-rata sebelum terjadi kenaikan. Kita lihat pada bulan januari sebelumnya sudah dinaikan antara 40 s/d 100%, dengan adanya penurunan harga sebesar 34%, maka masih terjadi selisih harga di atas harga sebelum kenaikan itu diputuskan.
Untuk pasien kronis dengan jenis resep-resep langganan, terutama untuk obat-obatan yang rutin dipakai, sebaiknya memang dicantumkan hal-hal yang sebenarnya untuk menghilangkan kesan ketidak percayaan terhadap pihak apotek. Jadi dengan demikian tidak perlu menyebutkan global angka secara detail satu per satu atas penurunan harga tersebut. Cukup ditulis : “ Harga Obar generik turun”
“Berapa prosen, pak?”
“Ya, adalah sedikit keringanan dengan subsidi pemerintah dan yang pasti obat tersebut masih bisa dijangkau masyarakat,” jawab kita-kita selaku petugas apotek sembari menghibur perasaan gundah pasien.
Ya, memang kita tidak perlu sakit hati dengan keadaan begini. Karena ini terjadi bukan di satu daerah saja, bahkan hampir di semua daerah. Sudah merupakan masalah nasional bangsa kita. Kalau terjadi penciutan biaya-biaya operasional, itu hal yang wajar. Di jaman gelegar harga-harga yang kian melonjak, segala jenis discount-pun mulai ditinggalkan. Tidak ada penjualan dengan discount, yang penting pengadaan obat-obatan harus cukup lancar pemenuhannya dan berada pada stok level yang aman, mahal sekalipun.
Tahun 1998 dalam krisis ekonomi dan moneter yang pernah melanda negeri kita yang berdampak pada harga-harga sembako, melibas juga di dunia farmasi. Kita memang dituntut untuk tetap mengencangkan ikat pinggang dan prihatin dengan keadaan ini. Untuk di unit perapotekan kita masih tidak bosan-bosan untuk menawarkan jenis obat termurah, obat generik yang tidak kalah khasiatnya dengan obat paten. Inilah apotek generik, silahkan beli disini saja pak! (dgk)

SAJAK KECIL TENTANG PADIBU

Malam itu ada butir-butir padibu berlarian
Melonjak girang menuju kerongkongan seseorang
Malam sengak
Basah
Padibu terkulum panas membara
Membakar keinginan
Denyar nadi yang menggeliat
Gigil memburu dahsyat

Malam yang letih
Tidak ada yang kalah
Tidak ada yang mau kalah
Namun sama sama malu mengalah

KE SORGA?

Namun bila moksha tak tercapai
Jalan arah mana yang akan kau tempuh
Sementara kau memilih sorga
Akankah sampai disana?

POTRET KESEPIAN ADINEGORO

Pakar Komunikasi Fisipol UGM dan Fisipol UI, DR. Eduard Depari, MA, M.Sc pernah berbicara tentang eksistensi pers mahasiswa jangan mengharapkan seperti pers di tahun 1966 dalam situasi yang sudah jauh berbeda. Pesimisme yang tidak dapat dikatakan mengaggumkan. Barangkali juga di jaman sekarang tidak lahir Adinegoro kedua atau hanya sekadar berminat menanamkan bakat seorang Adinegoro untuk dapat disebut sebagai sebuah cap keberhasilan. Atau belajar serta hanya bercermin yang terbayang di mata Adinegoro hanya untuk menggali pengalaman di tengah-tengah sarat dan sumpeknya SKS sebagai suatu dilema lulus jadi sarjana atau drop-out.
Menulis itu butuh minat. Minat yang tumbuh dari kemauan yang terus menerus untuk belajar guna menghasilkan sebuah tulisan atau hasil karya yang berbobot. Minat tidak begitu saja lahir ataupun jatuh dari langit. Minat adalah sebuah kesepahaman antara pikiran dan hati. Dalam upaya berkreatifitas tidak terkandung dari masing-masing personal, sekalipun itu kalangan intelektual, namun tidak dipungkiri mereka semua lahir dari kalangan kampus yang juga banyak melahirkan cendekiawan. Kampus itu merupakan wadah untuk berkreatifitas. Menulis dengan bahasa yang indah butuh pemahanan intuisi seni yang intens, yang terkadang hadir dalam perenungan-perenungan yang maha dalam. Siapakah yang boleh merenung? Sama halnya dengan menjawab kebebasan milik setiap orang yang berkreatifitas. Tidak ada larangan sama sekali. Kreatifitas menulis di kampus tidak boleh dibungkam sama halnya tidak boleh membungkam mahasiswa yang tengah membaca gejala-gejala sebuah ketimpangan yang terjadi di masyarakat; biarkan mereka murni bersuara. Itu kalau ingin melahirkan cendekiawan tulen dari kampus.
Adalah kepenulisan itu sendiri, terkadang perlu pendalaman juga. Baik itu berupa jenis penulisan menyangkut berita, penulisan feature atau juga upaya kreatifitas untuk melahirkan karya fiksi sejenis sastra tentang cerita pendek, sajak, novel dalam misi penyampaian pesan atas sebuah kejanggalan-kejanggalan berikut penyakit-penyakit yang terjadi di masyarakat. Ke semuanya itu masih dianggap jauh bahkan kalau diambil perbandingan antara kalangan mahasiswa yang bukan dari disiplin ilmunya, masih jauh mendominir kepiawaian mereka dalam sebuah pengungkapan bahasa. Artinya kalangan dari berbagai disiplin ilmu harus punya anggapan bahwa menulis yang baik dan mengandung bobot tertentu merupakan akar dari jiwa seorang calon inteletual. Itu tidak bisa lepas sama sekali dalam keseharian sekalipun. Itu pula akan menjadi sedikit lebih cemerlang hasilnya terlebih lagi dengan adanya penunjang khusus, misalnya salah satu jadwal dalam mata kuliah yang mengisi bidang tentang pemahaman dunia tulis menulis.
Mata kuliah yang menyangkut tentang jurnalistik dalam tubuh publisistik yang ditegaskan dalam istilah kita menjadi suatu disiplin ilmu komunikasi yang merupakan pola dasar yang dimiliki semua insan manusia dalam mengemukakan, menyampaikan buah pikirannya. Komunikasi merupakan awal mula pengenalan seorang manusia dalam mengidentifikasikan diri, dalam memproyeksikan diri terhadap lingkungan sesamanya. Tentang komunikasi itu sendiri sudah jelas mengandung informasi, penyampaian suatu maksud dan lain sebagainya dalam hal ini sebuah komunikasi yang terjadi di kampus yang menyangkut dunia pers pada halaman media bernalar ini lewat berbagai bentuk aktifitasnya. Adanya saran menarik dari ungkapan tersebut sekaligus pesimisme yang menggelitik setelah dihubungkan dengan disiplin mata kuliah. Secara target memang ada keharusan bagi mahasiswa untuk mengisi sistim kredit semester tersebut dengan menomorduakan pers. Memang tidak terlalu keliru. Kita juga melihat bahwa, pada hakekatnya kepenulisan adalah semacam pola dasar, sebuah pengalaman yang berharga sekali dengan tujuan sederhana untuk melatih daya nalar mahasiswa terhadap berbagai permasalahan yang tengah dihadapi, terlebih lagi sebagai persiapan dalam menghadapi problema sebenarnya selepas dari dunia kampus dengan gelarnya yang terhormat. Tentu saja tidak ingin tercetus sebuah anggapan mahasiswa klasifikasi kacang goreng kalau pengalaman di dunia terpelajar yang berhasil (dianggap) melahirkan bentuk keahlian demikian berguna yang mendorong ke arah pekerjaan sebagai penghasilan penunjang (penghasilan tambahan).
Namun bagaimanapun ilmiahnya suatu pers kampus akan tetap nantinya membawa kesegaran baru dalam bernalar di lingkungan studi yang menggejala pada bentuk rumours kecil sekaligus menjadi sebuah hiburan bernuansakan ilmiah terhadap batas intelektualitas mahasiswa yang mampu menangkap gejala-gejala sampingan terhadap keseriusan bahan yang disajikan. Misalnya saja minat menulis pada sebuah penulisan artikel yang menyangkut kehidupan mahasiswa secara umum. Pada sisi lain dapat dianggap sebagai sebuah lompatan samar dalam mencari sebuah pengaruh untuk kegiatan kemahasiswaan. Yang pasti bagi mereka-mereka yang tidak terlalu memiliki sifat apatis terhadap berbagai kegiatan kampus akan menyimpulkan bahwa ada makna persuasive yang dituliskan dalam sebuah artikel yang mereka buat dengan beranggapan demikian fleksibelnya makna yang terkandung dalam sebuah jadwal mata kuliah disertai minat baca yang tinggi dari sosok seorang mahasiswa. Keberhasilan menjalin komunikasi lewat system pers kampus ini sebagai pengaruh akan menunjang sekali kalau kegiatan akademik lainnya sebagai kegiatan ekstra kurikuler tempat bersuaranya jelas atau diberikan bersuara secara murni.
Namun bagaimanapun pula DR. Eduard Depari sang master ini tepat kalau suaranya dalam masa kekinian bagi mahasiswa lebih menciptakan nuansa favorable kalau dikatakan pers mahasiswa dapat hidup dan berkembang secara professional. Itupun kalau melihat dari kondisi menyenangkan bagi mahasiswa yang jelas-jelas tercipta dalam konsep wawasan almamaternya. Namun disini patut pula kita pilah antara profesi yang berdiri sendiri dengan kelangsungan mahasiswa yang sedang bergelut di dalamnya. Profesi tetap merupakan profesi dalam kesatuan yang utuh sedangkan kelanjutannya pula memerlukan penunjang sebagai faktor sampingan. Tidak akan berjalan bersama, seiring dalam suatu kesuksesan. Mengharapkan suatu penghasilan dalam profesi satu bidang dalam kehidupan modern di lini millennium seperti sekarang ini masih perlu dipikirkan. Barangkali teori kesuksesan sang wartawan Djamaluddin Adinegoro dapat untuk direnungkan sebagai sosok kental yang akrab dalam media tulis menulis. Beliau mempunyai wawasan tersendiri yang ditekankan pada kebanyakan wartawan muda. Anjuran dengan mengatakan bahwa; jika anda menjadi wartawan, jangan hendaknya menjadi wartawan, thok. Anda musti menjadi pengarang juga. (jagat Wartawan Indonesia.hal.442)
Potret pers mahasiswa, terlepas dari perkembangan yang ada, selain kampus yang bersuara, terkadang dan banyak juga kita lihat gema keras bergaung di luar kampus. Penulis berita dan juga kalangan sastrawan yang akhirnya bermuara di dunia pers di luar lingkungan kampus terkadang malah suaranya bergaung gema lebih keras kalau tidak dapat dikatakan berbobot. Utamanya lewat upaya otodidak yang mereka kerjakan. Mengapa? Karena mereka pun pada dasarnya ingin pula mengungguli kontinuitas berpikirnya lewat kreatifitas yang tidak harus mandul kendati tidal lahir dari lingkungan kampus.
Dan kalau dikatakan pers mahasiswa sangat begitu sepi eksistensinya dan celakanya kalau pernah dikatakan sebagai sebuah penyakit yang perlu diamputasi, barangkali juga tantangan baru bagi generasi pers jebolan kampus kini yang menghayati pula eksistensinya Adinegoro yang pada HUT pers tahun ini benar-benar sepi tanpa mencatat sebuah penghargaan yang belum waktunya buat kita semua. Skala daerah dan nasional.(dgk)

Senin, 15 Maret 2010

Dari Jendela Peracikan : APOTEK BAROMETER


Suatu ketika menjelang dinas malam di apotek dalam jadwal yang bersamaan, seorang dokter menyapa di depan counter sambil basa-basi bertanya.
“Stok obat apa saja yang cukup banyak di apotek?”
“Cukup banyak? Agak banyak? Atau kebanyakan?” jawab petugas apotek guyonan, karena tahu dan hapal betul dokter yang satu ini memang suka bercanda.
“Iya..”
“O….semua ada, hampir tidak ada yang kosong. Tenang aja dok. Apa yang tertulis pasti kami sediakan”
Maksudnya jelas, keadaan stok obat merata ada. Lalu apa yang akan diresepkan?
Tergantung kunjungan dan jadwal kontak med-repnya. Tidak ada yang rahasia dalam penulisan produk dalam suatu resep. Kewibawaan resep adalah setara dengan kontrak kerja dengan produsen obat yang tertera pada kata-kata “ Obat tidak boleh diganti tanpa sepengetahuan dokter penulis” : Ini mengandung banyak arti bagi si pembaca resep, namun maksudnya jelas. Kalau tertulis amoxicillin jangan dibaca ampicilin. Kalau tertulis Amoxsan jangan dibaca kimoxil. Secara umum yang disebut sebuah apotek barometer adalah me-meratakan stok setiap produk yang dimaksud jalurnya resep dokter tersebut tanpa pernah mengalami kekosongan. Karena Pada dasarnya, inti dari pertanyaan tersebut di atas adalah: jangan sampai targetnya lepas sementara dia sudah menunjuk salah satu apotek kepercayaan.
Tak tertutup kemungkinan walaupun ia praktek in-house dalam lingkungan apotek tersebut namun seandainya stok yang seharusnya tersedia dengan ks-jv salah satu atau beberapa produsen yang membuatkan ‘perjanjian khusus’ yang oleh apotek ternyata kebablasan kosong atau kebablasan diganti produk lain, maka akan sering resep dokter tersebut berlabuh di “apotek tetangga”. Rugi juga akhirnya bukan?
Karenanya, pintar-pintarlah mengambil hati dokter. Dan yang paling mengesankan lagi, kita pintar menjaga dokter ‘in-house’ kita. Karena kalau hubungan baik ini bisa terjaga, maka tidak ada istilah stok barang tidak laku, kurang laku, macet atau bahkan kadaluwarsa.di sebuah apotek. Kalau hubungan baik dengan dokter yang selalu mengarahkan resep-resepnya ke apotek kita mampu kita jaga dan pemenuhan obatnya sesuai dengan perjanjiannya dengan sang produsen, maka urat nadi kehidupan terhadap stok barang-barang dagangan di apotek senantiasa selalu berdenyut dengan teratur.
Menjaga hubungan baik dengan para dokter yang praktek di lingkungan apotek kita ataupun di sekitar radius apotek kita ibaratnya sama dengan memelihara sebuah tanaman. Menjaga tanaman itu agar tidak mudah layu, selalu menyiramkan air dan juga berkewajiban membersihkan kotoran2 yang merusak tanaman tersebut.
Itu teorinya. Pada kenyataan banyak juga dokter in house yang sering beralih ke lain hati salah satu penyebab faktor tidak puas adalah kurangnya waktu kita ber”say hello” dengan dokter in-house kita disaat-saat senggang pengunjung pasien. Bahkan pernah seorang dokter yang praktek di apotek kita berkata begini:
“Mana bossmu? Tengoklah sekali-sekali kita, ngobrol-ngobrol santai mumpung pasien sepi.”
Nah, itu dia.
Atau faktor kekecewaan yang lain seperti seringnya terjadi kekosongan obat sesuai dengan yang diresepkan ataupun terkadang obatnyanya diganti tanpa pemberitahuan sebelumnya. Itu diketahui setelah pasien langganan tetap sang dokter tersebut datang kembali saat control ulang. Ini yang lebih celaka lagi, akhirnya yang terjadi adalah: dokternya memakai sarana kita untuk praktek, tapi resepnya nyelonong ke apotek tetangga. Kalau sudah terjadi demikian, siapakah yang harus tanggap? Ya, semuanya dari kita-kita-lah yang harus tanggap. Tidak saling mencari-cari kesalahan yang bermuara pada lingkaran setan.
“Dok, resepnya kenapa kebanyakan keluar? Malahan apotek sebelah kelihatan melayani resep anda?” petugas apotek kita bertanya.
“Tahu darimana? Emang stok kamu di apotek lengkap ndak sesuai yang saya resepkan?”
“Tuh, lihat! Iya’kan? Masalah stok sebetulnya: yaaaaa…. iyalah…bisa’kan kita bicarakan?”
“Lha, iyo diomongke, tapi mosok diganti diem-diem. Kesel aku!”
“Lho kata siapa, dok?” petugas apotek bicara sambil haha-hehe
“Tuh, lihat, pasien yang nebus ke sebelah itu nunjukin obat seminggu yang lalu,”
“hehe maaf dok kalau kejadian yang satu ini”
“Iya nggak apa-apa, tapi sebetulnya apa sih susahnya hubungi saya?”
Nah, itu dia! Kalau sang dokter penulis resep sudah bicara begitu. Kalau dokter yang satu ini memang karakternya tidak bisa guyon. Jangan coba-coba memancing kelakar. Karena kesehariannya serius banget.
Namun terkadang komunikasi yang kurang nyambung antara med-rep dan apotek yang bersangkutan, sering terjadi kasus serupa, dan ini bukan hal yang rahasia lagi. Melebihi batas penulisan maksimal, terlebih dokter yang memiliki pasien cukup melebihi jumlah stok obat yang ada di apotek sehingga saking seringnya obat tersebut ditulis, apotek sering kewalahan juga. Ujung-ujungnya terjadi pergantian obat atau terkadang kita membeli ke apotek sebelah. Prosentase laba jadi bergeser ke tetangga. Belum lagi med-repnya datang-datang dan complaint:
“Mbak, kok produk saya sering diganti? Stok yang lebih banyak dong!”
Lalu apa jawab petugas apotek?
“ Obatnya jarang ditulis mas!”
Wah ini dia, jadi lupa hubungan mana costumer extern kita. Namun kalau bicara soal rumah tangga peracikan plus BPBA-nya, kita juga bisa baca dari system yang kita punya berupa level dari barang laku, tidak laku, jarang laku atau di lakukan dalam kubus pareto A ke B ke C dst. Dulu sekitar tahun 90-an kita sebut TQC, istilah lain untuk sebutan Total Quality Control, kendati dalam praktek kerja agak terlewatkan. Akhirnya sering kita angkat telpon : “Apa yang bisa kami ganti,dok?”
“Loco saja!” jawab sang dokter enak terdengar di gendang telinga atau juga barangkali di-enak-enakkan saking baiknya hubungan kita dengan dokter tersebut.
Lebih ekstrim lagi muncul dengan nada bercanda agak digalak-galakkan suaranya: “ Tutup saja apoteknya!” Atau : “ buatkan copy resep dan please, cari di apotek lain. Kasihan bang Jupri, atau mbak Ayu (maksudnya rep dari obat yang ditulis) nggak ada bonus kerjanya…..”
Nah!
Memang kalau kita agak kurang akrab dengan beberapa dokter akan terjadi demikian, suara yang serba ekstrim kita dengar di gendang telinga.
Barangkali saja dokter yang baik atau dokter yang bisa diajak berdamai dengan apotek suaranya akan terdengar merdu di telinga.
“Kalau perlu, silahkan apotek. Ganti saja!” Terkadang memang kita sering bingung dibebankan untuk mengganti. Itu sudah kepercayaan dokter penulis resep buat kita. Karenanya kita sering perlu mempelajari karakter masing-masing dokter, karakter penulisannya serta hari-hari tertentu, dalam artian kapan musimnya produk Sanbe, kapan musim interbat, kapan musim Lapi ataupun Kalbe dst. Lalu kita tinggal diberi pilihan untuk menentukan mana sekiranya yang tersedia di apotek saat ditulis.
Apotek anda sedia yang mana? Lha terus untuk produk Kimia Farmanya yang mana dokter?
“Atur Saja!”
Enak sekali bukan? Memang cara hubungan yang enak itu begitu, sekadar menghindari kesan seenaknya main ganti, beberapa hari kemudian, manakala ketemu sang dokter pujaan hati kita akan ungkapkan perasaan sejujurnya.
“Maaf, dok, kemarin dulu tuh, obatnya terpaksa kami ganti,” dan sang pujaan hati sambil menaggut-manggut akan berkata,”nggak apa-apa. Lain kali lu mesti sediakan yang gue tulis.”
Tentu saja.
Yang enak itu begini, dokter rata-rata dan hampir semua baik terhadap outlet kita. Saking sudah bosan nulis resep dan saking baiknya berlipat-lipat, ia bertanya pada pihak apotek: “ Stok obat kamu yang banyak nongkrong apa aja?”
Nah, inilah yang disebut dengan pencairan barang, daripada stok menumpuk di gudang, lalu dengan seenaknya kita informasikan apa yang harus dokter tulis. Memang terkesan agak mendikte. Namun jangan diartikan demikian demi hubungan kerjasama kita yang sudah terjalin baik. Ya, barang yang tidak laku sama sekali akhirnya terjamah. Pemenuhan obat dari resep ke tangan pasien/pelanggan akan terpenuhi semua. Artinya resep masuk-keluar obat, apapun loconya. Yang penting masuk resep bukan salinan/copy resep yang keluar. Bagaimana?
Aptek jelas mencari laba, terkadang barometer begini yang mengena di tangan dokter. Approach sedikit sambil basa-basi alakadarnya. Karena sebuah basa-basi yang sehat, dokter manapun sepertinya akan berkurang rasa tersinggungnya mengetahui ada beberapa resepnya yang diganti dan etika kita, dokter jelas mengetahui sebelumnya apa yang akan keluar dari apotek. Rasanya kita senang menjadi apotek yang ditunjuk :
“Cari saja di apotek Kimia Farma. Lengkap kok!”
Bangga’kan?

Berkat PADIBU....nggak ada yang tidak mungkin..!!!



Abaikan penampilannya tapi coba lihat apa hasilnya,Om Ngurah memang dahsyat!

KARMA


Engkaulah yang menjadikan aku sungai
panjang berliku-liku mengalirnya
kedamaian tiada habis
tersisa
ketika aku hampir berhenti memanah
bulan yang terpajang di atas mainan api

Permainan ini senantiasa milik kita
penderitaan dan kebahagiaan bersilangan
senantiasa pula yang abadi
menjadi titik angin mengguyur dari sebagian kecil
yang pernah redamkan kenikmatan
walau ke ujung sembunyinya uratruwat yang menguratkan setetes keinginan
-aku ingin berhenti dan mengakhiri segala kemungkinan
jangan bentangkan
busur ini milik lukaku sendiri

Engkaulah yang menjadikan aku sungai
arus hidup yang membenamkan kebusukanku
senantiasa pula dahaga ini angkuh
menyimpan busur busur yang membenamkan jantungku kelak
sampai tiada keinginan untuk membentangkan denyarnya

MALAM SUNYI ( Icaka warsa 1932)

Belajar pada kesepian setelah mengenal batas pada keangkaraan diri
senantiasa datang memahami kegelapan di balik kecahayaan yang menerangi jiwa
kendati abad ini sang pemilik kata bijak dalam prilaku yang sama dalam satu jiwa nurani
satu pikiran yang murni akan dianggap sebuah legenda
dunia mencibir
sorga tak sedekat jarak sehari dalam perenungan atau mengaca sesaat
sebelum mengacak-acak moral menjadi mainan
sorga tak sedekat jarak sehari dalam brata semadi atau pancaran karma
sebelum api kebenaran memuja kebenarannya sendiri
tidak menebus kata-kata
tidak memaknai prilaku dalam pikiran yang senantiasa bertentangan dengan segala kemauan
terpancang maknakarma arah sorga di balik kitab suci
akan kesempurnaan yang tak pernah sampai
adakah jalannya untuk sampai disana
beribu-ribu pertanyaan yang siap menghujam
adakah cahaya menerobos relung hati
sambil menghayati dosa-dosa sebelumnya
sambil merenungi dosa-dosa saat ini
atau bahkan menyiasati dosa mendatang tak diduga terjadi

Minggu, 14 Maret 2010

Tokoh Sukses Kelola Sriwijaya


hanya sayang betahnya di Mataram lebih betah diburu SK Mutasi, padahal jodoh menanti di Mataram

JANUARI KELAM (lupa jalan pulang)


Begitu lambat kau layarkan gelombang sesaat
dalamnya lautan
ketika matamu pernah bergolak merisaukan segala resah keinginan
pembaringan ini senyap
asmara sunyi yang berubah jadi hari hari kelam dalam keinginan merubah warna hati
kelabu
camar terbang mengepak senja, mengukir kesepian betapa tingginya kau jangkau
langit
betapa dalam hati manakala kita belajar menjenguk dalam berbagai warna airmuka
senantiasa berubah-ubah tak tentu arah
menggaris datar di setiap permukaan mana harus ditebak duluan, sebuah hati tak tentu
punya jawab.
Cinta ini ternyata sebuah kerisauan yang menggebu-gebu setiap angan tak sampai, setiap jengkal senyum yang memberi arti tak sama:
buat siapa?
menunggumu ternyata hanyalah menanti musim lewat sekelebat bayang bak burung camar mengiggau terbang di malam penuh teka-teki tanpa meramalkan datangnya purnama
memamerkan kecahayaan abadi :
dimana sesungguhnya kau sembunyikan kerinduan
Jangan kau cemaskan kesepian ini bila laut masih mampu menyembunyikan gelombang pada purnama yang beruntun datang dan pergi melayarkan janji bertepi.
Jangan kau cemaskan ketakutan bila ternyata langit kosong tak memberi sedikit halaman buat camar singgah menawarkan kabar :
Dimana sesungguhnya pelabuhan terakhir menggiring kerinduan pada dermaga yang sama di batas penantian hari
Jangan kau cemaskan gelombang yang lupa jalannya pulang menuju lautan luas tak bertepi, bila hati telah kosong tak menghuni warna
kasih, ternyata di atas langit masih ada camar terbang mencari senja yang diam-diam kau sembunyikan disudut hati paling dalam.
di atas langit ternyata masih ada langit yang mengintip awan tak berubah-ubah berbulan bulan hitungan waktu berusaha menggapai tanahku berpijak
ternyata purnama hanya selingan cahaya sepintas yang merubah airmuka kelabu jadi pualam yang tak kering-kering menawarkan kesangsian
begitu lambatnya gelombang mencari sunyi lautku
yang lupa jalan pulang

Jumat, 12 Maret 2010

Dari Jendela Peracikan: APOTEKNYA BUKA SAMPAI KIAMAT


Seorang anak usia belasan tahun nampak berdiri di depan outlet 24 jam. Matanya tanpa bekerdip menatap plang yang tertempel pada dinding luar. Bibirnya komat-kamit membaca kalimat pada papan yang bertuliskan: APOTEK KIMIA FARMA, BUKA 24 JAM. HARI MINGGU DAN HARI LIBUR TETAP BUKA
Petugas apotek bertanya, “ Ada yang mau dibeli dik?”
Sebuah pertanyaan yang sederhana buat ukuran anak usia belasan tahun, ketimbang dengan ucapan, “ maaf, ada yang bisa saya Bantu?”
Anak kecil itu balik bertanya, nadanya menggurui,
“Kenapa tidak ditambah aja kalimatnya pak?!!”
Petugas apotek mengernyitkan alis.
“Harusnya; Buka 24 jam, hari minggu, hari libur tetap buka……sampai kiamat,” usulnya dengan nada sungguh-sungguh.
Tentu saja ucapan itu memancing gelak tawa petugas apotek dan pasien lainnya yang lagi menunggu obat dan tentu saja itu merupakan sebuah ungkapan anak kecil yang lagi iseng dan tidak membutuhkan jawaban serius. Pemikiran seorang anak yang terlampau kreatif sehingga terkesan aneh di pendengaran orang-orang dewasa yang kerap juga keanehan-keanehan lain pasti akan mengundang gelak tawa. Sebab 24 jam pelayanan sudah memberikan ukuran yang namanya sebuah service pelayanan lebih, dari ukuran waktu jam kerja standard aturan ketenaga-kerjaan. Itupun juga merupakan upaya pemenuhan serta mempermudah para konsumen manakala mengalami suatu insiden segala kebutuhan yang menyangkut hal-hal yang sangat emergency bisa segera teratasi, tanpa harus menunggu hari esok.
Bisa saja kita melihat pelanggan yang marah-marah bahkan sampai harus menggedor-gedor etalase apotek, manakala datang jam 2 dini hari untuk keperluan yang sangat emergency sekali akan obat, ketika menyaksikan petugas apotek tidak berada di tempat atau kedapatan tengah ngorok. Ironisnya terpampang apotek 24 jam. Itu harus bisa diterima dengan jiwa besar dan merendah kalau sedikit sentuhan yang meronai temperamental sang konsumen membuat mereka untuk complaint. Bahkan terkadang sang pelanggan sampai harus menghardik petugas kalau mengetahui apa yang mereka butuhkan ternyata tidak ada. Bahasa rendah hati ‘ready low stock’ akan dapat kita bahasakan lebih indah lagi lewat kemampuan sang petugas apotek untuk berinisiatip memberikan pilihan terhadap pelanggan akan produk sejenis dengan image yang enak diterima. Minimal produk pilihan yang setara serta kurang lebih memiliki komposisi serta indikasi yang sama.
“Ini sama lho, pak. Bagus juga ehm…maksudnya sejenis dengan apa yang tertulis di resep. O,ya bapak nggak usah khawatirlah, sebab saya juga pernah merasakan keampuhan obat ini…….”
Atau dengan cara lain untuk lebih meyakinkan sang pelanggan yang fanatik berat terhadap apa yang tertera dalam penulisan resep dengan menghubungi dokternya daripada ketus memberikan alternative jelek dan menjengkelkan pelanggan seperti : “Cari saja di apotek lain?”
“Bah! Dimana apotek malam-malam begini ada yang buka?”
Tentu saja tidak semua apotek buka sampai larut malam atau yang buka 24 jam pun kadang bisa dihitung dengan jari. Di saat-saat seorang pelanggan harus datang tengah malam untuk suatu kebutuhan mendesak.
Dengan kata lain, apotek 24 jam di saat-saat tengah malam bukan berarti hanya sekadar menunggu datangnya pembeli. Boleh dikatakan disini bahwa ini merupakan wujud sebuah pelayanan yang lebih baik. Disaat kapanpun anda membutuhkan kami, kami selalu siap melayani anda. Bahkan bilaperlu obat siap diantar sampai ke tempat tujuan, apalagi yang berada dalam kondisi opname di sebuah bangsal rumah sakit. Pokoknya aman. Siip! Asal jangan antar ke daerah pelosok yang sangat rawan konflik, ataupun rawan criminal. Tapi kalau terpaksa, ya apa boleh buat. Toh namanya membantu orang, iya nggak?? Konsekuensinya shift untuk petugas jaga malam memang selalu disiapkan dengan jaminan susu-telor-madu-jahe plus ginseng. Akan lebih mantap lagi kalau diformulasikan dengan sebutir PADIBU. Wah. Terus darimana dana itu diproleh? Dari pasien? Wow bukan! Biasanya setiap outlet yang memiliki shift 24 jam akan selalu menydeiakan kotak pengaman, entah itu dari dana-dana salesman,para detailer ataupun barangkali kalau-pun pimpinan outlet tidak pelit; sekali waktu akan mentraktir dengan beberapa nasi bungkus.
Tidak hanya itu saja. Ketika telepon berdering jam 4 pagi hanya untuk menanyakan fungsi obat yang dimiliki seseorang pelanggan, maka dengan sigap memberikan jawaban yang tepat, akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya, tanpa harus membiarkan telepon itu sampai harus berdering lebih dari dua kali. Ya, kalau kelebihan dering mungkin dapat dimaklumi, bisa saja petugasnya juga tengah melayani pembeli yang datang.
“Maaf, pak mengganggu. Ada masalah dengan perut saya. Saya memiliki jenis obat-obat sisa dari dokter yang pernah dibeli di beberapa apotek. Yang mana harus saya minum?”
“Oh, nggak apa-apa kok diganggu, ini juga lagi tugas. Mohon disebutkan atau dibacakan masing-masing obat yang sedang bapak pegang,” petugas yang memegang handle telepon bertanya sembari ngantuk-ngantuk dan menjelaskan sambil menahan (untuk tidak menguap) di dampingi buku ISO terbitan terakhir yang selalu tersedia di samping box telepon.
Lalu kita memberikan penjelasan plus…….
“Setelah itu diminum, tidak akan ada masalah lagi dengan perut anda. Dan kalau masih sakit mohon hubungi dokter keluarga anda atau Rumah sakit terdekat. Dan jangan lupa lho, pak, obat-obatan tersebut harus tersimpan di kotak yang terkunci yang aman dari jangkauan anak-anak.”
Kita-pun senang sekiranya pelanggan memiliki nomor telepon apotek kita. Makanya jangan sungkan-sungkan membagikan kartu nama anda kepada setiap pelanggan. Pelayanan 24 jam bukan berarti hanya menunggu para pelanggan yang datang ke apotek dengan mengabaikan telepon yang sewaktu-waktu akan berdering setiap jam bahkan mungkin setiap menit sekalipun. Dengan harapan, kita tidak menginginkan seorang ataupun beberapa orang pelanggan harus memutar nomor lain hanya untuk bertanya indikasi obat. Jadi jangan pernah marah ataupun menggerutu ketika ada suara telepon tengah malam. Setiap dering telepon, setiap orang yang datang ke apotek adalah rejeki yang tidak boleh ditolak.
Dan memang pelanggan cilik yang pernah datang ke apotek tersebut berkata benar : apotek yang buka 24 jam bukan hanya hari minggu dan hari libur tetap buka, bahkan sebagaimana yang kita inginkan pada setiap pelanggan untuk tetap datang ke apotek sampai kiamat untuk menjadi pelanggan seumur hidup hingga keturunannya. Bagaimana????(dgk)

CAMAR LINTAS ( 3 ) -senja penghabisan


Camar terbang rendah
menutup cahaya bulanku, melintas bayangmu
hari hari sunyi kubatasi mimpi
memberi jalan penantian yang panjang
pengharapan tak putus-putus berlarian menjemput gerimis
yang jatuh sepatah pada igauan
senja
suaramu lenyap
dan rumah ini jadi mimpi penghabisan, tidak jadi menjajakan petualang jalanan
menghampiri kesia siaan – siasati asmaramu
yang kau sembunyikan di bilik hati yang samar
ada camar terbang rendah menebar sayap, menerpa jantungku
retak
satu satu tumpah
melampiaskan keletihan yang dangkal
bertahun tahun menanti gugurnya hari
ada camar terbang bersama waktu
pada senja terakhir, oleh percintaan yang nakal
menggoda goda keinginan tak sampai
kesunyian ini kian biadab
menjamah malam

CINTA MATI


Dari sinar matamu
ungkapan cinta mati
telah berlalu sudah, katamu
aku sudah tidak memiliki cinta lagi, aku sudah tidak kau miliki lagi
sebagai terminal persinggahan pada gigir roda-roda terhenti

terkadang aku tidak percaya
entah, anak-anak terlahir lewat apa
kesunyian hasrat atau sekadar coba-coba
bukan!
anak-anakku adalah keabadian titipan musim
yang terlahir dari rahimmu
atas dasar cinta

hanya aku tidak tahu dilekuk mana kamu sembunyikan
cinta ini beku oleh waktu berjalan
oleh kejenuhan yang menjemukan
dan sinar matamu memang jenuh

telah kubunuh cintaku, katamu
aku tertegun

Kamis, 11 Maret 2010

CAMAR LINTAS ( 2 )


Dan ketika pengembala bukit datang dengan cintanya
merambah hutanmu
pohon-pohon senantiasa menyapa lintasnya
kepakmu memburu angin, memburu syahwat semesta
camar, lintasnya waktu bercerita panjang, disini angin bergulir ramah
letihkan perjalanan panjang ini, masanya bergumul dalam perkawinan musim
mari mampir sejenak siapkan janin
yang engkau rajut dari perkawinan
pertiwi, entah punya siapa?
kita resmikan pernikahan di balai bambu
yang dirajut bak cahaya selaksa bintang
menjuntai bumi panjang menjulur usia dini
menetas anak anak pertiwi, kau simpang lumbungmu
dalam masa depan berlimpah dahaga tak pasti
siapa jadi pengembala cinta
asmara tak pernah pasti

Dari Jendela Peracikan: BUTIR BUTIR PENENANG


Suatu hari petugas apotek di counter didatangi laki-laki berperawakan aneh. Ia berkata:
“Obat yang anda berikan kemarin itu keliru.”
“Keliru?”
“Ya, keliru. Saya sudah biasa minum obat dan ternyata obat yang saya terima kemarin itu salah,” katanya sambil menunjukkan obat ke tangan petugas.
Petugas apotek menerima dengan hati-hati, lalu membaca nomor serta jenis obat pada klip pembungkus obat tersebut, NEUROVIT E.
“Bapak sakit apa? Ini vitamin untuk menambah stamina yang loyo. Vitamin ini untuk menyehatkan tubuh di saat-saat letih….”
“Saya tahu!” bentaknya.
Karuan saja petugas tersebut tersentak kaget dibentak sedemikian rupa..
“Lho, lalu maksud bapak?”
“Saya telah meminta pada dokter sejenis obat penenang, karena saya sulit tidur saya minta valium atau sejenisnya. Saya sudah biasa minum obat itu. Eh, yang saya terima malah vitamin! Apakah apotek sudah seenaknya mengganti obat yang tertulis pada resep dokter?”
“Sabar dulu pak. Sabar ya? Sebentar saya lihat arsip resepnya dulu,” lalu dengan sigap petugas membuka rekaman resep pada program KISS yang baru beberapa bulan ini dioperasikan. Tidak sulit, rekaman data atas nama pasien tersebut memang benar Neurovit E dragee. Sudah benar apa yang tertulis di resep terlayani kemudian nomor yang tertulis diambil arsip resepnya untuk lebih meyakinkan pada pasien. Dengan sinar kemenangan yang terpantul di matanya petugas tersebut menyodorkan resep arsip ke hadapan pasien. Untung saja tidak terjadi kekeliruan sebagaimana yang ia duga sebelumnya.
“Ini lho pak. Sudah sesuai dengan apa yang kami berikan.”
Lelaki muda itu melihat, lalu manggut-manggut dan lama terdiam.
“Bagaimana, pak?” Tanya petugas itu ramah meyakinkan kebenaran kerja rekan-rekannya di apotek.
“kalau begitu beri saya valium,” jawabnya sembari memerintah setelah dari tadi lama terdiam.
“Waduuh…..maaf, pak. Kalau yang ini mesti dilayani dengan resep dokter.”
“Dokter apa? Saya minta valium yang ditulis ternyata vitamin. Saya tidak mau tahu. Beri saya Valium!!” suaranya kian meninggi menandakan temperamen seseorang yang keras dan tidak mau dibantah sama sekali kata-katanya.
Waduh ini sudah semakin gawat, belum lagi pakai acara menggebrak-gebrak meja etalase. Namanya petugas wanita yang dihadapi tentu saja sang petugas terbirit-birit kea rah belakang ruangan dan menyerahkan permasalahan tersebut kepada rekan kerja lelaki atau apotekernya.
Apotek sepertinya menghadapi hal-hal yang sama sebagaimana dengan kejadian-kejadian yang menimpa permasalahan menyangkut obat jenis psikotropika di apotek lainnya. Itu memang sangat tidak wajar. Anak-anak muda yang suka ‘teler’ atau kebanyakan demam nge’fly’ dengan butir-butir penenang untuk memberikan mimpi sorga dunia pada hidupnya yang berantakan. Ini rata-rata terjadi pada anak-anak muda ‘broken home’, pemabuk ataupun yang pada tahap awal pergaulan dari teman-teman sejenisnya telah dikenalkan butir-butir kenikmatan tersebut yang pada akhirnya akan semakin membuat ketagihan. Apapun alasannya, bagaimanapun caranya, ia harus mendapatkan obat tersebut.
Biasanya mereka datang ke apotek dengan cara-cara yang sangat mengesalkan bahkan tidak terpuji sama sekali. Dan hal ini tentu saja setiap apotek pernah mengalaminya. Bisa mereka datang dengan cara yang sangat kasar, suara-suara yang keras, menggebrak, menghardik bahkan sampai memaki ketika apotek memberikan alas an bahwa obatnya lagi kosong stok. Memang untuk hal-hal semacam ini tidak perlu dilayani dengan ramah oleh petugas satpam apotek. Apakah hal ini bisa dihadapi dengan sikap yang ramah, sementara mereka datang dalam keadaan mabuk, mata merah dan terkadang sedikit sayu dalam pandangan kosong dan omongan yang tidak terkontrol. Terkadang kita harus tetap sabar sebagai seorang petugas di counter pelayanan walau sering menerima omelan,cacian bahkan sampai-sampai melakukan tindakan menggebrak meja etalase.
“Daripada kita dilaporkan pada atasan lalu ditegur karena kurang ramah melayani, yah, terima saja perlakuan kasar itu,” ungkap mbak Yani, salah satu karyawati yang bertugas di apotek itu.
“Lho kita-kita ini ‘kan digaji hanya untuk menerima perlakuan seperti itu. Ya, didamprat, dicaci-maki, kadang diplototin pelanggan, itu sudah biasa kok,” katanya sambil bercanda setengah meringis gemas kalau ingat kejadian buruk saat melayani pelanggan model begitu.
Itu tidak seluruhnya benar,walaupun tidak juga salah sama sekali. Ada batas keramahan yang harus kita perlakukan terhadap pelanggan sepanjang hal itu wajar diterima pelanggan. Untuk kasus valium tablet di atas kita kategorikan pada service excellent bab yang mana? Bisa saja kita punya anggapan bahwa dokter menulis resep tersebut untuk menolong si pasien itu sendiri, untuk menghindari pemakaian obat-obat golongan psikotropika berlebihan, hanya karena faktor kurang/tidak bisa tidur. Lain lagi pengalaman sebuah apotek ketika seorang dokter menelpon : “ saya menulis valium tablet, katakan saja stoknya kosong. Awas, hati-hati! Dia membawa sebilah belati di balik jacketnya. Hati-hati mengajaknya bicara,” pesannya.
Akhirnya kita tahu obat-obat penenang yang diincar anak-anak muda tersebut resepnya terkesan oleh dokter ditulis tidak dengan sekehendak hati oleh karena di bawah suatu ancaman. Ketika pada hari-hari berikutnya jika kita menerima jenis resep dengan penulisan demikian, petugas apotekpun sudah bisa menentukan sikap untuk memilih jawaban yang enak untuk si pembawa resep, kendati tak jarang harus menerima dampratan maupun gebrakan tangan ala film cowboy. Itu wajar. Wajar yang menyakitkan.(dgk)

TERMINAL PESIAPAN TABANAN


Mengapa mereka memikirkan bulan terbit seperti sebuah siang hari penuh keterasingan
jejaknya yang selalu menggariskan
inilah nasibmu, kasih
berulang ulang para pujangga memilah-milah kata dalam kasih tak sampai
membagi bunga bunga kepada setiap penembang purnama yang selalu singgah
berteman kopi pahit dan setetes kedahagaan tuak mereka mulai menyanyi
cahaya bulan runtuh satu satu menjelaskan masing masing nasib tak sampai
tidak selalu sama ! memabokan kesepian.
ibarat memahat bulan menjadikan patung yang berdiri pada setiap persimpangan jalan
bilangan paruhnya waktu dermaga ini hanyalah kesunyian
mereka memaki maki setiap pejalan yang tak jelas menuai waktu hingga berbilang bilang malam mengutuk setiap kedatangan yang bernama kebenaran
jangan! Jangan sentuh kebenaran
selagi disucikan

malam-malam sosok wanita genit menjual asmara pada emper toko
kedai yang tak pernah mati oleh cahaya, selagi matahari belum menguntit hari
tamu-tamu yang duduk mengopi berbingkai bayang-bayang malam
sambil bercerita tentang anak gadisnya yang duduk di bangku sekolah
”aku ingin membawakan boneka mungil yang dirajut kupu-kupu”
tanpa mengingkari kehadiran seorang ibu yang selalu penat menunggu datangnya pagi
melepaskan kebohongan yang sewaktu-waktu menjerat dalam pergumulan waktu
siapapun bebas melepas janji
untuk datang merengkuh bayangmu
kita isap tubuhnya, serta merta terisap masa depan
kelam


catatan:

pernah dimuat di majalah ekspresi

Rabu, 10 Maret 2010

SIMPAN HATIMU, KASIH


Kasih, jangan terlalu jauh merantau dengan pikiranmu
Agar asmara tidak kalut
Menepi dalam kobaran cintamu


Kasih jangan terlalu dalam melanglang dalam jiwa
Nanti kau berubah jadi gila
Sebab dunia ini memang gila

Kasih, jangan terlalu berharap dalam kebahagiaan
Simpanlah hatimu
Suatu saat aku akan membutuhkan

APA KATA APOTEKER ANDA????


Inilah dia: sekali waktu turun ke pelayanan dan MEMBUKAKAN PINTU PELANGGAN.......

CAMAR LINTAS ( 1 )



Sosok bayang camar melintas bukit bebatuan
punah membakar kabar tak sampai, menakar jiwaku, membelah langit
alur senyap bayangmu aliri angan menyapa setiap kematian yang akan tiba
tempatku pijakan tanah mati dan selalu tersingkir dalam kekalahan, seolah membaca kegaiban, tanda-tanda Tuhan memberi keajaiban
cinta yang sia-sia, tengadah aku mengharap berkahmu
menantang matahari tak henti henti membakar sayapnya
kelepaknya rontokkan daun-daun berguguran
hidup diantara reruntuhan angan manakala belajar pada burung
tak letih letih kepakan sayap, patahkan masalah dalam hidup
ternyata, cinta masih terlalu mudah diperdebatkan dalam recehan uang logam
cinta yang tak mengenal kemiskinan terbayar dalam janji tak jelas
kesendirian ini belum mampu melahirkan perkawinan dalam perjanjian tak pasti
dan keangkuhan ini koyak dalam kesendirian yang sunyi.
Kita butuh anak-anak
yang akan menjaga masa tua dari belenggu panti jompo
ajal yang telah dipersiapkan menghitung hitung usia demi usia reyot
kita pungut kelepaknya, suatu hari nanti
tidak perlu mempersiapkan selimut lalu siapa yang melahirkan anak anak kelak?
ketika kentara dalam usia kian rontoknya asmara hati
rheumatik serta asam urat dan simpan saja ketakutan itu dalam rontokkan sayapmu
ketika kita semakin tua dalam usia yang trenyuh menatap hari
ketika kenangan ini telah meninggalkan kita sebagai masa depan yang jelas terbaca
camar berjubah menantang angin,rentangnya musim
penuh duri serta masa depan hanyalah uap tak berbekas
pada daging menganga, luka terbalut sunyi
yang menawarkan keburaman,kebisuan,ketakutan
luka berbalut sunyi dalam kehampaan
Rindu ini menunda kita mengenang petualang
-atau mengakhiri percintaan
yang penat melintas ketakutan dalam ketakutan
bergulir di penghujung bukit, lepas mengarungi
senyap

Selasa, 09 Maret 2010

Dari Jendela Peracikan : RESEP BAYGON


Dengan amat sangat tergesa-gesa si orang tua itu menyodorkan resep ke counter sebuah apotek. Wajahnya berkeringat dengan nada gemetar berucap : “ Tolong segera! Anak saya mau mati. Tolong pak, tolong bu….” Suaranya terbata-bata, setengah memelas, setengah memohon. Sisanya mengguguk. Air matanya mengalir di keriput pipi tuanya.
Petugas apotek, entah laki-laki entah perempuan, bergegas menyediakan obat pada pojok kanan atas resep bertuliskan “CITO” dari sebuah Instalasi Gawat Darurat. Seratus ampul Atropin Sulfat bahkan lebih.
Agaknya petugas apotek tidak perlu banyak tanya terhadap keadaan seperti ini gawatnya. Untuk pengisian sebuah master pasien/pelanggan sebagai data pelengkap system IT kita yang sangat bonafide, sementara waktu tidak perlu bertanya: “ alamat yang bisa dihubungi pak? Nomor rumahnya berapa? Ada telponnya nggak, punya HP nggak? Berapa Nomor yang biasa dipergunakan? Atau rumahnya ikut RT berapa, Siapa RT-nya, rumahnya di jalan apa, jalannya sudah di aspal apa belum, masuk gang berapa, gangnya buntu apa tidak? Dlsb.dlsb. Itu pertanyaan tidak perlu ditanyakan sementara waktu dalam keadaan benar-benar emergency, sebagaimana pasien/pelanggan lain yang biasa kita tanyakan saat menebus obat di apotek. Peristiwa seperti ini memang berbeda.
Cukup diketahui; apakah dia ingat bawa uang atau tidak. Kalau seandainya tidak membawa uang, apa yang dapat dijaminkan atas bon obatnya. KTP, SIM, BPKB, Akta Nikah atau bajunya sendiri. Dan kalau lagi apes, tanpa jaminan apa-apa, kita cukup berdoa 3 kata ajaib: Semoga Nanti Dibayar! Kalau tidak, ya Norok!
“Anak saya minum baygon,” suara tua itu menjelaskan tanpa diminta. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata saking bingungnya, ia lari ke IGD begitu menerima satu box penuh Atropin.
“Lho bayarnya pak?” petugas apotek terpaksa berteriak.
“Nanti saja!”
“Wah!!!!” tak urung melihat keadaan seperti ini, pelan tapi pasti kita harus berpikir hati-hati. Namanya juga orang lagi bingung. Salah satu kawan jaga kita mesti datang kesana mendekati keluarganya dengan aksi sedikit slonong-boy longok sana-longok sini diantara kerumunan pengunjung keluarga pasien yang berkumpul di area ruangan IGD. Mencari dan berusaha mengenali bapak tua yang “melarikan” sekotak atropine. Tidak sulit memang kalau mencium bau hawa baygon dari seseorang yang terbujur sedang dikerumuni dokter dan beberapa perawat dengan seragam putihnya. Bahkan juga beberapa keluarga yang bersangkutan dan pengunjung lain yang ingin tahu-pun terlihat disana mengerubungi.
Bagi kita alasan yang tepat memang untuk mencari tahu bagaimana sesungguhnya keadaan si-korban. Pada umumnya pasien kasus begini biasanya segera dapat tertolong, karena begitu sigap di bawa ke rumah sakit terdekat atau rujukan dari puskesmas. Applause buat segenap petugas IGD Rumah Sakit, segalanya dapat tertolong, apalagi rumah sakitnya buka terus, 24 jam full time, full kuman dari semua jenis penyakit yang di bawa pasien dan full music dalam nuansa vocal rintihan kesakitan. Kasihan
Dan si korban tersebut memang lagi terbujur dengan slang zonde di hidung nampak muntah-muntah. Baunya yang keluar, cailah……Baygon doang.!!
“Untung cepat ketahuan. Si Joni belakangan ini sering terlihat berlaku aneh. Sering termenung dan berlama-lama menutup diri di kamar,” ungkap salah satu keluarganya yang kebetulan turut serta mengantar ke rumah sakit.
“Barangkali nyari inspirasi susun strategi politik menjelang kampanye pilkada nanti,” kata keluarga satunya.
“Inspirasi apa kalau otaknya sudah terjungkir!”
“Ya, sekadar ingin tahu alam yang lain di bumi ini….”
“Ah, aneh-aneh saja!”
O, remaja-remaja, kisah remaja bayang buram, kemana kau bawa dirimu. Kalau sudah terjadi “musibah psikis” begini salah siapa? Bukan salah bunda mengandung, wong bundamu belum koit. Persoalan nyawa tak lebih seharga permen karet, padahal harga permen karet tak semahal Atropin. Nyawa tak ubahnya hanyalah sebuah babak permainan yang diukur dengan cairan pembunuh serangga. Kenapa malah ikut-ikutan jadi serangga pake acara menenggak cairan baygon segala? Itu gila namanya, stress, frustasi, jogang!
Asal mulanya mengecap permasalahan dengan menelan penyelesaian dengan cara mudah. Tapi bukannya selesai, malah bikin ruwet semua keluarga. Ujung-ujungnya berakhir di rumah sakit.
Dan jalan pintas. Sangat ringkas! Namun apa yang didengar dari keluhan si anak hilang iman yang sedang diuji imannya? Bukanlah keluhan sakit yang merengek-rengek untuk minta disembuhkan. Justru sebaliknya, suara hati kecilnya menjerit-jerit minta kematian. Ingin mengakhiri jalan hidupnya dengan cara ekstrem, tidak terpuji.
Wahai semudah itukah manusia tercipta, dilahirkan ke dunia ini dengan segalan runtutan ritual keagamaan, pada akhirnya harus memilih kematian sebagai sebuah jawaban tanpa restu? Aapakah tidak ada cara lain yang harus ditempuh untuk mencari solusi tanpa harus membuat repot dan was-was keluarga? Kenapa tidak minum arak saja atau teriak-teriak di simpang jalan sambil ngamen, walau vocal tak jelas. Toh, ini juga namanya sebuah pelampiasan tanpa harus ngoyot baygon?
Melihat kasus ini, biasanya sudah terlampau sering resep-resep baygon datang silih berganti bermunculan di counter apotek, setara dengan kasus-kasus lainnya yang hampir serupa. Entah sebelumnya, sedang terjadi ataupun yang bakal terjadi nanti, terkadang kita tidak mengharapkan kejadian itu. Namun munculnya selalu dalam kasus yang hampir mirip sama.
Setelah beberapa menit berselang, entah mungkin beberapa jam berlalu, petugas apotek mendekati keluarga korban secara extra hati-hati dan berbicara:
”maaf pak, obat yang bapak ambil di apotek tadi belum dibayar.”
“……………………..!?”

LUAPAN LETIH


Demikian letihnya perjalanan, kapan jam berhenti berdetak?
lupa kuhitung-hitung berapa matahari mengurung cahayanya
keinginan yang bersandar meminjam angka
angka jam dinding menyimak kesantaian
sejarah yang kupetakan dalam hari

seribu tanya yang tersimpan
cinta ini milik siapa
kalau hanya kangen persuaan bathin
sekilas menakar nakar asmara
lewat kebimbangan yang sangat dungu!
dan iseng kucuri mimpimu, masukkan aku dalam mimpimu hingga kuputar waktu
biarkan selimut ini jadi pelepas dahaga untuk meniup harum malammu

aku letihkan perjalanan, kalau seribu waktu memacu jantungku
letihnya arah kecemasan pada jiwa yang lenggang tak mati-mati
luruhkan arti yang berlari menembus tanyaku, menembus cuaca luruhnya jam berdetak pada angka yang pasti, tak sampai-sampai matamu disini
tak pernah sampai
menghirup napasmu

PROSA BULAN


Malam pekat. Bayangan bulan tidak hadir di tanah, baru saja menghilang. Barangkali kalau bulan bisa bermimpi, tentu dia akan bermimpi, seperti kita. Barangkali dia akan tersenyum sehingga sinarnya yang cerah akan menghampiri dan kalau bisa tertawa, pasti dia akan terbahak-bahak menertawakan segala kekonyolan ini. Namun sejak tadi bulan bermimpi, dalam dekapan kalarahu. Kalarahu itu memang jahat. Dan bulan masih perawan. Ia tidak tahu, darimana harus memulai. Keletihan telah memberi buah kenyataan yang pahit bagi kehidupannya yang tak pernah memberikan alternatip lain, hanya sebuah kecemasan kecil dari kekalutan-kekalutannya yang kian besar, kian terombang-ambing waktu.
Ia rasakan itu.
“Aku telah menjadi kalut dari buah pikiranku sendiri. Terlalu takut untuk berhati-hati. Mengapa? Terpeleset sedikit ternyata akan dapat menjadikan aku manusia tidak utuh, manusia bentuk lain. Terpeleset sedikit, maka terjerumuslah aku dalam lembah gelap yang tak berbingkai, tidak berlensa. Terlalu takut aku untuk mati. Mungkin kematian yang akan membawa kedamaian selanjutnya dalam menyeberangi perjalanan malam-malamku, “ penatnya merintih, lebih dari segala kegalauan hatinya. Lebih dari semua kegamangan yang ada.
Ia mendesah perlahan dan secara perlahan-lahan pula dimasuki kamarnya yang serupa. Dinding-dinding, lantai dan langit-langit kamar bagi bayangan dari segala bentuk cermin kusam dan lembab. Diambilnya diam-diam buku kusam. Satu-persatu dibolak-balikkan, termakan matanya yang jalang, tak ubah membuka lembar demi lembar benang-benang yang pernah lekat di badan kekasihnya. Jalang ia mengubah bentuk buku lusuh yang merekam segala segala peristiwa perjalanan hidupnya sehari-hari dalam wujud cermin. Bah! Mungkin dia terlalu menganggap bahwa dirinya bercermin kembali dalam catatan-catatan harian masa lalunya.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” desisnya tajam, namun barangkali ia lebih menjatuhkan sasaran lain terhadap desis jeleknya. Ia bergerak.
Setiap pagi berjalan menyusuri lorong, menyusuri gang, menyusuri jalan-jalan setapak, entah kemana kaki membawa, barangkali dalam kemungkinan besar bertemu akherat di cermin. Bertemu sorga di cermin. Bertemu neraka di cermin bahkan mungkin kekasihnya ada di cermin. Entah cermin yang mana, dia bingung untuk mulai menata ulang hidupnya yang porak poranda oleh nasibnya yang selalu jahil menghakimi dirinya. Ia membantah pantulan wajah cermin itu telah merubah keberadaan kekasihnya yang telah hilang. Ternyata masih jauh juga. Teramat jauh. Sungguh benar-benar jauh! Begitu jauhnya kesempatan untuk dapat memperoleh perubahan terhadap kehidupannya yang sekarang, yang terlalu monoton dengan gerak langkah kehidupan baru yang lebih dinamis, penuh rangsangan bagi bathinya yang kehausan akan cinta yang sesungguhnya.
“kamu telah berubah kini,” komentar temannya suatu ketika.
“Rupakukah?”
“kau telah menjadi lain, kawan! Menjadi bentuk lain, menjadi manusia baru bagi segala perubahan-perubahan oleh keadaanmu.”
“O, tentu sebuah usia dan perjalanan. Mungkin kamu melihat jenjangnya saat ini, pada saat aku berdiri dalam posisi begini di hadapanmu. Memang kamu lihat kerut merut di wajahku. Ini sebuah proses. Rambutku, juga bagian dari proses. Tapi juga jangan lupa dengan langkahku yang kian pelan. Mungkin tanpa proses kalau langkah ini sudah terhenti sama sekali. Aku dalam kecemasan tak mampu untuk melangkah lagi. Kecemasan kecemasan untuk membuat sebuah dilema baru. Semuanya itu tak akan pernah menyembunyikan sebuah usia yang pernah muda memudar pada hari yang semakin senja. Lihat bulan! Tatap yang tajam. Bulan telah mati karena langkahku yang semakin surut. Coba lihat!”
“Bukan! Bukan itu maksudku,” ia membantah.
“Bulan itu demikian indahnya menawarkan cahayanya, hingga tubuhnya tak terbagi cahaya sama sekali. Tapi itu sungguh sulit untuk diterima, bahwa bulan itu telah mati, sudah tidak mampu bercerita lagi. Bulan sudah tak pernah bermimpi lagi.”
“Bukan kawan! Bukan itu……”
“Lalu?”
“Yah, seperti yang kulihat. Kamu yang biasanya hanya hadir sekadar jadi penonton dari sebuah pertunjukan yang sedang berlangsung, kini malah terjadi yang sebaliknya. Kamu lebih banyak terjun langsung dan ikut meramaikan, memerankan salah satu tokoh dalam kehidupan ini.”
Ia tertawa, lalu mengutuk keadaan dirinya.
Peran? Peran dari sebagian manusia? Ha….Ha….ha….ha…., lucu sekali kedengarannya kalimat itu. Berarti dia telah menjadi manusia ke dua setelah puas melakoni segala perjalanan kehidupan sebelumnya, sebelum memasuki dunia kehidupan yang sesungguhnya? Terasa kian menggelitik kecemasan dan tiba-tiba ia lebih cemas, sangat cemas bahkan perasaan cemasnya terlampau berlebihan. Ini panggung sebuah lakon yang disinari cahaya bulan berwarna perak? Ini sebuah panggung lakon yang disinari cahaya bulan berwarna hijau? Ini sebuah panggung lakon yang disinari cahaya bulan berwarna merah yang dibakar darah? Ouw! Ini benar-benar sebuah lakon bulan yang tengah bersinarkan cahaya perak-hijau-merah yang berubah menjadi darah……..
Ia mencoba melihat bayangan dirinya di cermin buram dan berdebu.
Tidak pernah bersih dari lingkupnya waktu. Buram dan kusam. Gamang nan lembab. Gagal! Gagal barangkali memantulkan wajahnya. Buramnya memantulkan cahaya yang gagal akan wajah kekasihnya. Bulan dimanakah engkau kini? Kekusaman yang menggagalkan sebuah bentuk wajah. Kegamangan yang nyata. Tidak ada yang ajaib. Ini bukan dongeng tentang sebuah cermin yang mampu mengembalikan wajah kekasihnya, lalu bergerak-gerak, menari dan hoplaaaa…. Keluar dari cermin itu yang mula-mula bisa saja membentuk cahaya, membentuk guratan mata, membentuk alis yang tebal bak camar kecil, membentuk hidung yang indah, membentuk bibir yang kecil mungil. Ini bukan dongeng! Dan seperti bayi yang bari lahir, tidak dapat menemukan sesuatu yang mampu untuk dipakai sebagai pegangan kuat, barangkali hanya mampu menetek dan menetek secara berulang-ulang. Lalu seperti bayi meram-melek dalam dekapan yang pernah menjadi rumah rahim yang merahimi berjanin-janin cahaya cairan kenikmatan yang mengalir deras dalam tenggorokannya, lalu bermula seperti bayi, pulas dalam kepuasan jamannya dan kosong! Besok menetek lagi demikian seterusnya secara berulang-ulang, bersinambungan. Rahim sang pemilik yang pernah manjadi persinggahan suaranya yang kehausan, dengan tanpa tanggung jawab yang sesungguhnya, memberikan susu di luar susu dirinya. Ia menolak tanpa sadar, untuk pertama kalinya mengeluarkan suara membangkang penuh, untuk selanjutnya menggigit keras-keras putting susu rumah rahimnya yang pernah menjadi anak dari rahim sebenarnya. Akh! Lalu mati.
Menjadi rahim berikutnya, mencari berbagai bentuk yang cocok sebagai persinggahan dari awal dia memulai lahir bermula sebagai janin pewaris berikutnya, demikian seterusnya.
Ia mengacak-acak rambutnya di depan cermin. Selalu gagal menjadi menusia kembali. Manusia seutuhnya yang benar-benar utuh untuk sebutan seorang manusia. Ini Cermin batu, bukan kaca dari sebuah pantulan cahaya wajahnya yang hilang tak berbekas. Mana wajahku yang dungu? Mana kedunguan yang membentuk wajahku? Luluh hatinya melilit lender demi lender jatuh dari lengketan cermin yang menjadi kekasihnya, bekas pantulan sosok wajah seorang gadis sewaktu sama-sama bersekolah dulu.
Hari itu ketika ia memiliki sebuah kesempatan untuk mengatur kata-demi kata untuk memiliki keberanian mendatangi bulan.
“Bulan, aku datang!” dengan hentak kaki keras, ia tinggalkan kamar menganga dalam ribuan cahaya yang gelap memasuki relung hatinya yang telah padam. Kamar itu terbuka lebar-lebar dengan daun pintu tak jelas. Kamar tak berbingkai. Ia tinggalkan cermin buram penuh debu. Penuh bayangan mati tentang kematian. Penuh bayangan bulan tentang padamnya cahaya. Lagi-lagi darah dan kematian. Rumah itu masih seperti dulu, tidak ada perubahan sedikit-pun. Dan memang tidak ada yang perlu untuk di ubah. Masuk perlahan dengan pasti akan kebengongan masa lalu. Terbanglah bersama masa lalu. Bersama sang burung camar. Bersama suaranya nan memukau.
Bulan duduk merenda sutera dari ulat. Sepasang tangan yang halus. Jari nan lentik gemulai bergerak lincah. Memang lincah ia. Penuh cahaya kecintaan. Bulan merawat kembang-kembang yang tumbuh tanpa disiangi rembulan. Embunnya menguncup bunga memancarkan keharuman berlebih. Hingga merawat segala daki-dakinya, berikut kuman yang telah mengakar di tubuhnya. Bulan mengerucut. Gemersik asmara yang memandikan segala rupa keindahan taman sebuah rumah. Bulan merawat rumput-rumput yang basah yang barusan sempat diinjaknya. Penuh kasih sayang. Bulan menyediakan teh jahe hangat.
“Jangan kopi, katanya coffein kronis terhadap denyut jantung. Ha? Denyut sebelah mana? Coba tebak, bilik yang mana menyorotkan cahaya cinta kasih? Bilik mana yang menyembunyikan kebohongan? Atau dua-duanya adalah kebohongan yang senantiasa berdenyut pada setiap nadi tak jelas?
Bulan diam. Tanpa suara. Tiga jam berlalu, tanpa cerita. Bulan punya jantung kronis yang perlahan merambat waktu. Bulan tak pernah bercerita kematian. Lebih suka bermain usungan jenazah yang berakhir di sebuah kamar mayat. Atau lebih suka bermain sebagai tanah yang menimbun sosok yang bernama kematian. Terus siapa yang dia perankan sebagai sosok mayat itu? Bulan-kah? Waktu merambat pelan, merambat waktu-waktu yang tak bergeming lintasan cahaya selanjutnya pura-pura diam. Waktu yang menghentikan bulan untuk menyelesaikan candanya. Lalu jantung itu kering. Jantung itu layu. Tidak ada kasih sayang. Tidak ada asmara. Tidak ada kebohongan. Segala bilik yang berdenyut dalam kediaman yang abadi untuk diam-diam pergi mencari musimnya. Hujan turun deras, sangat deras. Begitu lebatnya. Petir menyambar-nyambar, begitu dahsyatnya. Menyambar seakan sinar itu bukan sesuatu yang perlu untuk dicahayakan dalam pantulan air. Sekalipun memantul bukan sosok wajah yang jelas merubah Bulan. Langit yang hitam menutup matahari, begitu kelamnya. Akan yang jelaga, embun bening serupa air hujan menyerpih mencurahkan tanahnya dari atas langit, jasadnya bersembunyi di bumi. Baju dan seluruh badan bulan basah.
Jantungnya tetap kering. Kering, tak menyembunyikan kematian. Jantung yang menjasad gundukan tanah merah di makam. Ia acak-acak gundugan tanah kekasihnyabatu nisan yang tak bicara. Ia acak-acak berualng-ulang. Tidak menemukan secuil berita kematiannya., hanya gundukan tanah kering tanpa suara, tanpa cerita tanpa dongeng tentang perannya sebagai jasad yang menghuni sebuah kamar mayat di sudut rumah sakit. Sebagaimana yang pernah menjadi mainannya dalam setiap perannya, setiap lakon yang paling digandrungi. Semuanya tidak menjanjikan apa-apa. Ia beranjak pergi. Di simpang jalan, lagi-lagi ia bertemu temannya.
“kamu telah berubah kini.” Komentar ulang yang selalu berulang-ulang terdengar di telinganya yang sama.
“Tidak!”
“Ada sesuatu yang kamu cari, sedangkan dirimu tengah dicari-cari sesuatu. Ada yang diam-diam mengintip keberadaanmu. Kamu toh malah berbalik lari. Kamu melupakan sebuah peranan penting. Peranan yang sangat berarti dalam hidupmu kelak dikemudian hari.”
Peran? Lagi-lagi peran. Apa artinya itu? Ia menggeleng sendiri, sebab terasa sulit untuk menemukan dirinya kembali, lebih-lebih peranan yang dirasakan begitu samara. Begitu gamang. Dengan berkacamata, peranan itu sesungguhnya kebisuan yang memperalat dirinya di lembah lenggang, tanpa penghuni. Berarti ia tidak punya peranan sama sekali dalam segala hal, dalam semua kehidupannya. Karenanya ia demikian pasif, mandeg, dan semuanya mencari kemana-mana.
“Ya, justru karena itu aku mengembara kemana-mana, ke semua tempat yang aku suka. Semua itu aku lakukan untuk mengenal siapa sesungguhnya diriku ini. Apakah aku sudah menemukan diriku? Entah aku tengah berada dimana? Siapakah aku itu? Dan sang maut itu kini jadi milik siapa? Aku jelajahi hutan dan gunung, tetap sama saja. Setiap rumah aku datangi, tidak peduli rumah rakyat jelata ataupun rumah pembesar negeri, semuanya memiliki cerita masing-masing. Cerita yang sangat khas kentara dari penghuninya masing-masing. Tidak ada peranan yang sangat istimewa. Rasanya tetap seperti yang dulu, seperti pada masa-masa aku masih bergelut dalam kesibukan hingga bermuara pada keletihan yang mengakhiri dalam kekosongan. Kehampaan tak jelas!”
Ia marah, kentara marahnya. Dalam kemarahan itu melampiaskan arti kekecewaan akan keadaan. Keadaan yang tak jelas. Ia kecewa, kentara kecewanya. Marah-kecewa-marah-kecewa demikian seterusnya secara berulang-ulang, silih berganti, patah tumbuh hilang bergayut!
Malam pekat. Hujan reda. Timbul bayangan dalam air, jatuh di aspal jalanan, memantulkan sinar, memantul-mantul dirinya. Nah, ini dia ketemu! Wujudnya menjadi gembira. Ia kembali berubah, kembali jadi hamba baying, jadi cermin, berbalik jadi cahaya. Bayangan dirinya selalu berubah dalam pantulan cahaya, air yang selalu bermain-main dalam kemarahannya. Tak ubahnya seorang anak kecil yang bermain-main dalam sisa-sisa genangan air, begitulah dia. Setiap lekuknya ia injak sesukanya. Mengumpat sesukanya. Memaki semaunya! Sepanjang jalan ia berteriak-teriak, ia injak kembali, menciptakan cipratan cahaya memantul di toko-toko pinggir jalanan, jadi cermin memantul. Itu cerminnya, ia injak kembali sesukanya berteriak dalam setiap umpatan yang membelah malam, kecahayaannya berkeping-keping jatuh menimpa warung, ia injak kembali. Ia gusar. Sangat gusar. Halaman warung ia injak. Semampu nasib menginjak dirinya. Ah, nasib tak jelas, sesekali ia memaki dirinya. Orang-orang yang mendengar hanya melongo. Orang-orang yang melihat hanya geleng-geleng. Orang-orang mulai menyingkir, menjauh, takut kena injakan kakinya yang keras. Diinjaknya berulangkali, jatuh di gedung megah ciniplek kota. Diinjaknya, jatuh di pasar yang kian gelap. Diinjaknya, jatuh di baju pengemis yang robek-robek. Ah, bualan kosong! Diinjaknya jatuh di pelataran pura. Ah, sandi-sandi Tuhan! Aku yang murtad, yang dihakimi dalam doa bisu tak sampai-sampai.
Bulaaaaaaaaaannnnnnnnnnnnnnn,!!!!!!!!!!!!! bisakah engkau bermimpi?