Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Sabtu, 22 Oktober 2011

MENATAP AIR TAK HENTI BERBARING PENUHI SUNGAI DALAMNYA MENGALIR PELAN JELAJAHI WAKTU

Siapa yang terbaring menatap air
yang memenuhi sungai tak habis mengalirnya
waktu
siapa yang hilang ke hulu
tak berpenghabisan mata yang menumpuk
menyisakan masa lalu tak habis
menyihir hari yang selalu lekang mengukur jalan waktu
siapa punya wajah hilang
hulunya jatuh meninggalkan masa lalu yang tak pernah usai
mengukur jalannya air sungai, jalannya waktu
menghitung waktu
mencatat sejarah
mengikuti jalannya hidup

Terbaring menatap air mengalir
sepasang bola mata kanak-kanak
mengalirkan kejenakaan
tak akan pernah bertanya masa lalu

DENGAN SAYAP MENGEMBANG DIAM

Aku khawatir tidak dapat lewati waktu
Dalam kebimbangan engkau hanya membekali sayap
Tanpa pernah tahu bagaimana caranya menyeberangkan keinginan
Laut tak bertepi
Tanpa pernah menggunakan salah satu kalimat tak tersimak
Kata tak bersayap, hanya kau anggap khotbah kosong
Bagaimana cara terbang mencapai tujuan mencari musim yang hilang
Selalu kau sebut dosa yang tersekap dalam keinginan buruk
Pergunakanlah sayapmu ketika tengah berada di atas langit
Bukan sebagai kekahawatiran yang tak jelas
Tengah dengar sebait doa, kau hanya membaca awan suntuk
Beterbangan bersama waktu
Langit tak berjarak
Tanpa pernah ingin menghitung berapa abad yang terlewatkan
Di atas ketinggian mimpi mimpi tak berjarak
Ketika doa itu tak kau hiraukan lagi
Tak pernah dengar lagi suara suara yang menghamba pada kekhawatiran
Membelenggu musim ke musim berganti
Melumut nista berkepanjangan

Telagawaru, 09102011

Sabtu, 15 Oktober 2011

KERIS SIKATI MUNO

Berapa luk yang telah kau asah dalam pertarungan
apakah bagai naga sikati muno yang jelajahi luk keris bertuah
berhari-hari dalam peram mata nyalang
berhari hari mengasah
menjaga kedamaian hingga kau temukan sungai tarab
mata air keberikut yang menjernihkan hati
bermula hingga bertemu bungo setangkai
sebuah negeri muasal setangkai teratai
lalu siapakah pewaris keris sikati muno kini?
berapa luk yang tersisa, seberapa kesuburan yang terasah
membumi dalam tanah Minang
hingga kini

Sept,2011

CAMIN TARUIH

Demikianlah kau bunuh serupa keingkaran akan emas bertahta
pelayaran sang putra yang menghilangkan mahkota emas
hingga ke dasar laut
sebuah ceruk bagi kekuasaan
sampai dimanakah mula asal sejarah
lembah-lembah ditutupi kabut tebal
hutan rimba raya nan lebat
perlahan membuka kehidupan
Galundi Nan Baselo yang beranjak
Batang bengkawas yang mendatangkan kemujuran
memancar air segala kehidupan serupa mata air aliri rasa
hingga datangnya sang rusa emas, sang sapurba yang terkeloni indo julito
tidak serupa carmin taruih walau bercabang emas yang mudah terperdaya
namun lembah batang bengkawas senantiasa aliri kesuburanmu

Sept,2011

Lomba Cipta Puisi Padang 2011 Inilah 75 Puisi yang Lolos Masuk Nominasi

Setelah melalui serangkaian penilaian dan diskusi tentang karya siapa yang laik masuk babak nominasi, akhirnya panitia IADB mengumumkan 75 puisi terbaik di tahapan kedua ini yang secara resmi disiarkan Sabtu, 8 Oktober 2011. Inilah saat-saat yang paling mendebarkan bagi peserta yang puisinya terpilih, apakah nanti akan unggul menjadi pemenang atau cukup berada di tahapan ini saja.

Sekarang, Dewan Juri Final yang terdiri dari sastrawan nasional dan sastrawan Sumatera Barat (berjumlah 7 orang dan nama-nama mereka akan diumumkan bersamaan pengumuman pemenang 15 Oktober 2011, red), sedang bekerja keras memberi penilaian. Sidang Dewan Juri menentukan pemenang akan dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2011 di Padang.

Berikut nama dan karya peserta yang lolos masuk nominasi (nama berdasarkan abjad):

1. Asril Koto (Bayangan September)
2. Alizar Tanjung (Burung Andalas)
3. Aray Rayza Alisjahbana (Mengenalmu Hanya Sebatas Nama)
4. A’yat Khalili (Padang, Cinta tak Pernah Sirna)
5. Al Hafiz (Serpihan Kenangan)
6. Azwan (Padang Sepanjang Masa)
7. Askar Marlindo (Kota Padangku)
8. Aksan Taqwin (Antara Tisu dan Sapu Tangan)
9. Asrina Novianti (Di Teluk Bayur)
10. Aisyah Istiqamah Marsyah (Pada Padang yang Bercerita)
11. Af Kurniawan (Atas Nama Rendang, Atas Nama Lelaki)
12. Budhi Setyawan (Semalam di Padang)
13. Budi Saputra (Pantai Purus Tepi Kota)
14. Burhanuddin NS (Kado untuk Kota Padang)
15. Bambang Widiatmoko (Kado Cinta Sederhana)
16. Deddy Arsya (Sunting Nias)
17. Deri Ilham (Musim Kenang di Kota Padang)
18. Debi Ayu Lestari (Padang Your Motherland)
19. Desio Isanov (Padang, Cintaku Untukmu)
20. Deni Arifin (Engkau Kota Adalah Cinta)
21. Denny P. Cakrawala (Selepas Membaca Siti Nurbaya)
22. Dodi Prananda (Menulis Kangen; Padang)
23. Dedi Supendra (Hikayat Seorang Wanita di Pucuk Bukit)
24. DG Kumarsana (Camin Taruih)
25. Dedi Oscar Adams (Siti Nurbaya Tak Lagi Nestapa)
26. Esha Tegar Putra (Padang Kota Tercinta, di Padang Kita Bercinta)
27. Diyano Piliang (Peringatan, Cobaan, Hukuman)
28. Fadhli Basya (Menghormati Hari Jadi Kota Padang)
29. Frans Ekodhanto Purba (Empat Wajah Padang)
30. Firman Nofeki (Desau Nyiur Pelabuhan Muara)
31. F. Rizal Alief (Sepasang Puisi di Kota Tua)
32. Fhadilla Amelia (Tanah Harapan)
33. Hendri Nova (Padangku)
34. Heru Joni Putra (Taragak)
35. Hakimah Rahmah Sari (Padang, Petang dan Puisi)
36. Heni Kurniawati (Pengantin Padang)
37. Irfan Syariputra (Tentang Rindu di Tanah Kenangan Kita)
38. Idris Reficul (Senja di Atas Jembatan Siti Nurbaya)
39. Ida Ayu Utami (Saat Padang tak Pernah Sunyi)
40. I Gusti Ayu Putu Mahindu Dewi Purbarini (Kado Sesloki Air)
41. Inung Imtihani (Kepada Mandeh)
42. Kurnia Hadinata (Epitaf Arau)
43. Kemas Ferri Rahman (Sejumlah Kenangan di Masa Lalu)
44. Karta Kusumah (Cerita Bergambar Padang Buat si Sayang)
45. Kartika Amellia (Kampung Halaman)
46. Latief S Nugraha (Di Serambi Masjid Raya Ganting)
47. Lili Asnita (Sekilas Petang di Padang)
48. Mahatma Muhammad (Serindu Waktu di Kotaku)
49. Miswar Ibrahim Njong (Padang di Suatu Ketika)
50. Meiriza Paramita (Taratak Pengembara)
51. Mugya Syahreza Santosa (Seperti Penyair)
52. Moh. Ghufron Cholid (Panggil Aku Siti Nurbaya)
53. Melisa Asripal (Kepada yang Terkasih, Padang)
54. Muhammad Fadhli (Padang, 7 Agustus 1669)
55. Nur Efendi (Tentang Lelaki di Nagariku)
56. Novita Efendi (Rendang Sang Jargon Padang)
57. Na Lesmana (Di Jembatan Siti Nurbaya)
58. Nidhom Fauzi (Jiwa Padang)
59. Niken Kinanti (Anak Berkalung Tembaga)
60. Pinto Anugrah (Kutinjau Laut Dipandang Padang)
61. Putu Sugih Arta (Aku tak Lupa Rumah Gadang Itu)
62. Rika Silviani (Semarak Kota Padang)
63. Robbi Saputra El Kuray (Senandung Anak Pesisir)
64. Rizki Hardiansah (Makna di Akhir Cerita)
65. Reza Anindita (Godzilla)
66. Silfia Hanani (Kota Padang Dalam Catatanku)
67. Setio Hadi (Es Hadi) (Namaku Malin)
68. Vironika Sri Wahyuningsih (Nostalgia Siti Nurbaya)
69. Wisnhu Bagas Murtolo (Lagu 60-an)
70. Wisman (Jeritan Pengemis Pasar Raya Padang)
71. Wishu Muhamad (Induak Samba)
72. Wayan Sunarta (Kutitip Rinduku)
73. Yunita (Nyanyian Kota Padang)
74. Yori Kayama (Di Pantai Padang, Aku Mengingat Beberapa Kejadian)
75. Zulherma (Orang Kampung)

Pengumuman Pemenang Lomba Cipta Puisi Padang 2011

Inilah saat yang paling bersejarah bagi para peserta Lomba Cipta Puisi Padang 2011 yang karyanya lolos masuk nominasi dan diumumkan siapa pemenangnya.

Panitia penyelenggara dari Ikatan Alumni Don Bosco (IADB) Padang dalam suatu rapat di Padang, Kamis 14 Oktober 2011 bersama dewan juri semi final dan juri final menetapkan nama dan karya puisi terbaik yang berhak meraih hadiah yang telah disediakan panitia. Para pemenang dan karya puisinya diumumkan Jumat 15 Oktober 2011 di blog IADB www.padangdalampuisi.blogspot.com.

IADB berbahagia atas antusias peserta yang mengikuti lomba ini yang dimulai sejak awal Agustus 2011 dan berakhir 30 September 2011 lalu. Sepanjang kurun waktu dua bulan itu, panitia menerima tidak kurang dari 511 puisi karya peserta yang berasal dari Sabang hingga Papua. Bahkan beberapa peserta ada juga yang berasal dari Hongkong, Malaysia, dan negara tetangga lainnya.

Ini sangat memuaskan panitia sebab melebihi target yang diharapkan. Semula panitia mengira peserta yang mengirimkan puisi karya terbaiknya tidak lebih dari 300 judul saja. Tujuan menggairahkan kegiatan tulis menulis khususnya di kalangan siswa dan mahasiswa secara umum tercapai sudah dengan melihat antusias peserta yang cukup tinggi.

Agar lomba ini berkualitas, panitia memilih dewan juri yang berkompeten di bidangnya. Mereka adalah:

1. Prof. Eka Budianta (Akademisi, Sastrawan ~ Jakarta)
2. Prof. Harris Effendi Tahar (Sastrawan, Akademisi ~ Padang)
3. Rusli Marzuki Saria (Penyair Senior ~ Padang)
4. Pipiet Senja (Novelis ~ Jakarta)
5. Sastri Bakry (Novelis ~ Padang)
6. Nita Indrawati (Penulis, Jurnalis ~ Padang)
7. Veridiana Somanto (Akademisi ~ Padang)
8. Muhammad Subhan (Jurnalis, Penulis, Novelis ~ Padangpanjang)

Nama-nama dewan juri tersebut di atas yang selama kurun waktu lomba menyimak, mendiskusikan, menilai dan memutuskan karya-karya terbaik buah pena peserta lomba cipta puisi tingkat nasional ini.

Setelah menetapkan 150 puisi terpilih (yang direncanakan akan dibukukan), lalu mengumumkan 75 puisi nominasi, maka inilah nama-nama pemenang dan karyanya yang secara resmi disiarkan hari ini:

PEMENANG UTAMA:

Juara 1
Judul Puisi: Epitaf Arau (Kurnia Hadinata, Pasaman)

Juara 2
Judul Puisi: Padang Kota Tercinta, di Padang Kita Bercinta (Esha Tegar Putra, Padang)

Juara 3
Judul Puisi: Sepasang Puisi di Kota Tua (F. Rizal Alief, Madura)

TUJUH PUISI TERPUJI:

1. Padang, Petang dan Puisi (Hakimah Rahmah Sari, Padang)
2. Cerita Bergambar Padang Buat si Sayang (Karta Kusumah, Padang)
3. Di Pantai Padang, aku Mengingat Beberapa Kejadian (Yori Kayama, Padang)
4. Pantai Purus Tepi Kota (Budi Saputra, Padang)
5. Hikayat Seorang Wanita di Pucuk Bukit (Dedi Supendra, Pariaman)
6. Menulis Kangen; Padang (Dodi Prananda, Depok)
7. Kepada Mandeh (Inung Imtihani, Depok)

Para pemenang berhak mendapatkan hadiah:

PEMENANG UTAMA

Juara 1:
Paket Wisata Sastra ke Malaysia + Uang tunai Rp1.000.000,- + Piagam Penghargaan IADB + Paket Buku

Juara 2:
Paket Wisata Sastra ke Malaysia + Uang tunai Rp750.000,- + Piagam Penghargaan IADB + Paket Buku

Juara 3:
Paket Wisata Sastra ke Malaysia + Uang Tunai Rp500.000,- + Piagam Penghargaan IADB + Paket Buku

PEMENANG “TUJUH PUISI TERPUJI” BERHAK MENDAPATKAN PAKET BUKU DAN PIAGAM PERHARGAAN DARI IADB.

Semula, panitia hanya menyediakan paket wisata untuk juara 1 dan juara 2 saja. Namun, untuk memberikan penghargaan yang tinggi atas gerakan menulis ini, juara 3 juga mendapat kehormatan untuk mengikuti paket wisata sastra ke Malaysia.

Kepada pemenang utama yang diumumkan nama-namanya di atas, diharapkan segera mengurus pasport dan fotocopy pasport paling lambat diterima panitia akhir Oktober 2011 (tanggal 29 Oktober 2011). Fotocopy pasport discan dan dikirim via email: padangkotaku@ymail.com acc ke sastriyunizarti@yahoo.com. Bila lewat dari tanggal tersebut panitia belum menerima fotocopyan pasport, panitia tidak bertanggung jawab atas paket wisata ke Malaysia.

Panitia menyediakan tiket pesawat udara dari Padang-Malaysia (PP). Sementara pemenang yang berdomisili di luar Sumatera Barat, panitia hanya menyediakan tiket pesawat dari ibukota negara, Jakarta-Malaysia (PP). Akomodasi peserta selama kegiatan wisata sastra di Malaysia ditanggung panitia. Kebutuhan pribadi diluar yang ditetapkan panitia menjadi tanggung jawab peserta.

Perjalanan wisata sastra ke Malaysia direncanakan pada bulan November 2011 (hari dan tanggal ditentukan kemudian).

Sementara penyerahan hadiah akan dilakukan pada tanggal 28 Oktober 2011 di aula Don Bosco Padang dalam suatu kegiatan baca puisi. Seluruh pemenang akan dihubungi panitia lewat telepon dan email.

Demikian pengumuman ini disampaikan untuk dimaklumi. Keputusan dewan juri bersifat mengikat dan tidak dilakukan surat menyurat.

Padang, 15 Oktober 2011

PANITIA PENYELENGGARA
IKATAN ALUMNI DON BOSCO (IADB) PADANG

Penanggung Jawab:

1. Dadang Gozali (Ketua Harian IADB)
2. Veridiana Somanto (Sekum IADB)

Ketua Panitia:
Sastri Yunizarti Bakry (Wakil Ketua IADB)

Sekretaris Panitia:
Nita Indrawati (Pemred Buletin Rancak IADB)

Jumat, 14 Oktober 2011

MENATA MASA DEPAN, ANAK-KU…..

Hari ini kubuat selarik sajak buat anakku yang ulang tahun dan ibunya masak yang cukup special di hari ulang tahunnya yang ke 16. Walaupun wajah anakku terlihat 5 tahun lebih tua dari usia sebenarnya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas kelas 2, namun dia menganggap dirinya serasa berusia 17 tahun,..mimih…! anakku yang remaja beranjak dewasa. Ibunya selalu was-was dengan tingkah lakunya.
Petang selepas menutup took tempat kami menjalankan usaha, ibunya dan anakku terkecil membelikan kue dan beberapa lilin untuk mengingat bahwa masih ada perhatian seorang ibu terhadap anaknya yang lagi berhari special di usianya yang special dengan masa remajanya yang sedang dijalani dengan special serta masa kanak-kanaknya yang pernah dilalu juga dengan cara cara yang sangat special pula.
Dan ketika acara tiup lilin malam itu berlangsung berkatalah sang ibu pada anaknya, semacam pesan di harinya yang special
“Nak, di harimu yang bahagia dan sangat khusus ini ibu berpesan padamu, belajarlah bersikap lebih dewasa lebih dari hari-hari sebelumnya, lebih banyak belajar karena usiamu ini usia tengah menginjak bangku sekolah, berusaha untuk bertemperamen halus dan lembut kendati engkau bukan wanita sehingga ketika orang bicara, kamu bisa menyambung pembicaraan orang manakala orang itu telah usia mengungkapkan apa maksud perkataannya, jangan langsung memotong ucapan orang sebelum orang itu selesai berbicara sehingga engkau tidak tahu; apa sesungguhnya maksud bicara orang itu, terutama sekali ketika ibumu ini bicara, dengarkan dulu! Jangan langsung menjawab, berkomentar apalagi membantah. Oh, kalau menyanggah boleh, sepanjang itu ada yang kamu rasa tidak cocok dengan isi hatimu, tapi, dengarkan dulu, tolong dengarkan manakala ibu usai bicara. Nah, kalau sudah menyanggah apalagi merasa tidak cocok menurut pandangan ibumu, coba katakan apa yang terbaik menurutmu, dan katakan pada ibu apa alasan-alasannya. Jangan hanya menyanggah tapi tanpa memberikan satu solusi dari apa yang rasanya tidak cocok dengan buah pikiranmu. Nak, di harimu yang bahagia ini, sadarilah kalau sesungguhnya engkau masih membutuhkan kehadiran orang tua, karena orang tua sepanjang yang kamu ketahui tak’ kan ada yang menjerumuskan anaknya, apalagi sampai membunuh masa depannya. Namun apa yang menjadi ganjalan ibumu selama ini ternyata menurut pendapat ibu, sekali lagi,hhmmm….., menurut pendapat ibu bahwasanya ibu merasa kamu lebih mendengar kata-kata orang lain ketimbang ibumu sendiri. Itu yang ibu tidak suka. Sadarlah nak. Orang lain kendati benar omongannya, bisa kamu anggap sesuatu yang bagus buat jalan hidupmu kelak, tapi jangan sampai kebenaran yang kamu terima itu dapat kamu anggap sebagai sebuah umpatan yang menghakimi kebebasanmu yang menurut ibu, masa-masamu sekolah sepadan dengan nasehat yang ibu keluarkan untuk mewujudkan cita-citamu dan apa yang telah kamu raih seperti sekarang ini bukan sebagai suatu kesusksesan yang menurut pendapatmu kamu anggap dirimu sudah mencapai masa-masa puncak. Tidak, anakku, bukan seperti itu yang ibu harapkan dengan menelan segala perkataan orang lain yang belum nyata-nyata kamu ketahui, ada apa dibalik kebaikan seseorang padamu. Bisa saja sebuah kepura-puraan, kebaikan yang disuguhkan untuk mengambil simpatimu. Kenapa ibu berkata begitu? Karena, inilah instink seorang ibu, yang kata orang lebih tajam dari sebilah belati, kata tetua dulu, instink seorang ibu cahayanya nyalang merebak memenuhi hati seorang anak secerah cahaya mentari yang tak pernah lelah menyinari bumi dan segala isinya dari pagi hingga sore menjelang petang. Dan ibu menyadari instink yang ibu miliki. Dan juga ibu harap engkau jangan terlalu sering keluyuran keluar malam sampai jauh malam hingga lupa belajar. Ingatlah kau itu anak sekolahan yang mesti belajar. Belajar dan belajar! Sadari itu anakku. Dan juga pesan ibumu satu lagi, jangan lupa untuk mensyukuri apa yang telah kamu peroleh. Bersyukurlah disaat saat orang lain tak mampu mengenyam pendidikan, ternyata engkau telah mampu menikmati itu, Sarana dengan mudah kamu peroleh untuk mencapai gerbang cita-citamu nan luhur itu. Semenatara coba tengok orang yang tak mampu, tak punya duit dan hidup orang tuanya serba pas-pasan. Lihatlah. Engkau masih jauh lebih beruntung, nak. Sangat beruntung. Demikian beruntung. Merasalah engkau sebagai anak yang beruntung mampu menikmati semua itu. Jadi tetap kamu bersyukur nak. Panjatkan doa pada Tuhan, ucapkan terimakasih dan minta petunjuk untuk hal-hal yang baik dalam hidupmu.Sekali lagi nak ibu katakan semua ini, diharimu yang sangat special sebagai wujud kasih sayang dan kecintaan ibu padamu dengan tanpa mengabaikan rasa kasih sayang ibumu pada saudara-saudaramu yang lain, ketahuilah nak bahwa………….”
Dan anaknya yang diketahui ternyata benar-benar telah berusia 16 tahun kedapatan tertidur pulas.
Sang ibu bengong mengetahui semua itu, entah sedari tadi tidur atau sedari tadi dia ngoceh dengan pesannya yang cukup panjang persis menyerupai sebuah cerita, atau memang dia benar-benar hanya sedang bercerita tentang sebuah pesan pada anaknya yang sedang tidur ataukah barangkali ceritanya tentang pesan yang dia sampaikan telah membuat anaknya tidur, entahlah……
“Selamat ulang tahun, nak,” dikecupnya kening anak itu. Dipeluknya erat-erat serasa masih memeluk remaja yang masih dirasakan kanak-kanak.

Sajak I KETUT SUWIDJA : WAJAH

(catatan : generasi)
Pada sisi yang buram dilindung selungkup senja
pada sisi wajah nyangkut di pohon tercerabut akar
tangan tangan wajah menyusup dihimpit ketiak
bukan sapa
bukan maksud apa apa
tak menangkap gerak, semenjak sisimu
hanya secercah langkah dari bingkai penghambat
yang melebar tinggi di ini alis dan mata
ditambah gerak yang tercerap namun tak terbebas
hasrat membahana menyayat pedalaman
apa katamu
aku tak ngerti
keriput ini menjadi jadi
kearifan senantiasa punya makna karena
harapan bagi yang tiada bila sepi hampa
mengibaskan seberkas lamunan
pada kenyataan menoreh impian
pada khayal membiaskan kecemasan
dan bayangan cahaya di air tangguhkan
kerinduan ruh terhadap laut yang meluapkan
beribu benturan bisa jadi beribu kegemparan
dan sekejap itu terjadilah sekujur injakan sembari
kedinaan
namun apa katamu
aku tak ngerti
keriput ini menjadi jadi
-singaraja November 1986-

Kamis, 13 Oktober 2011

Sajak RAYANI SRIWIDODO: KUDENGAR YANG TIDAK MEREKA DENGAR

Kudengar yang tidak mereka dengar
akar rambut, bulubulu bergetar
gumamku: agaknya demikianlah bermulanya
percakapan diam urat antara urat di wajahku
di sekujur tubuh
betul gaduh
sebentar:
sejauh mana cara keterikatan mengajak

kudengar yang tidak mereka dengar
ajakn lugu jantung yang mendadak berdebar
aku menunduk. senyum
ada yang dibisikkan. lama
: tapi selesai juga

1969
Horison, no.2, th. IX, Februari 1974

Rabu, 12 Oktober 2011

Sajak AHMADUN YOSI HERFANDA : SAJAK LUKA

sungai darah mengalir dalam daging
menghanyutkan diri ke luka
jadi nanah dalam tubuhku
sedang di tubuh waktu
sungai jam menghanyutkan makam-makam
ke laut hitam tanpa gelombang

di luka laut waktu
jejak matahari
tusukan duri-duri
membekas dalam diri:
luka hati!

-----------------1984---------------bpm

Sajak ADHY RYADI : SANGKAN PARANING DUMADI

Setelah tanah yang kau tatah
kepulkan bunga dan api
aku ke tepi
berbaring dalam sepimu
aku pejalan jauh,
melahap keluh

dari tanah kau tatah
ke tanah aku pasrah
kuteduhkan bumimu
yang melengking
dengan tangis,
atau jerit tertahan

setelah tanah yang kau tatah
kepulkan bunga dan api
kutumpahkan rasa sepiku padamu

aku pejalan jauh,
melahap keluh
kepadamu aku kembali

-----januari 1985-----bpm

Sajak IB GDE PARWITA : DARI TEPI RAHASIA

Selalu berlabuh di hati
langit semesta sepanjang percakapan
berayun
seperti pelayaran bulan bulan
lalu roh gemuruh
dalam petualangan diri
dari tepi ke tepi
terkubur bayangannya
sepanjang percakapan
nurani jagatku
memerah terus
membakar sepiku sendiri
melingkupkan nyanyian keasingan
menikam makin ke dalam
bercucuran kata
sunyiku abadi

tihingan, april 84-----balipost

MENATA MASA DEPAN

(bagi : adijayagiri)
Sepasang bayang yang muncul melingkar jalannya waktu
Dan hari hari kebahagiaan berusaha merengkuhmu
Bak perjalanan merekah bukan sebagai alur hidupmu
Namun jalannya waktu telah kau kuasai
Berbenah sebagai masa depan pasti
Disaat sebagian dari anak-anak menghabiskan sisa canda
Sepasang bayang gurat cahaya memeri semangat
Begitulah kehidupan, keras tak : namun mesti lewat
Disaat kita semua terlelap dalam rutinintas yang berlari
Menembus kemauan, namun itulah yang mesti teraih
Bukan karena keterpaksaan pun melibas hari hura hura
Hari haru biru yang belum membayang
Hari hari menghadang jauh dari huru hara
Berpasang pasang pembuluh yang mengairi gejolak
Sebagai masa depan pasti
Kendati bukan berbenah namun harus dilanglang
Tataplah langit masa depanmu
Tataplah bintang berkelip ketika tak pernah diam abaikan cahaya yang meraya pada ufuk semestamu
Tataplah cahaya matahari meruang dalam matahatimu
Dan jenguklah ke dalaman hati senantiasa beri gairah
Tak padam

Sajak UMBU LANDU PARANGGI : MELODIA

Cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali
bertahan
Karena sajak pun sanggup merangkup duka gelisah
kehidupan
Baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi
suara suara dunia luar sana
Sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa
langkah kemana saja

karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati
pengembara
dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti
kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan menyeri hari-hari
tergesa berlalu
meniup deras usia, mengitari jarak dalam gempuran
waktu

takkan jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi
dan rindu menyanyi
dalam kerja berlumur suka-duka, hikmah pengertian
melipur damai
begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal,
penanggalan penuh coretan
selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam
manja bujukan
rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis,
bahagia sederhana
di rumah kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan
dan berjiwa
kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja
harapan dan impian
yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi
dan kedua tangan

manifest, antologi puisi 9 penyair Yogya (tanpa penerbit), Yogyakarta, 1968
(tonggak-antologi puisi Indonesia modern 3, Linus suryadi AG, editor hal 243-244)

Sajak PUTU ARYA TIRTAWIRYA TELAGA

Kubersihkan jelaga langit kasihmu
Kujumpai seuntai manic warna asing
Tersangkut di sosokmu tanpa wujud
O penyihir yang bijak
Ocehanku toh bayang sihiran semata

Selasa, 11 Oktober 2011

Sajak HARDIMAN: SEBONGKAH BATU (surat bayi ning)

Kita nyalakan lilin di ruang ini
Menyambut pesta getarnya rasa

Sementara itu, di luar:
Mereka ingin jadi sang bisa
Mengasah lidah dengan ludah
Mereka ingin jadi sang pewanti
Melapal kata setiap detik

Sejumlah taring
Berhamburan dari mulut mereka
Bertubi-tubi menusuk ruang kita
Ingin meredam nyala lilin

Tapi nyala tetap anteng
Tetesnya menjelma jadi sebongkah batu
Dan siap kita lemparkan
Kepada mereka yang mau luka

------mawar 23-4-’87-

GELOMBANG ITU TAK PERNAH DIAM MELAYARKAN AIRMATAMU

Gelombang itu tak pernah diam
melayarkan mimpi
ketika airmatamu pernah singgah disini
sebagai asinnya air berhamburan tumpah bersama hujan
perahuku karam, bukan cinta yang terpendam, atau kandas terbelah dua dalam cinta tak sampai
terpecah belah mungkin dalam cinta bertepuk sebelah hati
terdampar di pulau penghabisan, sebuah daerah di sudut bumi tak sampai
gagal melabuhkan
asmara hilang janji

Wahai, akukah menara suar menyelam
di lautan lepas, hingga tuntas ke dasar hatimu
paling dalam?
Dan engkau meronta-ronta, ketika kekecewaan
tergambar jelas di pelupuk mataku
kau kabarkan lewat
airmata

Tapi engkau tidak sedang bermimpi, bukan?
kesedihan tak mudah lindap tersembunyi
pada setiap bulir airmata mengalir
kendati pada kenyataan engkau katakan dirimu tidak sedang menangis
Karena hatimu telah engkau titipkan
dan beruap ke rongga langit-langit luka
dalam cinta terlanjur kering
bukan!
hatimu justru kekeringan asmara menggoda hasrat untuk selalu ingin menyatu
dalam cinta

Gelombang ini tak pernah diam dan bosan melayarkan mimpi
manakala menyadari mimpi-mimpi terdampar di lekuk
lautan cintamu

Masih saja engkau menunggu berlayarkan airmata
menggelombang dalam lautan
dukamu

Lembar, nop’10

Sajak UMBU LANDU PARANGGI: SAJAK DALAM ANGIN

Sebelum sayap senja
(daun daun musim)
Sebelum hening telaga
(burung-burung malam)
Sebelum gunung ungu
(bisik suara alam)
Sebelum puncak sayu
(napas rindu dendam)
Sebelum langkah pengembara
(hati buruan cakrawala)
Sebelum selaksa kata
(sesaji upacara duka)
Sebelum cinta itu bernama
(sukma menguji cahaya)
Sebelum keningmu mama
(kembang-kembang telah bunga)
Sebelum bayang atau pintumu
(bahasa berdarah kenangan maya)
Kabut itu dikirimkan hutan
Gerimis itu ke padang perburuan
Gema yang itu dari gua purbani
Merendah: dingin,kelu dan sendiri
Namaku memanggil manggil manamu
Lapar dahaga menghimbau
Dukamu kan jadi baka sempurna
Dan dukaku senantiasa fana
Yogya, 1968
Pelopor Yogya, 26 april 1970

Sajak WARIH WISATSANA WISAKSAMA: KEBERANGKATAN

Selalu saja ada yang pergi
Melemparkan seikat kenangan pada tidurku
Jadi seuntas mimpi
Melihatku dalam kesedihan sepenuh waktu

Selalu saja ada yang pergi
Membawa suara dalam tubuhku
Menambatkan kesenyapan di luar
Mengaburkan batas kamar

Selalu saja hanya daun
Luruh tanpa mengaduh
Pergi menyusuri diri

----juni 85----
(prioritas 16 nop 1986)

Sajak SUNARYONO BASUKI KS : SAJAK BUAT HB JASSIN 70

Sungai, basuhlah tanganku
Agar dapat kuharumkan mulut hidungku
Agar dapat kujernihkan wajahku
Agar dapat kuseka batang lenganku
Agar dapat kubenderangkan pikirku
Agar dapat kutajamkan dengarku
Dan kuluruskan langkahku

Lalu dalam sujudku
Kulihat betapa mulia alirmu

ULAMA DI KURSI BIROKRAT

Ketika di tengah- tengah senyapnya permainan uji mental menjelang pemilihan gubernur, seorang teman saya Ridwand Arshad dari Bima menjadi besar di dunia teater singaraja Bali dan kini bermukin di Jakarta seperti mengiggau berucap. “ Saya bukan memihak siapa-siapa. Dalam pemilihan ini justru saya berpikir soal masing-masing calon pemimpin dengan totalitas misi-misi yang dipaparkan “ seandainya saya terpilih” dan itu tidak terjadi dengan orang yang satu ini. Kesimpulannya setelah gubernur ini yang memang dari suara hati murni rakyat, setelah sang ulama ini yang menyelamatkan sebuah kalimat pimpinan remang-remang yang tidak mengenal buku, pimpinan yang tidak membaca dll, who next? Begitulah kira-kira. Setelah Ulama ini, dekade berikutnya siapa lagi? Kalau memang menanggapi kalimat dalam tanda petik besar, sebuah kemenangan ini bukan milik sebuah partai, ini kemenangan rakyat, maka terbukti sebuah penilaian murni terhadap sosok pemimpin dari suara murni rakyat
Kalau memang demikian pada akhirnya, itu berarti Tuan Guru Bajang bukan lagi milik satu dua partai, bukan milik satu golongan agama, tapi seorang tuan guru yang menyuarakan kepentingan umum di atas segala-galanya dengan bernuansakan agama. Selaku Ulama muda, satu-satunya gubernur termuda di Indonesia, diharapkan figur dengan sentuhan kharismatik menginginkan suatu bentuk inovatif yang plural nantinya bisa memberi rambu-rambu reformasi NTB yang bebas KKN. Tidak mencampur adukkan antara kepentingan agama dan politik atas wilayah daerah yang dipimpin. Pluralitas yang mampu menghambat munculnya kekacauan , barbarisme, angka kriminal yang tinggi dalam keterpurukan sosial-ekonomi yang membutuhkan suatu sentuhan yang bukan dijadikan pajangan ataupun obyek komoditi dalam target pembenahan nanti. Inti dari pluralisme itu juga mampu mengatasi permasalahan mengenai ide pemisahan pulau sumbawa sebagai provinsi tersendiri yang tentunya tidak realistik karena gubernur nantinya harus mampu mengayomi. Perceraian sebuah pulau tidak akan menjadi indah. Tuan Guru Bajang harus mampu menyatukan kedua pulau ini, selaku pemersatu bangsa yang dalam hal ini NTB sebagai bagian dari NKRI.
Diingatkan kita kembali pada Al Farabi, filsuf kelahiran Transoxiana, dimana para pemikir islam awal juga menghadapi masalah kecil dalam memisahkan agama dan politik. Usaha yang serius lewat On The Perfect state dalam harmonisasi pemikiran politik dan agama sebagai sebuah ide mengenai kepemimpinan suatu Negara sempurna yang sekular-universal dan dengan harapan itu barangkali NTB ini secara kolektif dapat menjadi ujung tombak kaumnya separatis dalam golongan muktazilah yang lebih menghargai lagi eksistensi para ilmuwan, filsuf, penulis puisi, cendekiawan dalam transformasi sebuah wilayah yang lebih manusiawi. Dan visi itu dalam mewujudkan masyarakat yang beriman dan berdaya saing, bukan sebuah kalimat indah yang nantinya hanya terpancang di lobby pendopo, dilirik hanya untuk sekadar dibaca, namun dibaca untuk dilaksanakan. Dengan demikian apa yang menjadi figur seorang pemimpin seperti KH. M Zainul Majdi yang master di bidang ilmu tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran lulusan Universitas Al Azhar ini bisa memberikan kepercayaan umat beragama, masyarakat NTB pada jalan yang benar, berpandangan moderat yang berbentuk agama dalam hal mana kepercayaan utama sebagai orang nomor satu di NTB dalam memimpin masyarakat mampu memisahkan agama dari Negara, hak kebebasan berekspresi. Satu pandangan sudut moderat yang memayungi pluralisme, perbedaan toleransi sebagai demokrasi yang tumbuh di masyarakat. Akan menjadi nyata sesuai dengan julukan NTB yang The Heaven on the planet dalam gugusan segitiga Toraja, Bali dan Komodo dalam jalur wisatanya.
Dengan demikian nantinya sosok Ulama muda di kursi birokrat seperti igauan teman saya dari Jakarta tadi bukan merupakan rumours halus, bukan juga sebuah teori untuk mengagungkan sesuatu walau sesungguhnya dalam kecemasan seorang pemimpin seperti Pak Majdi barangkali bisa menolak sebuah tradisi itu sendiri atas kultur kelahiran sang Ulama muda dalam suatu daerah tertentu namun tanpa menampik segala sesuatu yang sifatnya lebih egaliter. Entah! Namun pada akhirnya sosok pemimpin berwawasan moderat yang menghargai pluralitas atas keragaman warna ini kita lihat kinerjanya nanti hingga sampai di penghujung tahun 2013 atau bahkan bisa diharapkan nyambung sampai tahun 2018. Semoga pak Majdi bisa sebagai sosok Muslim yang moderat tidak hanya terhormat bagi agamanya tetapi juga, semua agama! Saya jadi teringat igauan seorang teman dari Jakarta bahwa apa yang menjadi dugaannya semakin tepat. Artinya manakala pinjam istilah Al Farabi sambil berandai-andai” Kalau saja gubernur yang satu ini mau membaca sebuah sajak sebagai seorang tokoh politik termuda satu satunya di Indonesia yang ada untuk saat ini.” Dan kenyataan yang bisa kita lihat ada beberapa kegiatan yang bersifat seni mulai menggeliat di Taman Budaya Mataram dalam limit waktu yang cukup jelas jadwalnya. Memang sebuah permintaan sederhana dari seorang teman karena seorang pejabat penting manakala memegang tampuk pemerintahan yang dikenalkan dunia seni, mengasah jiwa dalam kesenian untuk kembali memanusiakan diri sebagai bentuk manusia yang memiliki hati nurani yang dalam, saya kira bukan hanya sekadar membaca atau berkarya seni, menggali kata-kata, selebihnya memang harus mampu memancing greget, bagaimana greget seni itu kembali muncul yang selama ini hanya angin lalu. (greget ini pula oleh Kongso Sukoco yang mempertanyakan eksistensinya atas nama rekan-rekan seniman untuk harapannya akan terbentuk: DEWAN KESENIAN NTB) Dan sayapun beranjak dari igauan tersebut seandainya para pejabat yang ada di Indonesia memisahkan diri sedikit selaku birokrat untuk menggali kata-kata. Ya, kalau setiap jamuan coffee morning diselingi acara pembacaan sebuah puisi atau berdiskusi tentang sebuah prosa dalam hati nurani. Dan memang kalau seandainya para birokrat membaca sajak serta memiliki waktu untuk mengasah intuisi seni di bidang sastra.(DG Kumarsana)

Sajak SYAHRUWARDI ABBAS : MENOLAK BARA

Tapi tak beri makna
Hitammu tarikan bulatan bulan
Dan bulat hitam matamu
Tak penuhi gurat urat dadaku
Kutampik peluk lingkar katamu
Malam tak hendaki bara berahi
Bakar hening dingin beberkah

Lemparlah ke kedalaman angan
Biar tak rangkul debar batin
Dinginku
Biar lalu segala durhaka

Kutaruh sepenuh bibirku
Yang birukan langit, cairkan air
Tembusi kulit batin
-larilah kau ke bara berahi pahitmu
Sama darah
Sama bara-

Kucari arti
Di sepi
Sendiri
------Denpasar, Januari 1985--------

Sajak STHIRAPRANA : SAJAK

Betapa hari tiada kata
Angin yang tiba penuh rahasia

Gelap dan cahaya yang selalu datang
Siapa menang dalam waktu yang panjang

Kabut yang sepi
Cepat benar memburu kita
Tanpa jawab

1984

Minggu, 09 Oktober 2011

Sajak Radhar Panca Dahana : ANTARA KITA, IBU

Adalah bulan,
Berdaster kembang merah dadu
Dia cuma selaput Tuhan
Perawan, yang dikoyak menjadi malam

Adalah laut,
Bersinggung tepi dengan langit
Ia cuma lunturan bitu
Tak mau tidak, harus berombak

Bulan dalam selimut
Setengah lingkaran laut
Ketika jingga ketika senja
Siapa lahirkan siapa

Jakarta, 24 oktober 1984
(dari parade karya Hai no29/IX 6-12 agustus 1985)

Mengenang almarhum WS RENDRA sang budaya kasur tua....... maksudnya?

Itu ungkapan mas putu wijaya: kebudayaan jawa adalah kebudayaan kasur tua. Itu hanya sebuah diskusi yang memamerkan ketersinggungan banyak kalangan.
Kebudayaan yang tinggi bukanlah kebudayaan kurang ajar.
Pemikiran sang burung merak bukan karena ulahnya baru nangkring kembali sepulang dari amerika.
Bahkan mungkin itu hanya satu bentuk ekspresi mini kata untuk mencemooh sang balada orang-orang tercinta.
Kasur tua baginya hanya ingin mengembalikan khasanah budaya usang, membuang tradisi temporer yang dogmatis menjadi tokoh pembaharu, merubah zaman yang buktinya sepeninggalan sang burung merak masih senang untuk dikenang, senang mengenang teater mini kata dalam almamater bengkel teater., adakah sang penerus kata....????
Bintang mahaputra atas pemakaman mas Rendra seperingkat mbh surip yang tidak mau dimakamkan di taman makam pahlawan bagi tokoh ”art heroik” karena tidak mau dan tidak butuh untuk dihormati.
”Sekelumit mencari bapa”
Namaku Suto
Ketika aku lahir
Hujan turun dengan lebatnya
Di ujung senjakala
Sebagai bayi tubuhku terlalu besar
Aku lahir dengan kaki lebih dulu
Ibuku berteriak:”Aaaak”- lalu mati




Sumber kata”: goro-goro mas putu wijaya majalah tokoh 9 hingga 15 agustus 2009.

ZIARAH

Betapa kecil sebuah makna mengungkap, disaat bibir kata yang mulai terucap batas perjumpaan akhir dari relung hati terdalam dan memang sangat dalam untuk menggugat takdir. Dan ketika kita diharuskan mengungkapkan perpisahan dalam standard waktu yang tak jelas. Mungkin kekasih yang lari dari dekapan membawa suatu goresan duka yang dalam yang sangat begitu mengecewakan hati dan meraung-raung di hati. Betapa tidak untuk sebuah perpisahan yang dalam, yang mengharapkan kita untuk mengenang dan dikenang. Manusia memang dalam konteks itu pada kenyataannya tidak bisa lepas dari takdir, bahwa kenyataan hidup yang dihadapi sebenarnya tak lepas dari unsur cinta kasih, kebencian, dendam, perpisahan oleh sebuah kematian yang panjang.. Kehidupan yang tidak terpisahkah oleh kematian.. Sebuah cerita kecil dari kematian itu, yang sebelumnya mengungkit-ungkit masa lalu, sebuah kenangan sebagai perjalanan sangat panjang yang sebelumnya oleh kesedihan terlalu dibesar-besarkan atau akan lari dari kekosongan itu dengan berbuat seolah-olah tidak mengenal bayangan masa lalu lewat kebodohan diri. Bertopeng dalam duka barangkali atau bisa jadi mengadakan kontak dengan kerawanan dalam kekacauan jiwa. Berlari di alam yang bertumpang tindih dari segala-galanya untuk menutup arahnya, perputaran waktu. Merelakan waktu pergi dan bersikap mati apatis dari kematian kekasih yang yang selama ini memberi gairah kehidupan.
Demikianlah adanya sebuah pratanda buruk dari manusia yang bernaung di bawah bayang-bayang ketakutan akan sebuah perjalanan misteri.
Terlepas dari itu semua, dari sang kekasih sendiri, adalah sepasang insan yang pernah dilanda asmara dalam suatu ikatan perkawinan telah melampaui target dari keseharian dalam pergulatan panjang yang tak dikenalkan keadaan-keadaan, tidak bersentuhan dengan segala macam bentuk moralitas, suatu dogma agama yang terkadang terkesan mengikat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pengendapan senggama sarat sebagai sebuah proses melahirkan segala bentuk keangkuhan-keangkuhan diri yang memasung-masung untuk dapat disebut sebagai sebuah kenikmatan. Katakanlah suatu pergumulan bathin polos, apa adanya namun tidak dikacaukan unsur apapun juga. Buah dari kenyataan manis, manisnya rasa yang mengantarkan pada pemakaman terakhir. Peristirahatan total yang tak akan mengenal kehidupan lagi sebagai orang yang benar-benar mati. Mati dalam arti yang sebenarnya. Akankah insan takdir mati meraung dikutuk tradisinya? Ziarah, demikianlah terlepas dari kehidupan sang tokoh menjalani kodrat sebagai keadaan yang sebelumnya tidak tahu, berangkat dari tanda tanya yang bergolak dalam segala penyesalan lewat kewajaran kisah hidup di medan realita, dengan terpaksa akhirnya dihadirkan suatu bentuk manis titik temu sebuah yang namanya kecintaan. Tidak sebatas waktu dia menziarahi sang istri yang telah membawa bayang-bayang samar yang tidak tahu kapan sebuah peristiwa terjadi. Kapan kematian datang menjemput.
Di dalam batas lingkup kewajaran yang sebenarnya sedang terjadi, justru sebaliknya dia adalah kelahiran dari ketidakwajaran itu sendiri. Dan disaat ia bersikap wajar, bertingkah laku sesuai dengan norma-norma kehidupan dalam masyarakat, terjadilah suatu perselisihan diantara anggota-anggota itu sendiri yang memberikan sebuah penilaian terhadap dirinya. Jadilah kontradiksi, betapa tokoh yang berprilaku dan berjalan sesuai atas tuntutan jamannya diartikan terbalik. Itulah yang telah dilukiskan sebagai seorang yang telah lupa akan tanah kelahiran yang rindu kampung halaman, sang pejalan yang berduka yang berziarah di atas tanah pekuburan. Iwan Simatupang sang novelis telah melukiskan ziarah sebagai kesan kehadiran kembali akan kecintaan orang tercinta yang terlupakan oleh sang waktu.
Hanya waktu, sebuah perjalanan waktu yang membawa kembali ke arah perjalanan akhir., dalam jasad utuh tanpa apa-apa. Mayat yang menjadi usungan di peristirahatan total, terlepas dari roh itu sendiri dalam wujud mencari sebuah pengembaraan baru. Sebagaimana tulisan Iwan Simatupang yang melukiskan akan sebuah kepercayaan akan adanya lembaga sorga dan neraka dalam geografisnya bumi dimana manusia berada dalam perziarahan yang ikatan antara manusia hidup dan yang telah mati masih ada. Menjadi seonggok lembaga yang berupa tanah-tanah kuburan. Perziarahan yang pernah terjalin sebelumnya. Itulah adanya kuburan; mayat-mayat baru dikubur disitu. Centimeter demi centimeter dari permukaan bumi kita ini adalah bekas kuburan tua yang setiap waktu dapat dijadikan tumpukan kuburan baru. Kita adalah bakal mayat yang berpijak di atas mayat tua. Bumi ini adalah seluruhnya bumi kepunyaan mayat-mayat. Bumi kerajaan maut.
Iwan Simatupang menuliskan dalam arti terdalam, dengan kegamblangan unsur psikologis tapi butuh sedikit pengulangan arti akan maksud pengarang.(dgk)

KETIKA KAU GILA

Aku tak mengerti
kau katakan ayam itu musang
kau katakan musang itu kambing
kau katakan kambing itu sapi
dan kau katakan sapi itu kau

Aku jadi tak mengerti
kau katakan raja itu presiden
kau katakan presiden itu Tuhan
dan kau katakan Tuhan itu kau

Aku semakin tak mengerti
kau katakan nusa kambangan itu Hollywood
kau katakan Hollywood itu Indonesia
kau katakan Indonesia itu neraka
dan kau katakan neraka itu sorga
tapi tak pernah kau katakan sorga itu kau

ketika aku jadi kau
aku baru mengerti
jangan jangan sorga telapak kakinya ibu
kau tapakan lidah
telan bulat bulat

Lingsar – Batu kumbung, juli’10

LELAKI YANG SERING DATANG MALAM MALAM

Lelaki itu setiap datang selalu membawakan kembang
tapi bukan kemenyan : mengetuk angan pada setiap kenangan yang pernah lewat
sebab kemenyan hanya buat para roh roh dan dedemit
itu katanya, aku hanya nyengir sendiri
lelaki itu memang aneh

Lelaki itu selalu datang membawa senyum, menebar tawa riang gembira
tapi bukan mimpi mimpi
sebab mimpi dibawakan dengan igau hanya akan membuat malam cepat berganti
coba terka apa makna ucapannya
akupun tak tahu
karena lelaki itu tetap aneh di mataku

Lelaki yang datang membawakan nasihat
aku tertarik karena kata-kata terucap mengeram nyaman di hati
pada siapa siap menjadi pendengarnya

Kali ini lelaki itu datang kembali, tapi tidak dalam bentuk keanehan yang dianggap janggal
oleh semua yang menanti kedatangannya
karena dia mengatakan besok akan ada malapetaka
tidak ada yang percaya apa kata-katanya
kami semua berpikir akan sebuah kegilaan dibuat buat
dia hanya mengumpat
“Bodoh!” lalu pergi
tidak ada yang marah dengan kekasarannya ketika esok hari banjir bandang menyerang dusun
kami dan rumah rumah berubah jadi pusaran air yang menghanyutkan semua penghalang.

Setelah segalanya tenang tanpa peristiwa serta kami semua menatap puing puing tersisa
dalam pengasingan
lewat kamp kamp pengungsian kami
Lelaki itu datang kembali dengan keranjangnya membawa setumpuk kemenyan
“Kenapa bukan kembang?” ada yang nyeletuk
lelaki itu nyengir lalu berkata: “Akan ada yang mati!”
beberapa lama kami semua berteriak histeris, karena seorang penduduk yang mati sosoknya
mirip laki laki itu
Kuranji, nop’10

TUTUR PENELAH

Suar anē ngranang tuturnē ngaē sang nengil
boya bayu
sang sanē natakin lawatnē dadi nengil
boya mamata nyunaran keneh
ilang, tuara bebai bongol lan ngaē brayanē nengil lonto
nakeh tetagihan tidong, kēwala kenehē
kelem
ngantiang ngentas lawatnē anē saling kepungin kepupungan ngepung
dina mani puan
mata anē mamata di keneh : las
sibarengan jak bintang
carangē anē mecanggah di keneh : tatas
makejang ilang

sekabesik cerik-cerikē ngentas ngambahin yēh nyom
nyēn ngelah, mē?
tusing ulian sebet di keneh mapangenan
rikala endag matanainē ngambahin mamban sunaranē
nyusut belus di gumin anē liu anak ngembengin yēh mata
lan yēh mata anē lekad uli matan mesunar melah
mēnēk tetujonē, dijanan tongosē ada sedeng kal ambahin?
Ngetor? Utawi ngedum mabesikan

EKSISTENSI KARNA

Sebuah cerita barangkali akan bisa menjadi berbeda kalau Karna ternyata bukan dari golongan yang berkasta, golongan ningrat, priyayi atau golongan ksatria. Dan untuk dapat memperoleh ilmu yang diturunkan sang mahaguru Drona, suhu dari para pandawa lima itu dengan cara tak wajar dia akan mengaku-ngaku sebagai seorang anak dari golongan brahmana. Memang setelah menguasai ilmu, perbedaan itu akan menjadi sirna dengan sendirinya. Siapakah yang menciptakan perbedaan ini? Apakah perbedaan ini terjadi dengan bergantinya kekuasaan, silih berganti perputaran waktu antara siang dan malam ataukah ada aturan-aturan tertentu dalam negara yang memang harus memilah-milah mana yang berhak untuk belajar mana yang tidak berhak. Adakah sebuah perbedaan datangnya dari langit? Tidak! Sekarang ini yang membedakan proses belajar dan sang pengajar adalah status sosial. Perbedaan pelajar antara si miskin dan si kaya yang mencolok jauh. Sebuah ilmu yang dicapai memang tidak mengenal kaya dan miskin, namun setelah proses belajar usai ilmu akan menjadi sebuah gelar sang penyandang sebagai perlambang pengukuhan eksistensinya di masyarakat.
Karna dalam kekinian adalah sosok yang miskin namun tinggi idealisme. Bukan kesalahan sebuah kelahiran dari anak seorang sais, karena bagaimanapun anak seorang mahaguru sekalipun belum tentu bisa berkompromi dengan idealisme yang setinggi langit, karena pada kenyataannya anak seorang sopir angkot, anak seorang sais cidomo dan anak seorang tukang ojek yang jauh lebih rendah status sosialnya ketimbang anak seorang dokter, anak seorang dosen ataupun anak pejabat sekalipun masih bisa tampil dalam pentas bisnis sebuah usaha (istilahnya rekanan bisnis dan modal usaha lebih dipermudah) ataupun pada sebuah pentas drama politik. Namun tidak tertutup sebuah pameo yang beredar di masyarakat dengan kata-kata yang menyesakan dada si miskin bahwa: jadilah anak pejabat, karena berburu ilmu tidak sepenting memburu kepemilikan saham perusahaan. Ada yang diuntungkan, soal nasib tangan dan hukum karma sebuah bisnis. Bisnis yang dibangun dari ketenaran jabatan sebagai sebuah keturunan anak seorang pejabat negara yang memanipulasi data membangun sebuah kerajaan bisnis. Lambat laun memang itu yang terjadi dan pada kenyataan itulah sebuah aji mumpung. Mumpung berkuasa. Dan Karna kekinian pada akhirnya bukan berakhir di medan kurusetra, namun sebuah keberuntungan garis tangan yang mengantarkan perang pada medan bursa pasar saham, sebagai pemilik modal, market leader sebuah perusahaan besar, dengan kekuasaan mengatur orang-orang dan menjadwal kapan mesti PHK dan kapan harga-harga barang dinaikkan. Serta merta yang membuat mahaguru Drona tersungut-sungut bahwa ilmu bukan hanya buat orang-orang tertentu yang lebih mengasihi keberadaan ksatria pandawa lima. Bahwa ilmu bagi si kaya dan si miskin memiliki perlakuan yang sama. Bagi si kaya tinggal melanjutkan jenjang ketenaran, bagi si miskin untuk memanfaatkan fasilitas program negara, pemanfaatan beasiswa dana pendidikan, selebihnya dibutuhkan kreatifitas dalam bentuk personal approach kepada sang penguasa atau yang lebih paham soal guliran-guliran yang menyangkut anggaran pendidikan yang kadangkala bisa menjadi siluman.
Dan begitu beruntungnya Karna yang oleh Duryudana telah memberikan pilahan dunia kebesaran dalam tampuk kekuasaan, sebuah petak negeri Angga yang oleh kelihaian Duryudana dalam memilih orang tanpa harus berhadapan dengan Arjuna, walau Drona telah mengikis habis angan-angannya akan sebuah keberhasilan. Bhargawa yang nelangsa. Pada kelahiran berikutnya nanti Karna akan memandang tanah kurusetra sebagai sebuah monumen bersejarah, ketahanan dan ketabahan pergulatan sebuah keberanian. Keberanian mengungkap sejarah yang sesungguhnya kalau kelahiran sang Karna sesungguhnya adalah sebuah penganiayaan moral dari seorang putri berdarah bangsawan tinggi. (DG.Kumarsana)

PAKSI SEBET

Satuanē jani natakin ujan
di petengan bayu ngindang kenehē mamung
nyēn mapangenan ngusud smaranē ngisis ben angen
seka ukud kedisē metinggah sanglir di duur punyan kayunē
ngenehang bayu inguh
- punyah..!!
ngantiang muanē malawat sebet
kampidnē lemet nyautin keneh
kenjel ngantiang angen buka inguh paling nganti lung
canggahē tongos metinggah
uyang paling ngantiang
uyang paling ngitungang umah
saling kē malajah ngipi lamun payu ngantēn
apa kal bakat tidik
geginanē buka jani : puyung
apa ulian lebian pretēka
lebian petakon?

Nanging tuara kendel nyalanang kenjel

BLACKBERRY

Pingin rasanya punya HP bagus kayak teman-temannya. Di sekolah tempat wayan belajar hampir semua teman-temanya kebanyakan membawa HP bagus-bagus. Sedangkan dia sendiri jangankan untuk beli HP yang bagus, untuk jajan saja kadang-kadang masih kurang. Belum kalau lagi ada pelajaran tambahan di sekolah, Wayan hanya cukup melirik kantin sekolah dari jauh saja sambil menelan ludah kehausan. Baru-baru ini mang Nonik teman sebangkunya memperlihatkan blackberry keluaran terakhir. Wah, mutakhir sekali.
“Ini bisa untuk chatting. Ada fasilitas facebooknya. Wuih pokoknya seru,” mang Nonik berceloteh bangga di hadapan teman-temannya ketika lagi jam pelajaran kosong. Semua pada menoleh. Semua mengerubungi gadis cantik walau agak sedikit kurus itu. Ada yang mendekat. Ada yang jahil berusaha meraih. Eiiit! Lebih gesit tangannya Ayu. Teman sebangkunya sudah lebih dahulu mengambil.
“Wah, bagus mang. Dimana beli?”
“Kiriman paman saya dari Jepang.”
“Wah, pasti asli ya?”
“Ya, disini belum ada yang jual.”
“Ah, masak?”
“kalau yang bekas ada ndak?”
Dan mereka semua sibuk membicarakan HP baru kepunyaan mang Nonik. Maklum dia keturunan keluarga kaya. Bapaknya peternak babi yang sukses. Walau babi mengandung banyak lemak agak janggal kalau melihat mang Nonik tubuhnya kurus seperti kekurangan makan. Tak heran kalau teman-temannya sering mengoloknya dengan kata-kata:” Eh, mang, sekali-sekali makan daging babi, jangan hanya dijual aja.” Atau dengan kata-kata pedas: “ Sayang ya! Bapaknya sukses dengan muluk babi tapi anaknya melarat kekurangan lemak.”
“Jangan-jangan malah dia yang menyusui babi-babinya, hingga kehabisan stok lemak di tubuhnya,” sambung yang lain sembari ngakak keras. Namun bagaimanapun pedas ejekan temannya, mang Nonik tetap saja cuek-cuek bebek. Sekalipun di balas olokan temannya ndak bakalan membuat dirinya gemuk. Ya terima saja apa adanya.
Sejak punya HP blackberry baru sekarang teman-temannya sudah mulai jarang mengolok. Sepertinya Benda itu memiliki kekuatan ampuh yang mampu mengangkat ketenaran ,harga diri dan pada akhirnya hal itu membuat teman-temannya enggan untuk menilai kekurangan-kekurangan yang ada dalam diri mang Nonik. Jelas itu telah mengangkat martabatnya. Kabar tentang HP mang Nonikpun mulai menyebar dari kelas ke kelas. Semua sibuk membicarakan. Lebih senang membicarakan HP barunya mang Nonik ketimbang membahas mata pelajaran. Sepertinya HP milik mang Nonik disejajarkan dengan mata pelajaran sekolah. Sehingga selepas jam pelajaran pastilah diselingi dengan adu pendapat soal blackberry. Dan mereka semua kelihatan pada berlomba-lomba mengganti HP. Tidak mau kalah dengan kepunyaan mang Nonik.
“Yan, kamu kenapa diam saja dari tadi? Ndak ganti HP kayak teman-teman yang lain? Jangan mau ketinggalan Yan!” Teman sekelasnya memanas-manasi Wayan yang sedari tadi tidak antusias membahas soal HP.
“Ah, cerita biasa. Itu sih sepele!” Wayan komentar acuh tak acuh.
“Maksudmu?”
“Ya, semua juga tahu itu barang mahal. Kenapa harus ikut-ikutan ramai. Nonik itu kan anak saudagar babi, apa saja bisa dibelikan orang tuanya.”
“Jangan rendah hati begitu. Harus bangga dong dengan kepemilikan kawan.”
“bangga? Ya jelas ikut bangga tapi tidak harus kesetanan kayak gitu kan?”
“Ah, kamu ngiri ya?”
“Kalau aku yang punya gituan teman-teman baru pantas ngiri.”
“Kenapa?”
Wayan tidak menjawab. Hanya tertawa kecil disambung dengan kata-katanya yang khas. : ”Mana mungkin orangtuaku sanggup membelikan.”
Bagi Wayan komentar yang berlebihan tentang HP milik mang Nonik merupakan ejekan bagi dirinya yang miskin. Dia merasa seolah-olah terdesak oleh sesak ocehan teman-temannya. Sepertinya sebuah keharusan memiliki walau sesungguhnya belum dianggap untuk melengkapi statusnya sebagai seorang pelajar. Itu yang ada dalam pikiran Wayan dalam keinginannya yang tidak tiba-tiba dan sudah sedari dulu dia angankan. Dia juga seperti teman-temannya yang lain: Ingin memiliki HP yang bagus.
“Tidak mungkin memek belikan kamu begitu Yan? Apa untungnya? Tanpa HP-pun kamu bisa sekolah. Jangan sok-sok an kayak temanmu yang kaya itu. Memek ndak punya uang,” itu kata ibunya ketika pernah Wayan mengungkapkan keinginannya. Jauh-jauh hari sebelum kabar blackberry itu beredar di sekolah. Keinginan hanya tinggal keinginan. Angan-angan hanya hembusan angin sepoi-poi yang merona di wajah wayan. Hembusan yang membuatnya terdampar di alam mimpi saking kuatnya angan-angan memiliki sebuah HP. Dalam mimpi wayan merasa memiliki keluarga yang kaya raya. Tangannya menggenggam sebuah blackberry yang bagus. Wayan tertawa-tawa senang. Ke sekolah ia membawa HP dan kelihatan sibuk nelpon kesana-kemari. Bagai orang gila wayan naik tembok sekolah, sekali-kali berada di lantai 2 sekolah. Terkadang terlihat di atas dahan pohon halaman sekolah sambil tertawa-tawa menjawab sesuatu.
“Nih, lihat! Hanya untuk memiliki sebuah blackberry tidak perlu mesti terlahir dari sebuah keluarga yang kaya raya, memiliki showroom mobil ataupun saudagar babi,” suara seberang melecehkan. Seperti menyindir mang Nonik.
“Ah, kamu ngomong apa kentut?”
“lha, buktinya aku terlahir dari kehidupan di tengah pasar. Memekku hanya cukup jualan janur dan sedikit bahan ceraki masih bisa menyisihkan buat blackberry.”
“Dan sedikit sembako?”
“Hm….ya”
“Ya sama saja kamu keluaran sebagai seorang saudagar yang sukses.”
“tapi eh, ini yang bertanya siapa?”
“Aku?”
“Ya…. Siapa lagi?”
“Wayan!” Suara di seberang menegaskan.
“Lho!?”
“Kenapa?”
“Aku juga Wayan…”
“Wayan siapa?”
“Lodra!”
“Lho kok….?”
“Lho lagi?”
“Iya…..ya…..Sama!”
“Sama apa?”
“Lodra juga…..”
“Ah…!?”
Lalu mereka sama-sama tertawa. Jangkrik! Ternyata ndak enak memiliki blackberry. Itu memang membuat bukan hanya komunikasi semakin dekat, informasi semakin nyambung bahkan nama juga semakin dekat. Dan bisa sama. Wayan geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dibuatnya. “Apakah aku sudah gila?” Ah, jangan-jangan komunikasi ini sesungguhnya yang gila serta ndak pernah nyambung.
“Kenapa nelpon mesti pake acara manjat-manjat segala, Yan?” gurunya menegur melihat kelakuan Wayan.
“Ndak ada signal pak!”
Wah sekarang sejak punya blackberry tingkah laku Wayan semakin aneh-aneh saja. Blackberry itu selalu membuat Wayan manjat tembok sekolah, atau manjat pohon halaman sekolah bahkan bila perlu manjat gedung sekolah.
“Nelpon siapa Yan?” mangde, nyeletuk.
“Dadong di kampung.” Sahutnya.
Memang blackberry ini membuatnya gila dan sering lupa. Lupa kalau dadongnya sudah lama mati. Tapi apa salahnya, siapa tahu nyambung. Namanya juga berusaha. Dan ketika ada sahutan Wayan ngakak keras-keras. Ingat Dadongnya pada acara pengrupukan menjelang Nyepi, habis-habisan memarahinya memainkan letupan bom bambu yang sengaja ditambahkan karbit. Suaranya keras memekakkan telinga. Atau ketika ketahuan mencuri beberapa biji buah bengkuang di ladang. Dadong yang nanam, dia yang memanen.
“Ingat dong? Ingat ‘kan? Ingat ya? Pasti ingat! Wayan sekarang sudah punya blackberry lho, dong” suara Wayan disambung tawanya yang renyah. Dan saking asyiknya tertawa, Wayan lupa kalau tengah berada di tingkat gedung paling tinggi di sekolahnya. Dan..Gedubraaak…..!!! Segalanya menjadi gelap. Penglihatan Wayan tiba-tiba menjadi gelap. Suara hiruk pikuk teman-temannya di kelas tidak dia dengar lagi. Ya, segalanyanya bagi penglihatan Wayan menjadi gelap. Tiba-tiba tubuhnya terguncang-guncang, seperti ada yang menarik. Wah, jangan-jangan sekarang dia lagi dalam perjalanan ke akherat. “Wow, matikah aku? Apakah aku sudah mati?” Tapi Wayan masih sempat terkekeh-kekeh geli, ingatannya akan blackberry paling tidak kalau sudah sampai di titi ugal-agil nanti dia tak akan dibenturkan dengan persoalan-persoalan baru. Dia hanya tinggal menjawab pernah! Pernah!! Dan Punya! Punya!! Kalau ditanya pernah sekolah dulu, maka jawabnya pernah. Kalau ditanya punya HP? Akan dia jawab Punya. Ini dia blackberry keluaran baru. Wayan kian terguncang. Tubuhnya semakin keras memberikan perlawanan. Lapat-lapat didengar ada teriakan yang memanggil-manggil namanya. Di kejauhan yang penuh dengan kegelapan. Memang segalanya menjadi gulita. Siapa? Siapa yang memanggil namanya? Mang Nonik, memek, mangde ataukah dadongnya yang tengah marah-marah mengetahui dia mencuri bengkoang? Bukan! Suara itu suara kanak-kanak menginjak remaja. Suara remaja yang setengah mengganjal tenggorokan. Remaja-remaja yang telah menunjukkan tembolok kedewasaan. Ah…ya… itu suara mangde, suara Agus dan suara-suara yang dia kenal di kelas. Wayan menggeliat. Ya itu suara teman-temannya di kelas. Berarti dia tidak mati. Ya Wayan belum mati karena blackberry. Terus kenapa semuanya dia rasakan sangat gelap gulita? Kenapa dia bisa terhubung lewat blackberry ini dengan dadongnya? Padahal dadongnya ‘kan sudah mati. Ah, jangan-jangan dia dan semua teman-temannya pada mati. Ya mati beramai-ramai dalam sebuah kecelakaan massal.
“Yaaaaaan……Wayaaaaaaan…!!”
Wayan kaget setengah mati. Lagi-lagi dia jatuh untuk yang kedua kalinya, Bukan dari ketinggian gedung sekolah. Tidak juga dari titi ugal-agil.
Perlahan matanya membuka. Satu persatu sosok wajah muncul di hadapannya. Samar-samar terlihat mangde. Wayan mengucek-ucek matanya yang merah. Semakin jelas teman-temannya berebutan muncul lewat kornea matanya. Memantul jelas. Semua pada menertawakan dirinya.
“Mimpi apa Yan?”
Wayan Lodra tidak menjawab. Perlahan bangkit dari lantai kelas dan ngeloyor pergi.

SEMARA NĔNGĔL UYANG PALING

Wē, luh bajang,
buka kēnē sebet atinē ningalin bulan nyibak napak pajalan luhē
masuran sada surem
warnan langit anē mamung kadedet bintang maboya mengkeb
ngedasang lawat luhē
baan sunia mamocol
nyēn ngorahang smaranē enē ngranang ngaē sebet?

(dija engkebang bli bayun tiange, ngidih olas : ulihang)
Kememegan tiang ningeh munyin luhē
Anē keberang angin

Wē, luh bajang
ngudiang iraga taēn ngomongan semaya smara
nganti lekad pianak
(lan ujug-ujug luh nagih buin keneh luhē)

Karana smara suba gelah pianak-pianakē makejang
anē engkebang di durin gerap tuh anē paling tuh
-nyēn ngelahang smaranē enē?
miribang panak lekad ulian keneh wadih

Duh, adi luh adiluhung mawirama jegēg padingeh
bli buka pituduh luhē
anē nyurudang smara kendel nyanjiang warnan angen karindu-rindu
nganti peteng
dedet
selem
ilang keneh
ngencanin keneh
sekabesik
pekad
ilang lara

luh jegēg sajan sajan sayang,
saumpami enu ngelah galah
ngalintang nyang abedik
mekita buin nyumunin uli pajumu pida lege matemu
ngulihang makejang jelē melah anē taēn bakatang
uli smara anē sujatinē tusing taēn ada
tusing ada gelahang

PENYAIR AKHIRNYA

Dengan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada sang TAKSU yang telah melahirkan sebagai seorang penyair beken
Ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada sang TAKSU yang tiap malam aku sebut namanya sehingga telah melahirkanku sebagai cerpenis yang lumayan bagus tulisan saya walau masih banyak bopeng-bopengnya

Penyair tak menunggu turunnya hujan dari langit ketika ia harus meramalkan kata-kata menjadi sebuah kalimat indah dibaca
Penyair tak harus sebentar jongkok di WC untuk mampu menetapkan pilihan apakah kata-katanya siap untuk dibacakan di mimbar-mimbar
Penyair adalah ibadah pada kata-katanya sendiri yang tidak selalu dianggap miskin idealisme karena komitmennya yang tinggi untuk menetapkan kata sebagai sebuah perubahan moral masyarakat yang dianggap sakit
Penyair terkadang memancing sensasi yang genit menggoda di depan mata, walau terkadang sering penyair termakan oleh kata-katanya yang dirangkai
Karena begitulah penyair siap dimaki saking sukanya memaki kebobrokan bangsa ini dalam penjajahan kaum koruptor.
Penyair kendati suka uang dan tidak malu untuk kaya namun belum layak melahirkan generasi koruptor
Penyair suka memainkan kata-kata dengan bersilat lidah namun enggan membunuh sesama manusia, apa lagi sesama penyair
Penyair enggan untuk jual diri, apalagi menjual bangsa ini menjadi bangsa tanpa harga diri, namun penyair tidak suka kampanye untuk mencalonkan dirinya jadi presiden, adalah lebih baik ia menjadi seorang presiden penyair untuk kata-kata yang disyairkan

Penyair adalah rakyat miskin yang kaya kata-kata makanya sebagai seorang birokrat jangan coba-coba menjadi penyair kalau tergelincir dan tidak setia dalam prilaku kata-katan sendiri dalam prilaku terpilah
Dengan demikian seorang penyair harus siap miskin kendati kadang-kadang sering mengaku kaya raya, punya sawah luas, punya rumah mewah, punya istri banyak dan punya anak banyak sebagaimana yang disyairkan dalam karyanya yang kaya makna

Penyair adalah roh dahsyat yang melahirkan kata, bak Taksu ketika setiap makna syairnya meruntuhkan negeri awan gelap bobrok moral
Dan Penyair di akhir kedatangannya dijadikan pesakitan
runyam…….!!!

DI MEKA : MUAN LUHĔ MELAWAT BULAN

Di durin meka, lawatnē kesiab-kesian nyaksiang
bulan makrisikan ngusud muanē, ngentas surem nyunaran
belah natakin lawat keneh
natakin matanai anē ngaē beeng ati gedēan loba
lan sibarengan ngelobain maboros bulan, sunarnē pragat ngetisang keneh
muanē sada sebet burem mategul di kawat-kawat jendela, kisi-kisi ia mamunyi
sambilange ngidem
nakeh semaya malajah masemaya, ngukir semara
ngēker sunar mawarna pelung kliaban guminē galang

di balik matan luhē, bulan masunaran sekabesik ulung
dadi yēhmata kapanah yēh smara
ngintip matan ati mamata arti
di duuran pucak ka tongos langitē nekaang ujan
matanē bek ngaba sebet

bulan mati, dedet tusing mamata, nebek di ati
gela-gela, kisi kisi luh mamunyi:
ulihang! Ulihang smara anē ilang kecag baan keneh jelē
lan ngentel ngetēlin bayun luhē, buka jani
di bucun jalan sing measpal
beeng panes kasiraman lawatan matanai
sambilang ngedum angen

SLOGAN ATHEIS

Waspadai gelombang atheis
dan slogan slogan bertebaran terbang dalam kecemasan
berceceran pada setiap pelosok lekuk lekuk sudut kota, menyudut
atheis menyulut wabah wabah kentut,terkadang nyaring kemauannya
melibas ketakutan ketika menyadari cara barbar, perang yang berkesudahan dengan paham yang
salah atau dogmatis? perkelahian sesama saudara, kampung kampung terbakar
seperti ateis terlupakan, namun telah mengikat kuat-kuat dalam otak
bumi bergeser pada cahaya bulan,matahari,bintang bintang lewat setengah hati porosnya
menggesek dan menggeser otak-otak dalam turbin yang dibentuk kebenaran jadi manusia :
setengah setengah
Setengah malaikat dan setengah jin
tak lupa menyulap manusia jadi domba domba lapar berkepala singa
bersitegang tak jelas, saling membunuh, berperingai hewan hewan
beragama
mengatakan Tuhan adalah sebentuk matahari nyalanya membunuh energy
ion ion negatip
wahai, manakah yang lebih senang didengar :
atheis yang berperilaku manusia seutuhnya atau berTuhan yang menganggap manusia sebagai
santapan masalah
manusia makan manusia
bedebah!
Membunuh, bom bom meletus, menciderai nurani lewat kebohongan, sesumbar diamdiam
atau….
hanya burung mata memejam terkantuk kantuk di dahan

atheis tak menghakimi dogma, tak berupaya mencampuri apalagi ikut ngurus yang bukan soalnya
hanya kelicikan sesama kita selalu terjadi dalam kepura-puraan, menguap benci, melepuh
huruhara dan selsel syaraf otak selalu kental menyebut: Tuhan!

Prosa liris: ROMANSA SAIDI kisah asmara sang SENIOR (senang istri orang) titian kembir

4. menjadi tukang tenung

Sekarang Saidi sudah mahir menjadi tukang tenung, khusus melayani para pejabat-pejabat yang mudah menggelontorkan dana-dana buat kebutuhan realisasi proposal yang dia ajukan.
Hasilnya dibagi tiga.
Kenapa harus tiga? Barangkali hanya dia yang tahu. Kalau kita tanya akan dijawab dengan pertanyaan yang sama lalu terbahak-bahak dan ouuupssss..!!, ketawanya adalah kelicikan mata musang. Diam-diam lewat suara bathinnya dia akan berterus terang:
Pertama : kebutuhan pejabat dipentingkan. Tentu yang dipilih-pilih. Itu yang utama. Pilihan yang mendatangkan keuntungan buatnya.
Jelas! Pejabat mana yang memudahkan turunnya dana-dana proyek yang diajukan. Dan dengan patuh dia mengatakan bahwa pejabat tersebut sebagai orang besar. Sangat pantas untuk sebutan bos. Sang penjaja nasib yang merubah nasib hidupnya jadi warga berkelas. Dari kelas teri merangkak menjadi kelas kakap. Mangsanya nelangsa mematahkan nasib para teri-teri muda berikutnya. Orang penting. Orang-orang itu akhirnya mulai menyebutnya.
Orang mulai meliriknya sebagai sebuah kebutuhan. Kebutuhan akan melancarkan segala proyek untuk di prospek. Secara bergiliran orang-orang yang memiliki minat, satu demi satu mengapeli rumahnya.
Selain harus memiliki rekening pribadi, rekening lembaga yang dia kelola, yang terpenting adalah mesti hafal rekening sang pejabat divisi penggelontor. Karena terlalu banyak bergaul dengan orang penting, maka setiap orang-orang yang mengatakan betapa sulitnya menemui Saidi-pun turut serta mengatakan : Oh, ternyata Saidi orang penting juga. Sudah pandai bergaul dengan orang penting di kota.
Menjadi orang penting menyenangkan juga. Artinya segala sesuatu kebutuhan akan dipentingkan dulu, walau tidak terlalu penting buat dirinya. Karena ia orang penting, yang tidak pentingPUN akan menjadi penting. Apalagi setelah memiliki lembaga yang semula kecil hingga menjadi tenar. Tenar akibat gemulainya negosiasi yang berhasil. Lembaga yang bergerak di bidang pengentasan buta aksara.
Mencari anak-anak yang mau belajar sampai ke pelosok-pelosok kampung. Susahnya minta ampun. Ketika ditanya, mereka semua ngaku lancar baca tulis. Namun manakala mengetahui dana proyek sudah turun, mendadak semua catatan dicentang mengatakan tak mampu membaca dan menulis. Apa iya?
Kemudian yang kedua, buat kebutuhan membeli spare-part di dukun untuk meremas-remas kemauan pikiran setiap pejabat, setengahnya lagi untuk menyihir setiap wanita yang diinginkan hingga……..terkulai akal sehat. Apapun yang akan dikatakannya akan segera dijawab dengan “ya”, tanpa memikirkan akibat-akibat yang ditimbulkan dari jawabannya itu.
Ketiga, tentunya untuk berkolaborasi dengan zat-zat yang mendampingi kenikmatan hidupnya. Tentunya setiap kemayu kenikmatan, akan dihisap sepuas-puasnya tanpa ada sisa. Tanpa ada tersisa. Saidi tidak mau meninggalkan sisa. Sepercik sekalipun.
Air liurnyapun tak akan mau dia buang disembarang tempat, kendati lupa kalau dia sembarang membuang air benih, vitalnya yang terahasia congkak, bengkak dan dapat merekah. Namun, justru semakin dikenal di rahim setiap perempuan. Dan Saidi sering lupa meluapkan kegembiraan, manakala membuang air benihnya, sembarang waktu, dengan memilih tempat yang tidak sembarangan. Yang diajakpun suka. Bahkan sering meminta mendahului ajakannya. Wah, jadi jungkir balik. Sang perempuan mengejar pria. Sang perempuan menyodorkan kemauannya.
Karena ketika ia menyadari, zat-zat hidupnya yang bertebaran, orang akan menghitung, berapa zat yang telah sia-sia untuk menjadi jiwa manusia.
Entahlah!
Siapa yang mepedulikan zat hidupnya yang mengalir dalam benih kesia-siaan. Karena ia menganggap itu bukan limbah benih tersia-sia. Benih ia anggap mampu dijadikan kompos selanjutnya ditata kembali sebagai bukan benih yang sia-sia. Karena merangkai masa depan betapa mampunya ia mengembangkan generasi. Itupun kalau sang waktu tidak berjalan mandul.
Siapakah gerangan dia - yang terlampau intim untuk mengenal setiap lekuk tubuhmu, sang Saidi yang mengubah sukma bak Arjuna? Setiap perempuan pasti akan merahasiakan lekuk-lekuk itu pada setiap lelaki yang tidak dia inginkan, namun tidak buat Saidi ketika mengatakan dalam bahasa merdu:
“Engkau harus mau……engkau harus mengikuti perkataanku!”
Dan perempuan rengkuhannya akan mengangguk, menatap sang Arjuna yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. Serta meremang bayang-bayang lahirnya anak-anak matahari. Dalam ruang dan waktu. Meruang dalam percumbuan hasrat. Panas bergelut emosi. Menggelora..Dan lelaki di hadapannya adalah sosok lelaki bertubuh kekar dan dinamis mengutarakan keinginan.
“Engkau harus tunduk di hadapanku……..Engkau harus bercumbu denganku………”
Dan segala sesuatunya berlanjut di luar kehendak. Selanjutnya wahai, wanita: engkau yang datang merayu-rayu. Menagih-nagih keinginan. Akan menjadi gila karenanya, manakala Saidi sedemikian rupa bergelut dalam kesibukannya yang khas : menyapa setiap pejabat yang sarapan di warungnya yang menurutnya cukup elite, berlokasi dekat pelabuhan. Warung yang mampu menyulap pendatang menjadi ketagihan untuk datang menyantap berkali-kali segala keramahan yang ditawarkannya.

TUNGKAI MALAM

tungkai malam di musim hujan tiba
bingkai yang basah
diantara gerimis malam
tak bercahaya
tak berwarna
berbaur embun
suara jengkerik yang jenaka
hilang makna
menyembul berguguran bersama mimpi mimpi
pagi


malam 08102011

AKU BUKAN PELACUR (9)

Pak Wijaya mengangguk. Ada bening bola mata Wina yang semula polos kini telah bersimbah dengan bulir bulir kedewasaan yang seketika meloncat dari korneanya. Kedewasaan yang spontan di luar dugaan. Dipaksa untuk menjadi dewasa dalam sehari. Kedewasaan yang ditandai dengan runtuhnya airmata duka. Airmata bencana seorang gadis yang telah kehilangan kegadisannya.
“Beruntung, hmm iya beruntung, karena apa yang menjadi keinginan-keinginanmu segalanya dapat dengan mudah terpenuhi. Semau kamu menginginkannya. Tidak seperti kawan-kawan gadis lain di FKPPI. Kamulah kembangnya organisasi ini. Maka dukunganmu sangat bapak harapkan.”
“Termasuk dengan kejadian yang telah bapak lakukan pada saya? Itukah dukungan yang bapak maksud?” Wina bertanya, tatapan polos penuh tanda tanya yang benar-benar di luar dugaan semula. Sebuah peristiwa yang sangat memalukan. Wina tak pernah menduga akan terjadi suatu peristiwa yang sangat memalukan menimpa dirinya. Peristiwa yang sangat merendahkan martabatnya.
“Kamu menyesal?”
Menyesal? Setelah semuanya terjadi. Menyesalkah dia? Namun apa yang telah diberikan bapak ini, apakah sepadan dengan permintaannya. Toh segalanya telah terjadi. Apa yang harus disesalkan lagi.
Wina diam.
“Iya, kalau kejadian tadi memang bapak benar-benar menginginkan kamu. Bapak menikmati itu semua dan berterimakasih atas apa yang telah kamu berikan pada bapak. Bapak mengerti apa keinginanmu sebagai seorang gadis, semuanya itu akan bapak penuhi. Percayalah, Wina. Sekalipun nanti kamu berada di suatu tempat yang sangat jauh, bapak tetap akan mencarimu. Percayalah Win.”(nyambung)

PELANGLANG MALAM

seperti waktu yang berlalu
jam jam yang tak pernah beku
mengulum cerita
siapa yang menjadi pelanglang malam ini
atau waktu yang tak pernah diam
menghampirimu

SEBAB MALAM

sebab percakapan
disini perbedaan waktu
negerimu
dalam paruh bumi berjalan
namun segala keinginan sejauh mana yang pernah kau rasa
tetap menghampiri
namun engkau tak pernah ada disini
ketika sebagaimana waktu yang sama
menunggu datangnya matahari
pagi
sebab percakapan
hanya isyarat menandakan engkau
masih terjaga

terjaga malam, labuapi 23102011

Jumat, 07 Oktober 2011

IGAU MALAM

Engkau tidak sedang bermimpi
kutahu
igauanmu membuatku tertegun
sesaat yang membuat warna langit hitam merona dalam
kekalutan
kau buat sendiri derita tanpa penawar luka
yang sesungguhnya mampu membuat warna langit
seperti warna sesungguhnya
namun terlampau naïf dunia
ataukah kau sendiri yang mendunia dengan duniamu sendiri
engkau tidak sedang bermimpi
kutahu
terjaga kantukmu melelapkan angan yang pernah berlayar dalam setiap keinginan
igaumu selalu sama
tentang kekalutan, wajah luka, hati yang terbenam serta teka-teki hidup
katamu

labuapi 08102011

BURUNG DALAM PERCINTAANMU

Masih saja engkau menyebut burung dalam percintaan kita
aku bukan burung menakar asmara dalam bisikan kasih sayang
dan aku tidak mau disamakan dengan seekor burung
engkau tersenyum mengoles daguku dalam tiupan angin sekejap
burung hanyalah lambang kehalusan seorang wanita, itu katamu
tapi aku tak setuju.
karena ketika terbang tinggi tahukah kau,
sayapku akan gemetaran, demikianlah ketakutanku dengan ketinggian sering membuatku
kalut terbang sendiri mencapai mimpimu
tak pernah habis
mengejar bayangku
lenyap
entah kemana
entah sampai kapan
sampai matamu pun tak terlihat lagi

TUHAN DI BALIK KACA JENDELA

Siapa lindap dalam bayangmu
seorang kekasih atau sepasang ahli nujum membaca mantra mantra
jangan mengharap sekeping uang receh untuk terus mengubah manusia jadi setan
dunia gemerlap dengan manusia serba munafik tak jelas
membedakan warna, membuat batasan batasan serta dogma karatan
keyakinan akan Tuhan terkadang terlalu kelewatan
keyakinan akan leluhur terkadang terkesan memabukan
hingga bencana seolah bisa kita beli dengan serapah kata rahasia
yang ada dalam tombol-tombol mantra tak jelas
dalam kaleng kaleng minyak dukun
dalam botol botol pawang dosa yang sesungguhnya berisi anggur, tuak, arak
letusan gunung bayarlah dengan kekuatan aksara
dan kirim gelombang pikiran sesuka hati. Fokus jiwa. Pusatkan pikiran
Hop…..berhenti!
hentikanlah dia, keris keris dan segala benda bertuah, berhala
bercampur dalam pertiwi, oh, ini milik laut, gunung, langit
Lalu kau petik bintang dan jadikan rembulan sebagai kembang dalam menahan amarah
jangan lupa beli sedikit kemenyan dan abu gosok, lalu taburkan!
bencana demi bencana datang tetaplah sebuah bencana tak memberi maaf
sambil berloncatan butuh kesiagaan dan larilah. Ingat lari, selamatkan diri!
katakan :
Tuhan, kali ini saja, bukan aku mohon pengampunan, bukan mohon keadilan
serta ceramah ceramah tentang kebenaran
masih ada campur tanganMu disini untuk mengisi tumbal dalam kawah dimensi pelebur dosa.
bisa ditawar tawar,
bisa?
itu kata orang pintar, kata orang hebat yang mampu berkomunikasi
dengan Tuhan di negeri radius atmosfir
bahkan untuk mengevakuasi kebatilan, kebobrokan.
Bukan soal kebocoran moral manusia dengan nurani yang sudah dianggap
compang camping
sekali lagi anakku, Tuhan tengah murka! Bukan hanya umat, cuacapun terinfeksi depresi!
mengaduk aduk dunia dengan tsunami, gempa bumi,bah bandang, letusan berapi
mencuci dunia dengan detergent bak lautan neraka
seolah Tuhan tengah menjadi ahli nujum, kita anggap mencatat-catat waktu yang berlari
dengan bola kaca dunia
begitu hebatnya dunia dengan klep atmosfir mampu engkau rengkuh
seolah mengotak atik klep yang tertinggal hanya seker kendaraan tanpa CDI
bak jantungnya dunia

Bencana demi bencana tetap datang dengan kemauannya
Tuhan tersenyum di balik kaca jendela
tak terlihat




perigi, okt’10

Cuplikan SYAIR KEBANGKITAN Yudhistira ANM Massardi (horison/XXI/347-okt 1986) IV

Musuh kita ialah jiwa yang sungsang
Berabad-abad sejak awal sejarah
Agama-agama berdiri lalu jatuh
Pengetahuan meninggi lalu lepuh
Kitapun saling membunuh

Tangan kita berlumuran darah
Generasi demi generasi
Golongan demi golongan
Dada-dada terbelah
Tak ada penyesalan

Apabila kekejaman menjadi tonggak Negara
Darah menjadi permadani
Apabila kebutaan menjadi pemimpin bangsa
Bencana menjadi singasana

Manusia selalu terlempar ke pusaran yang zalim
……………………………………..

Kamis, 06 Oktober 2011

IMPROV : CAMAR KESANGSIAN

Camar tidak lagi melaut pada musimnya
seperti hari hari dimana kubatasi
asmara yang sunyi

dan tak ada camar bercerita
di atas tubuh dangkalan berluka

Percintaan ini semu
sebagaimana kejemuan angin
sangsikan mataku lepas
saksikan keinginan camar terbang
menjulur julur mata hati


Begitulah camar
larutkan musim demi musim
mengganti bayangan matahari
(dari antologi puisi MELINTAS SANUR terbitan pustaka EKSPRESI,Bali)

Novelet : AKU BUKAN PELACUR (8)

Dan pada rangkaian acara safari, dihadapan para pendukung partai : Wina turut ambil bagian dengan meliuk-liukan badan di panggung ikut berjoged berbaur diantara para artis ibukota lainnya. Ya, mirip artis-lah untuk ikut nebeng numpang beken. Namun diantara mereka semua ternyata Wina yang terlihat paling menonjol. Wina memang memiliki tubuh yang sangat bagus. Indah dipandang. Siapapun akan suka melihat senyumnya. Tanpa dia sadari pak Wijaya-pun diam-diam memperhatikan dia secara terus menerus. Sungguh suatu pemandangan yang menyegarkan. Wina tahu kalau dirinya menjadi pusat perhatian lelaki itu. Apalagi tubuhnya memang mampu menyulap laki-laki jadi linglung.
Pada sesi acara lain dia dan beberapa teman-teman sesama wanita di organisasi harus berdandan yang rapi, memperkenalkan gaun khas daerah hanya untuk berdiri berjejer di depan pintu sebagai penerima tamu undangan. Itu sudah bagian dari kegiatan. Dalam bersijajar diantara teman-teman gadis lainnya, tetap dia yang paling menonjol. Mudah dikenal dari gerak-geriknya yang santun. Beberapa pejabat terkadang mencuri-curi pandang. Temannya yang jahil malah diam-diam ambil close-up wajahnya. Ada beberapa pejabat yang iseng nanya. Beberapa yang diam-diam mengetahui sesuatu membisikan. Lalu memandang pak Wijaya yang berdiri di kejauhan. Dan mereka berhenti menggoda Wina sambil menjaga sikap. Segan mengambil kesimpulan. Ketakutan dalam ketahuan. Ketahuan kalau ternyata diam diam ada yang memiliki.
Ah, Wina termangu-mangu tak berdaya. Ketakberdayaan seorang wanita yang tidak memiliki hak untuk memilih. Tidak menentukan hak hidupnya. Kalaupun lebih dihadapkan pada persoalan emosional dan ketegangan bathin, maka juga makin bermuatan persoalan-persoalan KDRT nantinya yang jelas-jelas menjerumuskan kaumnya sendiri. Ah..!! Keberuntungan apa lagi selanjutnya yang menghadang di depan mata? Wina menatap mata lelaki itu. Matanya berusaha mencari. Kalau hanya berduaan dengan lelaki di sebuah kamar hotel dan berakhir di atas tempat tidur, bukan keberuntungan namanya. Bukan! Ini namanya bencana. Ya, lebih tepat kalau Wina berkata: Peristiwa apa lagi yang selanjutnya bakal menghadang di depan mata? Sekali lagi di tatapnya mata lelaki itu.
(nyambung)

ASLIABAN MAMUNG

Asliaban mamung
nlektekang muan luhē
maganti ganti sekancan keneh luhē nyibak keneh bli, mirib bulan
mirib bintang
nanging lamun nyapatin luh
demenan bli ngaukin luh : I bulan
mamung bli buka anak paling
rikala luh kēto aluhnē ngembakin keneh bli
dijanan bli mirib cocok ngoyong
di tongosē anē encēn?
harus ngusuin keneh luhē
nanging tuah muan luhē dogēn anē bakat tingalin :
mamung!
(saking pupulan puisi bali moderen KABINET NGEJENGIT, terbitan pustaka EKSPRESI,Bali)

RAHIM PUISIMU

Dari mana puisi itu lahir
Dari rahim yang tersimpan di kelopak
Ditabur benih hujan yang senantiasa dianggap basah
Dimana puisi cair kata-kataku mengeram dalam diam
Puisimu beri makna, tanah basah bumi basah
Basah katamu begitulah ketika menandai kelahiran
Kata masih kau beri makna, beri kaidah
Apakah segala sesuatu yang tersimpan di rahim
Kata
Apakah segala sesuatu yang mengawali hujan
Awan hitam, langit tertutup abu basah
Segala yang beri kehidupan
Apakah puisi yang dibentuk perpanjangan kata-katamu
Sebagai puisi bermakna : apa artinya
Begini kata lahir
Tak mengenal kata sebelumnya

Rabu, 05 Oktober 2011

MALAM SUCI

Pernahkah kau dengar suara bisiknya ketika membayang roh ini sampai di akhirat
pada arah mana jalan yang kau tuju dalam kebenaran
dalam pelayaran ketika kita masih hidup dalam gelombangnya
memasuki pintu pertama, roh siapa yang menunggu paling depan
ataukah kita masih memiliki sebuah nama akan karma yang terbawa sebelumnya
sesungguhnya pelayaran ini semakin jauh meninggalkan tujuan
pernahkah kau dengar apa pintanya?
pernahkah mendengar jawabnya

Sekalipun telah terucap dalam berbagai kitab agama
negeri yang terpilah dalam kitab suci
banyak puisi lahir disini menanam kata demi kata bak jamur kehujanan
saling silang kata terucap di bibir yang sama
mendatangkan cemburu kian lama kian salah terucap
dan tiba tiba kau pancangkan arah kota dengan keris yang bersepuh emas
dengan berkuda sembrani mengalungkan irama perang, prajurit: negeri mana yang kau pertahankan?

Disini masih bertahan dengan kata-kata
puisi tak terucap dalam negeri damai yang selalu membacakan kitab arah datangnya Tuhan
memberi kedamaian jalannya cahayaMu
tak’kan melawan keris yang terhunus dalam keheningan kata-katamu
yang terucap dalam kitab agama
malam yang membisikkan setiap wahyu wahyu turun temurun
disucikan generasiMu
(dari antologi puisi MELINTAS SANUR terbitan pustaka EKSPRESI Bali)

BALADA KECEMASAN ORANG ORANG TERCINTA

Oh, Tuhan seandainya pesawat yang aku tumpangi kemarin meledak, tentu aku akan terlepas dari berbagai ketakutan, kecemasan akan orang-orang tercinta. Akan lenyap semua ketakutan-ketakutan yang pernah dan akan aku miliki, tetapi Tuhan, kenapa engkau berikan aku cinta, rasa cinta pada seseorang yang membuahkan ketakutan-ketakutan akan kehilangan dan ketakutan-ketakutan akan milik yang terampas? Ketakutan-ketakutan yang tak jelas menghantui disertai berbagi kekecewaan kekecewaan yang pernah dan akan terjadi.
Oh, Tuhan kenapa tidak engkau ledakan saja pesawat itu sehingga aku terbebas dari himpitan masalah, terbebas dari berbagai prasangka negatif akan orang-tercinta dan serta merta terbebas dari berbagai kesulitan-kesulitan yang menghimpit. Tentu aku akan jadi abu yang kembali dalam kemiskinan, tercerai berai dalam kehampaan hayati yang usai membelenggu.
Tetapi Tuhan, kenapa perjalananku hanya untuk melepas kecemasan sehingga menyelamatkan dari berbagai musibah yang sementara setiap orang senantiasa ingin menghindar.
Ah, ternyata Tuhan tengah bermain-main dalam kemelaratan kecemasan yang mengeram dalam sanubariku.







Pintu Air, mei 2010
(dari antologi puisi SAJAK CINTA BUAH ONEY, penerbit Pustaka EKSPRESI,Bali)

UNDANGAN IKUT ANTOLOGI PUISI BERTEMAKAN SOSIAL/ KEMANUSIAAN

UNDANGAN IKUT ANTOLOGI PUISI BERTEMAKAN SOSIAL/ KEMANUSIAAN KOMUNITAS RADJA KETJIL Jakarta mengajak dan mengundang para penyair di mana saja, pria wanita semua golongan/ kalangan dan segala usia untuk ikut bergabung dalam sebuah antologi puisi bertemakan sosial/ kemanusiaan yang direncanakan terbit pada awal tahun 2012. Para penyair dipersilakan mengiirim sebanyak 10 (sepuluh) puisi yang akan diseleksi oleh tim editor yang ditunjuk. Panjang setiap puisi maksimal 50 baris. Para penyair yang karyanya terpilih/ dimuat dalam buku, akan mendapat nomor bukti sebanyak 5 (lima) eksmplar buku. Silakan kirim karya terbaik Anda, ke email: adri.darmadji@yahoo.com, paling lambat sudah harus diterima pada 31 November 2011. Jangan lupa, sertakan juga biodata dan foto terbaru Anda. Salam sastra! Adri Darmadji Woko, B. Priyono Soediono, Dharmadi, Dharnoto, Handrawan Nadesul, Kurniawan Junaedhie, Oei Sien Tjwan, PrijonoTjiptoherijanto & Rahadia Zakaria
Oleh: Kosakatakita Penerbit

Sajak WAHYU PRASETYA : PADA SEBUAH CERMIN

Pada sebuah cermin. wajah dan ratap terbagi
Mungkin kejengkelan itu merebutmu dari cemas
Hingga bayang yang terbit hanya arang

Silam ke pelupuk mata yang tak lagi tegak
Menidurkan pandan dari kasihmu
Memimpikan pasang surut cintamu

Pada sebuah cermin. Wajah dan ratap terbagi
Selalu kuberikan pada kehitaman dan cahaya
Tuhan, ingin sekali kusapa mulut dengan pedihnya
1985
(dari majalah Hai no.44/X 3-9 november 1987)

MIMPIMU,KASIH

Belum bisa tidur
belum ngantuk
tolong bangunkan aku dalam mimpimu
agar aku bisa merasakan napasmu
dalam diam
tanpa obat tidur

Kalaupun belum bisa tidur
tidak perlu gelisah, kasih
karena aku bukan pecandu malam
yang menjauhkan mimpi lewat pil penenang
justru malam inilah yang tidak adil
sangat tidak adil !!!
dalam membagi bagi mimpi yang sama

Kasih, pernahkah kita satu mimpi
-dalam kegelisahan berbagi

(dari antologi puisi MELINTAS SANUR terbitan pustaka EKSPRESI,Bali)

Penghargaan Sastra ‘KSI Awards’ 2011

Bulan Desember 2011 Komunitas Sastra Indonesia (KSI) berusia 15 tahun. Untuk memaknai usia yang sudah cukup dewasa itu, kami akan memberikan KSI Awards kepada penyair yang puisinya dinilai terbaik oleh sebuah Tim Juri. Penghargaan -- berupa uang tunai dan piagam penghargaan -- tersebut akan diserahkan pada malam pembukaan Kongres KSI yang akan diadakan di Jakarta pada bulan Januari 2012.

Syarat-syarat bagi calon peraih KSI Awards adalah sbb.
1. Terbuka bagi semua penyair yang aktif atau pernah aktif di suatu komunitas sastra di Indonesia dan luar negeri, tanpa dibatasi usia dan tempat tinggal.
2. Mengirimkan 5 puisi terbaru (ciptaan tahun 2010-2011) yang belum pernah dipublikasikan dan belum pernah dibukukan.
3. Tema puisi bebas, diutamakan yang bernuansa lokal, atau kesan puitik tentang situasi kota tempat tinggal penyair.
4. Naskah puisi, disertai biografi singkat dengan menyebutkan komunitas sastra yang pernah diikuti, dan foto diri, dikirimkan melalui email ke ksastraindonesia@yahoo.co.id, CC ke shobir_ksi@yahoo.co.id, bwdwidi@yahoo.com, dan ahmadun.yeha@gmail.com.
5. Naskah harus sudah sampai ke email tersebut di atas (Panitia) paling lambat 30 Oktober 2011 pukul 12.00 WIB.
6. Dewan Juri akan memilih satu puisi “Juara Utama” yang berhak menerima KSI Awards 2011, empat “Puisi Unggulan” penerima penghargaan “Karya Terpuji”, serta 95 puisi pilihan untuk dibukukan bersama karya-karya para “Penyair Tamu” yang dipilih oleh Panitia Kongres.
7. Para pemenang akan diundang ke Jakarta untuk menerima Penghargaan yang akan diserahkan pada malam pembukaan Kongres KSI 2012, di Jakarta, pada bulan Januari 2012.

Selamat berkarya terbaik untuk meraih KSI Awards 2012.

Jakarta, 17 September 2011
PANITIA KSI AWARD 2011

ROMANSA SAIDI kisah asmara sang SENIOR (senang istri orang) titian kembir

3. pelana sang petualang

Sebagai seorang Saidi muda, teduhnya lautan hati bergemuruh di kedalaman sunyi. Karena hatinya sepi dalam lautan kemelaratan jiwa. Iya. Hati yang melarat dan terlunta-lunta menuju hasrat yang belum sampai. Sebagai seorang Saidi muda, adalah guru muda yang kenes merapal ilmu-ilmu buat siswanya.
Eiiit, jangan kaget. Begitu melihat para siswi-siswi yang mendadak begitu pintar bergincu di hadapannya. Hasrat yang hampir sampai, bahkan mungkin tak pernah singgah lewat dermaga pengharapan.
Namun penampilanmu. Hai, Saidi. Bak pelana sang petualang yang belum sampai ke tujuan. Seolah merasa berdiri di altar megah dalam singgasana bersepuh emas. Berbaju sutera dengan menggamit segala keinginan dalam berbagai rencana. Berpenampilan, berangan bak Arjuna memancar pesona. Namun apa daya, lahiriahmu sebatas kemampuan rahim bunda yang mengisyaratkan keterbatasan. Belenggu ketakberdayaan. Bahkan mungkin mengeram mental tak jelas.
Oh, seandainya itu memang benar dalam melakoni ketakberdayaan, apa kata generasi yang dia inginkan. Menunda kehadirannya ataukah meminjam sembarang rahim bak modernisasi janin tabung. ? Ataukah hanya generasi setengah-setengah ? Sebab kehadirannya tak mau sembarang menghadirkan lakon dirinya sendiri. Dia tidak ingin ada yang tertular.
“ Jangan tiru saya” begitulah kira-kira untuk menutupi boroknya yang akan menjadi bencana. Apabila orang-orang sekitar mengikuti tingkah lakunya.
Mengikuti? Bagaimana mungkin seorang guru akan memberi contoh buruk terhadap anak didiknya? Itulah bukti kehebatan sang kecial. Karena mantra-mantra yang mampu menutupi borok sendiri. Tidak ada yang akan tahu, kalaupun ada yang tahu nantinya, cukup diberi hadiah persenan sebagai wahana tutup mulut. Dasar niat busuk.
Dan ketika kesabarannya hampir habis, Saidi berupaya membeli berbagai bentuk pesona dengan menyihir setiap kemauannya menjadi sang Arjuna. Jadilah ia Arjuna. Namun sayangnya tergerai oleh sang waktu lemah syahwat. Tertutupi guna-guna. Selaput pelet resem.
Guna menghilangkan kekurangannya itu, Saidi akhirnya membeli pil kuat tanpa penakar. Jadilah Saidi pemuda perkasa yang menawarkan asmara pada setiap wanita. Bermain kuda-kudaan. Menjadikan betina meringkih geli gelisah basah dalam aroma birahi. Dahsyat kuda betina binal. Kuda jantan penunggang betina. Ditunggangi tenaga sakti Bima.
Oh, kuatnya pil pejantan penakar dosis tinggi. Tidak ada yang mau kalah. Meringkih keras membelah dusun. Dan begitu perempuan takluk dalam genggamannya, serta merta tak mampu berkutik untuk mengatakan tidak.

CARAVAN QUENSLAND

Pada signal yang selalu bergerak-gerak kabur
suaramu hilang timbul
wanitaku di jauhnya rumah rumah bergerak
terpaku kabar berharap
sudahkah engkau sarapan?
tidak seperti semudah harapanku
di negeri ini
(dari antologi puisi MELINTAS SANUR terbitan pustaka EKSPRESI,Bali)

Bagaimana kalai seorang guru kedapatan menyimpan video porno di laptopnya?????

Cerpen : DG Kumarsana

GURUNYA JUGA PORNO

Suasana di halaman sekolah SMK 5 Mentaram yang dianggap favorit itu kini Nampak lenggang. Murid-murid sejak tadi sudah memasuki ruangan kelas, sibuk dengan pelajarannya masing-masing. Sesekali nampak satu atau dua orang guru keluar ruangan kelas. Kemudian tak berapa lama masuk kembali melanjutkan mengajar.
Di sudut ruangan BP3 nampak 3 orang siswa lagi duduk-duduk tidak seperti biasanya, tidak tengah mengikuti pelajaran. Wajahnya sedikit murung. Salah seorang malah Nampak bengong menatap hamparan rumput yang bertebaran di halaman.
“Kalau tidak karena film porno sialan itu tidak mungkin aku akan wajib lapor terus plangak-plongokan wajah di hadapan pak Puji,” gerutu Rahgung kesal. Ruang BP yang menyebalkan. Dan lebih sebal lagi melhat wajah temannya Angga sebagai penyebar virus download negatif mengakibatkan Rahgung mendadak jadi ikut-ikutan kena getahnya. Getahnya ya ini, terpaksa akhirnya harus 3 hari berturut-turut tongkrongin ruang BPnya pak Puji. Mau bilang apa lagi?
Sebelumnya di rumah Rahgung sudah sempat takut-takut menyampaikan kejadian yang menimpa dirinya. Takut menghadapi emosi ayahnya nanti seandainya membaca surat panggilan dengan kasus yang sangat memalukan ini. Di hadapan ibunya, Rahgung sudah berpikir dengan perasaan takut-takut ketika menyodorkan surat panggilan dari sekolahnya itu. Dia bisa membayangkan bagaimana ibunya akan memarahi dirinya dengan tak habis-habis. Dan tak henti-hentinya akan menerima berbagai kata-kata ibunya yang tajam. Setajam pisau belati Oh, Belum lagi membayangkan kemarahan ayahnya yang memiliki temperamen tingkat tinggi. Semua ancaman-ancaman yang menakutkan akan keluar dari mulut ayahnya dengan disertai pukulan demi pukulan. Dia harus siap-siap menghadapi ini. Biasanya yang akan menjadi sasaran pukulan adalah dari bagian kepala, kemudian pipi akan digampar dengan keras. Bahkan kalau sudah kalimat demi kalimat kasarnya kian memuncak biasanya disertai tendangan. Rahgung ngeri menghadapi itu.
“Coba lihat HPnya?” Ayahnya menatap tajam. Rahgung menyerahkan HP blackberry kesayangannya. Perasaan cemas mulai melanda. Rasa takut kalau tiba-tiba HP kesayangannya itu akan di banting ke lantai.
Ternyata tidak. Tidak seperti apa yang menjadi dugaannya semula.
HP itu ternyata tidak dibanting. Wajah Rahgung yang semula tegang jadi agak sedikit tenang begitu mendengar kata-kata ayahnya yang lembut. Dan apalagi ketika ibunya yang secara pelan bertanya padanya meminta penjelasan kronologis kejadiannya. Ayahnya sibuk membuka-buka isi video dalam HPnya. Hanya film rekaman sewaktu terjadi angin puting beliung yang melanda di kawasan tempat tinggalnya beberapa waktu lalu. Film lucu tentang anak-anak dan sedikit rekaman balap-balapan sepeda motor, sebagaimana apa yang menjadi hobby Rahgung selama ini. Sebagaimana jurusan yang dia geluti di sekolah.
“Sebenarnya rahgung hanya duduk-duduk saja di belakang Jefry yang sedari pelajaran berlangsung menunduk aja terus memandangi HPnya. Terus Oki dan nanang yang bangkunya bersebelahan menggeser tempat duduk,” dengan terbata-bata saking takutnya dimarah, Rahgung menceritakan di hadapan orang tuanya.
“Kamu ikutan nonton ndak?”
“Ndak sebetulnya. Hanya terlihat ama Rahgung karena duduknya Jefry persis berada di depan saya. Jadi terlihat apa yang sedang di tonton secara sepintas.” Rahgung menjelaskan.
“Artinya kamu melihat apa yang kamu tonton?”
Rahgung mengangguk.
“Kamu benar-benar melihat?”
“Iya, abis gimana pak. Saya khan duduk di belakang bangku mereka, iya segala gerak-geriknya terlihat. Sebetulnya sih tidak ingin melihat, apalagi guru di depan kelas lagi serius menerangkan mata pelajaran,” Rahgung menjelaskan apa adanya.
Ayah dan ibunya manggut-manggut.
Rahgung sendiri heran atas sikap ayahnya. Tumben! Biasanya ayahnya yang punya temperamen keras dan suka main pukul tanpa ba-bi-bu. Urusan belakang. Pernah ketika Rahgung main ke tetangga belakang, karena telat menjawab sms ayahnya, tanpa banyak cincong mencarinya ke belakang dan tanpa banyak bicara mukanya di gampar dengan keras. Bayangkan di hadapan teman-temanya lagi. Rahgung tak habis pikir sekarang dengan sikap ayahnya yang sudah berubah 180 derajat. Dari temperamental ke arah yang cukup slowdown. Sungguh mengherankan sekaligus membuatnya senang. Terlebih lagi rasa senangnya tidak terlalu berlebihan dia perlihatkan di hadapan teman-temannya di kelas, manakala dia melihat ayahnya sendiri di hadapan matanya secara langsung ngotot membela dirinya habis-habisan di depan guru BP3 mengenai persoalan yang menimpa dirinya tentang film porno. Yang nyata-nyata juga sesungguhnya dia tidak terlibat secara langsung. Lumayan juga perdebatan ayahnya dengan pak Puji, guru BP3 itu.
“Rahgung anak yang baik. Sikapnya polos. Kepolosan sikapnya ini yang kadang-kadang dimanfaatkan teman-temannya. Saya tahu persis gimana anak saya itu,” demikian ayahnya berkata dengan menggebu-gebu. Dan ketika menandatangani surat pernyataan itupun Rahgung lihat sikap ayahnya yang memberi penolakan penuh. Argumen ayahnya memang masuk akal. Penjelasannya sangat logis. Hampir menitik air mata Rahgung melihat cara ayahnya membela dirinya. Terlihat betapa pedulinya dia terhadap kelakukan anaknya. Namun apa mau dikata. Dia berada di tengah tengah pusaran dari kenakalan teman-temannya yang berada pada posisi yang tidak dibenarkan. Apapun alasannya, walau hanya sekadar melihat, secara tidak sengaja sekalipun, itu tetap merupakan sebuah kesalahan. Kendati bisa ditolerir. Rahgung tidak salah namun berada di tempat yang salah dengan posisi yang agak tersudutkan : menonton film porno di kelas. Nah!
Dan wajib lapor itu dengan sangat terpaksa di tandatangani ayahnya. Wajib lapor yang mengharuskan Rahgung selama 3 hari berturut-turut keluar masuk ruangan BP3. Sementara dua orang temannya yang lain kena wajib lapor sebulan, lebih berat hukumannya karena dianggap menyimpan serta mempertontonkan di hadapan teman-teman saat pelajaran tengah berlangsung di kelas.
Diam diam Rahgung bangga pada ayahnya.
Disaat-saat bengong mereka di depan ruang BP, Arjuna mendengar langkah kaki mendekat. Mereka menoleh sekilas. Nampak Pak Ngabdul guru bagian kesiswaan dan Pak Rai guru jurusan seni ukir sambil lalu Rahgung melihat. Fuii, Ngapain lagi guru yang menyebalkan ini mendatanginya.
“Masalah apa dipanggil?” Pak Rai bertanya,matanya menatap Rahgung.
“Ndak ada pak,” Rahgung berusaha menutup-nutupi. Ia paling kesal melihat guru yang satu ini.
“Ah, mana mungkin kalau ndak ada masalah apa-apa harus menghadap ke BP”
“Soal film Porno itu ya? Pasti itu, tak ada lain” Pak Ngabdul seolah tahu kejadian yang sebenarnya
“Mau lihat film porno? Tuh lihat di laptop saya,” Pak Rai seolah berkata sinis pada Rahgung. Teman-temannya pada melongo.
Aneh! Guru yang satu ini malah menyarankan nonton film itu di laptopnya.
“Gila!” desisnya pelan.


Pagesangan, Juni 2011

Selasa, 04 Oktober 2011

Novelet : AKU BUKAN PELACUR (7)

“Tidak, Wina. Ini bukan suatu kebodohan. Justru kamu adalah orang yang sangat beruntung bisa dekat dengan saya,” lelaki itu menghibur.
“Beruntung?” Wina menatap dengan pandangan tidak mengerti. Apakah ucapannya ini merupakan sebuah hiburan? Hiburan yang diharapkan dapat mengubur kekecewaan sebagai sebuah harapan demi harapan tak kesampaian. Bentuk harapan kandas, tak tercapai yang bermuara pada kekecewaan. Bagaimana harus mengubur kekecewaan? Apakah dengan adanya suatu hubungan kedekatan dengan orang-orang berpengaruh macam pak Wijaya ini setara harganya dengan kehormatannya yang kini telah ternodai? Dalam dunia politik apakah wanita macam Wina ini dapat dianggap sebagai sebuah komoditi yang dikemas dalam pamflet-pamflet sebuah kampanye politik? Dia selama ini hanya dianggap sebagai gula-gulanya partai. Untuk memberi pemandangan sekaligus pandangan yang menarik pada setiap mata acara. Itu dia rasakan betul. Ibaratnya bagi para pentolan-pentolan partai buat cuci mata untuk dapat melihatnya. Bahkan bilaperlu menghiburnya hingga mendalam dalam kedalaman hatinya yang sesungguhnya kering dan letih. Kering karena diwarnai kesibukan mengurus perjalanan ke luar daerah. Studi banding untuk di bawa pulang guna memajukan daerah. Dan juga tentunya jalan-jalan yang merupakan lahan mengasyikan, sembari menghibur diri di klab-klab malam, berkeraoke sambil menari-nari dalam tarian perut dengan beberapa wanita penghibur. Letih? Iya letih yang terlalu lama memanjakan diri dalam hiburan-hiburan. Mengail proyek-proyek beramplop dan bermain-main ‘move’ dengan beberapa pengusaha secara diam-diam.
Pada acara kampanye Golkar kemarin Wina dan kawan-kawan dengan bangganya hadir sebagai penggembira diantara para penggembira partai lainnya. Acara safari politik ke beberapa kabupaten selalu menyertakan dirinya. Seolah tanpa kehadirannya suasana terasa sepi. Ada yang kurang tanpa kehadirannya. Kadang pagi-pagi subuh dia sudah didatangi ke rumah dengan mendadak. Ibunya sendiri memang mengijinkan, selama masih memang benar-benar untuk kegiatan organisasi. Bukan hanya wayan Suambara ataupun mas Yudi temannya datang menjemput, bahkan pernah pak Wijaya sendiri pagi-pagi datang ke rumahnya. Sebetulnya Wina malas pergi saat enak-enaknya tidur karena habis begadang, tapi karena yang mendatanginya ke rumah pentolan FKPPI, Wina terpaksa harus mandi dan segera berangkat. Berdandan seadanya. Kecantikan dan wajahnya yang manis terpantul, kendati berhias diri seadanya dengan buru-buru. (nyambung)

Sajak : DG. Kumarsana MELINTAS SANUR II

Laut pernah berjanji
ketika gemuruh dalam dada berbalas gemuruh
matamu kian menepi
melayarkan kesunyian
kepada siapa menyanyikan kayuh tanggalan
jejakku
melintas pelan gemuruhmu sunyikan isyarat
gerhana mengaram
karam
barangkali disini, amplop biru tua pernah
terkatung katung berburu pintu
terkapar kabar memuakkan

Laut tiada pernah berjanji
hingga kini punya kesombongan memanjakan
wajah kepingan jiwa yang kian buram
masa lalu
(dari antologi puisi MELINTAS SANUR terbitan pustaka EKSPRESI