Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Sabtu, 23 Oktober 2010

TRIWIKRAMASENA

Pada saat prabu Triwikramasena mengakhiri masa kejahatan seorang samyasa
maka dia berubah menjadi hakim dalam tonggak kebenaran
maka dia berubah jadi angin menghembus sang bayu
maka dia berubah menjadi api yang membakar pundak brahma
maka dia berubah menjadi air bah yang membasahi kerling mata Wisnu
maka dia berubah jadi zat pralina yang melebur kantong pathogen Ciwa
yang menentukan segala-galanya
menjadi hakim, menjadi angin, menjadi api, menjadi air bah, menjadi zat pralina, menjadi
gumpalan cuaca bahkan menciptakan musim segala musim atas segala petir-petirnya yang
menggetarkan langit :
muara peristiwa dunia
dan hukum persoalan kejahatan di atas dunia hanyalah dagelan.
Apakah dia bangsawan kerajaan yang telah melakukan suatu tindakan melebihi kejahatan
raksasa?
Tidak!
Teka-teki tak terpecahkan. Atau fakta diputar-balikan
Ternyata suatu sikap terhadap reaksi individu manakala akan terampas hak-hak hidupnya, akan
diperlakukan tidak adil serta sangat semena-mena,
maka reaksi yang timbul adalah membunuh daripada dibunuh.
Tidak hanya dari kalangan petinggi, bahkan rakyat dapat lebih brutal akan kebiadaban permainan
keadilan yang dipolitisir, keadilan yang terlunta-lunta, keadilan yang dipelintir.
Ada satu penilaian terhadap diri sang samyasa.
Kebenaranlah yang dipegang untuk ukuran dirinya.
Baginya sisi buruk dalam kejahatan adalah yang kekal, ketika perilaku berbuat jahat itu muncul
sebagai sebuah definisi sebuah jiwa yang kekal.
Jiwa yang mengantarkan dirinya pada satu titik kekekalan yang abadi.
Jiwa yang tidak pernah mati. Jiwa yang terpecah-pecah
Tidak oleh sebilah belati ataupun pedang yang tajam.
Tidak juga oleh keris atau jenis senjata lain terlebih lagi senjata titisan dewa Wisnu dalam
gelegar awataranya.
Pedang Triwikramasena sebelum mengungkapkan kebenaran akan adanya teka-teki tak berjawab
nantinya adalah anugerah sang Siwa,
adalah Sanghyang Mahadewa yang selanjutnya mengubah pola pikir sang miskin berpikir :
sang miskin idealisme
yang ngeri memikirkan Pancasila tidak sakti-sakti
yang dianggap wibawanya bercahaya saat peringatan setahun sekali.
Sebuah anugerah tanpa kata sebagai sebuah penghargaan memberikan jawaban yang tidak sia-sia
untuk sebuah pilihan pertanyaan yang terlanjur keluar sebagai sebuah misi yang telah selesai
diemban.
Adakah suatu harapan yang tidak terpenuhi, kalau hatimu telah puas?
Triwikramasena tidak pernah tersenyum dalam pengembaraaan dharma untuk memerangi
kemunafikan sang samyasa.
Tidak juga mengartikan akan jawaban yang diberikan selepas Ciwa menyodorkan kemungkinan
baru dalam intruksi selanjutnya.
Karena bagaimanapun Triwikramasena tidak akan pernah mengungkit-ungkit kebenaran sebagai
sebuah dharma yang mutlak untuk dijalankan di hadapan sang penggugat kebenaran itu sendiri.
Dua sisi perlambang adanya sesuatu yang hidup dalam keseimbangan perputaran dunia.
Triwikramasena adalah produk sang Ciwa sebagai putranda raja Wikramasena yang selanjutnya
akan menyatu kembali dalam keabadian kebenaran.
Siapakah produk samyasa yang bernama Ksantisila itu?
Beberapa cerita telah tercecer mencari babaknya
Atau kurangnya waktu untuk merampungkan bagian dari cerita yang masih tercecer itu.
Atas apa yang menjadi saktinya Ciwa : Durgha kian merubah wajah dalam kecantikan angin
Tidak terlepas dari pikiran kotor dan rela berkorban bagi penyaluran hasrat seksual atas nama
kesetiaan.
Di negeri yang berazaskan hukum, ada yang menyatakan keterikatan hanya buat rakyat kecil.
Tidak boleh lepas dari rel. Tapi keretanya melintas di samping…ahaiii, ironis sekali!
Karena hukum itu sendiri coretan kertas buram dan kabur dalam penglihatan.
Dapat diajak untuk bernegosiasi. Bisa dihadiahkan uang.
Hukum yang bersaudara dengan nepotisme. Hukum yang dibentuk oleh mata uang.
Dan percayalah, hukum itu bisa dibeli, karena untuk menjadi ahli hukum butuh uang banyak.
Kalau tidak ada uang hukum tidak berjalan, kalaupun berjalan semata-mata hanyalah
menjalankan jadwal yang telah dibuat di balik kemegahan kewibawaan institusi.
Karena butuh uang banyak untuk jadi ahli hokum maka setelah toga bersandar harus ada
kompensasi prima mengganti biaya kuliah. Dan itu pasti mudah dilakukan di iklim Indonesia
yang rakyatnya manut-manut.
Karenanya Triwikramasena sang prabu tidak cocok bercokol di Indonesia, karena akan bernasib
sama dengan bang Munir yang nyawanya disiasati kaum pembeli hukum.
Keadilan hanyalah lagu usang yang asing untuk tidak didendangkan dalam preparat kebenaran.
Keadilan hanyalah sandiwara atas nama kebenaran.
Yang sesungguhnya impoten!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar