Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Minggu, 31 Oktober 2010

AJI SUAP (premanisme DPR)

Sajan, ru…….
200 jute nyuap
ulian kursi pemrentahan
mimih…menek ia dadi ketua partai
baan mata nelik, kijap-kijap nakeh bati

paparikane, ru…….
ngandelang proyek pacang nampi
pacekang gumine dadi sugih baan korupsi

Sabtu, 30 Oktober 2010

PAPARIKAN GELEM

Buka I belog-tiwas naenang gelem makelo
matane kijap-kijap ngenehang ubad
seger ento maal ajine

gelem i tiwas tekening i sugih mula melenan
lamun ia sugih ubadne masi lebian
I tiwas gelem tegep baan paracetamol lan vitamin C
nanging lamun lebian misi darah tinggi, stroke muah kanker
nyandang pesan idihin pamrentahe
pamrentahe sugih liu ngelah pipis
ubad maal baan i tiwas ngancan ngae bangka
las mati !!
Nanging i sugih keten-keten krana kesugihane sing dadi aba mati
ilik anak tiwas bes daat naenang gelem

BANGGA NEGERI INI MISKIN

Persimpangan lenggang cucuran air taman membasah aspal jalanan
anjal mengadu nasib setiap kendaraan lalu lalang
menjaga jarak tibum yang siap memangsa
pancang spanduk lebar-lebar kampanye berjarak
siapa menjual partai seharga janji tak jelas
politikus yang berdebat bak bertepi melahirkan kemiskinan baru
mengumbar janji dana pendidikan si miskin yang menjadi merk komoditi
tuntaskan buta aksara! Entaskan kemiskinan yang tak tuntas-tuntas
aku bermimpi air taman kota mengucurkan minyak tanah berlimpah
aku bermimpi anjal di mimbar membaca, menghitung para korup di gedung legislatif
menyanyikan riwayat kota ini sebagai lahan pengangguran
dan menyematkan tanda jasa angka termiskin
sambil menghitung-hitung berapa yang tersisa saldo jaring-jaring pengaman
buat jaring-jaring saku
buat jalan jalan ke negeri tetangga
bagaimana mempopulerkan kemiskinan negeri sendiri
untuk menunggu sedekah
sebagai medali penghargaan negeri termiskin
serta piagam negeri terlunta-lunta
negeri hura-hura di ladang kesuburan pengemis jalanan
bangga negeri ini negeri miskin negeri populer di dunia
untuk digarap dalam proposal:
kekayaan kita hanyalah menjual kemiskinan dalam tender bertajuk
komoditas!

Cerpen : DG. Kumarsana PING

”Ping, aku semakin sangsi padamu. Beribu hari lalu telah dimakan waktu. Gema suci kidung sinden terperangkap sepi..........,” demikian kali ini dia baca keras-keras memasuki kamarku. Aku terusik juga. Sudah kukatakan berulang-ulang, aku tidak mengerti sajak. Jangan bacakan itu lagi, tapi laki-laki itu tetap saja dengan tingkahnya.
”siapa kali ini Gus?” Sengaja aku memberikan perhatian, walau sesungguhnya aku tidak tertarik. Karena pernah apa yang dia bacakan sebagaimana kebiasaan-kebiasaan yang lalu dan aku tidak terlalu memberikan reaksi apa-apa terhadap tingkahnya itu, lama dia merajuk. Apa yang terjadi? Segala permintaanku selalu ditolak. Aku kali ini tidak mau ambil resiko. Aku harus memberikan perhatian, antusias, memuji bahkan kalau bisa langsung tepuk tangan di hadapannya.
Dan itu memang aku lakukan. Selain memberi perhatian yang dalam aku juga tepuk tangan sekalian menepuk punggungnya penuh rasa sayang. Ping? Entah siapa Ping kali ini yang dia maksud. Apakah Ping yang selama ini dia sebut-sebut saat sama-sama melakukan aktifitas ke gunung atau Ping saat work shop sewaktu kampusnya mengadakan ajang lomba memasak untuk persiapan masa depan sebelum akhirnya barangkali kita semua disarankan untuk membuka warung makan lesehan kalau-kalau putus kuliah karena kiriman uang dari kampung tidak datang sama sekali?
”Itu kalimat siapa, Gus, ” aku mengulang pertanyaan ketika dari tadi tidak ada jawaban sama sekali. Kulihat matanya bersinar nanar, sepertinya sangat senang ketemu aku, atau mungkin saja aku yang ge-er. Tapi anggap saja demikian karena aku terlampau merindukan kehadirannya.
”Itu sajak milik temanku, cukup lama ditulis. Sekitar tahun tujuh puluhan, tapi entah dimana sekarang apa masih hidup atau sudah mati. Dulu aku sering sama-sama dengannya, makan bersama, menemani jalan-jalan. Dia itu paling takut tidur sendiri, makanya aku diminta menemani dengan segelas bir, aku mau aja di suap hehehe..” Gustaman berceloteh panjang lebar, suaranya sama dengan sajak yang ia bacakan: memenuhi ruangan ini. Ruangan yang penuh sesak dengan diktat jadi semakin penuh sesak.
”Namun Rein, aku tidak tahu apa profesinya sekarang, apakah ia jadi dokter ataukah kuliah di kedokteran malah keluar jadi insinyur atau barangkali jadi kondektur...... aku tidak tahu” ia terlihat tercenung dengan ucapan sendiri
”Wah aku belum lahir, Gus tahun itu barangkali ayah dan ibuku lagi berpacaran.”
Memang begini barangkali kalau bersentuhan dengan seniman. Pacarku seorang seniman, waduh, tidak pernah aku bayangkan. Apa kata orangtuaku nanti di kampung? Jauh-jauh merantau menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi, dengan biaya kuliah yang mahal eh pulang-pulang malah mengajak seorang penyair. Entah kalau apa yang menjadi angan orangtuaku: Rein, kamu selesaikan studimu dengan baik, rintis masa depan dengan baik dan kalau ketemu jodoh ,dari keluarga yang baik-baik yang nanti akan mampu menghidupi keluarga, rumahtangga yang harmonis dengan cucuku yang manis-manis, pastilah demikian nasehat yang keluar. Tapi apa yang salah? Kupikir tidak ada keliru, pacarku seorang penyair atau insinyur atau dokter atau dosen, apa pentingnya status? Toh terkadang orang punya status sarjana banyak yang miskin, jadi pengemis birokrat bahkan jadi penipu ulung di pemerintahan dengan berlagak pilon memainkan angka-angka fiktif, berbakat jadi aktor yang pintar memainkan proyek-proyek masyarakat miskin dengan kantong-kantong ajaibnya.
Ah, terlalu jauh aku berpikir. Itu nanti saja. Ini juga belum pasti apakah aku benar-benar menyukai Gustaman atau hanya sekadar cinta monyet setelah lepas dari pertemuan lalu bubar atau hanya hubungan teman biasa. Atau apa sudah pasti ia menyukai aku? Aku juga tidak tahu pasti. Kutatap matanya yang bergerak-gerak jenaka. Ia memang humoris, banyak bahan bicara, banyak canda dan selalu menghibur di saat-saat aku kesepian di tanah rantau,saat-saat aku terbawa hanyut kerinduanku akan kampung halaman, kerinduanku akan orang tua dan orang-orang yang kucintai di rumah.
”Ping, dimana kamu Ping. Masih hidupkah kamu?” terpecah lamunanku. Lagi lagi Gus mendeklamasikan kenangannya akan Ping.
”Hush! Jangan keras-keras Gus” Aku menasihati pelan.
Suara music di ruangan yang semula keras memekakkan telinga aku buat sedikit rendah. Volume tape aku kecilkan. Pada lagu tikus-tikus kantor suara emas Iwan fals, Gustaman sengaja malah lebih membesarkan volumenya. Dia memang menyukai lagu-lagu ini. Sebuah lagu pemberontakan terhadap keadaan pemerintahan saat ini. Aku meringis. Seandainya dia jadi legislatif entah demokrasi mirip apa yang akan terjadi.Atau jangan-jangan malah dia biang tikusnya, ah ndak tahulah.
Di pojok kamar kulihat guntingan koran lapuk. Gustaman memang sering aneh. Suka memberikan spesialisasi terhadap suatu peristiwa politik. Contohnya berita yang sengaja dia simpan menyangkut di daerah dimana dia tinggal saat ini. Tertulis besar-besar : ”DUGAAN KORUPSI BANSOS, SEKDA LOBAR JADI TERSANGKA”. Masih saja Gustaman suka berlaku yang aneh-aneh. Entah apa yang dia nikmati dari guntingan koran daerah yang rencananya akan dia kliping. Entah kapan dikerjakan. Buktinya guntingan koran tentang seorang bupati di daerahnya yang korupsi milyaran saat menganggap ruang sidang sebagai sebuah WC dengan berprilaku lupa sempat membuang air kencing di ruangan tersebut. Terkadang sering dibuat bingung manakala pejabat tertangkap basah dan tak pernah melepas kesan arogansinya dalam sebuah pengadilan. Memang pejabat di daerahnya terbilang lihai memainkan angka milaran rupiah buat mengelabui rakyatnya yang dianggap bodoh. Saking juga tidak mau dianggap bodoh, Gustaman sampai saat ini masih juga menyimpan guntingan berita di koran usang yang termakan oleh waktu.
Namun kalaulah Gustaman cerita tentang Ping sobatnya yang lebih ekstrem, malah aku lebih terpana lagi. Gustaman saja kayak begini, bagaimana kalau berjumpa Ping. Dan aku berpikir perpaduan diantara mereka berdua saat berhalusinasi dengan sebuah peristiwa. DAN PING SEKARANG DUDUK DI KURSI PESAKITAN SEBUAH BANGUNAN KEJAKSAAN TINGGI NEGERI YANG SURAM : sambil mengipas-ngipas lehernya berkeringat dengan lembaran uang, setebal nuraninya yang sakti.

ANGEN SESAPI III

Sakewala sesapine magpag angen
nadiang ilik langite malawat tresna
andap gati kenehe

sakewala sesapine enu magpag angen
ngindang ngejohin pengawakan, makeber ngentasin dedet
sang penapakan :
maboros sunia
kaboros baan inguh

lan sesapi makeber tegeh nebekin langit
nebekin tresna
ngalayutin lintang
maglayut
negul purnamaning ning ning
ngurung masunar galang
sig keneh

Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Aktivis Pendukung Komodo

Lomba Menulis Puisi dan Cerpen Aktivis Pendukung Komodo

Deadline 31 Desember 2010,

Dalam rangka menggalang dukungan agar Taman Nasional Komodo masuk 7 Keajaiban Dunia dan menumbuh kembangkan minat masyarakat terhadap Dunia Sastra.Aktivis Pendukung Komodo mengadakan Lomba Menulis Puisi dan Cerpen dengan ketentuan sbb :

1. Ketentuan Umum.

1. lomba terbuka untuk seluruh WNI
2. materi lomba dikirim ke- abdul_mail@ymail.com dgn Subjek : Peserta Lomba APK. (diikutkan juga slip transfer dan identitas diri).
3. peserta wajib mendukung Taman Nasional Komodo di- www.new7wonders.com (User Name dan Password diikutkan dalam email)
4. membayar biaya pendaftaran.
Bank NTT
Kantor Cabang Khusus Ladies Branch
No.Rek : 01602.02.001811-3
a/n : Muhamad S.S. Kamaludin

1. Ketentuan Khusus.

1. Lomba Menulis Puisi :
a. Tema Puisi bebas (diutamakan ajakan mendukung Komodo).
b. Puisi merupan karya murni, bukan saduran, terjemahan atau plagiat.
c. Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp.25.000 / Puisi.
d. Panjang Puisi dan ketentuan lain tidak mengikat.

2. Lomba Menulis Cerpen :
a. Tema Cerpen bebas.
b. Cerpen merupan karya murni, bukan saduran, terjemahan atau plagiat.
c. Ditulis dalam Bahasa Indonesia sesuai dengan EYD. Namun, disahkan penggunaan istilah Asing atau Daerah.
d. Panjang Cerpen 4 – 8 Halaman A4, Times New Roman 12, Spasi 1,5.
e. Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp.30.000 / Cerpen.

1. Tim Juri.
Berjumlah 5 orang yang berkompeten dibidangnya dan sedianya akan di umumkan pada tanggal 31 Oktober 2010.

“Tidak Dibenarkan Adanya Surat-Menyurat”


1. Hadiah.
Untuk Juara 1, 2, dan 3 dari masing-masing lomba adalah Uang Tunai, Piagam, Hadiah Hiburan dari Sponsor, dan Buku Novel (Atma Putih Cinta Lamahala - Kupang), Buku Antologi Puisi dan Cerpen komunitas PenulisMuda Indonesia (Phantasy Poetica dan Imazonation).

Catatan : 1. Informasi akan di-update pada 31 Oktober 2010.
2. Dengan demikian Lomba Musikalisasi Puisi ditiadakan.
3. Info Lengkap : (0380) 825609 / 081237247715 (Abdul).

Copy dari blog dengan link berikut:
http://puisiampunk.blogspot.com/2010/10/tentang-lomba-aktivis-pendukung-komodo.html

Kamis, 28 Oktober 2010

ANGEN SESAPI II

Sakewala nyesed sabilang dina matemu
suba dadi nabdabin deweke nyaruang liang
ngapak-apak ngerajah inguh paling
mula ulian sebet mengkeb di lawat bayune
nengil
ngulgul kasunia ning dedet

angen ne angen, nyen ngakuin, nyen ngelah
lamun sabilang ngenah sinah runtag
ngelemesin sang sesapi uli pitehan
sebet
ngudiang angen nengil tan kaucap
wainan matemu ngancan ngamatiang keneh
; sekabesik sesapi nyandang ilang
magpagin langit
ngulungin lawat, magpag ujan

luh, sesapine ene nyen ane ngelahang
kadirasa maboros
baan lilih:
tareke buka keto, luh?

Rabu, 27 Oktober 2010

Novel : SENGGEGER KECIAL KUNING JARAN GUYANG ( 6 )

Tubuhnya kemarin sempat terguling-guling, terpental beberapa meter dengan kepala membentur kursi. Hingga siang ini rasa pusing di kepala belum hilang akibat benturan itu.
Acara yang kedua ini berakhir hingga jam empat sore hari dilanjutkan dengan mandi sore. Rina punya alasan tersendiri juga di samping sering kelolosan tidur pada jam ke dua. Proses tutuh yang dilakukan di ashram dalam sehari saja bisa dilakukan dua sampai tiga kali. Itu semuanya tergantung dari ketahanan tubuh masing-masing. Rina nggak usah ditanya, kalau soal tutuh bisa saja dia lari menghindar. Sehingga memilih jadwal ketiga setelah makan malam yang dimulai jam tujuh sampai dengan jam sepuluh malam. Dia hanya akan mengalami sekali tutuh untuk selanjutnya kembali melakukan meditasi sampai jam sepuluh malam.
Satu jam setelahnya dilanjutkan dengan melakukan kegiatan agni hotra mengelilingi api suci di antara kayu bakar dengan ritual membentuk lingkaran secara bergantian mengelilingi disertai nyanyian puja-puji untuk Dewi Agni. Agni hotra dilakukan di halaman luar ashram.
Agni hotra dilakukan setiap malam tujuannya untuk memuliakan Dewa Ciwa, memohon keselamatan, kekuatan beliau dengan meminta apa yang menjadi harapan-harapan ataupun keinginan-keinginan kita agar terkabul.
Malam hari, setiap agni hotra berlangsung hingga jam sebelas malam, Rina senantiasa memohon terkabulkan harapannya untuk dapat lepas dari pengaruh ilmu pelet yang telah memporak-porandakan dan menghilangkan rasa percaya pada siapapun. Rasa percaya pada suamipun telah hilang dibuatnya. Rina mohon atas kemuliaan Dewa Ciwa untuk dapat dikembalikan lagi hari-harinya dalam kebahagiaan hidup bersama keluarga.
”Ya, Dewa Ciwa, atas kemuliaanmu hamba memohon, kembalikanlah hidup hamba ke jalan yang benar dan jauhkan hamba dari segala perbuatan kotor. Kembalikan diri hamba pada keluarga hamba yang demikian mengasihi dan menyayangi hamba.....”

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (18)

Belajar mengendalikan muka dengan cara bermuka-muka.
Belajar memahami topeng dalam menyembunyi preingai nan busuk.
Belajar mengendalikan kemarahan orang lain dengan membeli keahlian sang dukun.
Belajar memainkan angka-angka yang menggelontor di depan mata untuk memainkan aplikasi. Belajar mengeja kata-kata yang tepat buat penyusunan proposal serta merta belajar membangkitkan kepercayaan orang-orang agar mereka tidak mengetahui wajah sesungguhnya di balik topeng yang dia kenakan.
Seandainya dia ketemu maka matilah terbantai kemarahan keluarga sang dara muda yang hilang masa depannya oleh ulah bejat Sahidi.
Ketika berjumpa dalam pertemuan yang telak. Sahidi tidak mampu menolak.
Dipinang siri untuk menjaga prebawa kehormatan keluarga besar.
Senang, tentu senang Sahidi mengeram janin tak terkontrol. Geram tentu geram Sahatun yang pernah berupaya menjalin masa depan.
Semua menjadi sia-sia……..
Nasi telah membubur sehangat cinta tahi ayam.
Hanya hangat di luarnya saja.
Sahidi yang ibarat Wisrawa yang gagal mumpuni para siswa-siswi anak didik nusa dan bangsa.
Namun dia bukan Begawan
Lebih tepat disebut Don Juan yang mencoba perkakas segala bentuk pernik-pernik senggeger.
Senggeger yang mampu membuat wanita terkulai lemah.
Senggeger yang mampu membuat wanita ketagihan.
Senggeger yang mampu membuat wanita termudahkan
Senggeger yang mampu menampik moralitas sebagai ranjang kebebasan
Dalam merebut birahi cinta siluman
Sekali lagi, namanya cinta tahi ayam
Yang hangat sesaat

ANGEN SESAPI I

Mirib nu sangsaya sayan kebiat-kebiat lintange
ngerajah gulungan ombake tegeh nyejehin
ngentas ring geliapan matan luhe, ngancan saru
tan maguna
sig dalem daken tengah pasihe
ane encen kone madan daken
sabilang celepin kenehe konyangan bek

magpag matan luhe ngurukang keneh bawak
bawak pisan!
keto luh ngegolang keneh, ngeca semaya
kadirasa kapupungan, naduanin ngeraksa keneh
sakewala bucun matan luhe nyaruang kendel

kadakep baan sebet ngitungang keneh
lintange akit sig langit, liu mapasangan
kaboros bulan masunaran ngutang samaya kingking
”nak mula tresna matane ngenehang”
ngancan buduh metekin warsa majalan
yen sunia mapunduh kal engkebang : luh jegeg
sig duur sunia langite
galang

Cerpen: Olih : DG.Kumarsana BERUNG

Bakat kenehang, krana metatu abedik cara bintilan. Bintul-bintul barak ane sing suud-suud bakat gesges dadine ngedenang lan merupa berung. Bengu sing kodag-kodag yan adekin. Besil dini-ditu. Blenget gati.
“Aruh....!! tiang ja suba kenjel ngarawat tatun tiange ene, apa ja dadine buin mani tiang sing nawang. Cutetne tiang sing ja nyak ngerunguang buin ” Luh Ayu ngemigmig sambilange nyebak. Pisaga ane nelokin pada jejeh. Makejang anake pada jejeh. Apa sing lakarang jenis tatu keto bisa ngalimbak wiadin ngranang gerubug di desa. Anake makejang pada ngrimikang.
Sabilang Luh Ayu liwat di aep pisagane ane pada mepunduh bruak-bruak ngorta, nadak makejang pada mendep sing ada pesu munyi sambilange nekep cunguh. Ngenah sajan ngewada. Saru apa ulian jejeh ngalimbak panyakitne ento, apa krana demen ugig jak timpal.
“Suud monto nyebak. Tusing pragat ulian nyebak dogen. Pareksaang awake malu ka dokter. Ngidih pengubadan lan resep apang tusing ngancan ngedenan, lamun dadi tagih ubade ane maal pang enggal seger” Ratih , timpalne puru di kantor ngorahin. Nyelag ngojok ka umahne.
”Suba. Suba!! Suba kaperiksa baan dokter. Doktere ngemaang ubad ane meranen tur maal gati. Delokin ja ditu,” Luh Ayu masaut sambilange nujuhin kaputan ubad uli klip plastik di duur mejane. Limane iteh kaskas-keskes.” Sabilang minggu tiang luas ka dokter, kewala tusing ada perubahan nyang abedik. Tiang tandruh apa sujatine sakit tiange ene? Ane sangat bakat kenehang buin yaning ubadin ngancan ngedenang tatune lan nyakitin sajan. Nyen Sujatine belog? Doktere apa panyakite. Asanang doktere mirip ane belog tusing ngidang ngebaang ubad penawar ane meranen. Mirib tusing ja ada ubad meranen jaman jani anggon ngubadin tatu cerik nganti dadi berung kakene” ia ngrumuk sambilanga misuhin doktere. Panyakitene padidi masih kena pisuh. Kadirasa blasak dogen kenehne. Receh sajan-sajan.

”O, ento madan korengan, Luh ” kadek Doglong mapi-mapi nedasang, kenehne suba ririh pisan krana ulian nlektekin panyakit jenis keto bisa tawang kenken kone kaidupan Luh Ayu dugase cerik yan demen maplalian di endute, wiadin maplalian di tukade ane bek misi luu muah tain jaran, konden buin tain ubuh-ubuhan ada ane ngenceh lan meju ditu, sing tawang masih di tukade ada bangken cicing kampih. Kadek Doglong nyatuang timpalne dugase cerik ane demen maplalian nyanyad patuh ja cara panyakitene Luh Ayu jani. Mula perlu seken-seken runguang! Sing dadi campahang sajan gejala-gejalane ane mara ngenah.Tusing ja maarti apa-apa, Bes ngenah campah, api ja berud abedik, sakewala sanget ngranaang lek lan ngulgul tur likad nyemak gae sewai-wai di kantor. Kengken sing likad, sabilang ia ngomong ajaka relasi bisnisne kanti misi ngengkebang lima ane korengan. Makejang timpal-timpal lan relasi bisnisne di kantor mretenin. Ada ane teleb gati mretenin,kadirasa likad Luh ayu Kenken anake ngelah olas asih nepukin limane buka keto. Ngelek hati api ke nganggo baju ane melah lan maal-maal, lakar sing ja nyidang ngengkebin korengane.
” Ento madan berung .” bli Putu milu masih ngimbuhin nedasang.
”Nah, api ja koreng jawata berung apa kone bedane? Lakar kanti tua naanang sakit buka keto?” kadek Doglong nungkasin. Krana ento lakar ngusak bayun relasi-relasi bisnisne di kantor. Lamun ada anak muani ajak Ni Luh Ayu, kenken carane? Bli Putu nlektekin matane i kadek. Seken-seken!. Ngujang ia sangat ngerunguang sakitne Ni Luh Ayu? Ah, miribang I Kadek Doglong ada keneh ajake Ni Luh Ayu. Nganti kaketo carane mretenin. Tresna pisan abetne.
Anak muani ajake dadua ento pada mendep. Luh Ayu ngentas sambilanga nekepin map di limane ane ngenah berung. Ebo pengit ngebekin ruangan perkantorane.
“Suud ngomongang timpal,” bli Putu ngorahin Kadek Doglong. Ngenah sajan munyine misi ngelonin Ni Luh Ayu.Kenken sing padalem lamun nepukin Luh Ayu cara anak ruyud majalan sambilange tekol. Ngenah likad di paninggalane.
Sabilang peteng Ni Luh Ayu malik-malikang palet surat kabar ane suba makelo sing kabaca. Tuah iseng dogen nyen nawang ada pabligbagan abedik atawi resep manjur pang sing ja nganti tuyuh kemu-mai ka dokter kulit. Sujatine pabrik ubade ento mirib ia ”fiktif” indikasi-ne, keto kenehne ane majalan ”ekstrem”. Makejang ubade ane kawedar di pasaran, makejang ubade ane kaadep di apotek lan makejang jenis ramu-ramuan jamu ane kaadep di toko-toko ubad ia ngorang raos bogbog. Tusing ada meranen. Mogbog mengkeb-metapel di durin karirihan iklan dogen! Iklan ubad-ubadan pada pagedenang kamuat di surat kabar wiadin majalah-majalah sujatine ento ngedengang muan-muan anake luh jegeg-jegeg dogen, bentuk-bentuk batis ane luwung, sakewala sing ja nyak ngedengang kenken kone proses berlangsungne ngubadin panyakite uli mara kena kanti nyidang seger. Ah, uluk-uluk ento. Apang nyak anake meli barangne! Bes ngenah bogbogne! Bobab sajan! Ento madan ”penipuan publik”, ragragan “komoditi” ajak nak ngelah kebrebehan. “Komoditas konsumen” anake ane sayan gelem muah ja kapercaya, yadiastun ajine maal, ngemigmig sambilange gedeg Luh Ayu padidiane. Med sajan naenang berungne, memeka sing suud-suud ,mekelo-kelo ningalin ibane ngeranaang kenehne sebet. Nah, ne ia di palet kesehatan ada kone pabligbagan ubad penemuan baru panyakit diabetes, kenken carane ngae seger ane melah, aluh lan mudah nganggo buncis. Dadi anggon lakar jukut. Dadi masih ngae olah-olahan kacampur baan wortel abedik anggon nyegerang sakit mata. Ni Luh Ayu ngenggalang nelpun timpalne, ia menyet memekne I Neni enu nyakit diabetes. Suba ngantos stadium telu lan aminggu ane maluan “urgent” parintahe dokter bedah maang tindakan, abesik kacing batisne amputasi krana suba membusuk. Masisa tulang kabungkus baan kulit abedik. Biasane penyakit keto lamen ja suud operasi, lakaran makelo tuhne, asanan keweh uas. Tiban-tibanan bonyok ngancan menekang nuju matan batisne nganti ka paane. Jejeh lamun ngenehang dugas ninggalin I Neni sebet nyatuang kakewehan memekne. Ni Luh Ayu masih maan milu ngenemin dugase operasi memekne I Neni di arep kamare bedah minor rumah sakit umum. Keto luung abetne Luh Ayu enu masih inget kakewehan timpalne yadiastun ia patuh ngelah keweh. Ento madan ngedum keweh bareng-bareng. Milu masih bincuh nulungin timpal.
”Ada masih ane lebian parah sakitne katimbang tiang,” Ni Luh Ayu molmol sambilange ngolesin berungne baan salep lantas ngusap-usapin baan kapas cotton bud. Adan salepe nyzoral cream, doktere ngorahang ubad meranen, ubad “high class”. Apa kaden madan keto, Ane penting uas berunge.
Inget dugase belabar gede di desa, yehe menek tegeh kanti neked bangkiang ukuran anak kelih. Pada nyapnyap makejang. Yehe menek ka umahan. Makejang pada sepanan ngisidang lan bincuh ngajang isin perabot umah. Nyap-nyap tekening sekayane sowang-sowang. Tusing suba ngenehang apa dogen ane kampih di yehe ento. Luu , bangken kuluk nganti kompor lan makejang isin paone pada kampih. Gede pesan yehe apa buin warnane coklat macampur selem, apa kaden lakar sinah dadi sumber panyakit kulit, jalir, demam berdarah ulian legune lakar pada kemu-mai lan liu lakaran anake pada ngencit, ngutah mising. Pisaga makejang sambrag pada rarud. Blingsatan malaib kemu-mai paling. Konyangan paling. Sajan-sajan enteng kenehe.
Suba liwat abulan sagetang Ratih teka ka umahne Ni Luh Ayu nekedang gatra anyar sambilange ngelkel kedek.
”Apa ada gek?” Ni Luh Ayu ngaukin Ratih baan ”gek” ulian ja muane jegek sakadi artis sinetron kesayangan Luh Ayu ane sawai pabalih di televisine.
”Jani pisagane makejang luh-muani, teruna-bajang, cenik-kelih telah pada kaskas-keskes. Ada ane berung gede nganti bongkeng, ada masih ane bonyok.”
“Dadi keto?”
“Tinggalin ja I Galuh Bonjor jani nganti ka song jitne berung,” kaukine Galuh Bonjor ulian bungutne cara bungut bemo kewala demen ugig, nyadcad timpal.
“Dadi nawang ?”
“Tolih ja pesu makejang pada kaskas-keskes.!!”
”Apa ulian tiang?”
Ratih sing masaut, laut magedi ngalahin Luh Ayu bengong padidian.
Jani Pisagane di Desa makejang pada kena berung. Telah kas-kas kes-kes. Sabilang ngaliwat tepukin ada ane ngeskes lima,ngeskes batis,ngeskes jit sambilange memisuh. Misuhin belabar ane suba liwat. Ulian yeh bandange ene makejang dadi kakene. Panyuud blabar dadi mesuang gering agung. Padadine gerubug desane.
Jani ja suba pada suud anake makejang ngrimikang Luh Ayu. Sakewala jani makejang pada ngrimikang dewekne padidi. Ngenehang sakitne padidi. Jani ja suba pada suud makejang anake pada nekep cunguh sabilang nepukin Luh Ayu ngentas. Sakewala jani makejang pada nekep cunguh lan bungutne padidi. Ngenehang berungne padidi.
Ane sing suud-suud ngelkel kedek tuah ja I Ketut Aget, krana dugase blabar gede ento ia mula luung tongos umahne di duuran pisagane ane lenan. Tusing celepin yeh gede. Ngelkel sing suud mekadi nepukin timpalne liu pada kaskas-keskes sambilange nyelek jit. Mimih dewa ratu!! Pedalem pisan pisagan tiange. Tusing kaunduk baan nulungin krana sing pedas baan ubad-ubadan.

Selasa, 26 Oktober 2010

PEPATAH KATA

Kata terpatah patah
oleh sumbu airmu yang tak pernah kering
bagai hujan yang telah engkau alirkan airnya menyusuri perjanjian yang pernah kita sepakati
lalu engkau lunglai ketika kata kataku mengalir di setiap jengkal tubuhmu
seolah-olah aku telah menguasai langit dan bumi
yang menjadi rahim setiap percintaan kita
dan kau lipat setiap harapan yang tumpah pada lekuk nadiku
bahwa peradaban yang memagari setiap mahkota kebenaran adalah agama dari ibumu
dimana bermula igau yang mengajarkan moral
namun sepatah kata yang engkau katakan hanya isyarat untuk tetap memulai indahnya
kebusukan kita :
setiap percumbuan selalu kau jadikan pepatah
yang diam-diam tetap engkau simpan
di rahimmu

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (17)

Kembali pada Ukang, ceritanya begini, hmmm menurut cerita seorang teman, manakala Ukangnya remaja punya masa-masa tersendiri yang entah tabiat apa membuahkan rasa pada sang guru yang telah beristri.
Karena lamunannya pergi kelain hati, tentu pula menjadi keheranan segenap keluarga manakala mengetahui betapa tergila-gila pada bapak guru Sahidi.
Tidak mampu ditawar-tawar, maka berkecamuk keluarga besarnya memburu dan bukan saja berkeinginan untuk membunuh, bahkan pula kalau sekiranya bisa mencincang habis tubuhnya yang kecil kurus.
Dapat dibayangkan kalau seorang manusia mencincang manusia, bahkan mungkin pada jaman itu sudah hadir istilah mutilasi. Dapat dibayangkan kalau semua peristiwa itu terjadi, maka Sahidilah korban pertama yang mengecam homo homini lupus itu berlangsung.
Tapi memang demikianlah adanya kalau hidup ini dipenuhi segala sifat serigala, karena sesungguhnya serigala itu sendiri adalah Sahidi yang punya andil memulai hidupnya serigala-serigala lainnya yang dipaksa untuk ikut beringas.
Dan bahkan mungkin Sahidi-lah yang akan memulai sorotan itu seandainya bukan karena senggeger menyelamatkan hidupnya.
Sang pemburu memburu ular hijau. Sahidi licin bagai belut. Sembarang lobang dia masuki sebagai tempat persembunyian.
Sebagaimana kelihaiannya memburu lobang-lobang kegelapan setiap betina yang menjadi gelegak irama senggamanya nan tak lepas-lepas.
Tidak ada yang sisa. Semua lobang menjadi pelarian.
Para Keluarga yang siap menghakimi melepas geram.
Sahidi oh Sahidi
Sang guru dari jembatan kembar
Dari desa yang dulunya terpencil dari dunia pendidikan
Sang guru ketakutan terkencing-kencing.

Senin, 25 Oktober 2010

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (16)

Tanpa perlu menjelaskan omzet hasil usaha dalam angka-angka manajemen yang memusingkan kepala. Manakala kebuntuan jadi penyumbat dalam dialogpun segala kemunikasinya tetap mendatangkan harmoni, karena perbedaan akan memberi warna pada setiap perjalanan rumah tangga. Sekali lagi, perbedaan selain memberi keindahan tetap merupakan aroma yang manis untuk dikecap kenikmatannya.
Dan kenikmatan itu sendiri malah disalah-artikan ketika mulai mengencani sang belia dari cinta yang bermula di sudut sebuah tata usaha sekolah.
Terkatung-katung dalam ketakberdayaan.
Cinta yang seterusnya berlanjut di luar dugaan, dari satu gadis, menuju dua wanita.
Entah cinta lepasan ataukah cinta sisa-sisa remahan.
Janda ataukah gadis sama saja dalam mengecap dahaga sesaat.
Dan inilah komunikasi tersumbat.
Belajar memahami seorang Ukang, menghampiri Heni, hingga melahirkan benih angan dalam percintaan sewot oleh di luar kehendak.
Seandainya Sahidi bak titah air soma para dewa yang dititahkan sang raja Saryati, begitulah Sahidi memulas warna mukanya seolah elok sang maha rsi Chyawana.
Merasa jadi muda kembali disaat-saat tiba masa tuanya. Serta merta merasa tua bercinta dalam asmaranya yang kelam.
Namun selalu menginginkan keabadaian Chyawana mengeram air soma. Menginginkan hari nan elok rupawan.
Berpikir demikian karena Sahidi bak raja Saryati yang mampu membelai ke empat ribu orang istri-istrinya.

AIRMATA PURNAMA


Purnama tidak pernah singgah disini
ketika mendung tidak membawamu pulang
melewati jalan rumah yang selalu sama
purnama muncul saat airmatamu tumpah bersama hujan yang jatuh di pelataran hatimu
dimana akan singgah nanti
di rumahmu?
atau di rumahku

Purnama ini telah menandakan bahwa kita sama sama satu tujuan untuk berumah dalam cahaya
yang tak bakal meruntuhkan airmata, ketika mendung telah mencairkan kekecewaan

SINDUPUTRA SANG PETUALANG DONGENG ANJING API


DALAM PERJALANAN BATHINNYA DI BUMI GORA SERIBU MESJID yang juga sang pemenang penghargaan khatulistiwa Literay Award 2009, kali ini menembang lewat SEGARA ANAK yang diterbitkan Pustaka Ekspresi, salah satu penerbit yang ikut peduli terhadap perkembangan sastra Indonesia dan SASTRA BALI khususnya.
Para pecadu sastra diharapkan kehadirannya nanti dalam Bedah buku sang penyair Sanur bertempat di Toga Mas Tanjung Bungkak, sabtu 30 oktober 2010 jam 19.00 wita.

Minggu, 24 Oktober 2010

Paparikan : DG. Kumarsana NGANCAN PETENG


kengken kone carane nyujuh jebag nuju titi swargaloka
galang candra nyambang kenyem manis sig bucun lawat endih lampu margane
idupe tuah mula ja bek malawat baan sunaran galang peteng: maboros sunia
pabligbagan ane ngelekadang pianak lan mentik di masan ujan
sig masan rahayune nengel
ngancan landuh
nadiang baa tresnan idupe sig tengahan sunia gumine lawas
malawat alep
lakar nyancangin langit nyagra peteng : nylibsib
nganti keweh sukeh-sukeh baan ngusuin uli dija kaden tekan kiape
jag sing kodag-kodag
dermagane ane kentel ilang di pasimpangan dedet
ilang pasihe gede
ane seken-seken gelah ragane : buka pasih selem
lan tileh masamaya pabligbagan ane soleh
sibarengan ombake gede sekagenti teka mesahin
dedetne ngengkebang matanai
ane tusing taen neked
ngepungin

lamun dinane ene likad maekin
utawi kenehe ngalintang masiluman
maekang
boya nenung peteng ane onya ulian keneh boya-boya
sada pocol lonto tepukin

EKSPRESI MAGAZINE PEDULI

(Mengundang rekan-rekan penulis se-Indonesia)
Mengemban misi “pendidikan buat anak negeri”, majalah beroplag lokal untuk dibaca kalangan nasional: mengundang rekan-rekan pecinta sastra budaya untuk berpartisipasi dalam mengirimkan naskah-naskah anda berupa : Puisi, Cerpen, esai, catatan budaya, novelette, novel, ataupun artikel serba-serbi dunia pendidikan. Karya-karya yang anda kirim adalah wujud kepedulian pada kaum remaja Indonesia yang haus membaca;
Naskah dikirim ke:
Ekspresi Magazine: expresikansaja@yahoo.com
Made Sugianto : madesugianto@gmail.com
Gusti Putu Bawa Samar Gantang : samargantang@gmail.com
DG.Kumarsana : pade_dewo@yahoo.com
Alamat Redaksi : Jalan Raya Alas Kedaton, Br Lodalang No. 54 Kukuh Marga Tabanan Bali Indonesia. Telp (0361) 7849103. Sms: 081 338 722 483
Partisipasi anda adalah Guru teladan buat anak-anak didik kami; anak-anak kita SEMUA!!!

Sabtu, 23 Oktober 2010

TRIWIKRAMASENA

Pada saat prabu Triwikramasena mengakhiri masa kejahatan seorang samyasa
maka dia berubah menjadi hakim dalam tonggak kebenaran
maka dia berubah jadi angin menghembus sang bayu
maka dia berubah menjadi api yang membakar pundak brahma
maka dia berubah menjadi air bah yang membasahi kerling mata Wisnu
maka dia berubah jadi zat pralina yang melebur kantong pathogen Ciwa
yang menentukan segala-galanya
menjadi hakim, menjadi angin, menjadi api, menjadi air bah, menjadi zat pralina, menjadi
gumpalan cuaca bahkan menciptakan musim segala musim atas segala petir-petirnya yang
menggetarkan langit :
muara peristiwa dunia
dan hukum persoalan kejahatan di atas dunia hanyalah dagelan.
Apakah dia bangsawan kerajaan yang telah melakukan suatu tindakan melebihi kejahatan
raksasa?
Tidak!
Teka-teki tak terpecahkan. Atau fakta diputar-balikan
Ternyata suatu sikap terhadap reaksi individu manakala akan terampas hak-hak hidupnya, akan
diperlakukan tidak adil serta sangat semena-mena,
maka reaksi yang timbul adalah membunuh daripada dibunuh.
Tidak hanya dari kalangan petinggi, bahkan rakyat dapat lebih brutal akan kebiadaban permainan
keadilan yang dipolitisir, keadilan yang terlunta-lunta, keadilan yang dipelintir.
Ada satu penilaian terhadap diri sang samyasa.
Kebenaranlah yang dipegang untuk ukuran dirinya.
Baginya sisi buruk dalam kejahatan adalah yang kekal, ketika perilaku berbuat jahat itu muncul
sebagai sebuah definisi sebuah jiwa yang kekal.
Jiwa yang mengantarkan dirinya pada satu titik kekekalan yang abadi.
Jiwa yang tidak pernah mati. Jiwa yang terpecah-pecah
Tidak oleh sebilah belati ataupun pedang yang tajam.
Tidak juga oleh keris atau jenis senjata lain terlebih lagi senjata titisan dewa Wisnu dalam
gelegar awataranya.
Pedang Triwikramasena sebelum mengungkapkan kebenaran akan adanya teka-teki tak berjawab
nantinya adalah anugerah sang Siwa,
adalah Sanghyang Mahadewa yang selanjutnya mengubah pola pikir sang miskin berpikir :
sang miskin idealisme
yang ngeri memikirkan Pancasila tidak sakti-sakti
yang dianggap wibawanya bercahaya saat peringatan setahun sekali.
Sebuah anugerah tanpa kata sebagai sebuah penghargaan memberikan jawaban yang tidak sia-sia
untuk sebuah pilihan pertanyaan yang terlanjur keluar sebagai sebuah misi yang telah selesai
diemban.
Adakah suatu harapan yang tidak terpenuhi, kalau hatimu telah puas?
Triwikramasena tidak pernah tersenyum dalam pengembaraaan dharma untuk memerangi
kemunafikan sang samyasa.
Tidak juga mengartikan akan jawaban yang diberikan selepas Ciwa menyodorkan kemungkinan
baru dalam intruksi selanjutnya.
Karena bagaimanapun Triwikramasena tidak akan pernah mengungkit-ungkit kebenaran sebagai
sebuah dharma yang mutlak untuk dijalankan di hadapan sang penggugat kebenaran itu sendiri.
Dua sisi perlambang adanya sesuatu yang hidup dalam keseimbangan perputaran dunia.
Triwikramasena adalah produk sang Ciwa sebagai putranda raja Wikramasena yang selanjutnya
akan menyatu kembali dalam keabadian kebenaran.
Siapakah produk samyasa yang bernama Ksantisila itu?
Beberapa cerita telah tercecer mencari babaknya
Atau kurangnya waktu untuk merampungkan bagian dari cerita yang masih tercecer itu.
Atas apa yang menjadi saktinya Ciwa : Durgha kian merubah wajah dalam kecantikan angin
Tidak terlepas dari pikiran kotor dan rela berkorban bagi penyaluran hasrat seksual atas nama
kesetiaan.
Di negeri yang berazaskan hukum, ada yang menyatakan keterikatan hanya buat rakyat kecil.
Tidak boleh lepas dari rel. Tapi keretanya melintas di samping…ahaiii, ironis sekali!
Karena hukum itu sendiri coretan kertas buram dan kabur dalam penglihatan.
Dapat diajak untuk bernegosiasi. Bisa dihadiahkan uang.
Hukum yang bersaudara dengan nepotisme. Hukum yang dibentuk oleh mata uang.
Dan percayalah, hukum itu bisa dibeli, karena untuk menjadi ahli hukum butuh uang banyak.
Kalau tidak ada uang hukum tidak berjalan, kalaupun berjalan semata-mata hanyalah
menjalankan jadwal yang telah dibuat di balik kemegahan kewibawaan institusi.
Karena butuh uang banyak untuk jadi ahli hokum maka setelah toga bersandar harus ada
kompensasi prima mengganti biaya kuliah. Dan itu pasti mudah dilakukan di iklim Indonesia
yang rakyatnya manut-manut.
Karenanya Triwikramasena sang prabu tidak cocok bercokol di Indonesia, karena akan bernasib
sama dengan bang Munir yang nyawanya disiasati kaum pembeli hukum.
Keadilan hanyalah lagu usang yang asing untuk tidak didendangkan dalam preparat kebenaran.
Keadilan hanyalah sandiwara atas nama kebenaran.
Yang sesungguhnya impoten!

CERUKCUK KUNING (1)


Pajalane konden suud luh. Konden pragat
(sujatine apa ane madan pragat?)
begbeg iluh ngimbuhin baan munyi dahat aksara
nyen ngelangkarain ngelangkahin keneh dewek ane mara malajah ma-saa?
tuah ja munyin crukcuk makules buka lengis sanglir
ane ngaranayang luh jalir buka kene
nang inem isin gelase uli dija kone nyisir anginne ngetohang paundukan, paiketan buka luh jani ngedum bagia?
kalara-lara baan keneh bawak nanging ngancan tandruh nuruhin isin kenehe, mula ja sebet
ngancan peteng magpag pangipian, boya katandruh

Luh, tegarang kenehang abedik krana konyangan keciwa ngempelin tangkah
kadirasa maboros baan lilih
nyen kone ento,wih? di singsale ene lakar ngengkebang singid
nganti bintang bintang engsap ngalihin langitne
lan purnama ngancan dadi tuh nlektekin lawatan di duur enjekan tuara tatas
luh, dija sujatine tatujone ene, majalan mulih neked di pintu kaping kuda
lakar ngedil ngampakang buka ngarepin keneh?

Enu mase ia nyuguang zat ane ngaranayang enggal neked ka langit
Pengawakan berpacu baan rahina lan malajah makeber barengan jak kedise ane lenan
lumure ngancan puyung, luh
tusing ada ane pocol di mangantiang
tara masisa
di patuhang keneh
pidan ngawitin, ngentas matan luhe dini
di itungan bucun rahina ane gangsal pisan makiba
di itungan ane sasidan-sidan liwat

rikala nepukin wates di pungkur
raga masi pada kenjel
mulih, luh
enu ada ane ngantiang jumah
tumanang semarane angon mani-puan

Rabu, 06 Oktober 2010

PAKSI SEBET GALANG KALA

Sahananing dinane runtag ane ngukupang ujan kalawan api
bayune milu runtag
ngudiang kone kiape lantas ngelekas bega
nyujuh pangipian ane sukeh baan alihin
tresna, angene ene ngancan mucuang panganti nganti: tibanan
paksine ngancan joh makeber ngindang di bucun langite
mengkeb di bucun sayong ngenceabng wirama gela
tusing ulian med-wadih, uduh lawatan sane-sinah kalara-lara
rompod sesapine kenjel maangkihan ngepungin kampid abesikan tastas
kenjel ngantiang lan ngenceg di bucun kayune cerik ane kepeh
di selat sebete nu mase ngewarnain abet, mabelatan baan keciwa
malajah ngipi sambilang ngedum keneh di rong petenge ane lenan
: dija tongosne medem?
paksi buka nyancang keneh wiadin nyedsedin iwas
tiwas kenehe
lara ngalungin pengawak atine sane gulem, plaibin angin
aketelan wacana nyabran sangsara nyikutin keneh inguh paling
apan uyang paling ngepungin rasa maboros baan kendel
tusing nyangketang keneh nekedang ring awak adiri
tusing taen neked : nyen buin nampi?
kalaning kala lebuh

C E R M I N

Kalau bukan karena wajah jelek ini, Warni tak mau lama-lama menatap cermin yang tergantung di kamar. Sangat jelek. Coba bayangkan, mukanya lobang-lobang bekas jerawat. Bahkan ada yang membekas hingga membisul saking tangannya tidak bisa diam memencet-mencet. Hidungnya pesek, belum lagi mata yang tidak mau searah lirikannya. Pokoknya mata ini tidak pernah mau sinkron untuk dipakai melirik. Apalagi ketika mama pernah menyarankannya untuk ikut serta kursus menari bersama kakak-kakaknya yang perempuan, apakah tidak nanti orang akan menertawakannya? Belum lagi kesepuluh jari tangan Warni pendek-pendek dan bengkok jelek. Pokoknya jelek. Tidak panjang lentik seperti kebanyakan penari. Ah, tidak mungkin semua itu dilakukan. Dan coba lihat dengan postur tubuh yang pendek mana gemuk lagi. Bah! Bagaimana mungkin jadi seorang penari sementara melirik saja membutuhkan konsentrasi untuk dapat sinkron antara bola mata kanan dan kiri. ”jadi pemain sinetron aja War, lagi dibutuhkan pemeran dengan wajah kayak kamu,” temannya pernah mengolok. Warni hanya tersenyum pedih. Ingin dicolok mata temannya yang mengolok. Memangnya mau apa punya wajah jelek. Kalau di kamar akan dia tumpahkan semuanya lewat tangisan. Coba lihat kalau Warni tengah tersenyum, ih, sangat jelek sekali. Apa lagi sampai harus menangis dengan wajah sedih. Warni jadi risi dengan gerak-geriknya sendiri. Dia tercenung dan mulai mengumpat-umpat, jengkel dengan keadaan yang sebenarnya. Benar-benar memuakkan. Sangat menjengkelkan. Dan sebaiknya memang dia harus mengurangi tangisannya yang tidak perlu itu. Akan semakin jelek kelihatan.
Dia pikir dengan memiliki wajah yang sangat jelek ini, sekalipun berhias dengan bedak yang harganya sangat mahal dengan mempergunakan produk luar negeri sekalipun tidak akan membantu dan belum tentu dapat merubah dirinya seanggun dan secantik putri Cinderella. Itu hanya ada dalam komik. Ataupun dengan mandi air susu dan luluran dengan harum kembang cempaka tidak akan membuat dirinya secantik dewi Subadra dalam cerita pewayangan. Sesuatu hal yang sangat mustahil. Subadra terlalu sempurna digambarkan pengarangnya. Itu membuatnya jadi sangat membenci hasil karya-karyanya tersebut. Kenapa sih tidak diceritakan tentang gadis yang jelek rupa untuk dijadikan tokoh dalam cerita? Terkesan terlalu membeda-bedakan rupa obyek penciptaannya. Pasti kalau yang rupanya jelek akan digambarkan sebagai orang yang memiliki jiwa dan pikiran jelek. Sifatnyapun biasanya buruk. Jiwa yang timpang. Labil. Warni tidak setuju dengan cerita-cerita demikian. Ia jadi benci tentang kisah Subadra. Ingin hatinya mengorek habis wajahnya yang digambarkan pengarang sebagai seorang wanita yang memiliki kecantikan yang maha sempurna. Warni benci! Kalau bisa ia ingin membunuh Subadra. Akan dipotong-potong lehernya dan akan dicungkil matanya yang dikatakan sangat indah. Mata Subadra akan ditaruh di matanya biar indah. Tubuhnya yang sintal akan ditaruh di tubuhnya. Rambutnya yang hitam terurai akan ditaruh di kepalanya. Warni pasti cantik. Pasti akan berubah jadi bidadari. Warni pasti mirip dewi Subadra. Biar tidak hanya Subadra saja yang sendirian cantik di dunia ini. Warnipun ingin cantik. Dan dialah tokoh cantik dalam dunia pewayangan itu. Dan kalau sudah demikian Warni tak membutuhkan cermin lagi untuk mematut-matutkan wajahnya yang sudah memang benar-benar cantik. Karena pemuda-pemuda yang naksir padanya akan menjadi sebuah cermin dalam bentuk pujian-pujian yang melambungkan. Dan mereka akan terpikat padanya. Mereka akan terpukau dan akan terkena panah asmara.
”Di dunia ini tidak ada yang abadi, anakku. Ada baik ada buruk. Ada cantik rupa ada buruk rupa. Kamu tidak usah menyesali apa yang sudah kamu miliki. Itu hanya akan memperburuk keadaan,” ayahnya menasihati dengan memberikan dorongan. Kerongkongannya terasa tercekat dan manakala dia bertemu dengan Rani, teman sekelasnya yang cantik atau dengan Yuni yang manis, tiba-tiba dia menjadi merasa sangat rendah diri. Begitu saja air mata ini jatuh bercucuran. Ah, kecengengan orang bodoh! Kenapa sih dilahirkan dengan memiliki wajah yang sangat jelek? Dan kalaupun dia mengenakan gaun apapun akan selalu tidak pantas terlihat. Sekalipun gaun yang dikenakan itu terbuat dari bahan yang mahal.
Coba lihat mbak Yanti kalau mengenakan pakaian. Apapun yang dikenakan akan selalu sesuai dengan badannya. Dan itu akan lebih memperlihatkan penampilannya yang cantik. Apalagi mbak Yanti memang benar-benar cantik dan anggun.
”Apapun pakaian yang dikenakan Yanti selalu saja cocok dengan penampilannya dan malah terlihat semakin cantik,” pernah suatu ketika mama mengomentari pakaian yang dikenakan kakaknya.
Warni ngiris mendengar pernyataan ibunya itu. Pujian itu bukan untuk dirinya. Bukan ukuran baginya untuk berpenampilan sepadan dengan Yanti. Tak terasa perkataan yang keluar itu membuat perbandingan pada anak-anaknya. Warni sadar dirinya memang benar-benar jelek. Tapi ibu, tidak seharusnya mengeluarkan perkataan seperti itu. Ia jadi curiga, jangan-jangan Warni bukan anak kandungnya. Coba lihat mas maman wajahnya cakep. Hidungnya mancung. Tubuhnya tinggi tegap. Mirip ayah. Mbak neni memiliki hidung yang bangir dengan mata yang indah, walau tubuhnya tidak setinggi mas Maman. Sementara mbak Yanti sudah cantik bentuk badannya juga bagus. Kenapa diantara saudara-saudaranya hanya dia yang dilahirkan memiliki tubuh paling jelek? Mana tubuhnya pendek dan gemuk. Uh, muak dia di depan cermin kalau melihat wajah dan badannya sendiri yang maha jelek.
Praaaaaang.......!!!?
Seisi rumah kaget. Warni membanting cermin di kamar tersinggung ketika mama mengatakan : ” kamu itu sebenarnya cantik tapi...........”
Warni tahu mama hanya basa-basi dengan mengatakan dirinya cantik. Dia tahu mama sesungguhnya hanya ingin mengatakan kalau sebenarnya hidungnya pesek, wajahnya bolong-bolong penuh jerawat yang sangat menjijikan. Warni jengkel sekali mendengar perkataan mama seperti itu.
”Ada apa?”
Seperti biasa semua saudara-saudaranya melongok ke kamar kemudian berlalu seakan-akan sudah mendapat jawab dari semua peristiwa itu. Sudah terlalu sering terjadi. Ayah hanya batuk-batuk kecil, mungkin sekadar menghilangkan sesak di dada. Dan Warni tahu, esok mama pasti akan membelikan cermin yang sama. Dan cermin itu diterimanya dengan setengah hati, sedikit dongkol walau sesungguhnya sangat berharap. Berharap untuk kembali melihat wajahnya yang jelek. Mematut-matut serta untuk menilai pribadinya lewat bayangan cermin. Dan setelahnya dia tahu dengan perasaan jengkel cermin itu akan kembali mengalami nasib yang sama sebagaimana cermin-cermin sebelumnya. Pecah berantakan. Tidak! Kali ini tidak terjadi demikian. Ia melihat bayangan aneh menyelimuti wajahnya lewat pantulan cermin itu. Ia merasa dirinya bukan Warni yang ia kenal. Bukan Yanti kakaknya yang cantik atau Neni. Bukan mas Maman yang gagah. Ia adalah dirinya. Warni bingung. Ditatapnya cermin itu lekat-lekat. Kemudian ditatap satu demi satu fotonya yang jelek di atas meja belajar. Ditatapnya foto-foto dirinya yang tergantung di dinding kamar. Pandangannya seperti menerawang jauh. Bimbang. Ada sesuatu yang terjadi pada dirinya? Warni tak percaya. Dipandang lekat-lekat wajahnya lewat pantulan cermin. Tidak! Ini benar-benar aneh. Ini sebuah kenyataan. Sebagaimana kenyataan-kenyataan lain melihat wajah kakaknya Yanti atau mbak Neni. Sebagaimana melihat mas Maman yang gagah dalam pesona pantulan wajah ayahnya. Warni kian terlelap dalam ketakpercayaan penuh. Dalam lelapnya ketakpercayaan itu Warni kian bersemangat kembali untuk meyakinkan bahwa dirinya merupakan bagian dari kehidupan keluarga itu. Bahwa ia benar-benar anak kandung dari ibunya yang melahirkan. Anak kandung dari ayahnya. Saudara kandung dari Yanti, mbak Neni maupun mas Maman.
”Eh, War, kemana aja, kok ngilang?” Rani mencuwil pundaknya.
”Memangnya aku Putri Nirmala apa bisa menghilang?” Warni menyambut. Tumben temannya ramah tidak biasanya.
”Wah, bisa bercanda sekarang.” yang lain menimpali.
”Memang selama ini aku putri malu?” Warni kian membuat temannya pada cekikikan.
”Wah...wah... kian kenes aja.” Wiwin ikut-ikutan komentar.
”Memang ada apa nanya-nanya?” Sahut Warni dengan gerakan bibir terkesan ketus.
”Itu lho mas Pram nanya kamu terus. Memangnya ada janji apa?”
Bagai tersengat lebah Warni spontan diam seribu bahasa. Mulanya lincah akhirnya memang benar-benar jadi putri malu yang sebenarnya. Pram? Ada apa? Kenapa? Bukankah kehadirannya sering menjadi bahan olok-olok temannya? Tapi apakah secara diam-diam dia ada hasrat terhadap dirinya? Ah, Warni tidak percaya. Jangan-jangan ini hanya olok-olokannya Rani karena tidak ada sasaran lain untuk dijadikan bulan-bulannya selama ini. Dasar memang kalau masuk dalam kelompoknya Rani selalu sehati dengan kelompok mas Pram dalam menggoda orang.
”He...he, dikasi tahu malah ngelamun.?” Warni terkejut. Buyar lamunannya tentang pemuda itu. Warni hanya melengos lalu pergi menuju ruang kelas. Kelas di samping bersebelahan dengan Pram, kakak kelasnya. Di pojokan parkir kendaraan anak-anak nampak gulungan asap rokok mengepul. Beginilah kalau guru belum menentukan jadwal pelajaran. Barangkali juga gurunya lagi sibuk cari obyekan buat tambah-tambahan. Anak-anak lebih menentukan sikap dengan gaya dewasanya. Warni menyapu pandang diantaranya sambil berharap-harap cemas. ”Mudahan kamu tidak ikut-ikutan latah,” bisik hatinya. Dan ada rasa senang ketika seseorang yang dia bayangkan tidak ada diantara kepulan asap rokok itu. Itu memang tidak dia harapkan. Kalau dia akan menjadi kekasihku pasti aku tidak menyukai kebiasaannya yang buruk itu. Kebiasaan yang akan terbawa nanti ke anak-anak. Ih, kok sudah jauh sekali lamunannya tentang seorang anak? Warni jadi malu dan senyum-senyum sendiri.
”Nah....tuh udah mulai senyum-senyum sendiri. Pasti lagi jatuh cinta ya?” temannya menggoda.
Warni jadi tersipu-sipu. Lagi-lagi ketangkap basah kalau sedang melamun.
Sekarang sejak tahu ada sejumput harapan dalam hidupnya, Warni jadi suka tersenyum. Warni jadi suka melamun sendirian di kamar. Dan sejak itu pula hampir tak terdengar lagi suara barang yang di banting di rumah. Keluarganyalah sekarang yang jadi merasa aneh dengan keadaan itu. Diam-diam mereka semua mulai menyelidiki perubahan-perubahan yang terjadi pada diri Warni. Ada apakah gerangan? Apa yang terjadi pada Warni sehingga dia sering melamun sendirian di kamar. Senyum-senyum sendirian. Apakah Warni telah gila sehingga seisi keluarga dibuat was-was. Apakah yang menimpa salah satu keluarga mereka. Apakah Warni sedang jatuh hati? Jatuh hati pada siapa? Pangeran manakah yang mau menentukan pilihan dan jatuh hati pada Warni. Siapakah sang pangeran itu? Mereka bertanya-tanya.
Diliputi tanda tanya besar

Senin, 04 Oktober 2010

NEGERI SENGGEGER (3)

Siapa yang menangis dalam pelukan malam
menyadari putik tak jadi mengembang
terhisap kecial jalang
begitu teganya kau menjaring madu dalam kegelapan malam tanpa menyisakan sedikitpun dahaga masa depan
dan malam tetap menjadi gelap dalam cahaya jahanam yang kau hujamkan di kilaunya asmara yang melesak memaksa diam-diam dalam berbagai rongga kenikmatan
“Aku khilaf, dik……”
engkau hanya bengong menjalin kembali mahkota yang retak
dalam asmara terpaksa
begitu ajaibnya mantra ini
-dan engkau terpekik

Jumat, 01 Oktober 2010

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (11)

Dan seperti biasa di warung remaja ia berlaku. Warung lahan yang mudah buat merencakan niat busuknya. Dan rencana Sahidi mengalir lancer dalam kebusukan-kebusukan bak makanan yang masuk dalam liang lambungnya yang tak menyembunyikan kebusukan, namun mampu membius orang sekitarnya untuk lupa sesaat.
Tentu dia akan berlama-lama ke belakang sebelum menemani teman kencannya. Entah apa yang dilakukan di belakang. Sesaat lama keluar dengan binar yang tanpa sadar setelah sang wanita mencicipi hidangan itupun menjadi turut berbinar-binar melupakan latar belakang. Lalu tertawa bersama dan bersenda gurau dengan bahasa vokal mendekati vulgar. Lalu bercengkrama. Lalu saling cengkeram. Dan pada akhirnya sama-sama tidak menyandang status. Dan pada akhirnya membentuk garis lurus. Tidak membentuk norma lagi. Pada akhirnya sama-sama belajar mengigau. Tapi kalau seandainya dia tidak tunduk maka Sahidi menambah kegaiban spare-part lebih spesifik lagi, bila perlu dibuat hingga terlena lupa untuk membedakan mana daratan dan mana lautan. Mana hunian rumah serta lupa jalannya pulang. Inilah jurus kedua yang diterapkan pada setiap wanita yang tak mampu menolak asmara yang ditawarkan. Tak mampu ditawar tawar Tak mampu!!! Kembali pada masa-masa sebelum keemasan yang cerah.