Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Kamis, 03 November 2011

LELAKI DAN KUPU KUPU

Kupu kupu itu pergi
Meninggalkan malam tak berbalut purnama
Menanggalkan cahaya tak pernah buram
Tak pernah mengenal cinta yang sesungguhnya
Lelaki itu pergi meninggalkan hati yang tak pernah berlabuh
Pada setiap wanita yang pernah disapa sebagai kekasih
Malam bergeming
Lelaki dan kupu kupu berkehendak atas cahaya berbeda
Pada tubuh yang kian tumpul warna gelora rasa

Selasa, 01 November 2011

CUKUP SATU BUTIR, MAKA TERURAI ISI OTAKNYA

Wage menatap wajah dukun itu dengan sorot matanya yang menyimpan sejuta misteri. Ada suatu dorongan kuat yang mengharuskan dia berada di tempat ini. Sungguh dalam rutinitas hari-hari yang benar-benar tergilas dalam roda kesibukan yang sarat, tidak akan pernah terbayang untuk duduk dan berada di tempat ini, berhadap-hadapan langsung dengan orang yang berwajah aneh. Sebuah bayang-bayang keangkeran yang pernah dia dengar ceritanya dari seorang teman, barangkali akan dibuktikan saat ini. Entah dari sudut mana dia harus mempercayai semua cerita yang dianggap kosong melompong ini. Sangat tidak masuk akal dan diluar pikiran sehat. Seandainya bukan karena saran seorang teman, Wage tidak akan pernah mendatangi tempat ini, pun seandainya tidak ada suatu malapetaka yang menimpa hidupnya dengan kejadian-kejadiannya yang sangat aneh mengenai prilaku istrinya belakangan ini.
Mimik mukanya gelap dengan sorot mata yang sangat tajam menikam. Wage berharap segalanya akan menjadi lebih baik dan berubah sebagaimana dulu. Seperti saat awal mula istrinya pertama kali dia kenal. Bukan seperti sekarang penuh dengan kejanggalan-kejanggalan sikap yang sangat tidak masuk akal.
”Dia kena pelet.” katanya tandas. ”Ilmu ini sudah sangat parah memasuki badannya, hanya saja pikiran ibu ini masih kuat, kadang-kadang lupa terhadap keluarga, lupa terhadap suami, lupa terhadap anak-anak”
Bah, busyet, cerita apa lagi ini.
“Ah? Yang benar saja? Kenapa bisa begitu puq?” Wage terperangah kaget setengah percaya. Papuq panggilan untuk seorang kakek. Jujur saja dia kurang begitu percaya dengan namanya ilmu seorang dukun, Wage kurang percaya di alam modern yang sudah penuh dengan muatan tehnologi canggih masih ada yang namanya black magick. Masih saja ada yang suka bermain-main dengan ilmu hitam, ilmu untuk memelet seorang wanita Dan itu justru tengah menghantam rumah tangganya.
“Istri bapak kena pelet yang menyebabkan dia menjadi sangat begitu tertariknya dengan laki-laki itu. Dan bisa lupa sama sekali dengan keluarga, lupa suami bahkan kemungkinan besar tidak ingat pulang saking kuat rasa sukanya yang muncul dengan laki-laki itu.”
Wage tercenung. Wage merasakan perubahan yang terjadi pada sikap istrinya belakangan ini. Masak sampai separah itu? Dewi memang cantik. Wajahnya mirip penyanyi rock Agnes Monica kalau lagi manggung. Bentuk tubuhnya mirip Sophia Latjuba. Wajar saja kalau tersenyum pasti mengundang decak kagum setiap orang yang melihat.Teman-teman bergaulnya sangat banyak.
”Maksud papuq gimana? Tidak pulang-pulang? Tidak ada keinginan untuk ke rumah? Terus gimana dengan aku, puq? Gimana dengan anak-anak yang ditinggal? Apa dilupakan begitu saja? Wah kalau sampai benar-benar terjadi demikian bakalan gawat kehidupan rumah tanggaku. Dan anak-anak jelas akan mendapat pukulan bathin yang maha berat kalau mengetahui sesuatu yang menimpa ibunya. Puq, yang benar saja! Apa tidak ada jalan keluar sama sekali?” Bertubi-tubi pertanyaan lepas begitu saja dari mulutnya. Seakan-akan seperti beberapa anak panah yang lepas dari busurnya. Bahkan mungkin kalau bisa ada tambahan busur lagi untuk melengkapi pertanyaan itu. Karena dia tahu, jawaban yang diberikan kurang memuaskan. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan, Wage tidak mempercayai semua jawaban-jawaban yang diberikan itu. Atau baginya baru pertama kali ini dia mendengar ada namanya ilmu pelet.
”Sepertinya bapak ini tidak mempercayai kejadian ini ya? Istri bapak lagi kena ilmu pelet, sejenis ilmu pemikat untuk membuat lawan jenisnya jatuh hati kepada siapa saja ilmu itu dituju.”
Wage manggut-manggut. Benar-benar sebuah keanehan dan apa kata kakek dukun ini memang harus dibenarkan ucapannya. Kakek dukun yang biasa dipanggil dengan sebutan papuq.
”Terus terang puk, saya tidak percaya namanya ilmu pelet. Itu diluar logika saya puq.”
Papuq Belo tidak menanggapi komentar Wage. Balik bertanya dengan nada penuh selidik.
”Siapa nama istri bapak?”
”Dewi, puq..”
”Lengkapnya? Nama panjangnya siapa?”
”Dewi Sinta, puk. Bapaknya memberi nama demikian karena bapak mertua saya suka nonton wayang dan paling fanatik dengan kisah pewayangan Ramayana.” Wage menjelaskan dengan sangat lengkap.
”Kalau saya sih tidak terlalu menyukai cerita pewayangan, dari masa muda dulu puq. Hanya saja karena ada keinginan yang sangat kuat untuk mendapatkan anak gadisnya, terpaksa sekali saya mendekati dan belajar untuk tahu apa yang menjadi kesukaan bapaknya. Dan ternyata saya harus sering-sering menemani bapaknya nonton wayang di alun-alun desa untuk menarik simpati bisa mendekati anaknya yang manis sebagai kembangnya desa pada waktu itu. Dan ternyata sayalah pemenangnya hingga dapat mempersunting sang Dewi Sinta dalam pelukan saya,” Wage menambahkan dengan penjelasan sedikit panjang tanpa diminta. Sekadar ingin menunjukan kekaguman bahwa dialah sang prabu Watugunung yang ada dalam kisah-kisah pewayangan itu. Namun betapapun sesungguhnya dia tidak mau menjadi watugunung yang sebenarnya, sebuah kualat dan dosa maha besar dengan mengawini ibunya sendiri.
Sumpah. Demi Tuhan dan semua saksi-saksi para leluhur yang ada di atas jagat raya sana, Wage sangat tidak mempercayai adanya ilmu pelet. Kalau benar ilmu itu memang benar-benar ada sangat disayangkan sekali kalau digunakan untuk cara-cara yang salah dan tidak terpuji. Itu hanya dimanfaatkan buat orang-orang yang tidak punya kepercayaan diri, orang yang keberadaan dirinya punah agar dapat pengakuan di mata teman-teman, para relasi bisnis bahkan mungkin juga kalangan elite politik. Orang yang eksistensinya telah hilang di mata penggemarnya. Wage bukan orang seperti itu. Ternyata lalai juga dia, dalam kesibukan di dunia kerja dia telah alpa kalau sesungguhnya ilmu itu ternyata ada. Lupa dia pelajari ilmu yang satu ini padahal sebenarnya Wage sangat gemar memburu ilmu sejak dari usia muda dulu dan ketika dukun di hadapannya memberi penjelasan, dia hanya melongo dengan wajah heran setengah tidak percaya dan penuh tanda tanya besar. Kenapa masih ada ilmu begini di dunia, kenapa ada sebuah pemaksaan hak milik orang lain tak ubahnya seperti jaman pemaksaan kisah Mahabharata saja. Ya, inilah korawa yang berusaha mau memperkosa hak Pandawa. Dikeluarkan sebatang rokok. Bukan untuk para korawa, tapi buat sang dukun. Dinyalakan korek api dan asap rokok bertebaran melingkar-lingkar di udara. Di atas balai tempat mereka bercakap-cakap. Wage sengaja mengambil sebatang buat pengusir gundah. Dihisap pelan-pelan. Udara penuh asap nikotin berpolusi seakan bertebaran di udara membangkang oleh larangan-larangan: merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.
Di rumah papuq Belo, dikatakan demikian karena sebagaimana kata temannya yang mengantar kesana serta cerita dari teman-temannya yang juga bermukim di kampung itu, identitasnya menunjukkan bagaimana postur tubuh papuq yang sebenarnya. Balai-balai yang ditempati sebenarnya bukan merupakan ukuran standard hidup keluarga sehat sejahtera kalau boleh dikatakan sebagai sebuah perumahan. Balai yang dikelilingi gedek dengan atap ilalang campur baur jadi satu antara ruang makan, dipan tempat tidur tanpa kasur hanya beralaskan tikar sebagai ruang tidur yang tidak tersekat dengan ruang terima tamu. Beginilah keadaan yang sebenarnya. Hidup di bawah bentangan garis kemiskinan. Suami istri yang menempati balai sangat mungil ini ternyata pandai dalam memanggil jin-jin walau tidak memelihara. Namun jangan kaget kalau mendadak terdengar suara keras; ”gedubrak!!” menyerupai daun pintu dibanting keras, itu menandakan jin dari gunung Rinjani yang menjadi sahabatnya lagi datang berkunjung. Konon yang sering datang adalah Dewi Anjani, putri dari dewi gunung Rinjani.
Bungkus rokok terakhir yang lupa diangkat dari atas tikar itu ada jenis dji sam soe, bukan menandakan tata cara kehidupan papuk yang modern oleh peradaban-peradaban. Itu sebenarnya merupakan rokok yang dihisap dengan jenis merk yang berbeda-beda. Dapat pula menandakan tamu yang datang bukan hanya Wage dan temannya saja. Walau tidak terpampang papan pengunjung sebagaimana layaknya seperti seorang mantri suntik di kampung-kampung kebanyakan ataupun seperti ruang tunggu praktek dokter seperti di kota-kota besar. Hanya dengan melihat ada beberapa bungkusan dalam tas plastik yang masih terkesan baru diletakan secara berjejer terhitung sekitar lima hingga enam bungkus menandakan jumlah clientnya yang datang. Artinya kalau Wage menyertakan bungkusan berisi setengah kilogram gula, setengah kilogram kopi dan sebungkus rokok sampoerna akan menunjukan deretan ke tujuh sebagai pengunjung. Tidak tertutup kemungkinan sampai puluhan orang yang akan datang lagi menyusul. Ini dikatakan istrinya papuq. Wage mulai sedikit percaya, sebuah takhyul yang membeberkan kenyataan-kenyataan yang tidak bisa dipungkiri kebenarannya sehingga dia menanamkan kepercayaan itu manakala papuk mengambil gelas berisi air putih dengan mulut komat kamit membaca mantra-mantra yang tidak dia ketahui dan sangat asing di pendengaran sekilas menyebut nama Dewi istrinya di atas gelas tersebut. Dan astaga! Wajah istrinya muncul di atas air gelas. Mengambang.
”Dia sedang makan,” katanya serius dengan titik mata menyudut setengah dipicingkan. Seperti sudah menjawab apa yang akan dia tanyakan berikutnya. Bola matanya bersinar dalam kepekatan magis yang tidak dibuat-buat. Sebuah kepekatan yang aneh. Wage tidak tahu jelas, dimana letak keanehannya. Hanya seperti ada satu kekuatan yang tersembunyi pada kedua bola matanya.
“Siapa?” Wage mengejar dengan pertanyaan.
”Istri bapak!” dia menandaskan tegas.
”Istri saya? Lagi makan? Dimana? Lagi makan dimana?”
Papuq Belo menggeleng, menatap sebentar.
“Dimana puq? Dengan siapa?”
Dilihat wajah papuq setengah mengeras lalu mendehem sejenak dan menatap Wage dengan tajam. Sangat tajam. Setajam belati. Wage balas menatap. Ada cahaya api muntah dari mata itu. Bola mata yang terlihat sangat bercahaya dikelilingi keriput di sekujur wajahnya yang tua. Terkadang bergidik ngeri kalau terlalu lama menatap matanya. Membayangkan menatap sepasang mata di kegelapan malam dalam kilatan petir. Mengerikan!
“Papuq hanya melihat meja makan, seorang wanita cantik sepertinya istri bapak dan ada seorang laki-laki lagi sedang mengunyah makanan sambil bicara. Bicaranya banyak. Entah apa. Papuq tidak bisa memastikan.”
”Papuq yakin yang papuq lihat itu istri saya? Apa tidak salah lihat puq? Hmm, maksudknya papuq tidak keliru baca mantra?” Wage menyangsikan.
Papuq Belo melotot. Wage mengkeret melihat tatapannya. Terkesan bengis. Jangan-jangan kalau dari melihat caranya menatap, papuq ini seorang dukun pembunuh berdarah dingin.
”Saya sudah bertahun-tahun melakukan pekerjaan ini. Saya hanya membantu saja. Kalau bapak tidak percaya silahkan pergi.” suaranya terdengar marah, setengah dongkol.
Tangan Wage ada yang menyenggol. Dia menoleh menatap wajah temannya penuh dengan pandangan geram. Barangkali kalau tidak berada di rumah dukun ini dia akan mengumpat habis-habisan.Bahkan bisa menggampar.
Wage manggut-manggut. Tidak menanggapi sebuah kemarahan yang dipendam. Namun Wage pikir-pikir sang dukun ini cepat dan mudah juga dipancing emosinya, yah, dukun juga manusia biasa yang dalam hal-hal tertentu memang memiliki kelebihan, dia pikir wajar saja beliau ini marah. Jengkel karena merasa kepiawaiannya disangsikan atau dilecehkan. Dipandangnya kegeraman yang diam-diam pula muncul dari wajah temannya dengan meringis. Kembali manggut-manggut dan ambil sikap.
”Bukan begitu maksud saya puq. Saya percaya apa yang papuk katakan cuman belum begitu percaya eh, maksud saya hampir mempercayai walau ragu-ragu. Tapi ya saya memang datang kesini untuk minta bantuan papuq, ya jadinya saya sekarang percaya puq. Lha terus di daerah mana dia saat ini makan puq?” Wage sedikit menggeser cara duduknya dan memegang tangan keriput itu dengan sentuhan lembut untuk menunjukkan kalau aku sangat percaya dan melimpahkan semua permasalahan ini untuk dicarikan jalan keluarnya.
Laki-laki tua yang disebut papuq itu mengerutkan dahi sejenak, lalu menatap Wage kemudian mengalihkan pandangan seolah tidak peduli. Dilihat temannya yang mengajak ke rumah papuq ini mengernyitkan dahi dengan tatapan mata melotot tajam ke arah Wage.
Wage meringis garuk-garuk kepala. Konyol memang.
“Puq, tolong bantu teman saya ini. Dia benar-benar lagi kesulitan,” akhirnya temannya merendahkan diri untuk dapat mengesampingkan rasa tersinggung papuq Belo. Wage tahu, dia telah membuat satu kesalahan dengan kata-kata yang menyinggung perasaannya sehingga terkesan seperti sangat meremehkan kemampuannya tersebut.
“Iya, puq. Bantulah saya,” Wage mencoba memohon sambil memegang tangannya yang keriput. Karena permohonan temannya dan mungkin juga Wage berjodoh dengannya, ada sedikit harapan manakala ia memberikan beberapa butir ramu-ramuan terdiri dari pil tiga warna dan Wage dijelaskan cara pemakaiannya dari masing-masing. Tuhan memang selalu memberi jalan untuk sebuah kebenaran, apalagi yang dilakukan ini memang benar-benar demi suatu perbuatan atas nama kebenaran. Wage kan mencarikan obat buat istri, demi kedamaian keluarga terutama anak-anaknya sebagai generasi penerus. Wage tidak mau gara-gara kejadian ini, anak-anak sampai depresi dan berprilaku yang aneh-aneh. Dia hindarkan mereka dari semua keburukan yang tidak semestinya menimpa mereka. Kasihan anak-anaknya.
“Ingat yang warna kuning untuk diminumkan buat istrimu. Tapi diam-diam caranya memberikan jangan sampai ketahuan,” temannya mengingatkan saat perjalanan pulang. Jarak rumah dengan kampung papuq Belo menempuh waktu 2 jam perjalanan.
”Gimana ya caranya?” selama dalam perjalanan Wage berpikir keras mencari akal, bagaimana caranya memberikan ”obat” ini pada istrinya, sebab dia tahu Dewi itu orangnya sangat hati-hati dan terlalu peka. Kalau dia berikan secara langsung jelas akan menarik perhatiannya dan muncul rasa curiga. Dia paham betul akan kecurigaan seorang istri. Istrinya memang memiliki instink yang cukup tajam dalam hal begini. Kok tumben suamiku baik sampai menyiapkan air segala atau kok tumben suamiku menyarankan aku minum teh buatannya sendiri, ada apa gerangan? ” wah sepertinya sulit juga, pasti dia tidak akan mau meminumnya,” Wage mengerutkan kening. Dia sudah mulai merasa buntu. Tidak ingin terjadi sesuatu yang diluar perkiraan. Diluar rencana yang semula yang sudah disiapkan kakek dukun yang masih memiliki rasa humor diselingi emosi meledak-ledak itu.
”Ah, begitu saja kok susah. Taruhkan saja butir-butir itu di dalam teko minuman yang biasa diminum,” temannya memberi saran.
”Wah, kelihatannya sulit, ntar kalau ketahuan gimana dong? Lagipula jarang aku tahu kapan saat-saatnya dia mau minum. Terkadang bisa seharian tidak minum-minum di rumah, makan saja seringkali di luar rumah dengan teman-temannya.”
”Yaaaa...... suami apa sih kamu ini Ge? Ya kalau tidak di teko taruh dimana kek cari akal gitu! ” Teman Wage mengumpat kebodohannya. Memang Wage akui dirinya merasa sangat bodoh akhir-akhir ini. Wage seperti orang pilon. Apa yang dilakukan istrinya seperti Wage dibuat diam dan tidak pernah bisa marah, justru sangat bertentangan dengan sifatnya yang dikenal kawan-kawan di kantor memiliki temperamen tinggi yang sewaktu-waktu penuh dengan emosi meledak-ledak. Uff...! Wage tak habis pikir karenanya.
Wage pikir cara yang tidak terlalu menjolok adalah dengan menumpahkan butiran yang dicampur air itu ke dalam galon minum di rumah. Untuk selanjutnya tinggal mengamati perkembangan, apa akan terjadi perubahan atau tidak.
Setelah diam-diam menumpahkan butiran itu ke dalam galon minuman, Wage sedikit bernapas lega. Setiap sore pulang kantor dia diam-diam sambil lalu menatap batas air galon. Hmm, ada berkurang. Berarti sebagian sudah ada terminum, pikirnya senang. Dilihat belakangan ini Dewi sesekali waktu memegang dan memijit-mijit kepalanya sambil mengeluhkan pening. Wage menganggap butir penolak pelet itu sudah mulai bekerja. Hari demi hari selalu dia mengawasi dengan diam-diam. Seminggu dua minggu dia sudah berharap istrinya akan sembuh total seperti sediakala. Pada minggu ke tiga dia melihat batas air galon minuman tersebut tersisa seperempat. Wage berusaha mencari tahu keadaan dan keberadaan istrinya, karena dilihatnyanya kamar tidur demikian rapi seperti tidak terjamah sama sekali. Hingga sore itu bayangan istrinya tidak terlihat sama sekali. Wage berpikir mungkin lagi sibuk dengan kegiatan bersama teman-teman organisasinya, demikian ia berpikir.
Wage berusaha menghubungi ponselnya. Tidak ada jawaban. Ponselnya aktif namun tidak diangkat. Seperti biasa. Seperti sebuah kecurigaan sudah menghalangi kecemburuannya akan sesuatu. Curiga dan cemburu selalu saja bersamaan datangnya. Wage selalu mengalami hal-hal seperti itu belakangan ini. Namun hari hampir mendekat malam istrinya belum juga pulang. Ada sedikit rasa was-was menghantui perasaannya. Dilihat dua orang anaknya di ruang belakang demikian suntuk memperhatikan layar TV. Tidak terusik oleh ketidakhadiran seorang ibu, atau itu sudah menjadi hal yang biasa bahwa, kesibukan orangtuanya adalah mutlak dan bukan merupakan suatu kebutuhan lagi untuk berbaur dalam ruangan itu.
”Ibumu kemana?” Wage akhirnya memecah kesuntukan mereka. Kedua anak-anaknya hanya menoleh sekilas lalu menggeleng. Seperti tidak ada yang merasa hilang dalam kesuntukan mereka.
”Ibumu kemana Anggi?” Wage sedikit tandas sambil memegang bahu si bungsu. Mengharapkan ada ungkapan keluar dari bibir kecil itu.
”Ndak tahu!”
Dengan penasaran Wage memasuki kamar tidur. Matanya tertuju ke arah almari pakaian. Almari yang sedari pulang kantor belum tersentuh. Pintu almari pakaian terkuak tangannya yang gemetar. Matanya terbelalak. Semua pakaian dan perhiasan yang tersimpan di dalamnya tidak ada tersisa. Wage menelan ludah. Dilihat ada sepucuk surat tergeletak di atasnya. Wage tak mampu menjamah. Tidak berniat membuka. Enggan untuk membaca. Badannya lunglai. Wage menjadi ingat akan kata-kata istrinya beberapa bulan sebelum ia pergi ke rumah papuq Belo. Istrinya pernah mengatakan ingin memulai hidup baru dengan seseorang yang belakangan ini sering menghubunginya. Istrinya pernah mengatakan akan diajak pergi umroh ke tanah suci. Belakangan baru tahu kalau lelaki itu adalah seorang guru di wilayah jembatan kembar. Kurang lebih 20 km jaraknya dari rumahnya. Belakangan baru tahu kalau lelaki itu sering mengencani istrinya dan selalu mengajak makan siang sama-sama hingga melupakan dirinya. Belakangan baru dia tahu kalau lelaki itu sudah beristri dan istrinya yang bernama Atun itu sering mendatanginya, menceritakan tabiat jelek suaminya. Dan Atun mengatakan suaminya telah menceraikan dirinya. Wage tidak mampu berkata-kata. Tatapannya bengong tertuju ke arah sudut kamar.
Dan malam itu juga, sebuah senapan api sudah berada dalam genggaman tangannya yang kaku dan kasar. Rahangnya mengeras. Matanya mulai menyala. Jidatnya mengkilat tersapu cahaya neon yang menerpa kegairahan mudanya yang mulai bangkit menyala-nyala. Keningnya tidak lagi mengeluarkan kerut yang dalam, sebagaimana kerut merut kulit yang menapak usia matang puluhan tahun, ya puluhan tahun saat usianya yang belia penuh kegatalan jiwa yang selalu kasar dalam memutuskan sesuatu.
”Cukup sebutir peluru panas ini akan mencairkan masalah. Tidak ada Tuhan yang perlu diperhitungkan. Tidak perlu ada logika. Cukup satu butir, maka terurai isi otaknya yang sudah tidak bisa diajak untuk berdamai selama ini..................”

Jakem, oktober 2011

IPIAN LUH JEGĔG

Luh jegēg pastika lakar lek lamun tawang tiang
nengil nengil
ngintip ipian tiangē lan ngerayangin sabilang ceruk peteng
luh jegēg pastika ngelkel kedēk rikala nawang
tiang masē
nengil nengil
ngerayangin ipian luhē

ASLIABAN MAMUNG

Asliaban mamung
nlektekang muan luhē
maganti ganti sekancan keneh luhē nyibak keneh bli, mirib bulan
mirib bintang
nanging lamun nyapatin luh
demenan bli ngaukin luh : I bulan
mamung bli buka anak paling
rikala luh kēto aluhnē ngembakin keneh bli
dijanan bli mirib cocok ngoyong
di tongosē anē encēn?
harus ngusuin keneh luhē
nanging tuah muan luhē dogēn anē bakat tingalin :
mamung!