Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Minggu, 28 Februari 2010

CATATAN MASA SILAM


Saat saat barangkali yang membentengi pikiran dengan akal budi berlebih, manakala tahu betapa pedih menabur-nabur kehilangan, sosok yang menenggelamkan bentuk-bentuk keluguan yang pernah engkau miliki. Hari-hari beranjak atau tak tergelak canda bergeming balutan luka hati. Pada siapa kau teriakan?
Luka!
Lukaku!!

Adanya cengkerama sementara memilah persamaan arti : bagi masing-masing pikiran berbagi dan hatimu dalam cerminku bak berbelah dua. Engkau milik yang mana?
Jalanan tetap bersepuh debu dalam lintasan gilasan ban-ban mobil yang lalu-lalang menutup arah pikiranmu menutup-nutupi keburukan, kecongkakan, pribadi terpilah antara saling-silang menghalau arah yang salah. Kau katakan pendar matahari itu telah lumer mengancam hati yang perih, menjaga rasa, ktidak mengertian dan segala lingkaran-lingkaran tak bertepi?

Saat yang ada buat memenuhi hasrat dari pikiran-pikiran kuyu, engkau berhenti pada hati yang mana? Pada siapa hasrat itu kau miliki untuk mengartikan airmata pada airmukamu yang tak mampu kutebak? Hanya air mata. Hanyalah airmata tempat airmu mengalir menyatkan duka. Hanyalah armata yang tumpah bahasa kesedihan yang menikam hati. Hanyalah airmata-airmata yang menyimpan sorot bahwa duka ini untuk selalu diberi penghargaan.

Airmata kental tak berwujud diri
Manusia bagi semua manusia
Meratapi semua dengan sedikit demi sedikit, semakin berkembang, mengaduk,berbaur
Menetas,menuai dalam satu ikatan kesepian dan berkata: tolong beri aku satu ruang yang dapat menentukan kebebasan untuk berduka, menghafal airmata tak lebih penghargaan yang diberikan hak untuk menentukan kebebasan, menentukan hati ini sesungguhnya hanya sepotong kue yang lezat untuk dijejalkan pada setiap ruang yang hampa.

Apa arti kesepian?
Kesepian suatu saat atau tengah singgah menjadi lingkaran bagi ruh ruh
Memabokan
Menenggelamkan
Menghantam, berteriak-teriak
Mengumpat : serta Gong…!!!
Kendali berdengung mengulang sayup sayup
Hitungan bagi jari-jari masa silam

Dari Jendela Peracikan: TRAFFIC LIGHT, KAEF SELONG DAN NEGOSIASI


Sesungguhnya arus lalu lintas di jalan raya tidak ada hubungan sama sekali dengan arus lalu lintas peredaran obat di sebuah apotek. Dengan kata lain traffic light tugasnya untuk mengatur para pengendara dan semua sopir dengan nyala saktinya. Kalau lampu merah menyala itu mampu membuat semua pengendara berhenti, sekalipun bupati apalgi gubernur melewati ruas jalan itu. Itulah yang disebut kewibawaan lampu merah pada traffic light simpang jalan.. Hanya satu hal yang tidak bisa diatur oleh keblat-keblit lampu traffic light, yakni cidomo. Tahu, kenapa? Cidomo itu kalau di Lombok singkatan dari cikar, dokar plus mobil kalau sudah di simpang jalan ndak kenal bahasa isyarat lampu, entah merah, kuning,hijau. Kadang nyala merah diterobos saja langsung, maklum yang namanya kuda memang tidak diajarkan untuk mengetahui nyala lampu. Tidak tahu juga sesungguhnya yang kurang ngerti kudanya ataukah saisnya. Kalaupun terpaksa harus nabrak, biasanya sang kusir dengan enak sekali bicara: “ eh, salahkan saja kuda saya pak. Dia kan binatang. Kagak ngerti. Bapak sih yang bukan binatang lebih ngerti, kalau sudah namanya kuda lewat ya, minggirlah! ” Nah, kalau sudah ngomong begitu mau bilang apa? Lawan tuh kuda berantem.
Tapi yang perlu dicatat disini adalah Kimia Farma yang memiliki ketrampilan rutinitas mengatur lalu lintasnya obat antar jaringannya sesama outlet, saat itu justru pernah menjadi pemikir dimana harus membangun sebuah traffic light yang mengatur para pengendara di simpang jalan agar tidak simpang siur serta lebih dapat diatur untuk mengurangi terjadi bahaya kecelakaan. Atas dasar itu partisipasi Kimia Farma memang sangat diharapkan karenanya terwujud sudah keinginan kota itu dengan telah berdiri gagah sebuah traffic light di perempatan kota selong menuju arah kota Pancor yang konon katanya jalur itu bakal dilewati bapak wapres, bapak gubernur, bapak bupati, bapak-bapak pengendara yang lain, bahkan juga bapak kusir cidomo yang perlu diperhitungkan aktifitasnya memanfaatkan sarana tersebut, kendati kadang-kadang ada juga yang nakal sering melanggar.
Ketika perwakilan dari Kimia Farma diantaranya : Drs. Yosef Sumarsono dan Drs. Made Pasek Narendra mengunjungi Lombok timur dalam rangka pendirian apotek Kimia Farma di kota Selong, bupati Lombok Timur segera menyambut upaya kerjasama yang baik itu. Maka ada tempat berteduh buat kimia Farma yang saat itu dipergunakan ruangan depan bangunan perumahan dokter RSU Selong. Artinya Kimia Farma bisa beroperasi di lingkungan rumah sakit itu dalam memepermudah pelayanan kefarmasian di bidang obat-obatan atas restu negosiasi bisnis berupa sumbangan traffic light dari pihak Kimia Farma yang juga dirasakan manfaatnya oleh masyarakat lombok timur.
Traffic light ini juga dapat dianggap sebagai penghubung mulusnya serta terbuka peluang untuk kerjasama lebih lanjut, walau tidak semulus jalur tol jagorawi. Paling tidak disatu sisi traffic light mampu menciptakan dukungan moral untuk beroperasinya sebuah apotek baru di kota itu dan juga dapat dianggap sebagai barometer untuk harga obat yang beredar di wilayah Lombok timur yang dirasakan masih mahal, serta melengkapi apotek swasta lainnya yang sudah beroperasi lebih dahulu. Ini juga sifatnya kerjasama pada sebuah apotek. Makin banyak apotek di Lombok Timur akan lebih memudahkan pelayanan terhadap masyarakat serta lebih kecil kemungkinan harus nebus obat jauh-jauh ke mataram (40 km dari kota Selong), seandainya terjadi kekurangan/kesulitan memperoleh obat. Jadi betapa indahnya sebuah persaingan bisnis kalau sudah saling mengisi dengan di latar belakangi pemikiran yang sehat, bukan?
Kini semua berjalan mulus. Apotek telah beroperasi beberapa minggu sebelum pimpinan dan sarana ,prasarana alakadarnya dilengkapi sebagai persyaratan kelengkapan pendirian sebuah apotek baru oleh pihak dinas kesehatan beserta rekan-rekan di Balai POM. Akhirnya semua berjalan mulus dan lancar.
Traffic light ‘made in’ Kimia Farma pun nampak kokoh berdiri gagah di lintasan perempatan kota Selong menuju Pancor bertuliskan motto : “TUMBUH DAN BERKEMBANG BERSAMA KESEJAHTERAAN MASYARAKAT” mulai menunaikan tugasnya mendisiplinkan semua pengendara motor tanpa kecuali yang dampaknya kian menambah keindahan kota ibadah serta mendorong tumbuhnya kesadaran berlalu lintas yang santun di kota ini.
Seorang pengendara sepeda motor membaca motto itu bak sebuah iklan, barangkali. Sopir angkot oleh nyala ‘merah’ dibuat berhenti sejenak dan para polisi tidak perlu teriak-teriak mengatur lalu lintas yang amburadul. Ketika lampu hijau traffic light menyala: “janganlah…..jangan injak pedal gas kuat-kuat, ingat anak istri menunggu di rumah seraya terdengar bisikan halus bupati Lombok Timur: “ jalanlah di daerah ini Kimia Farma, lakukan pelayanan yang terbaik buat masyarakat…….”
Lampu hijau yang pernah dinyalakan bupati, tak ubahnya lampu hijau sebuah traffic light yang disulut pertama kali oleh pihak Kimia Farma. Tinggal kita yang berkewajiban di depan apotek Pelengkap RSU Selong : “ apa yang anda butuhkan, kami siap melayani 24 jam. Kamilah yang terlengkap dengan harga terjangkau.”
Sekarang kita tidak bertanya pada polantas setempat, apa sih hubungannya traffic light itu dengan apotek. Cukup kita dilihat sisi manfaatnya yang berguna bagi orang banyak tanpa membanding-bandingkan serta mendefinisikan kaitannya; antara jalur lalu lintas kendaraan serta lalu lintas perdagangan obat. Yang penting dari sumber resmi dan tidak palsu. Iya nggak? Anggap saja ini sebagai sebuah babak baru di suatu kota kecil bernama Selong ( 40 km dari pusat kota niaga Mataram), jauh dari keramaian kota dengan penduduknya yang demikian taat terhadap agamanya. Kota yang kehidupannya sudah terbenam pada pukul 19.00 wita, di saat hiruk pikuknya kota-kota besar lainnya. Dan perlu dicatat bahwa apotek Kimia Farma Pelengkap RSU Selong memiliki nilai histories dengan keberadaan traffic light disana. Ketika traffic light hadir, apotek pelengkap RSU Selong pun turut hadir beroperasi dengan sukses. Peristiwa ini sudah lama terjadi, sekitar bulan mei 1995.
Lima belas tahun kemudian, barangkali sebagaimana yang penulis ungkapkan disini, kalau kita mengalunkan sebuah lagu memori, setiap mengingat atau sekarang kita sebut ‘mengenang’ apotek Pelengkap RSU Selong, akan terkesan dengan melihat traffic light di perempatan jalan sepanjang lintasan Pancor menuju Selong. Kendati Outlet kita ini sudah hanya tinggal sebuah cerita saja, namun kelanjutannya masih kita lihat di luar lingkungan Rumah sakit Selong. Semangat terus dan jangan putus asa.

Sabtu, 27 Februari 2010

CELANA DALAM PACARKU

Celana dalam pacarku tergantung di sudut kamar
Diam tak membakar urat
Tak membakar sahwat
Tak mengisyaratkan nyala
Padam diam diam

Istriku kaget dan teriak:
“Ini punya siapa????”
Aku tersentak
Bengong
Kuyu
Dan loyo
Dalam persengkokolan diam
Tak pernah sembunyi
Dalam rahasia

AWATARA


Entah berapa banyak kerakusan menjadi darah
begitu banyak kesunyian tersingkir
lindap segala kubur tanpa kotbah

entah berapa kali Ciwa menjagat
pralina dan mahluk-mahluk

begitulah hasrat memanah,
membawakan kerawanan kata hitam dan dipentang
lepas-lepaslah akal budi menghidupi masa lalu

entah berapa banyak kegaduhan
menjadi sarang peleburan jagat
menuju rumah Puraku

entah berapa kali Wisnu teriakkan amanat
bertapa jadi diri kedua melahirkan anak-anak

entah berapa gendewa mengangkang
busurnya diam memanah Dewa yang diam-diam
entah berapa kali tembang lahirkan moksaku
entah berapa kali Wisnu lahir tanpa bara

CeRpEn : K I T A

Masih sangat begitu keras angin menerpa wajahku. Terasa dinginnya begitu masuk menyelusup hingga ke tulang sumsum, sudut bagi zat perasa yang paling peka untuk merasakan dalamnya sang rasa. Entah sampai dimana aku telah berjalan menyusuri kedalamannya. Tidak pernah aku tahu, bahkan tidak sampai menengok seberapa besar tenaga yang telah kuhabiskan hanya untuk lepas melampiaskan segala keinginan-keinginan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dia hanya suntuk dengan kediamannya, sekali-sekali aku perhatikan tangannya yang masih menyimpan goresan, kenakalan masa muda yang pernah dialami sewaktu melakukan perjalanan yang sama, bergetar oleh daya tarik matanya yang sewaktu-waktu demikian ganas menginginkan suguhan menarik.
“Dimana kau habiskan waktumu?”
Ia hanya menatap dalam diam.
Aku tahu apa yang tengah bersembunyi dalam mata yang senantiasa suatu saat akan melibas segala keinginan-keinginan yang pernah ia simpan sebelumnya sebagai sebuah sejarah dalam hidupnya.
“Apakah aku selalu memberikan waktu buatmu untuk sekadar bertanya?”
Dia menggeleng. Tak pernah memberikan senyum yang berarti.
“Itu milikku. Milik satu-satunya dari semua yang pernah aku miliki!” Ia seolah menegaskan dalam tatap matanya yang dalam.Setegas daya tarik yang tengah ia suguhkan. Tertarik oleh mata bathin yang senantiasa pula demikian kenyal memperebutkan napsu tak sampai.
“Sudah sampai dimana?” Aku enggan menjawab, karena mungkin aku terlalu berani untuk mengetahui jawabnya. Matanya mengisyaratkan untuk diam, itu terlalu mudah untuk dimengerti oleh bahasaku. Namun masih saja angina itu menerpa keinginan-keinginan tak wajar, tanpa harus menyebutkan salah satu keinginan untuk bersetubuh dengan alam, menyetubuhi apa yang pernah aku jalani sebelumnya, menyetubuhi apa keinginan-keinginanku kemudian, sampai lupa untuk berencana.
Atau tepatnya, aku sudah mulai lupa dengan rencana-rencana semula. Sudah terlalu jauh aku berjalan, sedemikian panjang jarak yang nampak untuk ditempuh, entah sampai dimana dan dengan cara apa harus menghitung, karena aku tak mampu untuk menghitungnya lagi, tak mampu memperhitungkan kejadian di balik semua itu terhadap gelagat-gelagat yang akan terjadi dengan beranggapan itu sesuatu yang tidak perlu untuk dirisaukan serta tidak perlu untuk dipikirkan resiko-resikonya. Apa itu resiko? Bagaimana untuk mempertanggung jawabkannya.
“Sudah sampai dimana?” masih juga dia bertanya dalam kebekuan yang tolol. Aku masih merasakan kebodohan itu dan tidak untuk bersuara. Tidak tahu entah sudah sampai di mana melangkahkan kaki.
“Entahlah, aku sering lupa. Yang jelas aku sering melakukan perjalanan. Terlalu sering melakukan perjalanan yang sama. Diantara kesamaan-kesamaan tersebut ada hal-hal yang aku lupakan. Namun aku tak pernah sampai. Sejauh-jauhnya aku tempuh. Sejauh-jauhnya. Rasanya aku sering melamunkan apa yang menjadi hasil dari perjalanan itu, namun tak pernah diberikan ikut menjadi bagiannya sampai lupa diri dan sering putus asa. Apakah aku harus melakukan perjalanan dengan memaki? Namun aku sadari begitu banyak kegagalan dalam perjalanan itu.. Sampai aku tak sempat untuk menghitung. Sampai aku letih sendiri.
Barangkali dengan cara begini ada sedikit beban buatnya, karena kalau ini merupakan anggapan yang mendekati cara-cara tingkah laku untuk melakukan sekadar akhlak yang tidak ditutup-tutupi, matanya akan memberi binary dan mulutnya akan senantiasa mengumandangkan dengungan kesenangan bahwa ada yang menyempatkan diri untuk mengemukakan masalah-masalah yang sedang aku alami, yang paling pribadi sekali sifatnya. Dan dia akan menjadi lumer dengan bentuk-bentuk tak jelas dengan kemampuan melewati peradaban yang dibentuk keadaan-keadaan. Dan aku menjadi bagian terkecil dari persyaratan yang disuguhkan, menjadi molekul, menjadi atom, menjadi dahan terkecil dari batas-batas ranting paling ujung melewati ruas rasa urat syaraf, menjadi debu, menjadi batu serta menjadi kedahsyatan yang hampir tidak terlihat oleh mata kasar, mata nan telanjang tanpa dibekali sesuatu yang bernama kekuatan bathin.
“Sudah sampai dimana?”
Aku menggeleng. Napasku mengeras.
“Kamu menyukai perjalanan ini?”
Lagi-lagi aku hanya diam. Napasku masih mengeras.
Masih sangat begitu keras angin menerpa wajahmu, engkau rasakan dinginnya, begitu masuk menyelusup dari pori-pori kulit, menyelusup bersamaan dengan selimut yang terlempar, menyelusup menjaga angin yang masuk pada setiap pori-pori jendela tak terbuka.” Kita hanya berdua.” Itu katamu. Masih sangat begitu keras kemauanmu bersama angin yang lalu di tubuhmu. Aku menjaga angina itu tetap menembang napasmu yang selalu seolah mengisyaratkan sebuah umpan yang sangat manis. Aku merengkuh bumi. Tak kusadari pori-pori tubuhmu mengembang dan kau katakan ini semua adalah kekuasaan alam yang tak mampu untuk dilawan. Masih saja dingin ini menyelusup diam-diam melumuri setiap sumsum yang tersisa. Sekian jam, sekian menit dalam detik-detik penantian. Siapa yang menawarkan dosa ini berlanjut? Kita yang melumuri dosa. Bukan! Ini suara angin bersama desah napasmu.
“Begitu bodohnya aku.”
Matanya mengisyaratkan rasa geli dari ungkapanku yang tidak sesungguhnya perlu untuk dilontarkan.
“Memang bodoh!”
Jarum jam menggelepar di menit yang sama. Mata kailmu menangkap tiga ekor ikan yang barangkali tengah diumpankan pada sang ibunya mataair. Begitu kuatnya kesabaranmu. Begitu kuatnya persahabatanmu. Itu membuat aku sering linglung. Karena aku tak tahu bagaimana cara untuk meminta. Dan engkau semakin sabar. Padahal kesabaran menjadi sesuatu yang penting dalam pergaulan untuk membentuk kesamaan arti bersahabat. Padahal kesabaran yang engkau ajarkan menyulitkan aku bersahabat dengan waktu. Entah kebodohan ini terasa mengukur waktu. Aku terlalu mendikte. Kian mendikte. Dan memang aku harus menentukan sendiri batas kesabaran ini. Tidak diatur oleh waktu. Dan engkau akan semakin tahu bahwa aku tak lebih hanyalah sebuah ajaran-ajaran kesabaran yang demikian dangkal dan sangat mahal untuk diartikan sebagai sebuah kebodohan yang sia-sia. Barangkali waktu yang membutuhkan kami dalam menekuni sebuah pelajaran baru tentang anatomi, sesuatu yang melekuk pada molekul suasana. Dan memang itu yang tengah kita tampilkan keleluasaannya.
“Apakah engkau masih bertanya juga dan akan tetap bertanya. Terus bertanya, sampai di mana aku telah berjalan?”
Lalu engkau mengangguk. Lalu engkau lempar mata kailmu. Lalu engkau buang keseluruhan diriku. Lalu engkau terbang ke angkasa mengajari lekuk-lekuk bintang di langit. Lalu kita sama-sama tengadah menatap langit, mengibarkan tangan di angkasa raya sampai kita sadar telah menjadi bayi yang masih menetek serta memagut-magut waktu. Apakah aku masih membutuhkan seseorang? Atau senantiasa kau ajarkan semua kenikmatan semu dalam kesabaran untuk menyelinap ke dalam masalah-masalah hidupku, sampai kubiarkan engkau menyelinap, merangkak, meraung, mendengus, merintih, menggigit habis kekenyalan masa laluku?
Sahabat, didinginnya kabut yang memayungi perjalanan ini, kita tengah menjadi satu kabut dalam selimut mata hati. Membiarkan mata kaki kita mendaki pada arah yang sama. Menanamkan matahari ditubuh yang membenam panas.

IMPROV : CAMAR KESANGSIAN


Camar tidak lagi melaut pada musimnya
seperti hari hari dimana kubatasi
asmara yang sunyi

dan tak ada camar bercerita
di atas tubuh dangkalan berluka

Percintaan ini semu
sebagaimana kejemuan angin
sangsikan mataku lepas
saksikan keinginan camar terbang
menjulur julur mata hati


Begitulah camar
larutkan musim demi musim
mengganti bayangan matahari

Jumat, 26 Februari 2010

Dari Jendela Peracikan : MAKIN LANGKA TENAGA AA DI KFA MATARAM


Pada salah satu rubrik halaman iklan Lombok Post ada dimuat kalimat begini: Dibutuhkan tenaga Asisten Apoteker berumur tidak kurang dari 25 tahun dan bersedia di tempatkan dimana saja. Perusahaan raksasa farmasi Kimia Farma saat ini memang benar-benar membutuhkan tenaga AA yang konon langka diperoleh di Mataram. Manakala muncul sebuah pertanyaan, apakah saya akan di tempatkan di Kupang atau Aceh? Eh, ntar dulu belum apa-apa kok sudah balik interview. Tapi ketika penulis sempat tanya bagian audio-visual employe-nya jawabnya: tenaga yang akan diperoleh ini (yang kalau memang berminat kerja di Kimia Farma) akan di tempatkan di jalur jurusan Selong-Sumbawa- Bima yang perusahaan maha besar Kimia Farma tengah menempatkan outlet-outlet KSO-nya di daerah nun jauh disana.
Kenapa tenaga AA di Mataram masih langka? Terbukti dari outlet-outlet yang ada di Kimia Farma mataram hampir rata-rata dihuni oleh tenaga part-timer, tenaga kerja yang dimaksud ada yang mengambil pekerjaan sambilan sebagai tenaga PNS kesehatan, ada juga yang ”nyambil” kerja di apotek swasta lain. Entah yang benar mana, pekerjaan di perusahaan swasta lainnya dianggap sebagai sambilan? SK-nya sebagai PNS di kesehatan sebagai sambilan atau pekerjaan di Kimia Farma itu sendiri dianggap sebagai sambilan. Terlepas dari permasalahan ”nyambil” atau tidak ’nyambilnya’ bekerja di Kimia Farma, yang pasti manajemennya harus cerdik untuk menggiring perusahaan untuk tercapai target laba yang diharapkan, Kimia Farma pada outlet pelayanan harus mampu mempertahankan para pelanggan, membina hubungan baik dengan para pelanggan.
Walaupun tenaga AA di Kimia Farma Mataram masih dianggap kurang mencukupi dan masih ada jabatan yang dirangkap untuk memenuhi standard kriteria operasional. Kita melihat pertimbangan manajemen untuk pengiritan biaya pegawai, bisa jadi dan masuk akal.
Barangkali saking langkanya tenaga murni AA yang ada di Kimia Farma Mataram sampai-sampai pada bulan mei 2008 baru-baru ini, Bisnis manager Kimia Farma Mataram menempatkan koordinator teknis non AAnya pada satu atau dua outlet Kimia Farma apotek. Muncul syak wasangka pro-dan kontra di kalangan tenaga-tenaga AA yang ada, baik yang telah cukup lama bekerja atau yang baru bekerja. Kenapa tenaga non AA yang ditempatkan sebagai penanggung jawab teknis apotek. Apakah tenaga AA yang ada tidak memiliki nilai kompentensi dan kurang kualifield. Barangkali Tenaga murni yang ada yang dimaksud kurang murni berkolaborasi dengan manajemen utamanya kolaborasi dengan atasannya sangat kurang? Bisa jadi tenaga non AA yang memiliki nilai kolaborasi dianggap lulus kompentensi dan memenuhi standard kwalitas sejajar dengan AA. Tenaga koordinator teknis cukup dijabat tenaga non AA saja atau dengan melihat lokasi dokter in-house yang ada di outlet barangkali outlet Kimia Farma apotek tetap menerima resep-resep yang mudah terbaca seandainya timbul permasalahan menyangkut teknis sesuai dengan teori-teori kefarmasian menyangkut teori resep, farmakologi, maksimal dosis obat, specialite dan sinonim obat menyangkut bahasa latin dan lain-lain-dan lain-lain yang tidak bisa secara spesifik kita paparkan disini. Seandainya muncul permasalahan, ataupun terjadi kesalahan yang bersifat insidentiil disana cukup tanggung jawab diserahkan pada apoteker selaku asisten manager pelayanan dan koordinator teknis cukup sebagai simbolis saja sebagai jabatan dalam bayang-bayang.
Mumpung belum ada tenaga AA yang benar-benar murni di Kimia Farma Mataram ini atau ada pertimbangan teknis lainnya dari Bisnis manajer.Ini namanya manajemen ”seandainya” , manajemen ”Barangkali bisa”atau menejemen ”Coba-Coba”. Semua tenaga bisa dicoba, dipercayakan di satu bidang, kalau tidak cakap ya buang saja, toh masih ada tenaga lain yang bisa dicoba. Kan ada pelajaran manajemen ”Praktis Asal tidak morat-marit” yang bunyinya begini, the right man on the wrong place? Bukan!.Tapi jangan heran, tenaga AA pun bisa memiliki standar kwalitas tidak lebih dari apoteker. Karena kalau kita melihat perkembangan KFTD belakangan ini, bisa kita lihat ada beberapa tenaga AA yang naik peringkat sebagai kepala cabang dengan melalui uji kompetensi.Terlepas daripada tenaga AA di KFA ataupun tenaga AA di KFTD patut acung jempol buat BM Mataram telah bisa memilih tenaga berkualitas yang nilainya sejajar dengan AA yang ada di Kimia Farma. Mudah-mudahan pertimbangan kompetensi ini bukan atas dasar quisener ”like and dislike” sehingga rekan-rekan non AA lainnya sejajar dengan SMU atau sekolah paket C sekalipun yang punya ambisi menjadi kortek, supervisor bahkan MAP berperingkat kepala cabang sekalipun bisa benar-benar berkolaborasi dengan baik dan benar-benar memanfaatkan waktunya yang senggang untuk banyak belajar.(DGK)

Kamis, 25 Februari 2010

JALAN PENGHABISAN II


Tanpa airmata
rindu ini menghitam
dan perlayatan mencari sunyi
hanyalah sebuah hafalan doa
untuk melayari gelombang tiada bertepi
sebagai gairah perjalanan

Rindu ini pula mencatat
ajal yang kian akrab
tanpa upacara dan sengketa

Semakin rindu aku nenek moyang
yang bernama leluhur

JALAN PENGHABISAN I


Senantiasa jalan itu mencari ujung
dari cahaya yang menggerayang hidupku

Rumah ini sebuah duri yang tajam
persinggahan awal kabut mataku
yang membekukan kehendak
atau juga angan yang tersimpan
dalam catatan silam
yang lupa jadi dermaga
di langit langit hati

Senantiasa pula rongga dadaku pengap
dari perkucilan yang membakar riwayatku

Dari Jendela Peracikan: MAAF, LAGI KOSONG………

Ucapan di atas suatu hal yang lumrah terjadi dimana-mana, pada saat harus memberikan suatu jawaban kepada seorang pembeli, pada saat mana diharuskan juga membaca airmuka kekecewaan seorang costumer manakala dia tidak memperoleh apa yang menjadi keinginannya.. Siapakah costumer kita dan bagaimana bentuk ungkapan kekecewaan seorang costumer disaat dia harus kembali dengan tangan hampa? Mungkin kita mencatat keadaan ini dalam sebuah notulen dan berusaha bertanggung jawab dengan menulis: “besok kita pesan dan di-stok lebih banyak lagi, karena terlalu banyak terjadi penolakan”.
Sejauh ini setiap penolakan terkadang tidak terlalu memberikan suatu dampak buruk manakala kita telah memberikan pelayanan terbaik kita dalam satu sesi excellent costumer service berupa suatu solusi yang bisa diterima pelanggan. Keampuhan pelayanan Kimia Farma pada saat ini adalah dengan pelayanan jasa plus dalam solusi “ Baik, nanti kita antarkan ke rumah, atau nanti kami hubungi kembali sesudah barang datang atau bagaimana kalau saya hubungi dokter untuk mengganti dengan jenis yang sama? Dan seterusnya……” Dan ini merupakan salah satu bentuk pelayanan yang diakui pelanggan kendati yang diharapkan tidak terpenuhi dan lambat dalam pemenuhan dengan memberi kompensasi dalam bentuk sang costumer kita tidak perlu sampai harus menunggu terlalu lama atau menghabiskan waktu dengan keliling sementara Kimia Farma masih mampu memecahkan masalah anda. Mengagumkan bukan!
Bagaimana seandainya kalau sang costumer datang ke Kimia Farma hanya untuk membeli barang-barang bebas, obat batuk-pilek ringan yang merupakan jenis konsumsi yang fanatik sekali dalam keluarga mereka?
“ Bang keluarga kami selama ini sudah terlanjur cocok promag dan kami tahu Kimia Farma ini terlengkap..” katanya membanggakan ,walau sesungguhnya stok yang dimaksud dalam kondisi limit, bahkan celakanya sampai kosong.Ternyata memang tidak ada solusi yang baik untuk menawarkan magasida sekalipun promag menjadi gencar oleh iklan yang tak kalah lihainya mengumpan outlet kita sebagai sasaran empuk penyedia barang dagangan pihak III (sekalipun kita letakan di belakang display magasida menonjol sedikit). Tapi memang tidak ada salahnya kita terapkan sistim solusi coba-coba dengan menawarkan magasida. Memang jadi pilihan kedua, tapi kok kebanyakan konsumen cenderung memilih promag? Apa karena bintang iklannya lebih populer designer pilihan kalbe ketimbang kimia farma, atau armada promag lebih tinggi disertai mobilitas yang padat dibandingkan magasida?
Pada kenyataannya konsumen itu datang buat promag. Produk pihak ketiga menggelayut dan lama-lama jadi bumerang pada produk inti kita. Akhirnya team pemasaran kita akan berteriak ” Mari kita pajang etalase khusus produk Kimia Farma tiga berbanding satu terhadap produk pihak III. Pajang lebih banyak lagi bila perlu 10 banding satu.” Capek kita berteriak, angka penjualan pihak III terlalu cepat menonjol.
Lain promag, lain magasida. Ini ada sebuah kejadian lucu pada sebuah outlet besar di Kimia Farma Mataram. Outlet dengan penyumbang omzet cukup tinggi diantara outlet-outlet lainnya. Suatu ketika di hari minggu yang cerah cuacanya, seorang costumer datang ingin membeli minyak kayu putih. ”Maaf lagi kosong bu..” jawab petugas apotek. Dan ibu itu berlalu, entah kecewa, entah tidak. Seperti tulisan di atas kembali : Bagaimana membaca roman kekecewaan costumer manakala demikian besar keinginannya memasuki outlet Kimia Farma ternyata berbalik dengan tangan hampa tidak mendapatkan apa yang menjadi keinginannya? Kita barangkali memahami bahasa airmuka kekecewaan dengan sebuah solusi yang mengagumkan. Sekali lagi, sejauh ini memang penolakan tidak memberi dampak buruk sepanjang ada solusi ampuh di belakang itu. Dan ternyata fatal! Ibu yang datang ingin membeli minyak kayu putih di outlet besar di bilangan jalan pejanggik yang ramai dengan denah front liner sebuah megamall yang megah, ternyata istri seorang pimpinan Kimia Farma sendiri. Celakanya, karyawan itu sendiri tidak kenal istri pimpinan. Justru yang lebih mengaggetkan lagi persediaan minyak kayu putih setelah pelan-pelan dicari ternyata bersembunyi di sudut rak belakang rak HV. Ini cerita seorang teman yang kebagian teguran begitu mengetahui kejadian ini.
Memang pada akhirnya penolakan memberi dampak buruk begitu mengetahui status costumer kita sebenarnya. Pada seorang costumer kebanyakan yang entah berapa banyak datang membeli minyak kayu putih, manakala stok kedapatan kosong akan beranjak pergi ke tempat lain dengan kata-kata: ”Ah, di warung klontong saja ada kok, kenapa mesti di Kimia Farma.” Kita tidak tahu berapa banyak costumer yang memiliki solusi demikian kalau seandainya tidak mengetahui ternyata ada costumer intern Kimia Farma itu sendiri justru mengalami hal yang serupa. Memprihatinkan memang(dgk)

BELAJAR MEMAHAMI DOA


Kegarangan inilah yang senantiasa
membayangi kita untuk bertahan
sebagai peradaban zaman
yang melepuh kejatidirian

di atas langit pekat
bulan termamah kalarahu karenanya
hidup atas jejalan dosa berlebih di belantara karma
hutan hutan belantara kata-kata dalam menghalimi, diammu
pahamilah isyarat Tuhan, ketika bencana ini dianggap sebagai umpatan
tapi jangan keliru kenapa doa-doa belum sampai padaNya
senantiasa kita menanam bayang bayang itu dalam kecemasan yang dalam
sesadar akan waktu dari penyesalan, hausnya matahati menganggap akhirat
sebagai pelepasan dahaga duniawi

kegarangan ini membuat kita belajar
bertahan untuk menjaga ketakutan
sebagai musim
menjaga musim
yang alpa huruhara

MENGGAYUTI KABUT


: Hujan cuaca

Bagi bumi yang basahan di kabut hati
mendung katakan kataku
punah berbakar kabar musim
tak sampai sampai

: langit
kerahasiaan bumi yang renta
muara kepenatan
disinilah,
wahai hawa yang dijelmakan gadis
kuterima nyalamu
memanggul manggul janji
tak usai terlontar
bincangan segala bentuk bintang bintang
peredaran cahaya waktu
dari segala waktu
padam di ujungmu
sampai lidahku kelu
lalu siapa isyaratkan kerapatan janin ini
sampai trenyuh kumenatap
tak ada kata dalam persimpangan
di hatimu yang bercabang

: Hujan cuaca penggalan peristiwa
kehendak menggayut kabutmu, menebar benih
keasingan

; apa mungkin !

TERIMAKASIH, SOBAT


Sobat, terimakasih nasi yang telah kau traktir buatku

Hari ini cukup sebungkus
buat bekalku berbicara ; membagi-bagi mimpi pada setiap orang
buat bekalku berjalan ; membagi-bagi harapan pada setiap pelanggan
buat bekalku bernapas ; membagi-bagi kehidupan sebagai seorang manusia
buat bekalku berpikir ; membagi bagi cahaya pada kegelapan bathin

Sobat, terimakasih nasi yang telah kau traktir buatku
cukup membuat aku untuk bisa berdialog dengan teman-temanku
cukup menumbuhkan kekuatan baru untuk berkampanye
untuk memberikan kekuatan pada negeri ini
dari berbagai godaan

Cukup sobat, cukup sebungkus nasi hari ini
karena terlampau berlebih akan membuat kita tertidur lelap
hingga melewati tontonan gratis para wakil rakyat beradu pendapat dalam sidang
beradu mulut sampai memaki
di negeri yang fatal oleh krisis moral
hingga lupa pada rakyatnya yang gerah
eiiiit…., tunggu sobat! Siapa yang jadi rakyat dalam tontonan ini
karena begitu rupa wakil rakyat atas nama rakyat hidup sendiri dalam dunianya
namun seperti berlomba-lomba berdalih mengatas namakan rakyat
di musim kampanye

Suntikanlah vitamin pada mereka
agar jernih berpikir, berkata-kata pun berperilaku
bahwa mewakili rakyat
bukan menanam benih kebodohan
: dalam spekulasi kebohongan public
menjadikan miskin berpikir

SAJAK ANGGUR DI TUBUHMU


Ingin kubuat susu
dari tunas bungamu
ingin kubuat angin
dari desah napasmu

Hanya ada cahaya
dalam diam
hanya ada suara
dalam hati

Ingin kubuat anggur
berbagi di tubuh

Melesak dahaga kenyal
menyatu dalam darah

Selasa, 23 Februari 2010

DARI SUDUT PANDANG SEKOTONG

Sekotong,
nasib selalu ajaib, dari sudut bebukitan terhampar memandang sawah menguning
dataran berbelah berbatas air laut, menatap gili nanggu nan indah
pinggiran pantai menjorok pada hotel berpondasi air mengayun
ada komoditas lepas
bebukitan jadi kelu dirangsak
orang-orang bagaikan bah semut menggerayang memacu macul segempal harapan
sentir,tenda membentuk paguyuban baru
butiran emas berkilau di panas cuaca terik terpaku
saksi bisu
lalu lalang yang merapal doa
atau tidak sama sekali tanpa restu melipatkan nyawa dalam keberanian
Tuntas
ada yang mati.....ada yang mati..... stttt, diam!
ada yang lebih penting dari kematian disamping harta yang menunggu
kemiskinan ini terlalu menakutkan bagi generasi siswa gratis yang dibiayai pendidikan
atas nama anak murid tak mampu
penambang emas, menambang nyawa segenap yang dipertaruhkan
siapa yang mati hari ini? Warga kelahiran disinikah? Atau kaum pendatang tak jelas? Semayam dalam kubur batu nisan diselingi doa secukupnya
atau berkubang meregang di sembarang lubang tanpa dikenal sanak famili
itu tidak terlalu penting ibarat mengubur tekad menjamah masa depan yang menunggu
”bongkahan emas disini jauh lebih mewujudkan mimpi dalam altar megah” bisik penambang sembari menghitung-hitung dalam jejalan karung yang pasti.

Sekotong nan ajaib
bukit yang menjanjikan emas kemasyhuran
hingga jantung terbelah bau napas tanah yang tidak menampakkan uapnya
terkoyak habis membentuk lorong yang kian jauh pada kedalaman jantung bumi
menciptakan pernik-pernik baru tanah-tanah kehancuran

Sekotong nan ajaib
sim salabim bukit berharta
menyadap mimpi mimpi dalam khayal gurat gurat kepastian

Senin, 22 Februari 2010

MENYEKA MALAM


Kalau jarak malam enggan berhimpitan
mungkin aku tak jadi bermimpi
mungkin aku tak jadi bersuara
mungkin juga enggan melabuhkan janji

Kepada siapa :
bayangmu simpang gelap
mungkin aku lupa kamu
mungkin aku mencuri hari
menduga datangnya mimpimu

Sabtu, 20 Februari 2010

MELINTAS SANUR II


Laut pernah berjanji
ketika gemuruh dalam dada berbalas gemuruh
matamu kian menepi
melayarkan kesunyian
kepada siapa menyanyikan kayuh tanggalan
jejakku
melintas pelan gemuruhmu sunyikan isyarat
gerhana mengaram
karam
barangkali disini, amplop biru tua pernah
terkatung katung berburu pintu
terkapar kabar memuakkan

Laut tiada pernah berjanji
hingga kini punya kesombongan memanjakan
wajah kepingan jiwa yang kian buram
masa lalu

Jumat, 19 Februari 2010

MELINTAS SANUR I


Sepanjang jalan jalan berbenah
kesepianku selalu menggigil tanpa gagasan
dua ayam baku hantam mengepak senja
di hamburan pasir menasik tulang nelayan
ringkih
sosok wajah seberang gelombang
masih mengartikan matahari untuk tumbal
timbal balik cuaca yang hilang pergi di negeri
tersepuh kapital
lugas ia, betapa lugasnya menghitung hitung
napas bau alkohol menjampi matanya dalam
hitungan dolar

Dalam tarian laut, ujung kotaku
mulai disimpan nyanyian asing
dance dan kecak salingsilang
malam bergeming purnama
langit berselimut bintang
tercecer memanah lautan mengail bayangnya
keemasan
: tiba tiba lupa tempatku berpijak

SAJAK BUAT SEORANG GADIS


Dan jangan ceritakan lagi
dinginnya sunyi
lahir dari puncak kekelaman
segala tubuh yang lari
di tubuh sunyi

Senantiasa tanganku gemetar
setiap menyapa kerahasiaanmu
bukan mantram yang dilafalkan kata kata
beku
atau sekadar berlagu bisu
tanpa suara
menepis arti

kuberi kau cahaya kebisuan merambat ujung
ruh segala ruh

yang disucikan segala kesucian
sekadar menghitambarakan nyaliku
punah menakar nakar ketakutan
silih berganti

namun
kau diam
sekadar berlalu

Kamis, 18 Februari 2010

CerpEn : IBU, KAPAN PULANG ?

Mula-mula Hendra menyaksikan tingkahnya yang aneh-aneh. Entah dia pikir barangkali karena terlalu banyak terobsesi oleh trauma masa lalu atau memang dia sudah berubah? Hendra tidak tahu. Yang dia tahu hanya keinginan istrinya telah hilang sama sekali. Setiap dia menginginkan itu, selalu ada penolakan halus.
Terkadang dia berpikiran aneh dan merasa ada yang janggal belakangan ini. Apakah tidak mungkin diam-diam istrinya telah mengenal laki-laki lain secara akrab sehingga keinginan itu tidak ada sama sekali dengannya.
”Kenapa cinta ini harus dibangun lewat perasaan?.” suatu malam istrinya mengucapkan kata-kata itu. Begitu saja keluar kata-kata itu dengan sangat polos.
”Kenapa bisa begitu? Apa kamu sudah merasa bosan,dik?” Hendra bertanya. Sangsi dengan apa yang keluar dari bibir istrinya.
”Entahlah, aku tidak tahu. Barangkali kesibukan yang telah membuat pikiran-pikiran selalu tidak terfokus pada hal-hal itu lagi..”
”Kamu mulai banyak berubah ” Hendra menebak dengan menyebutkan nama seseorang yang belakangan ini selalu dia sebut-sebut dalam setiap percakapan. Hendra tahu pembicaraan ini sebetulnya tidak perlu berlanjut. Hendra tahu dia telah memberikan suatu bentuk kejujuran yang mewakili rasa ingin tahu pada benaknya yang terlalu besar dihantui oleh perasaan cemburu. Sebuah perasaan yang tidak semestinya untuk diungkapkan. Namun apa salahnya kalau rasa cemburu dipakai haknya untuk mewakili suasana hati dari keinginan-keinginan yang wajar sebagai pergolakan cinta yang masih mampu untuk dipertahankan.
”Apa ada yang salah?” seperti sudah ditebak sebuah pengakuan mulai keluar dan nama itu kian akrab dalam setiap perbincangan.
Hendra menggeleng. Dia pikir wajar-wajar saja, sebagaimana pemikiran setiap manusia yang ingin maju, ingin ada perubahan dalam hidupnya.
”Kebutuhan kita semakin meningkat. Anak-anak mulai tumbuh dewasa dan kita tidak mungkin hanya berharap dari penghasilanmu di kantor dengan kebutuhan yang semakin meningkat ini.Yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak. Aku harus mendapatkan semua itu. Yang ada dalam pikiranku saat ini hanyalah mencari uang. Kita kesampingkan dulu soal perasaan. Soal cinta.” Rina penuh semangat dengan pancaran mata yang luar biasa, diluar dari apa yang pernah dipikirkan tentang bayangan seorang wanita yang lemah lembut, wanita yang mampu membimbing anak-anak tumbuh besar dengan perasaan kasih sayang, bayangan seorang wanita yang juga memiliki kelemahan sebagaimana kaumnya, bayangan seorang wanita yang membutuhkan laki-laki, disaat mana terjadi suatu kesulitan dalam dirinya, kesulitan yang tidak mampu diselesaikan sendiri dan membutuhkan tenaga laki-laki untuk menyelesaikan semuanya itu. Sebuah kesulitan yang memiliki andil besar untuk membuat Hendra sebagai laki-laki kembali kepada fungsinya yang benar. Pancaran matanya ternyata sorot keperkasaan seorang laki-laki tulen, sorot mata yang mampu menyelesaikan segala sesuatunya sendiri sekaligus semua kesulitan-kesulitan yang dia hadapi. Sorot mata mandiri tidak butuh laki-laki. Sebuah sorot mata yang menggambarkan bahwa pekerjaan laki-lakipun mampu ia tangani. Hendra tercengang mendengar kata-kata yang dikeluarkan istrinya. Terpukau melihat kedahsyatan pancaran mata itu.
”Tapi aku dan anak-anak butuh perhatian.” Hendra membela diri.Bukan apa-apa,dia pikir segala kegiatannya selama ini sangat padat dan hari-harinya hampir tidak ada tersisa untuk berkomunikasi dan setiap pembicaraan selalu saja laki-laki itu mendominasi waktunya. Dia merasa kehilangan. Apakah kegilaannya kerja dengan waktunya yang sarat dengan laki-laki itu dalam satu aktifitas mampu mengalihkan arti sebuah kemesraan yang selama ini telah mereka bina? Hendra jadi tidak mengerti.
”Aku hanya menjalankan kewajiban untuk membantu keluarga.”
”Itu akan membuatmu lupa menjadi seorang ibu”
”Aku butuh uang lebih banyak lagi, sementara anak-anak makin tumbuh dewasa. Biaya sekolah itu tidak sedikit.” Rina mengelak, terkesan mengalihkan pertanyaan.
”Tapi aku kan masih kerja ? Aku masih punya penghasilan, walau nilainya tidak seberapa dibandingkan dengan nilai-nilai proyek yang kamu garap dengan angka-angka jutaan rupiah. Nilai yang besar dan sangat bebas merengut hubungan kita.” Hendra berusaha memberikan pertimbangan.
”Syukur kalau kamu mengerti itu! Jadi untuk urusan cinta sementara waktu kita tangguhkan dulu. Aku tidak mau berdebat hanya untuk hal-hal yang sepele” Istrinya mulai sengit.
”kamu terlalu suntuk dengan aktifitas sampai lupa kalau anak-anak terlahir karena jalinan yang kita bentuk dalam ikatan cinta .” Hendra seperti tidak menyetujui apa yang keluar dari kata-kata istrinya.
Biasanya pada saat suasana sudah mulai memanas pasti akan terjadi omongan-omongan yang tidak terkontrol. Akhirnya sama-sama melepaskan emosi. Dan malam menjadi semakin pendek, begitu dekat jaraknya dengan pagi. Sampai sama-sama lelah dalam pertengkaran, sampai semua hal ikut terungkap. Dan semua kejadian-kejadian sebelumnya mulai dikuak. Sama-sama saling menyalahkan. Dia tahu, tidak ada pemenang dalam perdebatan. Merasa sama-sama benar pada sebuah pendirian. Akhirnya merasa sama-sama kokoh.
Dan Hendra akan terkapar pada sebuah keinginan yang tak pernah sampai, sebuah kegagalan menikmati bentuk-bentuk kemesraan. Lekuk-lekuk asmara yang fatal.
Pagi itu di kantor Hendra punya perasaan tidak enak sama sekali.Perasaannya tidak nyaman sama sekali.Pekerjaan ini bukan membuatnya suntuk, tapi malah sebaliknya. Konsentrasi buyar. Tadi siang Rina mendatangi kantornya mengantarkan uang untuk membayar ongkos tukang listrik yang dia janjikan siang ini pembayarannya. Karena dia memang tidak sedang memegang uang untuk pembayaran itu. Dilihatnya Rina berkemas pergi setelah menyerahkan uang dan dia melanjutkan kesibukan seperti biasa. Entah mengapa Hendra menghubungi istrinya dengan sms hanya sekadar untuk menanyakan sesuatu. Terjawab sekali, selanjutnya tidak pernah mendapat tanggapan. Hendra menangkap gelagat yang aneh. Walau perasaan itu berusaha dia halau dengan menepis pikiran-pikiran buruk dan bayangan-bayangan negatip tentang apa yang sedang dilakukan Rina saat ini.
Laki-laki itu mulai bingung.Ingin dibuang saja ponsel ini. Barang tidak berguna, saat dibutuhkan malah tidak memberikan fungsi apa-apa.
Perasaan galau mulai berkecamuk. Hendra mencoba menghubungi untuk bicara. Ponselnya ternyata tidak aktif. Perasaan curiga mulai muncul. Dia mulai hilir mudik menyusuri kota. Bayangnya hilang bak ditelan bumi. Tak berbekas sama sekali. Masak sih kota sekecil ini tidak dia temukan keberadaannya ? Rasa curiga datang silih berganti.
Laki-laki itu menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Hari menjelang malam. Tidak ada kabar berita darinya, entah kemana. Betapa dia merasa kehilangan dan cinta ini terlalu dalam untuk diberi makna. Tiba-tiba didengar sayup-sayup suara kendaraan, wajahnya muncul mengintip dari balik kamar. Ada yang tersembunyi dalam pertanyaan yang sepertinya tengah menyembunyikan sesuatu. Ada kesangsian atas jawaban tak pasti, tapi Hendra tidak berani terlalu mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan lagi..
”Hampir semua tempat di kota ini aku datangi bahkan sampai berulangkali aku lewati tempat-tempat yang sama, sampai aku datangi unit gawat darurat, karena perasaanku jadi tidak enak. Aku lihat setiap tubuh yang terbujur disana dengan perasaan was-was yang berlebihan dan.......” Hendra bercerita panjang lebar. Dan dia pasti tahu, suaranya hilang ditelan ke-tidak pedulian yang sarat oleh kesibukan menurut ukuran Rina saat ini. Hendra tahu itu sesuatu hal yang tidak perlu diceritakan. Tetap ada perasaan janggal, Ia merasa Rina sedang menyembunyikan sesuatu. Entah apa. Selama ini dia menepis kepercayaan yang namanya firasat. Terlalu melankolis. Perasaan yang demikian pekat memang kalau bicara soal hati. Ikatan yang kuat karena firasat tajam tidak mampu membohongi kendati kenyataan sebenarnya tidak terlihat dalam bukti atau menangkap kejadian-kejadian apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
”Seandainya kamu tidak segera pulang atau bahkan tidak pulang sama sekali, bagaimana dengan anak-anak yang selalu was-was menanyakan keadaan ibunya. Lagi dimanakah sekarang berada.Apalagi sampai hari hampir mendekati malam kamu belum pulang juga”
Rina seperti tidak mengerti arti sebuah kekecewaan.
”Sempat aku bengong lama menatap usaha toko kita di depan. Kupikir seandainya kamu tidak pulang dik. Ya, seandainya memang benar-benar terjadi, siapa yang akan meneruskan usaha kita dik?”
Sekilas mata Rina bercahaya, pendaran yang hampir mengeluarkan kristal. Seperti menyimak omongan suaminya. Selanjutnya kembali redup.
Dan tiba pada waktunya untuk sebuah kegiatan panjang yang akan dilakukan Rina pada puncak prestasi untuk menerima penghargaan kerja dalam mengangkat harkat kaumnya lewat kegiatan penyetaraan gender yang selama ini selalu didengung-dengungkan dengan penuh semangat membara. Rina pamit pada suaminya untuk kegiatan di luar daerah. Untuk selanjutnya tidak pernah kembali. Tidak ada yang perlu ditunggu. Hendra hanya ingat beberapa baris kalimat yang pernah ditulis istrinya pada buku agenda kerjanya”...Tuhan, seandainya aku diberi waktu untuk pergi jauh, sangat jauh dimana orang-orang tidak ada yang mengenal diriku, jauh dari suami dan anak-anak yang aku cintai, serta siapapun tidak ada yang mampu menghakimi apa yang aku lakukan....”
Hendra tertegun. Kalimat itu telah membuktikan keampuhannya. Kalimat itu bukan sekadar kalimat biasa yang ditulis oleh istrinya sebagai sebuah rangkaian kalimat biasa pelepas lelah saat suntuknya dengan berbagai kegiatan. Sebuah kalimat yang menyembunyikan kesakitan-kesakitan. Entah kesakitannya yang mana.Betapa sepi dan tidak berartinya sebuah rumah tanpa kehadiran seorang ibu.
”Pak.......bapak.....”
Hendra menoleh, dilihat tatapan mata anaknya yang kedua polos penuh berharap. Harapan untuk memenuhi keinginan selepas main-main dengan kawan-kawan sebayanya. Hendra terpaku.
”Ibu dimana...?” pertanyaan anaknya mengundang cekat di kerongkongan. Hendra tak mampu menjawab.
”Kapan ibu pulang?” lagi-lagi suara anaknya kian mencekat lidahnya.
Keesokan hari dan seterusnya, satu bulan dua bulan berjalan dan seterusnya hingga berbulan bulan waktu berlalu, Hendra setiap pulang kerja selalu menyiapkan jawaban yang berbeda-beda buat pertanyaan anaknya yang selalu sama.

WORKHOLICS: MUARA SEBUAH TREPALIUM


Albert Low menulis begini : memang sulit membuat struktur organisasi yang memungkinkan semua karyawan, khususnya para spesialis, dapat melakukan pekerjaan dengan efisiensi dan produktivitas maksimum.Tanda tanya terbesar, menurut Low, adalah bagaimana membuat orang-orang itu cocok dalam “ kotak” nya. Well, sebuah ungkapan lama The right man on the job?
Konteks di atas menarik minat setiap manajer, pemikir perusahaan yang senantiasa berhari-hari membuat jadwal rotasi tenaga kerja untuk meningkatkan omzet perusahaan. Dan mereka membuat kantung-kantung kegiatan yang terdispersi dalam efektifitas tidaknya penempatan setiap worker pada bidangnya masing-masing. Efisien apa tidak untuk pencapaian target maksimum seandainya tenaga yang ditempatkan yang justru sebaliknya spesialisasinya malah akan melumpuhkan SDM. Seandainya pemahaman para worker yang menuai obsesi tentang sebuah kerja yang terlalu membebani, bukan sebuah perkara sepele muaranya akan membentuk kotak-kotak spesialisasi trepalium terbagi-bagi. Sebutan lain dalam bahasa latin yang dapat diterjemahkan sebagai pemasungan atau sebuah anggapan kerja itu adalah sebuah siksaan. Para tenaga kerja yang terpaksa melakukan kewajiban tidak pada skillnya masing-masing.. Pada akhirnya Seorang Albert Low-pun akan membuat sebuah dilema yang skeptis. Workaholic akan berkata, kerja bukan sebuah beban lagi dalam dilematis pengharapan sebuah kerja dalam nurani berbeda. Sebuah kerja yang ibadah.Sehingga trepalium bisa berubah konotasi sebagai perbudakan halus sebuah kerja, Trepalium mengembangkan sebuah jaring sutra tembus pandang dalam sebuah kalimat prosedur worker. Kerja yang disiplin untuk pencapaian target .Kalau kita melihat proses berlangsungnya kerja buruh pabrik, memang pas perlakuan konteks di atas. Akankah itu terjadi pada proses pelayanan jasa pada sebuah apotek? Silly question deserves silly answer. Atau Recipe, istilah bahasa farmasi latin seorang dokter menulis resep buat penebusan obat di apotek: ambil dan siapkan. Sebuah icons pencapaian target. Kewajiban sebuah pencapaian pada garis di tingkat aman perusahaan terhadap produktivitas tenaga kerjanya. Produktifitas yang mengabaikan kreatifitas untuk ukuran workaholic.
Sasaran vital dalam perusahaan pada akhirnya adalah laba. Pencapaian sebuah target yang harus dibumbui oleh efisiensi dan efektifitas.Kinerja yang baik pada totalitas setiap kompleks permasalahan sehingga tanpa disadari harus tercapai kerjasama yang baik , telah dibangun suatu komunikasi antara manajer dan bawahan dalam sebuah disiplin kerja yang baik. Dan manakala itu bermuara pada trepalium akan menjadi penghambat komunikasi dan kreatifitas karyawan. Komunikasi seorang atasan yang kurang kondusif terhadap bawahan akan memberikan signal lumpuhnya produktifitas karyawan. Gejala awal kreatifitas yang mandul yang menggiring pada laba yang tak tercapai. Menggiring pada laba yang tak menentu serta menggiring aktifitas kerja sebagai pekerja yang semau-maunya.
Pertanyaannya adalah bagaimana produktifitas tanpa mengabaikan kreatifitas pada sebuah apotek suatu unit layanan dari hulu ke hilir untuk meningkatkan laba sebuah apotek? Apakah hanya cukup dibangun oleh sebuah komunikasi yang baik saja antara manajer dan bawahan. Kalau ini dikatakan sebuah jawaban bahwa komunikasi yang baik mampu meningkatkan kinerja, tentunya akan dapat mengembangkan sebuah kemajuan dari tingkat rendah sampai tingkat atas untuk kemajuan apotek itu sendiri, akan jadinya seorang worker tangguh produktifitas yang penuh kreatif dalam meningkatkan laba apotek.
Workhaholic pada perusahaan kita seperti Kimia Farma ini adalah mensejajarkan antara produktifitas dan kreatifitas untuk pencapaian kerja. Untuk pencapaian sebuah kinerja yang unggul tentunya.

Rabu, 17 Februari 2010

WAYANG DALAM BENANG MERAH KONTEMPORER

Menyaksikan pertunjukan wayang memang sangat menyenangkan. Terutama sekali bagi mereka yang mempunyai kecenderungan terhadap salah satu tokoh favoritnya. Seorang anak tanggung yang diajak menonton wayang oleh kakeknya suatu ketika di malam tilem pada saat bulan mati , bersorak gembira ketika menyaksikan tokoh kebanggaannya . Bima menang tanding melawan raksasa musuhnya. Kadangkala menggejala ikut larut memerankan tokoh pujaannya. Di kehidupan realita dan di luar teks naskah yang dimainkan, jadilah ia si anak kecil dari image sang dalang dalam wujud rupa Bima yang selalu bermain seru dengan kawan-kawan sebayanya. ”Bima itu kuat, ia tak terkalahkan. Akulah Bima,” ia akan menjadi Bima diantara kawan-kawannya. Dan ia tak mau terkalahkan dari pikiran yang membelenggu diri si anak dan ia harus mengalahkan kawan-kawan sepermainan dalam adu jotos. ”Aku harus menang karena aku Bima,” pikirnya. Pada akhirnya lahir Bima si-anak tanggung dari imajinasi (fantasi dari yang ditonton) yang terbawa secara tidak sadar ke alam nyata, dalam ruang lingkup sehari-hari.
Lumrah kiranya menyaksikan pertunjukan wayang di negeri sendiri sebagai ibarat kesenangan yang telah menjamur di hati setiap penggemar wayang. Katakanlah suatu upaya pendekatan terhadap alam budaya sendiri. Semuanya itu dapat diterima sebagai rasa penyampaian kebudayaan abstrak di mata penonton sebagai bentuk komunikasi yang mudah dicerna, terutama sekali pada unsur-unsur tertentu. Karena banyak kita lihat pesan-pesan penting yang sangat berguna untuk kehidupan sehari-hari. Yang dimaksud tentunya sebagai bahasa penerjemah (sanskerta) yang dibahasakan dalam bentuk keseharian yang mudah dimengerti. Selebihnya merupakan bahasa kawi sebagai bahasa yang dimiliki oleh sang pengarang/dalang itu sendiri dalam ungkapan yang diterjemahkan sebagai penyambung rasa buat penonton. Yang memegang peranan penting disini adalah seniman itu sendiri, seniman yang membawa misi, memberikan muatan/pesan-pesan penting yang menggugah, membentuk lakon-lakon yang konyol, ungkapan pesan mengandung unsur filsafat, kesusastraan yang diselingi humor-humor jenaka. Disebutkan sebuah seni dengan pertunjukan bersifat sosio-kultural yang begitu mudah tergambar dalam kehidupan masyarakat banyak
Barangkali nanti akan muncul pertanyaan, bagaimanakah sebuah pertunjukan wayang kita di mata dunia, dan bagaimana pula kalau sebuah pertunjukan wayang dimainkan oleh orang seberang? Sekiranya kalau dapat dikomentari, patutlah buat berbangga hati dan sedikit tepuk dada.
Mark Hoffman punya potensi tersendiri dalam bidang seni satu ini. Ia seolah-olah dalang itu yang bermain-main di atas grafik kesadaran, berkesenian atas adaptasinya dari kalimat-kalimat dalam bharatayuda maupun Pandawa papa terkadang bermain dalam lidah mahabharata, sebuah legenda besar tanah India. Mark Hoffman punya lidah dan cara sendiri untuk memadukan istilah yang ada dalam tokoh-tokoh itu sendiri. Arjuna baginya tak ubahnya sebagai bhagawan Ciptoning dalam proporsi kekayon gandanya. Permainan ini pernah ia tunjukan pada media elektronik nasional sekitar tahun 1986 yang pada waktu itu masih sedikit televisi swasta merambah Indonesia. Yang hidup dalam diri Mark Hoffman adalah kemampuannya mengambil peranan dan demikian fasih seperti dalang-dalang kita sendiri. Kita juga dapat melihat bagaimana Rendra dan Putu Wijaya ditinjau dari sudut dunia kita sendiri dan selanjutnya berusaha untuk melihat Dunia teatral Rendra atau Putu Wijaya dari sisi lain dari pengamatan panggung luar.
Bagaimana kalau di negeri Yunani sendiri misalnya menyaksikan seninya Oidipus Sang Raja atau Antigone karya Sophokles dimainkan orang seberang, dan itu ternyata muncul di negeri kita sendiri sebagai sebuah pertukaran budaya. Rendra telah bermain untuk Indonesia dengan meminjam Shophokles. Begitulah missi Mark Hoffman bermain sendiri dengan meminjam Mahabharata, Baharatayudha dan Pandawa papa. Ia semampunya berusaha melidahkan seninya dengan pertunjukkan wayang. Unsur tokoh-tokoh telah jauh lari dari ide pewayangan. Dapat saja diterima dan kita sebut sebagai suatu bentuk pengukuhan sebuah wayang yang bersifat kontemporer.
Diingatkan kita akan sebuah kisah Arjuna Mencari Cinta berseri yang ditulis pengarang kita, Yudhistira ANM Massardi. Kontemporer yang khas terlihat pada tokoh-tokoh yang berlawanan dihidupkan dalam suatu kesamaan yang tepat. Pengarang menyuguhkan suatu kehidupan yang dibuai jaringan teknologi dan jaringan magis dari suatu kawasan daerah yang berbeda. Misalnya diambil sebuah negeri Jepang dengan menambal sebuah ortodok nilai-nilai yang dianut sistim pewayangan dalam penerapan kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataan zaman modern, wujud Arjuna itu tidak ada. Yang hidup adalah buah pikiran yang terbawa dari wahyu pertama yang mengalir kepada para pengawi. Dengan isi-isi yang telah diterjemahkan oleh pengawi wayang itu sendiri menjadi hidup dalam pertunjukkan dengan menekankan segi moral, petuah-petuah tentang hidup.
Yudhistira ANM Massardi telah mengambil suatu model khas yang tidak tiba-tiba kita lihat. Arjuna dihidupkan dalam segi budaya yang hidup di negeri Jepang (dalam: Arjuna Wiwahaha). Melihat tokoh-tokoh seperti; jenderal Tojo Heideki dengan menjalin pada sebuah kepercayaan tentang Dewi Matahari: amaterasu-Omikami, Ratu Kobe, Musashi dan sedikit kehidupan media seperti koran Yumiuri Shimbun yang sangat terkenal itu.
Sebagaimana yang ditulis Massardi atau kisah yang ditayangkan Mark Hoffman itu sendiri, semuanya menjadi serba sama. Atau seperti kita melihat jalinan dalam satu cerita Anak Bajang Menggiring Angin atau kisah Semar dalam novel yang ditulis Putu Wijaya, merupakan pesan-pesan berarti yang tersembunyi di balik semua itu dengan sedikit kejelian mata melihat.
Pengarang atau pelaku dalang yang berangkat dari intelektual yang sama dengan pemahaman bhagawadgita mengintepretasikan (pada sisi untuk memudahkan pembaca / penonton menyerap dalam mencari waktu yang senggang menikmati moodnya) akan lebih melangkah pada sebuah wujud pemahaman seni kontemporer. Dalam dua budaya yang mengandung nilai seni yang berbeda akan dibuatkan sebuah wujud penciptaan kata sepadan dengan style pengembangan problemasi yang intens dalam keseharian. Eksistensi budaya itu pada akhirnya mencari nalar sendiri terhadap berbagai ragam yang bermuara pada budaya mutualistik dengan narasi kontemporer sebuah seni. Dapat dikatakan satu penggalian budaya kontemporer neoklasis untuk menghadirkan eksistensi sang tokoh. Dengan demikian narasi yang dibangun dalam kekuatan naskah tanpa perlu pengembangan tokoh baru lagi.
Benarlah pewayangan menjadi sesuatu yang kuat dengan meminjam salah satu atau beberapa tokoh yang berkaitan dalam sebuah cerita yang akan dibangun dalam wadah seni kontemporer. Dengan meminjam tokoh seperti Bima, Arjuna, Srikandi ataupun Sekuni, sebuah cerita akan menjadi jelas bertutur dan bertegur sapa dengan pembaca. Pengarang tinggal mengembangkan mood dan perjalanan pesan yang ingin disampaikan, tanpa perlu harus menjelaskan karakter dan bahasa jasmani sang tokoh.. Dengan demikian kalau dikatakan tokoh dalam cerita pewayangan yang dibangun dalam bentuk seni kontemporer lebih tepat kalau dikatakan sebagai sebuah pengakraban pragmatis sebagai sebuah hidangan tanpa cacat cela yang gampang dicerna dalam pemikiran pembaca/penonton sekarang. (DG.Kumarsana)

Cerpen : ' W A H '

SETIAP dia pulang dari daerah rantau selalu aku disuguhkan cerita-cerita yang hebat tentang dirinya, tentang sesuatu yang dilakukan dan sulit di lakukan oleh beberapa orang di kampung, khususnya diriku untuk ukuran dirinya. Aku tahu dia memang hebat. Sembari mengisap rokok kali ini dia datang ke kamarku yang pengap penuh puntung-puntung rokok di asbak dan beberapa cangkir kosong bekas kopi dari beberapa kawan kampung yang biasa dolan ke kamar. Mulutnya tanpa diminta langsung nyeroscos.
“Rasanya aku telah membuat sejarah baru dalam hidupku. Sesuatu hal kecil yang ternyata mendatangkan hikmah bagi seluruh masyarakat di perkampungan sana. Aku dengar itu.”
“Semuanya?”
“Ya, semuanya. Bahkan apa kelemahan-kelemahan dari mereka yang terucap aku bisa memberikan penilaian.Ini pula yang akan aku kembangkan disini, di kampung kita. Yah, agar mengurangi tingkat pengangguran yang makin tinggi. Ingin aku berkiprah disini, di kampung kita, agar tidak kalah dengan kampung tetangga. Aku mau kampung kita ini maju, tidak ada pengangguran lagi”
Aku mendehem halus.
”Kamu tidak percaya itu?” tanyanya tersinggung.
Aku menghentikan jari-jari tangan yang sedari tadi menari-nari di atas keyoard. Kuhirup segelas kopi. Memang terasa kopi. Rasanya ingin juga mendengarkan pengalamannya setelah selama ini telingaku terkunci oleh ceritanya yang menarik. Kuambil sebatang rokok, menyalakan pelan. Pelan sekali di bawah tatapan matanya. Aku melihat tatapannya persis seperti tatapan setahun yang lalu saat di kampung ada penjagaan hari raya Nyepi. Karena nyala rokok ini membuat diriku bertemperamen puncak.
Dia tidak tahu itu. Justru kedatangannya mendatangkan cemohan yang sangat tidak bertanggung jawab mengenai diriku.
“he..he…. ternyata kamu menyamakan dirimu sendiri seperti boneka-boneka kemarin yang diarak menuju pembakaran,” dia memulai.
”Agaknya kamu lebih tahu itu,” jawabku tak acuh sambil tetap memandang papan catur yang terhampar di depan. Dalam ketenangan aku merangsak. Bahkan mengambil ancang-ancang buat menjatuhkan posisi lawan.
Dia datang mendekat. Kutahu maksudnya.
”Tahu memang. Dia yang serakah kamu usir dari keserakahan lewat segala macam tetabuhan dan api, tapi kamu seenaknya menggunakan alasan tersebut untuk menikmati kesukaanmu. Kau padamkan api buat pribadimu...”
Aku panas. Kemana arah kata-katanya sudah dapat aku raba. Aku memandang. Dia balas memandang. Aku nyengir setengah masam, dia balas nyengir. Aku kernyitkan alis, diapun melakukan hal yang sama. Lama-lama aku jadi jengkel Kumatikan rokok sambil mematahkan satu persatu rokok dalam bungkus yang belum terisap. Satu persatu di bawah tatapan matanya yang nanar.Kupikir dia akan kaget atau salut dan akan melongo dengan wajah berlagak pilon. Kupikir dia akan segan atau takut dengan wajah pucat pasi dan mata terbelalak ngeri.
Aku beranjak dari pos penjagaan. Beranjak dari sebuah pukulan telak yang menjatuhkan diriku. Permainan kuhentikan. Sebab aku merasa kalah. Kekalahan semakin jelas setelah kudengar dari cerita-cerita teman sekampung bahwa dia tetap bertahan semalam suntuk dari nyala rokok, nyala api di tubuhnya, dari segala keinginan-keinginan untuk makan dan minum.
Di rumah aku ceritakan pada pacarku, bagaimana emosinya aku dalam kekalahan itu.
”Rasanya aku mengenal dia, memang dia demikian adanya,” aku melongo mendengar komentar pacarku. Lho kok malah jadi sebaliknya? Bukannya aku dibela dan ikut-ikutan membenci dia atau memberi dukungan moril bahwa kekalahanku harus dialihkan dengan hal-hal lain yang tidak mematahkan semangat. Eh, ini malah sebaliknya.Naskah puisi yang tengah aku persiapkan aku buang jauh-jauh. Naskah-naskah yang lain aku remas dan aku buang ke tong sampah. Aku jadi minder. Aku jadi rendah hati dan sebentar lagi aku akan jadi orang sakit hati. Karena orang yang aku cintai dalam hidup ini sudah tidak mempercayai aku lagi. Ah, jangan-jangan dia akan menjadi benci kalau aku ini seorang seniman. Jangan-jangan aku malah jadi penghuni rumah sakit gila, seperti Erik temanku yang over dosis atau seperti Amang teman seperjuangan dalam satu inspirasi yang bolak-balik dikejar-kejar petugas karena sering mengganggu keamanan etika dan ketertiban umum dengan telanjang bulat membaca sajak di jalan raya.. Ah, aku tidak mau seperti itu. Janganlah sampai separah itu.
”Jangan terlalu melankolis-lah, honey. Ini kenyataan hidup” pacarku membelai wajahku, seolah-olah menyadarkan aku .
”Hidup ini absurd, Ning,:” aku menasehati pacarku. ”Hidup ini kata-kata, Sebuah kalimat yang terjalin indah dan tiap suku kata demi suku kata kita dapat jadikan angin. Kita hidupkan indera kita dengan perasaan yang dalam. Bisa kamu bayangkan berapa banyak orang menjadi bengis karena melupakan kata-kata yang indah. Berapa banyak manusia jadi sadis karena memperkosa kosa-kata yang beradab itu. Dan berapa banyak pembunuhan karena tidak tahu cara bertutur kata. Janganlah semua menjadi dia! Aku tidak setuju itu.” Aku berkata demikian seolah-olah aku ingin membaca hidup, membuka absurditas hidup. Atau aku seolah-oalh ingin membaca pikirannya. Aku lebih setuju dengan feeling sendiri bahwa telah terjadi sesuatu pada dirinya saat kedatngan kawanku dari rantau itu, itu berarti aku lebih yakin bahwa cinta sejati tidak ada di dunia ini. Cinta sejati itu hanya ada dalam cerita pewayangan. Cerita sejati hanya ada dalam komik, dalam novel.
”Iya, tapi hidup ini harus kita jalani. Hidup ini tetap berjalan dan kita harus tetap makan. Bukan hanya pengertian aja yang kita tanamkan. Bukan hanya kata-kata saja yang kita makan dan bukan hanya omong kosong aja tentang puisi yang kita makan. Kita tidak bisa menjalani hidup cukup hanya dengan budi pekerti saja. Hidup dengan cerita-cerita saja. Kita tidak hidup dengan naskah saja. Hidup itu butuh uang..Aku perjelas lagi: : aku butuh gincu. Aku ingin tampil cantik, memukau dan penuh percaya diri”
”Tapi bagaimana dengan komitmen. Kita harus menjalani....”
”Bukan! Itu pemimpi,” pacarku Ning memotong ucapanku. Aku tercenung dan tidak melanjutkan lagi.Aku jadi memakan komitmen itu sendiri dengan pil pahit. Pil penawar penyakit TBC, atau pil jenis lain semacam penawar malaria yang dikunyah mentah-mentah. Aku jadi teringat teman-temanku. Semuanya sudah jadi orang. Sudah mapan bahkan sudah punya masa depan yang pasti.Ada yang sudah mengembangkan perusahaan, ada yang ke luar negeri , pulang-pulang sukses jadi tenaga TKW dan buka warung makan, buka warung telpon, buka warung pulsa Sudah mampu memenuhi kehidupannya.Apakah sorang penyair tidak punya masa depan? Apakah seorang seniman seperti aku tidak punya masa depan? Aku disini masih bertahan dengan rangkaian kalimat. Dengan kata-kata yang hanpir setiap malam aku susun menjadi sepetak sawah, menjadi bulan, menjadi bintang-bintang di langit, menjadi daun yang bergoyang. Aku jual kata-kata itu ke pasar, aku tawarkan produknya, aku kemas jadi makanan, jadi minuman jadi lembaran ticket, lalu aku berdiri di atas mimbar dan membacanya keras-keras. Lalu aku dibayar....ya aku dibayar. Ya aku menghasilkan. Aku bisa beli buku, bisa jalan-jalan. Bukan, aku menjadi bagian dari kebutuhan pokok. Aku berubah jadi mesin kata-kata. Tapi aku bukan pemimpi. Karena mimpi yang benar adalah bagaimana mewujudkan khayalan itu sehingga menjadi barang dagangan, dan yang pasti impianku selalu ditunggu.Impianku selalu terwujud Apa yang akan kamu tulis? Demikian orang-orang yang mengenalku akan berucap.Dan aku pasti dibayar. Itu berarti aku bukan sampah. Bukan sesuatu yang yang harus dibenci.
Ataukah pacarku benci aku seniman? Aku seorang penyair yang membaca kata-kata dengan keras? Membaca sajak-sajak? Membaca roh yang setiap malam mengukir kata-kata di atas meja?
”Ning, kamu tidak usah khawatir dengan kehidupanmu kelak. Penyair yang miskin seperti aku cukup banyak, kalau kamu masih mencintai kehidupan ataupun seperti kehidupan kawan lamaku itu yang pulang dari tanah rantau dengan ceitanya yang hebat dan segala keberhasilannya di daerah lain, maka saranku: belajarlah merantau dan susuri masa depanmu. Mungkin di daerah lain kehidupanmu akan berubah. Minimal tidak harus bergaul dengan seorang pemimpi seperti aku.. Kalau seandainya masa depanmu suram karena nantinya harus hidup denganku, barangkali bisa kamu pertimbangkan. Karena secara logika tidak mungkinlah orang seperti aku bisa kaya, hidup mewah dengan harta berlimpah hanya dari hasil merangkai kata-kata saja” Aku akhirnya memutuskan berbicara sambil berharap dia akan pergi dari kehidupanku. Toh, kehidupan seorang teman dari rantau dengan ceritanya yang hebat berbekal dengan berbagai proses sengit yang datang-datang membawa cerita sukses di kampung. Tanpa harus menghakimi kehidupanku karena aku dari dulu tetap mencintai duniaku yang sederhana. Bukan apa-apa, karena aku memang malas merantau.
”Kamu mau jadi TKW Ning?”
”Ndak!”
”Kamu mau jadi dokter?”
”Ndak!”
”Kamu mau jadi pengacara?”
”Ndak!”
”Kamu mau jadi bintang sinetron? Jadi peramal? Jadi Pramugari? Jadi....”
”Ndak! Ndak, Ndaaaaaaaak!!!”
”lantas kamu mau jadi apa kalau mau pergi merantau?”
Dia hanya melengos pergi. Aku tidak mendapat jawaban yang pasti.
Setelah itu , setelah beberapa hari percakapan yang cukup sengit ,di kampung ini aku tidak melihat temanku yang pulang dari tanah rantau. Setelah itu aku tidak melihat pacarku ”Ning” lagi.Aku tidak melihat bayangan mereka. Pelan-pelan aku ingin melupakan mereka.
Beberapa bulan kemudian aku membaca sebuah harian berita kota, seseorang yang mengaku ibu muda, tepatnya seorang gadis berinitial ”N” kedapatan membuang jabang bayinya dalam got. Selang beberapa hari dari berita di Koran Ning muncul di kampung dengan bergincu tebal dan bekaca mata hitam lagi dikerumuni para gadis di kampung tengah asyik menceritakan pengalamannya di rantau.

Selasa, 16 Februari 2010

KUHARAP ANAK ( LAGI )


Anakku pertama lahir, hidung tertekan :
Pesek!
Anakku kedua lahir, perut mengembang :
Gembul!
Anakku ketiga lahir, mata tenggelam :
Sipit!

Begitulah menanam padi bak benih yang terlahir pada rahim yang sama
Berharap kesempurnaan dari istri tak berbeda sejauh janin yang kujanjikan
Aku bermimpi Pandawa hanya menunggu penutupan dari bait kisah sang rupawan.
Jangan Yudisthira! Mata dadunya selalu sial hingga terlunta-lunta di rimba pengasingan
Jangan Bima ! nanti malah ibunya di sangkol
Jangan Arjuna! Bah, bisa-bisa aku’kan jatuh cinta pada menantuku.

Bagaimana kalau kembaran sang Nakula-Sahadewa?
Kebat-kebit aku menunggu di depan ruang persalinan dengan menggambar wajahnya
Rupawan pada sang pembungkus ari-ari
Yang siap-siap terkubur di halaman depan pintu rumah
(di sebelah kirikah? Atau kanan?)
Jangan di tengah-tengah : itu tempatnya Korawa

Sudah pecahkah ketuban ibunya?
Wow… harap-harap cemas antara kecemasan kolaborasi: Pesek dan gembul dan sipit!!
Dan…………..

Senin, 15 Februari 2010

CAMAR RESAH V


Dan apabila waktu mengusir penat
sangsi gemetar kian menyisih

Langit, sebelum dirajah purnama
camar tiba duka
menangis runtuhan airmata
sebatas kelepak musim
berbulan bulan hitungan hingga lelah
kenyal diri
melabuhkan mimpi
mengajari nuju istirah
penghabisan

Langit, setengah berbingkai
tak berkeping warna
entah camar berbekal asmara
hinggap di ranting tua
menyudut angin dalam dada resah
menanti jawab

Minggu, 14 Februari 2010

CAMAR RESAH IV - menuju persimpangan rumahmu


Camar lintasan langit membidik bulan
lima hitungan
jejak kosong sejak memburu-buru angin
menawar kesangsian latah
begitu jauhnya gelora laut biru
suatu hari punya jarak menjanjikan mimpi mimpi
kata hari esok nuansa lingkari
bening
kekosongan jiwa retak menyangsi
gugatan waktu
getaran matahari
kita lewat persimpangan, lewat tahun depan
bercakap-cakap di langit tak berhingga
sambil menggembalakan gelora

Camar lintasan laut bermata tak membidik
tajam
matahari tak usah memburu sayap sayap
patahan senyap
kalau dalam kelenggangan hasrat
sendiri,
menatap gelombang tinggi menjulur julur
tubuhmu
dari sapuan bianglala

Camar begitu melintas
terpaku resahku
lima bilangan waktu menghadang kabar
riak sesalan diri

1 TRILYUN PRODUK KF DI BALI


Bertempat di hotel Ina Sindhu beach Sanur Bali dari tanggal 30 april sampai dengan 1 mei 2009 telah berlangsung acara workshop produk kaef . Acara yang dibuka langsung oleh direktur pemasaran drs. Agus Anwar yang menurut beliau kegiatan workshop ini merupakan target terakhir dari beberapa perjalanan dari masing-masing BM yang telah dikunjungi selama jadwal kegiatan roadshow di beberapa daerah yang nantinya diharapkan mencapai target 1 trilyun. Acara yang diikuti 3 Bisnis Manager terdiri dari BM Bali, BM Mataram NTB dan BM Kupang berlangsung sangat padat dengan diselingi beberapa kali teriakan yel-yel yang merupakan bentuk semangat baru dalam sinergi yang mempersatukan antara ujung tombak pemasaran trading, KFA dan unit produksi.
Yang menarik dari kegiatan workshop kali ini sebagaimana komentar Drs Suharno,apt direktur utama KFTD bahwa dari beberapa daerah yang dikunjungi , hanya daerah Bali-Nusra ini yang terlihat sangat antusias dan penuh semangat dari awal acara, para peserta hampir sebagian besar memberikan suatu harapan sangat optimist. Terlihat pada sesi tanya jawab beberapa peserta memberikan pertanyaan yang bersifat menukik pada sebuah celah-celah bagaimana bertemperamental sebagai penjual yang handal untuk produk sendiri, bagaimana menanggapai kendala pemasaran kompetiter yang demikian gencar nilai santunannya (contohnya: sanbe, kalbe,dexa ataupun novartis yang nyata-nyata diatas peringkat pareto produk KF) .Tidak ada tanda-tanda ataupun gejala-gejala yang mengesankan track-record bagaimana sebenarnya hubungan yang dianggap kurang sinergis selama ini terjadi di lapangan antara KFA dan KFTD yang terkesan saling menyudutkan dalam upaya pembenahan pelayanan di tingkat intern. Tidak ada sesuatu hal yang mengkhawatirkan untuk kerjasama ke depan dalam mengupayakan serta lebih memprioritaskan produk kaef pada counter-counter pelayanan, pada setiap harapan yang lebih mengoptimalkan substitusi terjadinya transaksi produk sendiri serta lebih mengutamakan pemakaian produk Kaef dalam penulisan resep, khususnya bagi karyawan Kimia Farma itu sendiri. Intinya untuk karyawan dan seluruh keluarga karyawan wajib mempergunakan produk KF.
Permasalahan klasik yang kerap muncul manakala membicarakan produk KF, terlebih ketika dikaitkan dengan penulisan resep produk pihak ke-3 akan dihadapkan pada satu dilema hingga berujung pada pertanyaan: “Kenapa kok produk KF jarang di tulis dokter atau malah tidak dikenal sama sekali?” Dan salah seorang dokter pernah komentar dengan nada guyon: “Wah, dari Kimia Farma ya? Kurang ne Fulus-nya !” Apa iya produk kaef kurang laku? Apa iya, produk kaef jarang ataupun boleh dikatakan tidak pernah dipromosikan? Akhirnya ujung-ujungnya akan saling melempar kesalahan antara KFA, KFTD dan Plant muaranya pasti menyalahkan marketing. Hal ini terkait dalam pemaparan direksi operasional KFA Dra. Juleti,apt pada sesi ke 2 setelah presentasi produk yang disampaikan drs. Agus Anwar. Dalam pesan awal direksi operasional menggambarkan bentuk karikatur yang cukup jeli membahasakan apa sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Sebuah rumours halus yang saling mencari kambing hitam dan saling main tuding-tudingan antara KFA,KFTD,Marketing dan Plant. Dan akhirnya yang menjadi pemenang adalah pihak 3. : ”Bangun dan kembangkan tuh apotek Kimia Farma banyak-banyak di seluruh Indonesia, pangsa pasar gue bakal meningkat tajam.” Kata orang sanbe akhirnya.. Jangan sampai terjadi anggapan demikian, walau itu suatu kenyataan yang kita jumpai di lapangan. Inilah merupakan tonggak sejarah awal sinergi menjadikan produk sendiri sebagai primadona KFA, papar Juleti lebih lanjut. And than.......STOP BLAMING!!!!
Harapan direksi operasional untuk semua pihak mengingat pangsa pasar produk KF di apotek KF sendiri, sangat kecil dan cenderung menurun dari tahun ke tahun, bahkan seperti terkesan kita terlena dalam sebuah tidur yang panjang oleh buaian produk pihak ke-3. Harapan untuk semua pihak antara prinsipal, distributor dan apotek bukan hanya jalan sendiri-sendiri atau lebih tepat dikatakan produk KF masih jalan-jalan di tempat. Adalah menghilangkan semua kesan yang saling menyalahkan satu dengan yang lain, efektifitas keberhasilan dalam pelaksanaan untuk mewujudkan produk KF menjadi primadona adalah menjadi tanggung jawab bersama antara KFA, KFTD dan Plant/marketing. Dengan demikian tolok ukur keberhasilan sinergy yang dimaksud dalam kebersamaan semua pihak bahwa pangsa pasar produk KF di apotek KF sendiri menjadi terbesar diantara pangsa pasar produk prinsipal lainnya. Mungkinkah itu? Tekad dalam workshop yang berlangsung di Denpasar Bali ini telah mencatat dan akan menjadi tonggak sejarah untuk diteruskan ke daerah-daerah dengan mengubah mindset bahwa produk KF merupakan tanggung jawab kita semua untuk kita pasarkan, kita perkenalkan kepada masyarakat secara terus menerus tanpa pernah berhenti.
Dan yang lebih menarik lagi dari workshop ini dengan kehadiran dirut PT Kimia Farma Bp syamsul Arifin dalam memberikan sebuah cerita menarik yang membuat terbahak-bahak seluruh peserta yang hadir. Akhirnya memang Quo Vadis Kimia Farma! Pada rel kereta sebelah mana kita berjalan? Akankah sampai ke tujuan atau macet total keretanya tidak jalan sama sekali alias jalan-jalan di tempat?(DGK)

Sabtu, 13 Februari 2010

DARI KETINGGIAN HATIMU HANYA KEDALAMAN DAHAGA (kado valentine bagi masa remajamu yang tak pernah hadir)


: di balik dusun terpencil ini, dik
kado valentine tidak mudah kubuat anyaman menyemat hatimu

Matamu adalah bulatnya cahaya memantulkan pintalan benang rencana.
kebersamaan yang membuat kesepakatan bahwa sesungguhnya cinta ini
sempurna untuk sesaat
sebagai penantian berkarat dalam-dalam
kian dalam dari ketinggian hatimu

Pertengahan tanjakan yang senantiasa membuat kian melarat
semakin jelas dalam bau kata-kata janji nan berkarat
beradu napas melepuh dalam waktu tak jelas
Antara lelah tak ada yang sampai, kabar siapa yang ingkar hari ini?
Tak ada kesepakatan
hutanmu hanyalah belantara tak bertuan rimbanya
dan kita membuat suatu rencana
membuat kebersamaan semakin dekat dengan tujuan :
akan kabar tak pasti

Terkadang kegilaan ini sangat menjemukan
terkadang kegilaan ini membawa penyakit
terkadang kegilaan ini membuat kita pasrah membedakan nasib
dan terkadang pula kegilaan ini mencemburui kita untuk lepas dari peradaban
norma-norma, agama bahkan menjadi sebuah proses kemiskinan hasrat untuk mengetahui kebenaran.

Pendakian adalah kisah kecil dari sebagian besar kisah hidup kita
makanya saranmu kita perlu mengulas rangkaian kisah baru
menyambung kisah sebelumnya yang pernah ada.
Artinya barangkali kita mencari kebenaran itu di atas langit
barangkali kita mencari puncak tujuan mendaki
pada mata kaki dimana awal mula kaki melangkah
tak ubahnya mencatat-catat kehidupan kita sebelumnya.
Tuhan ternyata ada dalam berbagai bentuk.
Tidak hanya sekadar angin atau menciptakan gejala semesta alam.
Tuhan adalah bagaimana manusia mengenal moral
peradaban dan hukum semesta alam.
Dengan demikian kejenuhan serupa untuk langkah kerinduan yang baru
medan awal buat menempuh kehangatan baru.
Kedamaian ini semakin menggila. Menggoda kita untuk lebih taqwa.
Tuntasnya pada segala hiruk-pikuk kota besi
kota penuh jalan-jalan robot yang gentayangan senantiasa menguap
tak mengenal nasibnya
menabur benih yang tidak habis-habis
dalam persekongkolan napsu
dan segala bentuk kemaksiatan yang mudah terwujud dalam setiap keinginan
yang tak jelas
namun wahai pendakian
di sejuknya pegunungan lindap bayangmu
mengusik segala kalbu
bahwa terlalu banyak perbedaan percintaan di kota dan di desa
pegunungan yang masih polos dan terbuka oleh suara-suara kekonyolan sederhana
tanpa dibuat-buat.

Bahwa terlalu banyak godaan-godaan di kota ketimbang desa
yang belum tergelincir oleh lirikan lampu-lampu ajaib hotel
kamar-kamar megah dan gerak tarian telanjang yang menutup alasan
beragama itu bisa ditanggalkan sementara
secara jujur kau ucapkan:
di balik dusun terpencil ini, dik
kado valentine tidak mudah kubuat anyaman menyemat hatimu

Bahwa terlalu sintingnya kita menghadapi kebutuhan di kota ketimbang di desa.

Bahwa di desa terlalu banyak lirikan liar
terlalu banyak artis-artis ibukota yang menarik hati

Bahwa terlalu banyak kaum selebriti yang dikebiri dalam gemerlap.
bau-bau alkohol meruang
asap-asap opium melebar dalam getar shabu-sahbu yang dianggap indah,
jadi semacam santapan di meja makan mengganti knalpot berkerak
dan nakal menggoda segala keinginan
terlalu banyak seniman sakit hati dan belajar meyakini kesenimannya,
terlalu banyak penjual kemewahan menjajakan harga diri
dan terlalu banyak menawarkan kelinglungan.
Bahwa terlalu gilanya kita menghadapi peradaban-peradaban berbau elektrik
dan tergiring bak mesin mafia yang mencuci otak kita
bahwa modernisasi jauh lebih hebat dibandingkan hidup di desa berbau arang dengan membakar singkong.

Matamu telah menjadi mesin berpeluru
jejalan segala peristiwa pada tanjakan bukit terakhir
yang mengharuskan kita membuka mata hati
Betapa kecilnya kita
dan betapa Tuhan kita dengar suara-suara yang memanggil-mangil
mengingatkan kecurangan-kecurangan yang pernah kita lakukan
saat belajar melupakan hari sucinya
yang dilingkari upacara

Kita sering lupa dan berbuat konyol menjadi penunggang kuda kemewahan
sementara kocek kita hanya sejengkal ukuran hidup tak lebih setahun.

Lalu kita banyak berhutang di setiap kedai makanan,
pada setiap warung-warung kopi
pada setiap supermarket dengan gaya sengit
menghamburkan segala keinginan bahwa
stok beras di rumah hanya cukup untuk sehari
serta menyembunyikan kekurangan diri dengan duduk di rumah makan
hanya sekadar menikmati sebotol aqua ringan.

Ah, betapa kita menjaga gengsi
agar terkesan hidup mewah
berkuda emas yang berharap kantong kita ajaib bersulap
menjadi bank-bank yang berjalan.
Hidup hanyalah keindahan mimpi sesaat yang kita beli dalam kekayaan berkhayal.

Ternyata dibalik kekosongan ini ada makna tersimpan
di rimba penuh pergolakan jiwa yang mengganjal setiap keinginan
agar cinta ini mudah dirawat dengan baik disaat-saat padang ini gersang
disaat lumbung kita tidak terisi atau
disaat dompet kita kosong melompong
ataupun disaat datangnya tagihan bon-bon kopi pada sebuah warung.

Dan ternyata di ketinggian puncak ini
semoga kita tidak harus menjajakan cinta pada setiap penjaja angin
yang ingin mengatakan cinta ini tak lebih lembaran-lembaran uang
yang mudah dibelanjakan pada setiap ruang hati yang butuh kehangatan.
Di ketinggian puncak ini semoga kita tidak harus menjajakan hati murni
pada setiap pemburu hati yang ingin mengatakan cinta ini tak lebih sepenggal hati
terbuat dari emas berlian yang mudah disimpan di gerbang kebanggaan
untuk dipamerkan kepada para tetangga-tetangga kita
tamu-tamu yang dolanan ke rumah
atau relasi-relasi yang bersilaturahmi di rumah hati
ataupun kita umpankan pada rekan-rekan pecundang yang termakan janji palsu
dengan lirikan manis agar runtuhnya hati berbagi-bagi
pada setiap balik hatimu yang masih punya rasa

Wow......ternyata di balik dusun terpencil ini, dik
kado valentine memang tidak mudah kubuat anyaman menyemat hatimu

CAMAR RESAH III


Lalu ada rindu bergulir di mata
Bermula iseng
Berkemas
Membenahi cuaca
Di tubuh sunyi

Jumat, 12 Februari 2010

SURAT KEPADA BISMA


Sebelum luka luka terbalut
ksatria para kuru
wahai , Bisma jejaka sekala niskala
adakah dongeng menjelang tidur malam
sebelum pil penakar dosis meracuni jantungmu
yang runtuh berbantal panah

Atau dapat tegaskan sekali lagi
tengadah natap hujan bunga
dewa dewa kasih percintaan
remaja bayang buram

Namun sumpah lidah jejaka kurun waktu
ribuan mill di usia yang mampu
membagi bagi jarak nyawa terkendali
atas tiupan angin bara dendam
: Srikandi berlari di padang duka

Wahai, cinta, kata hati Bisma
mengobarkorbankan benah diri
menatap janji tak ubah cadas mati
hati beton sekukuh baja
meratap zaman menggilir gilir
gigir jejalan asmara sengak

;jerit Bisma merobek robek langit
runtuhan kayon kayon
nutupi cerita
hadir juga

Kamis, 11 Februari 2010

CAMAR RESAH II


Bila kaki kaki musim menjenguk
kudapati ia sedang iseng menggurat kata
dengan pena bibir
airmata
merah
dan cakrawala lukisan lembut
iringan jalan nuju persimpangan mimpi
menuntun cerita dari sarang sajakku
menghuni kediaman
atau selalu sesadar napas panasi aliran dahaga
sampai mata, pusaran panas
daratan kembara menepi riak habisrasa
terbenam
semau-maunya!

Musim kepada camar resah
tak segampang cemburu mencuri-curi
sarang cintamu

Begitu lama terbang bayangmu
deras menimpa runtuhan hujan
seperti lukisan wajah air
memantul mantul

MEMANDANGMU SENGGIGI ( tak cukup panjang menunggu malam)


Mengawali jalannya senja matahari menghilang ditelan lautmu
alunan jazz lantunkan asmara yang mudah digali
tak cukup panjang menunggu malam
cinta siap menjajakan diri pada sudut sofa front office sebuah hotel berbintang, tidak menyia-nyiakan penawaran dalam kamar penantian
anak anak yang belajar dewasa dari usia sejenisnya
lautmu lahirnya cinta sesaat mendayu dalam irama dan kenangan mudah dibentuk
tak cukup panjang menunggu malam
adalah laut liur yang menggemaskan kerahasiaan
Anak anak menjadi dewasa karenanya tak perlu pusing suara dentang jam sekolah
tidak ada ketakutan kotbah agama, suara-suara semestinya mengingkari semester yang lupa digali, ternyata lautku punya kebebasan untuk berenang di malam hari
entah sudah hafal pada irama mana memulai
menjadi bayang bayang menyatu dalam kegerahan malam
kegairahan lekuk-lekuk asmara yang fatal
dalam sekali tenggak hawa alkohol menjadi jampi dalam kenakalan musim
menjadi sang pesulap yang mahir memainkan angin
menerbangkan moral setara napas tubuh yang menggoyahkan angan
jadilah pengembala angin memintal rok rok semarakkan warna kulit
jadi benang benang lepas
dance hingar dalam bingarnya musik
tak cukup panjang menunggu malam :
- jadi jahanam!
mengawali pagi jalannya matahari berbalut sinar keemasan
matamu telanjang menggapai kenangan
malam terasa pendek

Mengawali jalannya senja, berikut bayi-bayi lahir bagai pasir berantakan
tak mengenal wajah bapaknya
tak mengerti dalam pelaminan ufuk senja
hingga terlahir dalam ketakmengertian
hawa haram yang dahsyat
berbau garam
yang kian gerah menanti malam
berikutnya