Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Senin, 27 September 2010

Cerpen: PRANI

Kalau aku diberikan hak untuk menentukan pilihan maka aku lebih baik tidak memilih untuk kecewa, maka aku tidak akan memilih untuk sedih, maka aku tidak akan memilih untuk sakit, aku tidak akan memilih untuk benci, maka aku tidak akan memilih untuk susah dan akupun tidak akan memilih untuk menangis. Dan kalau dalam hidup tidak perlu ada cinta akupun tidak akan pernah belajar mengenal cinta, karena kata kekasihku waktu itu; demikian dekat jarak antara cinta dan benci, hanya terhalang seutas benang tipis yang sewaktu-waktu akan mudah putus, rengat dan menyakitkan. Dan kalau aku ada karena benih-benih cinta, kalau aku terlahir hanya karena benih-benih asmara kasih sayang maka aku tidak akan dihadapkan pada kekecewaan, maka aku akan mengutuk habis-habis cinta kasih sayang sebagai sebuah kebohongan besar dan aku pasti akan menyesalkan kelahiran ini. Dan pasti aku akan memaki orangtuaku kenapa mereka menanam benih benih cinta untuk melahirkanku.Dan akan betapa cengengnya kalau aku harus menderita karenanya. Itu tidak perlu terjadi.
“Cukup sekali saja aku menangis dan tidak akan ada tangisan lagi,” katanya tegar.
Aku tercenung, betapa tidak sempurnanya hidup ini. Aku harus siap menghadapi pilihan ini.”Aku hanya takut terlalu lama hidup bersamamu. Hidup ini terlalu banyak bohongnya,” seperti suara lirih yang menyuarakan kekecewaan.
“Dulu akupun berpikir demikian, betapa terikatnya sampai-sampai aku bertanya pada diriku sendiri pada suatu malam yang terlalu banyak menyisakan airmata, kenapa aku begitu sangat mencintaimu dan di saat kesakitan-kesakitan ini kau berikan padaku aku menangis dan bertanya; dimana hatiku kamu simpan, pada bagian sebelah mana?di lekukan sebelah mana? Kalau memang ada kamu simpan, tolong kembalikan hatiku dan di malam-malam kesendirian dalam kesedihan itu aku memohon padaNya, Tuhan tolong kembalikan hatiku yang telah diambil, jangan berikan aku cinta, itu terlalu menyakitkan dalam keterikatanku dengannya,”
Aku tercenung mendengar kejujuran kata-katanya.
”Dan aku telah berhasil. doaku terkabul..............”
Berulang-ulang putaran lagu I Can’t Stop Loving You di kuping yang terdengar justru hanya suara sumbang lagu jeritan nada-nada cinta yang menyayat kalbu tentang perjalanan seorang wanita menanti kekasihnya dari medan perang yang telah lama terjerumus dalam ikatan cinta. Sebuah penantian dalam kelelahan perjanjian yang terikat oleh cincin pertunangan. Larut aku dibuat dalam nada-nada lagu itu. Seolah-olah mengisyaratkan sebuah pertentangan hati. Kamu tidak akan pernah sanggup untuk mengerti, kamu tidak akan pernah untuk berpaling sekejappun. Aku terperangah malu, seakan sebuah kebohongan yang terbaca, seakan sebuah rahasia yang berusaha untuk disembunyikan pada setiap lekuk-lekuk catatan harian yang panjang dengan deretan kalimat-kalimat yang dibuat sedemikian indahnya namun dibalik semua itu ternyata hanyalah sebuah kamuflase bagi siapa saja yang sempat membaca catatan harianku. Eh, ini catatan pribadi, tak seorangpun boleh membaca. Kenapa kamu iseng membaca, padahal kamu suka ingin mengetahui isi hatiku yang aku tuang dalam catatanku? Kupikir jarang orang yang mau menyodorkan rahasia hatinya untuk diceritakan ataupun seperti sebuah perbuatan yang sangat bodoh untuk memperlihatkan catatan harian yang terlalu pribadi sekali sifatnya.
”Maksudnya doa itu sudah mampu melepaskan ikatan cinta diantara kita?” aku mengejar.
Dia mengangguk.
Tidak kudengar lagi alunan lagu itu di telinga sepertinya pendengaranku sudah mulai tertutup menikmati letak sendi-sendi pada sebuah keindahan irama lagu. Tidak kudengar lagi apa yang menjadi kekecewaannya dan mulai saat itu aku mulai belajar untuk memahami sikapnya yang selalu diam, tidak tersentuh pancingan untuk menimpali dialog. Aku tahu betul wataknya kalau dia sudah bersikap demikian. Aku merasa egois oleh sikap-sikap keangkuhannya, entah ini dibuat-buat, hanya untuk mengurangi beban yang ada di dalam dada. Tidak pernah kulihat dia berubah seperti ini. Apakah ini artinya dia tengah menanamkan benih-benih baru di rahimnya untuk mengawali sebuah perdebatan baru? Benih yang namanya sebuah kebencian tidak mendasar?
”Hush! Anak kecil ndak usah mendengarkan pembicaraan orang dewasa,” dia melambaikan tangan ke arah pintu yang sedikit terbuka. Sosok bayangan kecil terlihat menjauh dalam langkah kaki yang lapat-lapat terdengar melemah. Keponakanku yang nomor dua memang selalu demikian. Tidak pernah tenang mendengar suara bisikan-bisikan bersahutan yang muncul dari orang dewasa dengan aksen sedikit kadang kadang tegas tak terbantah. Dia mewarisi sifat ibunya yang selalu ingin tahu urusan orang ataupun urusan pamannya, apalagi sesuatu pertengkaran yang pernah demikian hebat terjadi pada adik iparku. Aku mendehem halus, semakin membuat pintu itu tidak tersentuh bayangan. Aku tahu keempat orang ponakanku lagi asyik membuat kesibukan yang tak begitu berarti di ruang tengah.
”Apa warna yang bagus untuk batang pohonnya, tante?” Keponakanku yang paling kecil nyelonong masuk kamar sambil menyodorkan buku gambarnya.
”Pakai warna coklat agak tua, sayang.” Aku menjawab sambil memperhatikan gambar yang sedang dia tunjukkan ke arah ibunya. Sebuah gambar pemandangan berlatar belakang gunung dengan hamparan sawah dan danau.
“Yang mana namanya coklat?”
Kalau sudah demikian biasanya adikku akan menggendong menuju ruang tengah dan membimbing disertai dongeng-dongeng menarik. Kami memiliki seorang tetangga janda dengan aksen khas bataknya. Sudah terlalu lama merantau. Dan biasanya adikku manakala mendongeng di hadapan empat anak-anak selalu disertai aksen khas bataknya sehingga membuat mereka pada ketawa terpingkal-pingkal. Anak-anak menyukai gaya bercerita ibunya.
”Lagi ma...lagi mendongeng,” anak-anak mulai mengerubungi ibunya. Ketahuan sudah kecolongan dengan gaya menarik dari pertengkaran itu untuk dibuat istirahat sejenak dengan memancing anak yang paling kecil untuk menggiring ibunya keluar kamar. Mereka membentuk sebuah lingkaran dengan masing-masing menelungkupkan badan dan serempak dengan kedua tangan berpangku pada dagu sebelah kanan dan kiri.
Sejenak tiada perdebatan.
Terlihat yang paling manja selalu yang terkecil dengan menarik-narik tangan ibunya sembari menyodorkan buku gambar.
“Hush, adik. Kita dengar mama mendongeng dulu ya. Tuh ma, tentang sang kancil dan buaya....”
“Nggak. Nenek lampir aja ma!” yang lain menyerukan dengan mengangkat nakal kakinya ke atas badan kakaknya.
Demikian terus terdengar gelak canda anak-anak. Rumah yang riuh suara-suara membahagiakan. Ada yang menyanyi-nyanyi kecil. Ada yang merengek-rengek diselingi suara bentakan kecil salah satu kakaknya yang merasa dewasa.
Rumah yang sederhana.
”Entah benih ini milik siapa? Kenapa begitu kerasan berada dalam rahimku?” katanya beberapa hari kemudian.
”Engkau mengadung benih yang salah,” kataku spontan.
”Mungkin.”
”Benih yang bernama sebuah kebencian...”
”Dan benih kecelakaan!”
”khilaf yang mengada-ada”
”Iya, berwujud darah dendam, suatu ketika lahir kelak, ia akan menjadi gumpalan-gumpalan darah yang tak wajar.”
”Engkau tak patut mengandung bibit karma yang tak jelas dalam rahimmu.”
Ia mengangguk-angguk. Diam sesaat. Seperti melihat ratusan korawa lahir dari ketakberdayaan drestarata.
”Aku tidak pernah ada keinginan untuk menghakimi takdir. Aku tak pernah menyesali segala sesuatu yang pernah terjadi antara kita. Namun setiap dosa yang kita yakini dan jelas-jelas kita lakukan bersama sepertinya kita tidak ingin ada karma turut andil dalam setiap kekhilafan yang kita lakukan.”
Aku terhenyak. Aku merasa benar-benar telah berada dalam lingkaran dosa. Aku merasa seperti ada yang diam-diam mengharapkan semua itu terjadi. Perbuatanku atas dorongan kemasiatan setan telah mengubah jalan hidupku. Diam-diam seperti ada yang menguping dengar pembicaraan itu. Aku gemetar. Badanku penuh bulir-bulir yang bergulir berebutan diantara rongga pembuluh kulit terluar. Mengelupas menjadi darah. Darah yang menyudutkan pikiranku. Aku merasa ketakutan-ketakutan ini semakin nyata. Ketakutan-ketakutan ini kian tak wajar. Ketakutan yang membentuk logika terbungkus kecemasan-kecemasan akan tuntutan karma nyata.
”Seandainya dia tahu,” katanya.
Aku gemetar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar