Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Minggu, 09 Oktober 2011

ZIARAH

Betapa kecil sebuah makna mengungkap, disaat bibir kata yang mulai terucap batas perjumpaan akhir dari relung hati terdalam dan memang sangat dalam untuk menggugat takdir. Dan ketika kita diharuskan mengungkapkan perpisahan dalam standard waktu yang tak jelas. Mungkin kekasih yang lari dari dekapan membawa suatu goresan duka yang dalam yang sangat begitu mengecewakan hati dan meraung-raung di hati. Betapa tidak untuk sebuah perpisahan yang dalam, yang mengharapkan kita untuk mengenang dan dikenang. Manusia memang dalam konteks itu pada kenyataannya tidak bisa lepas dari takdir, bahwa kenyataan hidup yang dihadapi sebenarnya tak lepas dari unsur cinta kasih, kebencian, dendam, perpisahan oleh sebuah kematian yang panjang.. Kehidupan yang tidak terpisahkah oleh kematian.. Sebuah cerita kecil dari kematian itu, yang sebelumnya mengungkit-ungkit masa lalu, sebuah kenangan sebagai perjalanan sangat panjang yang sebelumnya oleh kesedihan terlalu dibesar-besarkan atau akan lari dari kekosongan itu dengan berbuat seolah-olah tidak mengenal bayangan masa lalu lewat kebodohan diri. Bertopeng dalam duka barangkali atau bisa jadi mengadakan kontak dengan kerawanan dalam kekacauan jiwa. Berlari di alam yang bertumpang tindih dari segala-galanya untuk menutup arahnya, perputaran waktu. Merelakan waktu pergi dan bersikap mati apatis dari kematian kekasih yang yang selama ini memberi gairah kehidupan.
Demikianlah adanya sebuah pratanda buruk dari manusia yang bernaung di bawah bayang-bayang ketakutan akan sebuah perjalanan misteri.
Terlepas dari itu semua, dari sang kekasih sendiri, adalah sepasang insan yang pernah dilanda asmara dalam suatu ikatan perkawinan telah melampaui target dari keseharian dalam pergulatan panjang yang tak dikenalkan keadaan-keadaan, tidak bersentuhan dengan segala macam bentuk moralitas, suatu dogma agama yang terkadang terkesan mengikat dalam kehidupan sosial masyarakat. Pengendapan senggama sarat sebagai sebuah proses melahirkan segala bentuk keangkuhan-keangkuhan diri yang memasung-masung untuk dapat disebut sebagai sebuah kenikmatan. Katakanlah suatu pergumulan bathin polos, apa adanya namun tidak dikacaukan unsur apapun juga. Buah dari kenyataan manis, manisnya rasa yang mengantarkan pada pemakaman terakhir. Peristirahatan total yang tak akan mengenal kehidupan lagi sebagai orang yang benar-benar mati. Mati dalam arti yang sebenarnya. Akankah insan takdir mati meraung dikutuk tradisinya? Ziarah, demikianlah terlepas dari kehidupan sang tokoh menjalani kodrat sebagai keadaan yang sebelumnya tidak tahu, berangkat dari tanda tanya yang bergolak dalam segala penyesalan lewat kewajaran kisah hidup di medan realita, dengan terpaksa akhirnya dihadirkan suatu bentuk manis titik temu sebuah yang namanya kecintaan. Tidak sebatas waktu dia menziarahi sang istri yang telah membawa bayang-bayang samar yang tidak tahu kapan sebuah peristiwa terjadi. Kapan kematian datang menjemput.
Di dalam batas lingkup kewajaran yang sebenarnya sedang terjadi, justru sebaliknya dia adalah kelahiran dari ketidakwajaran itu sendiri. Dan disaat ia bersikap wajar, bertingkah laku sesuai dengan norma-norma kehidupan dalam masyarakat, terjadilah suatu perselisihan diantara anggota-anggota itu sendiri yang memberikan sebuah penilaian terhadap dirinya. Jadilah kontradiksi, betapa tokoh yang berprilaku dan berjalan sesuai atas tuntutan jamannya diartikan terbalik. Itulah yang telah dilukiskan sebagai seorang yang telah lupa akan tanah kelahiran yang rindu kampung halaman, sang pejalan yang berduka yang berziarah di atas tanah pekuburan. Iwan Simatupang sang novelis telah melukiskan ziarah sebagai kesan kehadiran kembali akan kecintaan orang tercinta yang terlupakan oleh sang waktu.
Hanya waktu, sebuah perjalanan waktu yang membawa kembali ke arah perjalanan akhir., dalam jasad utuh tanpa apa-apa. Mayat yang menjadi usungan di peristirahatan total, terlepas dari roh itu sendiri dalam wujud mencari sebuah pengembaraan baru. Sebagaimana tulisan Iwan Simatupang yang melukiskan akan sebuah kepercayaan akan adanya lembaga sorga dan neraka dalam geografisnya bumi dimana manusia berada dalam perziarahan yang ikatan antara manusia hidup dan yang telah mati masih ada. Menjadi seonggok lembaga yang berupa tanah-tanah kuburan. Perziarahan yang pernah terjalin sebelumnya. Itulah adanya kuburan; mayat-mayat baru dikubur disitu. Centimeter demi centimeter dari permukaan bumi kita ini adalah bekas kuburan tua yang setiap waktu dapat dijadikan tumpukan kuburan baru. Kita adalah bakal mayat yang berpijak di atas mayat tua. Bumi ini adalah seluruhnya bumi kepunyaan mayat-mayat. Bumi kerajaan maut.
Iwan Simatupang menuliskan dalam arti terdalam, dengan kegamblangan unsur psikologis tapi butuh sedikit pengulangan arti akan maksud pengarang.(dgk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar