Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Minggu, 09 Oktober 2011

BLACKBERRY

Pingin rasanya punya HP bagus kayak teman-temannya. Di sekolah tempat wayan belajar hampir semua teman-temanya kebanyakan membawa HP bagus-bagus. Sedangkan dia sendiri jangankan untuk beli HP yang bagus, untuk jajan saja kadang-kadang masih kurang. Belum kalau lagi ada pelajaran tambahan di sekolah, Wayan hanya cukup melirik kantin sekolah dari jauh saja sambil menelan ludah kehausan. Baru-baru ini mang Nonik teman sebangkunya memperlihatkan blackberry keluaran terakhir. Wah, mutakhir sekali.
“Ini bisa untuk chatting. Ada fasilitas facebooknya. Wuih pokoknya seru,” mang Nonik berceloteh bangga di hadapan teman-temannya ketika lagi jam pelajaran kosong. Semua pada menoleh. Semua mengerubungi gadis cantik walau agak sedikit kurus itu. Ada yang mendekat. Ada yang jahil berusaha meraih. Eiiit! Lebih gesit tangannya Ayu. Teman sebangkunya sudah lebih dahulu mengambil.
“Wah, bagus mang. Dimana beli?”
“Kiriman paman saya dari Jepang.”
“Wah, pasti asli ya?”
“Ya, disini belum ada yang jual.”
“Ah, masak?”
“kalau yang bekas ada ndak?”
Dan mereka semua sibuk membicarakan HP baru kepunyaan mang Nonik. Maklum dia keturunan keluarga kaya. Bapaknya peternak babi yang sukses. Walau babi mengandung banyak lemak agak janggal kalau melihat mang Nonik tubuhnya kurus seperti kekurangan makan. Tak heran kalau teman-temannya sering mengoloknya dengan kata-kata:” Eh, mang, sekali-sekali makan daging babi, jangan hanya dijual aja.” Atau dengan kata-kata pedas: “ Sayang ya! Bapaknya sukses dengan muluk babi tapi anaknya melarat kekurangan lemak.”
“Jangan-jangan malah dia yang menyusui babi-babinya, hingga kehabisan stok lemak di tubuhnya,” sambung yang lain sembari ngakak keras. Namun bagaimanapun pedas ejekan temannya, mang Nonik tetap saja cuek-cuek bebek. Sekalipun di balas olokan temannya ndak bakalan membuat dirinya gemuk. Ya terima saja apa adanya.
Sejak punya HP blackberry baru sekarang teman-temannya sudah mulai jarang mengolok. Sepertinya Benda itu memiliki kekuatan ampuh yang mampu mengangkat ketenaran ,harga diri dan pada akhirnya hal itu membuat teman-temannya enggan untuk menilai kekurangan-kekurangan yang ada dalam diri mang Nonik. Jelas itu telah mengangkat martabatnya. Kabar tentang HP mang Nonikpun mulai menyebar dari kelas ke kelas. Semua sibuk membicarakan. Lebih senang membicarakan HP barunya mang Nonik ketimbang membahas mata pelajaran. Sepertinya HP milik mang Nonik disejajarkan dengan mata pelajaran sekolah. Sehingga selepas jam pelajaran pastilah diselingi dengan adu pendapat soal blackberry. Dan mereka semua kelihatan pada berlomba-lomba mengganti HP. Tidak mau kalah dengan kepunyaan mang Nonik.
“Yan, kamu kenapa diam saja dari tadi? Ndak ganti HP kayak teman-teman yang lain? Jangan mau ketinggalan Yan!” Teman sekelasnya memanas-manasi Wayan yang sedari tadi tidak antusias membahas soal HP.
“Ah, cerita biasa. Itu sih sepele!” Wayan komentar acuh tak acuh.
“Maksudmu?”
“Ya, semua juga tahu itu barang mahal. Kenapa harus ikut-ikutan ramai. Nonik itu kan anak saudagar babi, apa saja bisa dibelikan orang tuanya.”
“Jangan rendah hati begitu. Harus bangga dong dengan kepemilikan kawan.”
“bangga? Ya jelas ikut bangga tapi tidak harus kesetanan kayak gitu kan?”
“Ah, kamu ngiri ya?”
“Kalau aku yang punya gituan teman-teman baru pantas ngiri.”
“Kenapa?”
Wayan tidak menjawab. Hanya tertawa kecil disambung dengan kata-katanya yang khas. : ”Mana mungkin orangtuaku sanggup membelikan.”
Bagi Wayan komentar yang berlebihan tentang HP milik mang Nonik merupakan ejekan bagi dirinya yang miskin. Dia merasa seolah-olah terdesak oleh sesak ocehan teman-temannya. Sepertinya sebuah keharusan memiliki walau sesungguhnya belum dianggap untuk melengkapi statusnya sebagai seorang pelajar. Itu yang ada dalam pikiran Wayan dalam keinginannya yang tidak tiba-tiba dan sudah sedari dulu dia angankan. Dia juga seperti teman-temannya yang lain: Ingin memiliki HP yang bagus.
“Tidak mungkin memek belikan kamu begitu Yan? Apa untungnya? Tanpa HP-pun kamu bisa sekolah. Jangan sok-sok an kayak temanmu yang kaya itu. Memek ndak punya uang,” itu kata ibunya ketika pernah Wayan mengungkapkan keinginannya. Jauh-jauh hari sebelum kabar blackberry itu beredar di sekolah. Keinginan hanya tinggal keinginan. Angan-angan hanya hembusan angin sepoi-poi yang merona di wajah wayan. Hembusan yang membuatnya terdampar di alam mimpi saking kuatnya angan-angan memiliki sebuah HP. Dalam mimpi wayan merasa memiliki keluarga yang kaya raya. Tangannya menggenggam sebuah blackberry yang bagus. Wayan tertawa-tawa senang. Ke sekolah ia membawa HP dan kelihatan sibuk nelpon kesana-kemari. Bagai orang gila wayan naik tembok sekolah, sekali-kali berada di lantai 2 sekolah. Terkadang terlihat di atas dahan pohon halaman sekolah sambil tertawa-tawa menjawab sesuatu.
“Nih, lihat! Hanya untuk memiliki sebuah blackberry tidak perlu mesti terlahir dari sebuah keluarga yang kaya raya, memiliki showroom mobil ataupun saudagar babi,” suara seberang melecehkan. Seperti menyindir mang Nonik.
“Ah, kamu ngomong apa kentut?”
“lha, buktinya aku terlahir dari kehidupan di tengah pasar. Memekku hanya cukup jualan janur dan sedikit bahan ceraki masih bisa menyisihkan buat blackberry.”
“Dan sedikit sembako?”
“Hm….ya”
“Ya sama saja kamu keluaran sebagai seorang saudagar yang sukses.”
“tapi eh, ini yang bertanya siapa?”
“Aku?”
“Ya…. Siapa lagi?”
“Wayan!” Suara di seberang menegaskan.
“Lho!?”
“Kenapa?”
“Aku juga Wayan…”
“Wayan siapa?”
“Lodra!”
“Lho kok….?”
“Lho lagi?”
“Iya…..ya…..Sama!”
“Sama apa?”
“Lodra juga…..”
“Ah…!?”
Lalu mereka sama-sama tertawa. Jangkrik! Ternyata ndak enak memiliki blackberry. Itu memang membuat bukan hanya komunikasi semakin dekat, informasi semakin nyambung bahkan nama juga semakin dekat. Dan bisa sama. Wayan geleng-geleng kepala. Tidak habis pikir dibuatnya. “Apakah aku sudah gila?” Ah, jangan-jangan komunikasi ini sesungguhnya yang gila serta ndak pernah nyambung.
“Kenapa nelpon mesti pake acara manjat-manjat segala, Yan?” gurunya menegur melihat kelakuan Wayan.
“Ndak ada signal pak!”
Wah sekarang sejak punya blackberry tingkah laku Wayan semakin aneh-aneh saja. Blackberry itu selalu membuat Wayan manjat tembok sekolah, atau manjat pohon halaman sekolah bahkan bila perlu manjat gedung sekolah.
“Nelpon siapa Yan?” mangde, nyeletuk.
“Dadong di kampung.” Sahutnya.
Memang blackberry ini membuatnya gila dan sering lupa. Lupa kalau dadongnya sudah lama mati. Tapi apa salahnya, siapa tahu nyambung. Namanya juga berusaha. Dan ketika ada sahutan Wayan ngakak keras-keras. Ingat Dadongnya pada acara pengrupukan menjelang Nyepi, habis-habisan memarahinya memainkan letupan bom bambu yang sengaja ditambahkan karbit. Suaranya keras memekakkan telinga. Atau ketika ketahuan mencuri beberapa biji buah bengkuang di ladang. Dadong yang nanam, dia yang memanen.
“Ingat dong? Ingat ‘kan? Ingat ya? Pasti ingat! Wayan sekarang sudah punya blackberry lho, dong” suara Wayan disambung tawanya yang renyah. Dan saking asyiknya tertawa, Wayan lupa kalau tengah berada di tingkat gedung paling tinggi di sekolahnya. Dan..Gedubraaak…..!!! Segalanya menjadi gelap. Penglihatan Wayan tiba-tiba menjadi gelap. Suara hiruk pikuk teman-temannya di kelas tidak dia dengar lagi. Ya, segalanyanya bagi penglihatan Wayan menjadi gelap. Tiba-tiba tubuhnya terguncang-guncang, seperti ada yang menarik. Wah, jangan-jangan sekarang dia lagi dalam perjalanan ke akherat. “Wow, matikah aku? Apakah aku sudah mati?” Tapi Wayan masih sempat terkekeh-kekeh geli, ingatannya akan blackberry paling tidak kalau sudah sampai di titi ugal-agil nanti dia tak akan dibenturkan dengan persoalan-persoalan baru. Dia hanya tinggal menjawab pernah! Pernah!! Dan Punya! Punya!! Kalau ditanya pernah sekolah dulu, maka jawabnya pernah. Kalau ditanya punya HP? Akan dia jawab Punya. Ini dia blackberry keluaran baru. Wayan kian terguncang. Tubuhnya semakin keras memberikan perlawanan. Lapat-lapat didengar ada teriakan yang memanggil-manggil namanya. Di kejauhan yang penuh dengan kegelapan. Memang segalanya menjadi gulita. Siapa? Siapa yang memanggil namanya? Mang Nonik, memek, mangde ataukah dadongnya yang tengah marah-marah mengetahui dia mencuri bengkoang? Bukan! Suara itu suara kanak-kanak menginjak remaja. Suara remaja yang setengah mengganjal tenggorokan. Remaja-remaja yang telah menunjukkan tembolok kedewasaan. Ah…ya… itu suara mangde, suara Agus dan suara-suara yang dia kenal di kelas. Wayan menggeliat. Ya itu suara teman-temannya di kelas. Berarti dia tidak mati. Ya Wayan belum mati karena blackberry. Terus kenapa semuanya dia rasakan sangat gelap gulita? Kenapa dia bisa terhubung lewat blackberry ini dengan dadongnya? Padahal dadongnya ‘kan sudah mati. Ah, jangan-jangan dia dan semua teman-temannya pada mati. Ya mati beramai-ramai dalam sebuah kecelakaan massal.
“Yaaaaaan……Wayaaaaaaan…!!”
Wayan kaget setengah mati. Lagi-lagi dia jatuh untuk yang kedua kalinya, Bukan dari ketinggian gedung sekolah. Tidak juga dari titi ugal-agil.
Perlahan matanya membuka. Satu persatu sosok wajah muncul di hadapannya. Samar-samar terlihat mangde. Wayan mengucek-ucek matanya yang merah. Semakin jelas teman-temannya berebutan muncul lewat kornea matanya. Memantul jelas. Semua pada menertawakan dirinya.
“Mimpi apa Yan?”
Wayan Lodra tidak menjawab. Perlahan bangkit dari lantai kelas dan ngeloyor pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar