Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Senin, 03 Oktober 2011

Prosa liris: ROMANSA SAIDI kisah asmara sang SENIOR (senang istri orang) titian kembir

Kenikmatan siapakah yang engkau bagi-bagikan
kepada setiap wanita kau katakan menjajakan asmara
mahkota siapakah engkau sibak dengan paksa
sehingga wanita hilang rasa
kepekaanmu itulah yang telah engkau paksakan untuk membuat dunia ini
menangis
gadis-gadis perawan terpaksa lepas mahkotanya
dan secara diam-diam engkau curi
lewat bayangan bulan separuh negeri senggeger yang kau tikam dalam tanah
kepekaan itulah yang telah engkau paksakan untuk membuat gadis gadis merintih
sebelum waktunya
dan kau tertawa
lewat malam yang laknat
(dari sajak negeri senggeger 4)














1. Titian Kembir

Titian Kembir, sebuah desa yang masih perawan dalam nuansa pedesaan yang alami. Aksen khas alami pedesaan, ketika melihat anak-anak yang asyik bertelanjang dada berlarian di pinggir jalan tak beraspal. Kadang aksi mereka di tengah jalan seolah ingin menguasai ruas jalan daerahnya, kendati masih mempedulikan suara klakson truk pengangkut pasir yang melintas. Kadangkala pura-pura tak mendengar. Dan kalau terpaksa berbenturan, maka terbaliklah bak pengangkut pasir itu, seketika asap hitam akan membubung tinggi. Yang mengaku pemilik desa atau sebagian besar yang ikut-ikutan, lebih memperparah dalam percikan api, membakar suasana. Desa yang sewaktu-waktu menunjukkan kesombongannya. Anak-anak muda yang mendadak beringas. Truk yang tiba tiba bisa nahas, maka tahu dirilah sang sopir untuk menghindar jauh-jauh. Bila perlu untuk tidak berbenturan.
Adalah Sahatun, salah seorang warga Titian Kembir yang demikian memikat. Wanita yang tercerai berai dalam angan tak sampai, bersuamikan Saidi, lelaki yang tiba-tiba terbuka melampaui angan. Sama-sama terhempas dalam badai. Sama-sama berkarier. Sama-sama punya harga diri. Dan sama-sama ingin punya masa depan yang indah. Punya rasa yang berbeda.
Pernah saling mencintai, bahkan mungkin diam-diam masih ada rasa cinta dan kasih sayang, Ketika masalah memisahkan mereka. Ketika pertengkaran melibas mereka. Ketika badai rumah tangga mulai menghantam. Ketika berbagai sangkaan praduga menguliti masing-masing pikiran. Ketika rasa curiga membuahkan tudingan-tudingan tak mampu membendung berbagai tuduhan-tuduhan. Ketika sama-sama saling mulai melecehkan cinta kasih yang semula dibangun dari serat-serat burung kecial ?
Entah! Itu kata mereka, manakala terbakar emosi. Kenapa bisa terbakar emosi? Akankah serat-serat kecial telah menuai jadi minyak-minyak yang ditorehkan dalam beberapa kalimat sakti? Minyaknya dioleskan di jidat, dioleskan di sepasang alis mata, kemudian diucapkanlah beberapa patah kata, maka emosi jadi redam. Kemarahan dan segala bentuk kedongkolan akan menguap begitu saja, lepas terbawa angin. Itu kata-kata yang dilontarkan konon “orang pintar”. Orang pintar yang khusyuk bertapa di lereng-lereng gunung yang angker. Konon yang menjadi kenyataan, begitu bisa membuktikan keampuhan minyak yang diambil dari burung kecial yang terjaring di sudut pohon.
Namanya kecial kuning jaring sutera. Jalan untuk menuju ke arah lereng pegunungan itupun luar biasa susahnya untuk dicapai. Begitulah minyak kecial dicari. Saidi berubah jadi kecial dan terbang di pelupuk matanya yang mempesona. Minyaknya menyengat setiap hati perempuan. Jadilah keinginan yang mudah disampaikan. Serta merta kecial itu berubah wujud menjelma jadi Saidi, membentangkan asmara denyarnya, menghujam melalui busur-busur telak menikam urat nadi.
Hujan-hujan air birahi membasahi kelopaknya. Bumi jadi bergetar dalam sentuhan maksiat. Desir angin bersuara bak rintihan melupakan suara sesungguhnya sebagai angin pada getar daun pepohonan. Setan-setan yang bersetubuh dengan manusia. Menjadi tumbal. Mencari mangsa. Memupuk korban. Lindap pada dada bergetar, manakala salah sasaran: maka menjadi mengong-lah dia, gila-lah dia, sinting-lah dia, histeris-lah dia.
Kitab suci seolah menyembunyikan mantra yang sebenarnya, tak memberikan jawaban pada jiwa yang pangling. Semakin salah sasaran, maka menarilah dia dalam tarian bugil, di bawah purnama yang rakus memamah tubuhnya lepas. Bumi kian bergetar dalam sentuhan birahi dahsyat. Sedahsyat sekujur tubuhnya meronta-ronta menagih pelampiasan. Dan menjerit-jerit minta kawin.
Dengan berbekal airmata maka dinikahkan mereka. Namun manakala pengaruhnya mulai berkurang, akan tumbuh lagi emosi. Emosi-emosi dalam bentuk lain. Dan minyak itu sendiri harus dimantrai dalam berbagai keinginan. Kemana ia suka.
Jika pertengkaran adalah dendang musik rock menyenangkan. Maka para setan yang diungkap dalam minyak-minyak kecial mulai menari-nari. Mulai mencari korban. Irama-irama mulai berdendang antara bleganjur berbaur kecimol plus. Dalam warna langit nan kelam. Berubah mendung berkepanjangan. Wajah dengan sorot mata berapi-api perlahan tapi pasti mulai menghancurkan logika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar