Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Selasa, 04 Oktober 2011

Novelet : AKU BUKAN PELACUR (7)

“Tidak, Wina. Ini bukan suatu kebodohan. Justru kamu adalah orang yang sangat beruntung bisa dekat dengan saya,” lelaki itu menghibur.
“Beruntung?” Wina menatap dengan pandangan tidak mengerti. Apakah ucapannya ini merupakan sebuah hiburan? Hiburan yang diharapkan dapat mengubur kekecewaan sebagai sebuah harapan demi harapan tak kesampaian. Bentuk harapan kandas, tak tercapai yang bermuara pada kekecewaan. Bagaimana harus mengubur kekecewaan? Apakah dengan adanya suatu hubungan kedekatan dengan orang-orang berpengaruh macam pak Wijaya ini setara harganya dengan kehormatannya yang kini telah ternodai? Dalam dunia politik apakah wanita macam Wina ini dapat dianggap sebagai sebuah komoditi yang dikemas dalam pamflet-pamflet sebuah kampanye politik? Dia selama ini hanya dianggap sebagai gula-gulanya partai. Untuk memberi pemandangan sekaligus pandangan yang menarik pada setiap mata acara. Itu dia rasakan betul. Ibaratnya bagi para pentolan-pentolan partai buat cuci mata untuk dapat melihatnya. Bahkan bilaperlu menghiburnya hingga mendalam dalam kedalaman hatinya yang sesungguhnya kering dan letih. Kering karena diwarnai kesibukan mengurus perjalanan ke luar daerah. Studi banding untuk di bawa pulang guna memajukan daerah. Dan juga tentunya jalan-jalan yang merupakan lahan mengasyikan, sembari menghibur diri di klab-klab malam, berkeraoke sambil menari-nari dalam tarian perut dengan beberapa wanita penghibur. Letih? Iya letih yang terlalu lama memanjakan diri dalam hiburan-hiburan. Mengail proyek-proyek beramplop dan bermain-main ‘move’ dengan beberapa pengusaha secara diam-diam.
Pada acara kampanye Golkar kemarin Wina dan kawan-kawan dengan bangganya hadir sebagai penggembira diantara para penggembira partai lainnya. Acara safari politik ke beberapa kabupaten selalu menyertakan dirinya. Seolah tanpa kehadirannya suasana terasa sepi. Ada yang kurang tanpa kehadirannya. Kadang pagi-pagi subuh dia sudah didatangi ke rumah dengan mendadak. Ibunya sendiri memang mengijinkan, selama masih memang benar-benar untuk kegiatan organisasi. Bukan hanya wayan Suambara ataupun mas Yudi temannya datang menjemput, bahkan pernah pak Wijaya sendiri pagi-pagi datang ke rumahnya. Sebetulnya Wina malas pergi saat enak-enaknya tidur karena habis begadang, tapi karena yang mendatanginya ke rumah pentolan FKPPI, Wina terpaksa harus mandi dan segera berangkat. Berdandan seadanya. Kecantikan dan wajahnya yang manis terpantul, kendati berhias diri seadanya dengan buru-buru. (nyambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar