Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Selasa, 11 Oktober 2011

ULAMA DI KURSI BIROKRAT

Ketika di tengah- tengah senyapnya permainan uji mental menjelang pemilihan gubernur, seorang teman saya Ridwand Arshad dari Bima menjadi besar di dunia teater singaraja Bali dan kini bermukin di Jakarta seperti mengiggau berucap. “ Saya bukan memihak siapa-siapa. Dalam pemilihan ini justru saya berpikir soal masing-masing calon pemimpin dengan totalitas misi-misi yang dipaparkan “ seandainya saya terpilih” dan itu tidak terjadi dengan orang yang satu ini. Kesimpulannya setelah gubernur ini yang memang dari suara hati murni rakyat, setelah sang ulama ini yang menyelamatkan sebuah kalimat pimpinan remang-remang yang tidak mengenal buku, pimpinan yang tidak membaca dll, who next? Begitulah kira-kira. Setelah Ulama ini, dekade berikutnya siapa lagi? Kalau memang menanggapi kalimat dalam tanda petik besar, sebuah kemenangan ini bukan milik sebuah partai, ini kemenangan rakyat, maka terbukti sebuah penilaian murni terhadap sosok pemimpin dari suara murni rakyat
Kalau memang demikian pada akhirnya, itu berarti Tuan Guru Bajang bukan lagi milik satu dua partai, bukan milik satu golongan agama, tapi seorang tuan guru yang menyuarakan kepentingan umum di atas segala-galanya dengan bernuansakan agama. Selaku Ulama muda, satu-satunya gubernur termuda di Indonesia, diharapkan figur dengan sentuhan kharismatik menginginkan suatu bentuk inovatif yang plural nantinya bisa memberi rambu-rambu reformasi NTB yang bebas KKN. Tidak mencampur adukkan antara kepentingan agama dan politik atas wilayah daerah yang dipimpin. Pluralitas yang mampu menghambat munculnya kekacauan , barbarisme, angka kriminal yang tinggi dalam keterpurukan sosial-ekonomi yang membutuhkan suatu sentuhan yang bukan dijadikan pajangan ataupun obyek komoditi dalam target pembenahan nanti. Inti dari pluralisme itu juga mampu mengatasi permasalahan mengenai ide pemisahan pulau sumbawa sebagai provinsi tersendiri yang tentunya tidak realistik karena gubernur nantinya harus mampu mengayomi. Perceraian sebuah pulau tidak akan menjadi indah. Tuan Guru Bajang harus mampu menyatukan kedua pulau ini, selaku pemersatu bangsa yang dalam hal ini NTB sebagai bagian dari NKRI.
Diingatkan kita kembali pada Al Farabi, filsuf kelahiran Transoxiana, dimana para pemikir islam awal juga menghadapi masalah kecil dalam memisahkan agama dan politik. Usaha yang serius lewat On The Perfect state dalam harmonisasi pemikiran politik dan agama sebagai sebuah ide mengenai kepemimpinan suatu Negara sempurna yang sekular-universal dan dengan harapan itu barangkali NTB ini secara kolektif dapat menjadi ujung tombak kaumnya separatis dalam golongan muktazilah yang lebih menghargai lagi eksistensi para ilmuwan, filsuf, penulis puisi, cendekiawan dalam transformasi sebuah wilayah yang lebih manusiawi. Dan visi itu dalam mewujudkan masyarakat yang beriman dan berdaya saing, bukan sebuah kalimat indah yang nantinya hanya terpancang di lobby pendopo, dilirik hanya untuk sekadar dibaca, namun dibaca untuk dilaksanakan. Dengan demikian apa yang menjadi figur seorang pemimpin seperti KH. M Zainul Majdi yang master di bidang ilmu tafsir dan ilmu-ilmu Al-Quran lulusan Universitas Al Azhar ini bisa memberikan kepercayaan umat beragama, masyarakat NTB pada jalan yang benar, berpandangan moderat yang berbentuk agama dalam hal mana kepercayaan utama sebagai orang nomor satu di NTB dalam memimpin masyarakat mampu memisahkan agama dari Negara, hak kebebasan berekspresi. Satu pandangan sudut moderat yang memayungi pluralisme, perbedaan toleransi sebagai demokrasi yang tumbuh di masyarakat. Akan menjadi nyata sesuai dengan julukan NTB yang The Heaven on the planet dalam gugusan segitiga Toraja, Bali dan Komodo dalam jalur wisatanya.
Dengan demikian nantinya sosok Ulama muda di kursi birokrat seperti igauan teman saya dari Jakarta tadi bukan merupakan rumours halus, bukan juga sebuah teori untuk mengagungkan sesuatu walau sesungguhnya dalam kecemasan seorang pemimpin seperti Pak Majdi barangkali bisa menolak sebuah tradisi itu sendiri atas kultur kelahiran sang Ulama muda dalam suatu daerah tertentu namun tanpa menampik segala sesuatu yang sifatnya lebih egaliter. Entah! Namun pada akhirnya sosok pemimpin berwawasan moderat yang menghargai pluralitas atas keragaman warna ini kita lihat kinerjanya nanti hingga sampai di penghujung tahun 2013 atau bahkan bisa diharapkan nyambung sampai tahun 2018. Semoga pak Majdi bisa sebagai sosok Muslim yang moderat tidak hanya terhormat bagi agamanya tetapi juga, semua agama! Saya jadi teringat igauan seorang teman dari Jakarta bahwa apa yang menjadi dugaannya semakin tepat. Artinya manakala pinjam istilah Al Farabi sambil berandai-andai” Kalau saja gubernur yang satu ini mau membaca sebuah sajak sebagai seorang tokoh politik termuda satu satunya di Indonesia yang ada untuk saat ini.” Dan kenyataan yang bisa kita lihat ada beberapa kegiatan yang bersifat seni mulai menggeliat di Taman Budaya Mataram dalam limit waktu yang cukup jelas jadwalnya. Memang sebuah permintaan sederhana dari seorang teman karena seorang pejabat penting manakala memegang tampuk pemerintahan yang dikenalkan dunia seni, mengasah jiwa dalam kesenian untuk kembali memanusiakan diri sebagai bentuk manusia yang memiliki hati nurani yang dalam, saya kira bukan hanya sekadar membaca atau berkarya seni, menggali kata-kata, selebihnya memang harus mampu memancing greget, bagaimana greget seni itu kembali muncul yang selama ini hanya angin lalu. (greget ini pula oleh Kongso Sukoco yang mempertanyakan eksistensinya atas nama rekan-rekan seniman untuk harapannya akan terbentuk: DEWAN KESENIAN NTB) Dan sayapun beranjak dari igauan tersebut seandainya para pejabat yang ada di Indonesia memisahkan diri sedikit selaku birokrat untuk menggali kata-kata. Ya, kalau setiap jamuan coffee morning diselingi acara pembacaan sebuah puisi atau berdiskusi tentang sebuah prosa dalam hati nurani. Dan memang kalau seandainya para birokrat membaca sajak serta memiliki waktu untuk mengasah intuisi seni di bidang sastra.(DG Kumarsana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar