Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Rabu, 17 Februari 2010

WAYANG DALAM BENANG MERAH KONTEMPORER

Menyaksikan pertunjukan wayang memang sangat menyenangkan. Terutama sekali bagi mereka yang mempunyai kecenderungan terhadap salah satu tokoh favoritnya. Seorang anak tanggung yang diajak menonton wayang oleh kakeknya suatu ketika di malam tilem pada saat bulan mati , bersorak gembira ketika menyaksikan tokoh kebanggaannya . Bima menang tanding melawan raksasa musuhnya. Kadangkala menggejala ikut larut memerankan tokoh pujaannya. Di kehidupan realita dan di luar teks naskah yang dimainkan, jadilah ia si anak kecil dari image sang dalang dalam wujud rupa Bima yang selalu bermain seru dengan kawan-kawan sebayanya. ”Bima itu kuat, ia tak terkalahkan. Akulah Bima,” ia akan menjadi Bima diantara kawan-kawannya. Dan ia tak mau terkalahkan dari pikiran yang membelenggu diri si anak dan ia harus mengalahkan kawan-kawan sepermainan dalam adu jotos. ”Aku harus menang karena aku Bima,” pikirnya. Pada akhirnya lahir Bima si-anak tanggung dari imajinasi (fantasi dari yang ditonton) yang terbawa secara tidak sadar ke alam nyata, dalam ruang lingkup sehari-hari.
Lumrah kiranya menyaksikan pertunjukan wayang di negeri sendiri sebagai ibarat kesenangan yang telah menjamur di hati setiap penggemar wayang. Katakanlah suatu upaya pendekatan terhadap alam budaya sendiri. Semuanya itu dapat diterima sebagai rasa penyampaian kebudayaan abstrak di mata penonton sebagai bentuk komunikasi yang mudah dicerna, terutama sekali pada unsur-unsur tertentu. Karena banyak kita lihat pesan-pesan penting yang sangat berguna untuk kehidupan sehari-hari. Yang dimaksud tentunya sebagai bahasa penerjemah (sanskerta) yang dibahasakan dalam bentuk keseharian yang mudah dimengerti. Selebihnya merupakan bahasa kawi sebagai bahasa yang dimiliki oleh sang pengarang/dalang itu sendiri dalam ungkapan yang diterjemahkan sebagai penyambung rasa buat penonton. Yang memegang peranan penting disini adalah seniman itu sendiri, seniman yang membawa misi, memberikan muatan/pesan-pesan penting yang menggugah, membentuk lakon-lakon yang konyol, ungkapan pesan mengandung unsur filsafat, kesusastraan yang diselingi humor-humor jenaka. Disebutkan sebuah seni dengan pertunjukan bersifat sosio-kultural yang begitu mudah tergambar dalam kehidupan masyarakat banyak
Barangkali nanti akan muncul pertanyaan, bagaimanakah sebuah pertunjukan wayang kita di mata dunia, dan bagaimana pula kalau sebuah pertunjukan wayang dimainkan oleh orang seberang? Sekiranya kalau dapat dikomentari, patutlah buat berbangga hati dan sedikit tepuk dada.
Mark Hoffman punya potensi tersendiri dalam bidang seni satu ini. Ia seolah-olah dalang itu yang bermain-main di atas grafik kesadaran, berkesenian atas adaptasinya dari kalimat-kalimat dalam bharatayuda maupun Pandawa papa terkadang bermain dalam lidah mahabharata, sebuah legenda besar tanah India. Mark Hoffman punya lidah dan cara sendiri untuk memadukan istilah yang ada dalam tokoh-tokoh itu sendiri. Arjuna baginya tak ubahnya sebagai bhagawan Ciptoning dalam proporsi kekayon gandanya. Permainan ini pernah ia tunjukan pada media elektronik nasional sekitar tahun 1986 yang pada waktu itu masih sedikit televisi swasta merambah Indonesia. Yang hidup dalam diri Mark Hoffman adalah kemampuannya mengambil peranan dan demikian fasih seperti dalang-dalang kita sendiri. Kita juga dapat melihat bagaimana Rendra dan Putu Wijaya ditinjau dari sudut dunia kita sendiri dan selanjutnya berusaha untuk melihat Dunia teatral Rendra atau Putu Wijaya dari sisi lain dari pengamatan panggung luar.
Bagaimana kalau di negeri Yunani sendiri misalnya menyaksikan seninya Oidipus Sang Raja atau Antigone karya Sophokles dimainkan orang seberang, dan itu ternyata muncul di negeri kita sendiri sebagai sebuah pertukaran budaya. Rendra telah bermain untuk Indonesia dengan meminjam Shophokles. Begitulah missi Mark Hoffman bermain sendiri dengan meminjam Mahabharata, Baharatayudha dan Pandawa papa. Ia semampunya berusaha melidahkan seninya dengan pertunjukkan wayang. Unsur tokoh-tokoh telah jauh lari dari ide pewayangan. Dapat saja diterima dan kita sebut sebagai suatu bentuk pengukuhan sebuah wayang yang bersifat kontemporer.
Diingatkan kita akan sebuah kisah Arjuna Mencari Cinta berseri yang ditulis pengarang kita, Yudhistira ANM Massardi. Kontemporer yang khas terlihat pada tokoh-tokoh yang berlawanan dihidupkan dalam suatu kesamaan yang tepat. Pengarang menyuguhkan suatu kehidupan yang dibuai jaringan teknologi dan jaringan magis dari suatu kawasan daerah yang berbeda. Misalnya diambil sebuah negeri Jepang dengan menambal sebuah ortodok nilai-nilai yang dianut sistim pewayangan dalam penerapan kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataan zaman modern, wujud Arjuna itu tidak ada. Yang hidup adalah buah pikiran yang terbawa dari wahyu pertama yang mengalir kepada para pengawi. Dengan isi-isi yang telah diterjemahkan oleh pengawi wayang itu sendiri menjadi hidup dalam pertunjukkan dengan menekankan segi moral, petuah-petuah tentang hidup.
Yudhistira ANM Massardi telah mengambil suatu model khas yang tidak tiba-tiba kita lihat. Arjuna dihidupkan dalam segi budaya yang hidup di negeri Jepang (dalam: Arjuna Wiwahaha). Melihat tokoh-tokoh seperti; jenderal Tojo Heideki dengan menjalin pada sebuah kepercayaan tentang Dewi Matahari: amaterasu-Omikami, Ratu Kobe, Musashi dan sedikit kehidupan media seperti koran Yumiuri Shimbun yang sangat terkenal itu.
Sebagaimana yang ditulis Massardi atau kisah yang ditayangkan Mark Hoffman itu sendiri, semuanya menjadi serba sama. Atau seperti kita melihat jalinan dalam satu cerita Anak Bajang Menggiring Angin atau kisah Semar dalam novel yang ditulis Putu Wijaya, merupakan pesan-pesan berarti yang tersembunyi di balik semua itu dengan sedikit kejelian mata melihat.
Pengarang atau pelaku dalang yang berangkat dari intelektual yang sama dengan pemahaman bhagawadgita mengintepretasikan (pada sisi untuk memudahkan pembaca / penonton menyerap dalam mencari waktu yang senggang menikmati moodnya) akan lebih melangkah pada sebuah wujud pemahaman seni kontemporer. Dalam dua budaya yang mengandung nilai seni yang berbeda akan dibuatkan sebuah wujud penciptaan kata sepadan dengan style pengembangan problemasi yang intens dalam keseharian. Eksistensi budaya itu pada akhirnya mencari nalar sendiri terhadap berbagai ragam yang bermuara pada budaya mutualistik dengan narasi kontemporer sebuah seni. Dapat dikatakan satu penggalian budaya kontemporer neoklasis untuk menghadirkan eksistensi sang tokoh. Dengan demikian narasi yang dibangun dalam kekuatan naskah tanpa perlu pengembangan tokoh baru lagi.
Benarlah pewayangan menjadi sesuatu yang kuat dengan meminjam salah satu atau beberapa tokoh yang berkaitan dalam sebuah cerita yang akan dibangun dalam wadah seni kontemporer. Dengan meminjam tokoh seperti Bima, Arjuna, Srikandi ataupun Sekuni, sebuah cerita akan menjadi jelas bertutur dan bertegur sapa dengan pembaca. Pengarang tinggal mengembangkan mood dan perjalanan pesan yang ingin disampaikan, tanpa perlu harus menjelaskan karakter dan bahasa jasmani sang tokoh.. Dengan demikian kalau dikatakan tokoh dalam cerita pewayangan yang dibangun dalam bentuk seni kontemporer lebih tepat kalau dikatakan sebagai sebuah pengakraban pragmatis sebagai sebuah hidangan tanpa cacat cela yang gampang dicerna dalam pemikiran pembaca/penonton sekarang. (DG.Kumarsana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar