Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Selasa, 09 Februari 2010

CerPeN : ISTRIKU DAN SENGGEGER

Sesungguhnya tempat itu selalu menyita waktuku untuk tetap berada disana. Hari-hariku sering terasa membosankan dengan kecemburuan yang selalu meledak-ledak. Betapa tidak! Laki-laki itu selalu dengan caranya yang sangat mudah bisa mengelak dari semua perbuatannya. Dari semua kebohongan-kebohongan di depan mataku. Aku terkadang tidak tahu lagi harus berbuat apa. Segala daya upaya telah aku lakukan, semuanya seolah-olah terkesan tidak memberikan hasil apa-apa. Sepertinya sia-sia yang telah aku kerjakan. Tapi aku tetap berusaha demi kelangsungan rumah tangga ini.
Selalu setiap ada kesempatan istriku pasti akan tetap tutup mulut, hal itu dilakukan setiap habis mengadakan pembicaraan-pembicaraan panjang, bahkan dia terkesan mengalihkan manakala menukik ke arah itu, terkadang dia mempunyai suatu cara untuk mengelak dan berbohong di hadapanku. Memang terlampau sulit menebak hati wanita, walau aku telah bertahun-tahun hidup dengannya. Wanita memang penuh misteri. Kurasa istriku telah mengadakan persengkongkolan dengan laki-laki itu. Terkadang kecemburuan ini demikian kuat menghantam walau berusaha aku tahan-tahan manakala mendengarkan obrolannya yang berkepanjangan dan terkadang diselingi dengan suara-suara tawa manja di telepon. Aku meringis.
Aku geleng-geleng kepala, keheranan. Karena pada akhirnya nanti aku mendengar dering telpon kembali dan isrtiku akan suntuk berkata-kata.
”Apakah kamu punya perasaan suka pada laki-laki itu? ”Suatu malam aku bertanya. Istriku diam sesaat, lalu menatap polos tanpa ada beban, tanpa ada perasaan bersalah.
”Eh, sebentar dulu,” katanya sembari tangannya diarahkan ke keningnya, seolah berpikir mengingat sesuatu, atau barangkali mengembalikan rekaman peristiwa yang telah terjadi untuk dikeluarkan. ”Kayaknya tidak! Tapi nanti dulu, perasaan suka yang bagaimana?”
”Maksudku ada rasa suka yang lain, dalam pengertian suka antara hubungan seorang laki-laki dengan wanita. Rasa suka yang lain terhadap lawan jenisnya, sebagaimana perasaan-perasaan yang dimiliki kaum remaja atau orang-orang yang tengah bercinta.” aku mengejar dengan menegaskan kalimat yang selalu dia permainkan kalimat-kalimat itu lewat bahasa konyolnya. Kekonyolan untuk mengalihkan bahan pembicaraan pokok.
”Bercinta? Perasaan cinta?”
Ia tertawa dan menatap penuh kepolosan. Memang kurasakan tatapannya benar-benar polos apa adanya. Jujur dia mengatakan. Sebuah kejujuran yang menyakitkan.
”Sudahlah, suamiku. Tak mungkin aku tertarik pada si Saidi itu,” katanya meyakinkan dengan menyebut nama laki-laki itu. ”Apalagi orangnya pendek dan wajahnya jelek lagipula......”
”Tidak boleh merendahkan dan menjelekkan orang.” aku memotong ucapannya.
”Dia memang jelek kok. Mana mukanya hitam legam kayak arang.Tidak mungkinlah aku sampai tertarik dengannya,” ada sedikit kandungan obat dalam kata-katanya itu.
Namun belum selesai pembicaraan ini, tiba-tiba telpon genggam yang dia simpan di balik bantal mengeluarkan nada panggil,kulihat muncul sebuah nama pada layar . Aku meringis.
Istriku menjawab suara itu dengan suara yang kudengar sangat mengesankan di telinga. Lagi-lagi Saidi, aku gemas dibuatnya. Sepertinya aku tidak punya waktu bicara dengan istriku sendiri, waktuku habis disita dengan pembicaraan mereka berdua. Kulihat istriku diam sesaat sambil menatapku, lalu dia beranjak keluar kamar, entah ada pembicaraan buat mereka berdua yang khusus yang tidak boleh aku dengar. Sayup-sayup kudengar istriku bicara dengan nada sangat direndahkan sekali, seolah takut terdengar. Entah karena sudah larut malam. Entah karena aku masih terjaga. Kubuang kekesalanku dengan duduk-duduk di beranda samping rumah.
Pada suatu malam istriku membuat sebuah pengakuan yang bagaikan sebuah petir menggelegar di kamar begitu mendengar ucapannya.
”Aku akan menikah dengannya. Kayaknya mungkin disini aku akan memulai hidup baru. Kamu ternyata selama ini tidak bisa membimbingku.” Aku seperti tidak percaya akan kata-katanya. Apa mungkin dia yang bicara ini? Sadarkah dengan apa yang dia ucapkan? Istrikukah ini? Ada apa dengan istriku? Aku benar-benar tidak habis pikir.
”Kamu lagi berkhayal?”
”Tidak!”
”Kamu lagi bermimpi?”
”Tidak!”
Kutatap wajahnya lekat-lekat. Tidak ada yang berubah. Kutatap bola matanya. Ada yang kosong. Ada bayangan gelap bermain-main pada ke dua bola matanya. Lalu bola mata itu mengeluarkan sinar, kilatan cahaya yang tajam dan dengan kecepatan kilat menikam jantungku.
Aku terhenyak.
Lelah aku dengan pergulatan bathin begini.Sebuah pergulatan yang panjang. Malam kian larut, suara anjing di jalanan menggonggong, mungkin ada yang lewat. Entah itu manusia atau jin, biasanya penciuman dan daya pandang anjing lebih tajam daripada manusia mentah seperti aku. Hanya terkadang muncul perasaan aneh seperti malam ini, sepertinya aku ingin merubah diriku jadi anjing yang punya kebebasan tanpa beban oleh segala persoalan-persoalan hidup. Makan apa maunya, tidur dimana suka. Tidak perlu pakai baju dan celana, toh etis terlihat, karena dia binatang. Tidak perlu memahami moralitas, karena anjing tidak memiliki agama. Yang aku tahu anjing tidak perlu sembahyang dan terikat berbagai aturan-aturan, dogmatis yang menyebalkan. Terkadang anjing seenaknya juga di sembarang tempat membuang kotoran. Seenaknya dia menggongong, entah apa yang disuarakan. Karena aku tidak pernah mengerti bahasa anjing.Sesekali ada suara gerakan langkah kaki kucing di atap rumah. Aku tahu dia pasti mengintip daging yang ada di meja makan. Entah meja makan yang mana? Terlalu banyak rumah yang ada disekitarku, dan terlalu banyak pilihan buat sang kucing, karenanya dia selalu bergerak dari atap. Mungkin juga untuk menghindari pertengkaran dengan anjing yang tengah melolong panjang di jalanan. Empat puntung rokok telah berserakan di asbak. Ini batang kelima yang siap aku bakar.Tidak membutuhkan waktu lama untuk menghabiskan Masih kudengar suara istriku diselingi suara tawanya yang kecil.
Hari hari selanjutnya sepertinya aku diharuskan mengambil suatu upaya lain.. Pertama-tama kudatangi rumah laki-laki yang bernama Saidi itu.Tanpa dipersilahkan duduk aku henyakan pantat dan tanpa basa basi aku cuci sedikit otaknya yang kotor.Kuperhatikan laki-laki itu setengah gugup, setengah jengah, selebihnya aku tidak tahu. Entah takut atau cemas oleh kedatanganku Istrinya entah dimana,tidak aku lihat bayangannya. Mungkin lagi ngambek, atau barangkali dia sendiri lagi bosan terhadap istrinya. Kadang-kadang rasa kebersamaan dapat mengakibatkan muncul perasaan jenuh yang totalitas. Kejenuhan yang bagi laki-laki itu barangkali harus mencari angin segar pada wanita lain sebagai selingan. Sesekali anaknya perempuan hilir mudik di depan. Cantik sekali anak itu. Melihat anaknya yang cantik, dapat ditebak kalau ibunya pasti cantik.
Dan benar-benar aku cuci otaknya ”Entah pelet apa yang kamu gunakan terhadap istriku!” dan seterusnya dan seterusnya .Aku tidak mau memutuskan ataupun dipotong ucapanku, konon kalau memberikan kesempatan lawan untuk bicara kita akan bisa berubah pikiran.
Laki-laki itu banyak diam dan berupaya mengalihkan perhatian dengan memanggil-manggil anaknya atau sesekali berdiri seperti ingin mengambil sesuatu di dalam atau bolak-balilk merogoh saku celananya.Kalau dia banyak diam aku dapat menyimpulkan dua hal yakni antara dia malu dan jengah ketahuan dengan apa yang dilakukan dan tidak mengelak atau membantah dengan kata-kata yang aku keluarkan mengenai “ilmu pelet” yang sedang dirancang untuk meracuni pikiran-pikiran istriku hingga dibuat tidak berdaya atau dia tengah merencanakan sesuatu.
Kutatap tajam-tajam matanya.
Dia melengos melempar muka. Seperti tengah menyimpan sesuatu. Sepintas kilatan matanya seperti menyimpan sebuah kelicikan.
Dan selanjutnya setiap malam aku menyatroni rumahnya. Mengendap-endap seperti kucing di atap rumahku yang selalu mengintip-intip setiap ada kesempatan. Tidak malam ini aku menemukan hasil, malam berikutnya aku mengendap-endap lagi. Aku telah menjadi kucing malam yang siap memangsa daging. Aku benar-benar berubah jadi kucing, mengeong, mengintip, mendengus dan siap melompat. Dan memang benar apa yang aku duga. Suatu malam jumat aku intip Saidi tengah membakar kemenyan. Bibirnya komat-kamit membaca mantra.Entah mantra halaman keberapa ia baca. Sikapnya benar-benar serius Aku jadi semakin ingat akan ucapan temanku. Katanya daerah ini memang gudangnya senggeger, semacam pelet pemikat wanita. Ini yang dilakukan Saidi di kamarnya. Aku semakin yakin dengan apa yang menimpa istriku sekarang. Kenapa ia sampai bisa lupa diri, lupa anak, lupa rumah. Yang ada dalam pikirannya hanya laki-laki bernama Saidi saja. ”Beginilah hebatnya pelet kecial kuning.” kata kenalan seorang dukun yang aku ajak ke rumahnya sambil mengamati gerak-gerik lelaki itu dari kejauhan.
Aku cepat-cepat beranjak pergi meninggalkan tempat itu. Dan Dugaanku tidak meleset. Di rumah kulihat istriku tengah bercakap-cakap lewat telpon. Tidak peduli tengah malam. Tidak peduli anak-anak. Tidak peduli suami. Aku duduk di halaman samping rumah. Asbak rokok ini dengan setia menunggu remasan puntungnya. Malam merayap pelan. Seperti hari-hari kemarin, anjing di jalanan depan rumah melolong lagi. Hanya suaranya saja yang terdengar.Entah kenapa setiap saidi menelpon anjing itu selalu melolong. Aku jadi penasaran dan ingin tahu. Penasaran yang wajar dan tidak dibuat-buat. Jangan-jangan Saidi itu berubah menjadi anjing? Aku bergidik ngeri. Ya, bisa jadi anjing itu adalah penjelmaan Saidi yang malam-malam menyatroni rumahku dengan suara magisnya mengundang senggeger-senggeger itu datang mengunjungi rumahku
Aku bertambah takut dan ngeri.
Cepat-cepat kupadamkan rokok terakhir dan berkemas masuk pintu rumah. Tak peduli dengan istriku yang tengah asyik memegang telpon. Entah masih dalam pembicaraan yang panjang, atau akan berbicara sampai pagi, aku tidak peduli. Aku bahkan tidak berani mencuri dengar pembicaraan itu lagi.
Setiap malam, setiap istriku menerima telponnya, aku tidak berani lagi menunggu di halaman samping rumah. Karena setiap mendengar suara anjing itu aku jadi teringat Saidi yang berubah jadi anjing, Dan aku percaya sekarang bahwa ilmu senggeger, sejenis ilmu pelet memang benar-benar ada di dunia ini.

1 komentar:

  1. Kisah nyatakah ini?
    Hmm...
    Sebuah perjalanan menuju tragis?

    Termuat di Bali Post baru ini?

    BalasHapus