Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Kamis, 18 Februari 2010

CerpEn : IBU, KAPAN PULANG ?

Mula-mula Hendra menyaksikan tingkahnya yang aneh-aneh. Entah dia pikir barangkali karena terlalu banyak terobsesi oleh trauma masa lalu atau memang dia sudah berubah? Hendra tidak tahu. Yang dia tahu hanya keinginan istrinya telah hilang sama sekali. Setiap dia menginginkan itu, selalu ada penolakan halus.
Terkadang dia berpikiran aneh dan merasa ada yang janggal belakangan ini. Apakah tidak mungkin diam-diam istrinya telah mengenal laki-laki lain secara akrab sehingga keinginan itu tidak ada sama sekali dengannya.
”Kenapa cinta ini harus dibangun lewat perasaan?.” suatu malam istrinya mengucapkan kata-kata itu. Begitu saja keluar kata-kata itu dengan sangat polos.
”Kenapa bisa begitu? Apa kamu sudah merasa bosan,dik?” Hendra bertanya. Sangsi dengan apa yang keluar dari bibir istrinya.
”Entahlah, aku tidak tahu. Barangkali kesibukan yang telah membuat pikiran-pikiran selalu tidak terfokus pada hal-hal itu lagi..”
”Kamu mulai banyak berubah ” Hendra menebak dengan menyebutkan nama seseorang yang belakangan ini selalu dia sebut-sebut dalam setiap percakapan. Hendra tahu pembicaraan ini sebetulnya tidak perlu berlanjut. Hendra tahu dia telah memberikan suatu bentuk kejujuran yang mewakili rasa ingin tahu pada benaknya yang terlalu besar dihantui oleh perasaan cemburu. Sebuah perasaan yang tidak semestinya untuk diungkapkan. Namun apa salahnya kalau rasa cemburu dipakai haknya untuk mewakili suasana hati dari keinginan-keinginan yang wajar sebagai pergolakan cinta yang masih mampu untuk dipertahankan.
”Apa ada yang salah?” seperti sudah ditebak sebuah pengakuan mulai keluar dan nama itu kian akrab dalam setiap perbincangan.
Hendra menggeleng. Dia pikir wajar-wajar saja, sebagaimana pemikiran setiap manusia yang ingin maju, ingin ada perubahan dalam hidupnya.
”Kebutuhan kita semakin meningkat. Anak-anak mulai tumbuh dewasa dan kita tidak mungkin hanya berharap dari penghasilanmu di kantor dengan kebutuhan yang semakin meningkat ini.Yang ada dalam pikiranku hanyalah bagaimana caranya mendapatkan uang yang banyak. Aku harus mendapatkan semua itu. Yang ada dalam pikiranku saat ini hanyalah mencari uang. Kita kesampingkan dulu soal perasaan. Soal cinta.” Rina penuh semangat dengan pancaran mata yang luar biasa, diluar dari apa yang pernah dipikirkan tentang bayangan seorang wanita yang lemah lembut, wanita yang mampu membimbing anak-anak tumbuh besar dengan perasaan kasih sayang, bayangan seorang wanita yang juga memiliki kelemahan sebagaimana kaumnya, bayangan seorang wanita yang membutuhkan laki-laki, disaat mana terjadi suatu kesulitan dalam dirinya, kesulitan yang tidak mampu diselesaikan sendiri dan membutuhkan tenaga laki-laki untuk menyelesaikan semuanya itu. Sebuah kesulitan yang memiliki andil besar untuk membuat Hendra sebagai laki-laki kembali kepada fungsinya yang benar. Pancaran matanya ternyata sorot keperkasaan seorang laki-laki tulen, sorot mata yang mampu menyelesaikan segala sesuatunya sendiri sekaligus semua kesulitan-kesulitan yang dia hadapi. Sorot mata mandiri tidak butuh laki-laki. Sebuah sorot mata yang menggambarkan bahwa pekerjaan laki-lakipun mampu ia tangani. Hendra tercengang mendengar kata-kata yang dikeluarkan istrinya. Terpukau melihat kedahsyatan pancaran mata itu.
”Tapi aku dan anak-anak butuh perhatian.” Hendra membela diri.Bukan apa-apa,dia pikir segala kegiatannya selama ini sangat padat dan hari-harinya hampir tidak ada tersisa untuk berkomunikasi dan setiap pembicaraan selalu saja laki-laki itu mendominasi waktunya. Dia merasa kehilangan. Apakah kegilaannya kerja dengan waktunya yang sarat dengan laki-laki itu dalam satu aktifitas mampu mengalihkan arti sebuah kemesraan yang selama ini telah mereka bina? Hendra jadi tidak mengerti.
”Aku hanya menjalankan kewajiban untuk membantu keluarga.”
”Itu akan membuatmu lupa menjadi seorang ibu”
”Aku butuh uang lebih banyak lagi, sementara anak-anak makin tumbuh dewasa. Biaya sekolah itu tidak sedikit.” Rina mengelak, terkesan mengalihkan pertanyaan.
”Tapi aku kan masih kerja ? Aku masih punya penghasilan, walau nilainya tidak seberapa dibandingkan dengan nilai-nilai proyek yang kamu garap dengan angka-angka jutaan rupiah. Nilai yang besar dan sangat bebas merengut hubungan kita.” Hendra berusaha memberikan pertimbangan.
”Syukur kalau kamu mengerti itu! Jadi untuk urusan cinta sementara waktu kita tangguhkan dulu. Aku tidak mau berdebat hanya untuk hal-hal yang sepele” Istrinya mulai sengit.
”kamu terlalu suntuk dengan aktifitas sampai lupa kalau anak-anak terlahir karena jalinan yang kita bentuk dalam ikatan cinta .” Hendra seperti tidak menyetujui apa yang keluar dari kata-kata istrinya.
Biasanya pada saat suasana sudah mulai memanas pasti akan terjadi omongan-omongan yang tidak terkontrol. Akhirnya sama-sama melepaskan emosi. Dan malam menjadi semakin pendek, begitu dekat jaraknya dengan pagi. Sampai sama-sama lelah dalam pertengkaran, sampai semua hal ikut terungkap. Dan semua kejadian-kejadian sebelumnya mulai dikuak. Sama-sama saling menyalahkan. Dia tahu, tidak ada pemenang dalam perdebatan. Merasa sama-sama benar pada sebuah pendirian. Akhirnya merasa sama-sama kokoh.
Dan Hendra akan terkapar pada sebuah keinginan yang tak pernah sampai, sebuah kegagalan menikmati bentuk-bentuk kemesraan. Lekuk-lekuk asmara yang fatal.
Pagi itu di kantor Hendra punya perasaan tidak enak sama sekali.Perasaannya tidak nyaman sama sekali.Pekerjaan ini bukan membuatnya suntuk, tapi malah sebaliknya. Konsentrasi buyar. Tadi siang Rina mendatangi kantornya mengantarkan uang untuk membayar ongkos tukang listrik yang dia janjikan siang ini pembayarannya. Karena dia memang tidak sedang memegang uang untuk pembayaran itu. Dilihatnya Rina berkemas pergi setelah menyerahkan uang dan dia melanjutkan kesibukan seperti biasa. Entah mengapa Hendra menghubungi istrinya dengan sms hanya sekadar untuk menanyakan sesuatu. Terjawab sekali, selanjutnya tidak pernah mendapat tanggapan. Hendra menangkap gelagat yang aneh. Walau perasaan itu berusaha dia halau dengan menepis pikiran-pikiran buruk dan bayangan-bayangan negatip tentang apa yang sedang dilakukan Rina saat ini.
Laki-laki itu mulai bingung.Ingin dibuang saja ponsel ini. Barang tidak berguna, saat dibutuhkan malah tidak memberikan fungsi apa-apa.
Perasaan galau mulai berkecamuk. Hendra mencoba menghubungi untuk bicara. Ponselnya ternyata tidak aktif. Perasaan curiga mulai muncul. Dia mulai hilir mudik menyusuri kota. Bayangnya hilang bak ditelan bumi. Tak berbekas sama sekali. Masak sih kota sekecil ini tidak dia temukan keberadaannya ? Rasa curiga datang silih berganti.
Laki-laki itu menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Hari menjelang malam. Tidak ada kabar berita darinya, entah kemana. Betapa dia merasa kehilangan dan cinta ini terlalu dalam untuk diberi makna. Tiba-tiba didengar sayup-sayup suara kendaraan, wajahnya muncul mengintip dari balik kamar. Ada yang tersembunyi dalam pertanyaan yang sepertinya tengah menyembunyikan sesuatu. Ada kesangsian atas jawaban tak pasti, tapi Hendra tidak berani terlalu mengejar dengan pertanyaan-pertanyaan lagi..
”Hampir semua tempat di kota ini aku datangi bahkan sampai berulangkali aku lewati tempat-tempat yang sama, sampai aku datangi unit gawat darurat, karena perasaanku jadi tidak enak. Aku lihat setiap tubuh yang terbujur disana dengan perasaan was-was yang berlebihan dan.......” Hendra bercerita panjang lebar. Dan dia pasti tahu, suaranya hilang ditelan ke-tidak pedulian yang sarat oleh kesibukan menurut ukuran Rina saat ini. Hendra tahu itu sesuatu hal yang tidak perlu diceritakan. Tetap ada perasaan janggal, Ia merasa Rina sedang menyembunyikan sesuatu. Entah apa. Selama ini dia menepis kepercayaan yang namanya firasat. Terlalu melankolis. Perasaan yang demikian pekat memang kalau bicara soal hati. Ikatan yang kuat karena firasat tajam tidak mampu membohongi kendati kenyataan sebenarnya tidak terlihat dalam bukti atau menangkap kejadian-kejadian apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
”Seandainya kamu tidak segera pulang atau bahkan tidak pulang sama sekali, bagaimana dengan anak-anak yang selalu was-was menanyakan keadaan ibunya. Lagi dimanakah sekarang berada.Apalagi sampai hari hampir mendekati malam kamu belum pulang juga”
Rina seperti tidak mengerti arti sebuah kekecewaan.
”Sempat aku bengong lama menatap usaha toko kita di depan. Kupikir seandainya kamu tidak pulang dik. Ya, seandainya memang benar-benar terjadi, siapa yang akan meneruskan usaha kita dik?”
Sekilas mata Rina bercahaya, pendaran yang hampir mengeluarkan kristal. Seperti menyimak omongan suaminya. Selanjutnya kembali redup.
Dan tiba pada waktunya untuk sebuah kegiatan panjang yang akan dilakukan Rina pada puncak prestasi untuk menerima penghargaan kerja dalam mengangkat harkat kaumnya lewat kegiatan penyetaraan gender yang selama ini selalu didengung-dengungkan dengan penuh semangat membara. Rina pamit pada suaminya untuk kegiatan di luar daerah. Untuk selanjutnya tidak pernah kembali. Tidak ada yang perlu ditunggu. Hendra hanya ingat beberapa baris kalimat yang pernah ditulis istrinya pada buku agenda kerjanya”...Tuhan, seandainya aku diberi waktu untuk pergi jauh, sangat jauh dimana orang-orang tidak ada yang mengenal diriku, jauh dari suami dan anak-anak yang aku cintai, serta siapapun tidak ada yang mampu menghakimi apa yang aku lakukan....”
Hendra tertegun. Kalimat itu telah membuktikan keampuhannya. Kalimat itu bukan sekadar kalimat biasa yang ditulis oleh istrinya sebagai sebuah rangkaian kalimat biasa pelepas lelah saat suntuknya dengan berbagai kegiatan. Sebuah kalimat yang menyembunyikan kesakitan-kesakitan. Entah kesakitannya yang mana.Betapa sepi dan tidak berartinya sebuah rumah tanpa kehadiran seorang ibu.
”Pak.......bapak.....”
Hendra menoleh, dilihat tatapan mata anaknya yang kedua polos penuh berharap. Harapan untuk memenuhi keinginan selepas main-main dengan kawan-kawan sebayanya. Hendra terpaku.
”Ibu dimana...?” pertanyaan anaknya mengundang cekat di kerongkongan. Hendra tak mampu menjawab.
”Kapan ibu pulang?” lagi-lagi suara anaknya kian mencekat lidahnya.
Keesokan hari dan seterusnya, satu bulan dua bulan berjalan dan seterusnya hingga berbulan bulan waktu berlalu, Hendra setiap pulang kerja selalu menyiapkan jawaban yang berbeda-beda buat pertanyaan anaknya yang selalu sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar