Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Senin, 08 Februari 2010

CerPeN : SATU KESADARAN

Entah berapa kali ia lakukan itu, naik-turun di tangga berbeton. Lama mendekam di ruangan atas dengan pandangan jelas menghadap ke arah jalan. Jalanan sedikit basah akibat guyuran hujan semalam. Sisa-sisa genangan air memantulkan bayangan matahari pagi, seperti sebuah cermin hidup yang menari-nari. Sedang enak-enaknya Sean menikmati pemandangan itu, tiba-tiba saja roda sepeda motor telah memilah bayangan itu.
”Brengsek!” umpat Sean sambil memandang pantat sepeda motor yang kian menjauh. Genangan air akhirnya membentuk gelombang-gelombang kecil. Tidak lama memang menunggu genangan air itu tenang kembali, telinganya menangkap hentakan suara sepatu berirama tetap. Hapal betul ia.
“Hai,” spontan Sean menyapa begitu satu wajah muncul.
Gadis itu menoleh, barangkali pula sebelum datangnya sapaan itu. Matanya berbinar-binar tatkala bertemu tatap dengan pemuda itu. Hanyalah sebuah keakraban saja yang akan membuat gadis itu mendekatkan jaraknya untuk berdialog lebih lanjut dan Sean harus turun karenanya.
”Lebat hujan semalam, Rosy. Sangat lebat,” Sean membuka peluang untuk memulai sesuatu yang semestinya sudah merupakan jalan bagi mereka untuk saling bertegur sapa.
”Dan sekarang cuacanya telah berganti.”
”Engkau menyukai?”
Rosy mengangguk.
”Aku menyukai kebiasaan begini, Ros. Maksudku sebuah sarapan pagi sebelum kamu memulai sesuatu dengan serius, karena kamu kuliah. Kamu memiliki kampus buat berkutat, punya harapan dan terlebih lagi kamu memiliki.......”
”Bukan begitu, Sean,” potong Rosy cepat. “Kamu mesti tahu bahwa, hanya keseriusan dan kemauan yang tekun membuat segalanya berhasil seperti yang kita harapkan. Harapan itu sesungguhnya telah membentang di hadapan kita, di mata kita. Kupikir semua orang ingin berhasil dalam hidupnya, bukankah begitu Sean?”
Sean seketika menunduk. Suaranya lekat di tenggorokan, sampai Rosy berlalu meninggalkannya. Ia tetap tak mampu bersuara. Perlahan dilangkahkan kakinya menuju halaman depan. Memasuki kamarnya yang semrawut, badannya menghempas keras, menimbulkan suara kaku pada ranjang yang selama ini senantiasa memberinya berbagai impian. Entah impian macam apa, sulit Sean mengingat kembali. Dan memang Sean tidak mau mengingat itu. Untuk apa mengingat segala mimpi-mimpi yang tidak berarti.
Kuliah? Sean tertegun. Bukan tiba-tiba pikiran demikian selalu saja secara tepat menghantuinya. Kapan mesti kuliah sedangkan tamat SMA saja tidak. Matanya menatap langit-langit kamar. Kosong. Pandangannya menerawang jauh. Mengapa dulu tidak ia selesaikan saja pelajaran di sekolah, dimana disaat sebagian besar anak-anak gemar memburu sesuatu buat perjalanan hidup yang sesungguhnya masih panjang dan bukan dengan cara apatis hanya sekadar meniru gaya hidup milik sebagian besar kawan-kawannya di kota, dia jalankan sedemikian santainya. Mirip gaya anak-anak muda dalam film kesukaannya atau bahkan ia berpikir sedang berada dalam kancah permainan semacam itu, berburu hiburan. Kebut-kebutan atau menenggak alkohol telah menjadi busana hidupnya. Kepuasan dengan menarik perhatian orang. Barangkali dengan sikap apatis yang konyol dengan kumpul-kumpul dan nangkring di simpang jalanan telah membuatnya cukup meringis dengan kegagalannya di bangku sekolah dulu.
Sean mendesah pelan.
Tapi waktu berlalu dengan pasti. Tidak ada yang mampu menahan lajunya waktu, tidak ada yang mampu untuk merobahnya. Detik demi detik, dari menit ke menit telah menjadi bagian dari hari-harinya yang penuh dengan keisengan dan kesantaian saja. Waktu tidak mungkin terhambat oleh sikap tololnya. Sean pernah menjadi cap, menjadi merk untuk ukuran yang dinamakan sesama teman sepermainannya sebagai bajingan, sebutan yang khas menyenangkan, membanggakan disaat dia mabuk kemenangan. Kemenangan akan identitas dirinya sebagai sesuatu yang buruk.
Ada yang sakit, karenanya. Dan sekarang dia merasakan itu. Hatinya seperti teriris ketika kesadarannya datang sesaat setelah ayah kandungnya meninggal.
”Apa yang akan kamu lakukan setelah begini, Sean.” Ibunya bertanya polos, seakan-akan tidak mengerti sama sekali artinya marah. Sean menjadi mengerti akan sikap ibunya. Nasihat ringkas membuatnya berjalan. Sean memberinya tempat, tempat terlampau istimewa karena ia ingat hanya itu ibunya, satu-satunya kebanggaan yang masih ia miliki. Karenanya pula Sean sempat bekerja pada sebuah perusahaan angkutan barang ,sebagai kernet sebuah truk yang mengangkut kayu. Sean berusaha membaca dirinya sendiri. Namun itu hanya bertahan setahun, setelahnya ia keluar setelah sempat baku hantam dengan anak direkturnya sendiri. Kembali Sean terkatung-katung oleh yang dinamakan nasib : pengangguran.
Mungkin ini jugalah yang disebut kesadaran. Kesadaran yang tumbuh karena ia diperkenalkan dengan sesosok gadis manis bernama Rosy atau Sean juga berpikir bahwa keadaan gadis itu membuat dirinya memiliki keadaan yang juga harus dirobah. Sean sendiri yang harus melakukannya.
Tiba-tiba ia ingat pertemuannya pertama kali dengan gadis itu.
Lagi-lagi Sean mendesah. Rokok ketiga telah lenyap dalam asbak
Sean ingat jelas, malam itu ia baru pulang dari nonton film, sekadar untuk menghilangkan kejenuhan yang menyumpal di hatinya. Ketika di ujung jalan yang agak gelap menyerupai belokan gang, ia mendengar jeritan seorang gadis. Jeritan yang membutuhkan pertolongan, agaknya pula mampu membangkitkan darah kelaki-lakian. Sean tidak menyukai keadaan begitu, namun ia terlampau mudah dan menyukai perkara walaupun terkadang tidak menyangkut kepentingannya. Ia memburu suara itu. Lapat-lapat suara itu seperti menghilang namun secara samar ia melihat bayangan dua tubuh saling ribut. Sean mempercepat langkahnya. Astaga! Matanya menatap sosok laki-laki yang berusaha memaksakan kehendaknya terhadap gadis itu. Menggagahi seorang gadis suatu hal yang tidak menarik sama sekali baginya, terlebih gadis itu tidak menghendaki sama sekali. Sean jelas melihat kejanggalan dari laki-laki itu. Sean mendekat, langsung saja menarik bahu laki-laki itu. Tinjunya yang kuat bersarang di pelipis diikuti hentakan kuat menyodok lambung membuatnya tersungkur mencium tanah. Sean belum puas, kakinya kembali menendang sehingga laki-laki itu benar-benar rebah tanpa daya.
”Apa urusanmu!” laki-laki itu berusaha bersuara kendati kesakitan dengan dengan mulut meringis.
”Aku menyukai ini,” suara Sean berang. ”Dan kamu bajingan, aku menyukai. Dengan cara begini di depanku adalah menjadi urusanku!”
Laki-laki itu menatap Sean. Hanya menatap. Ada sinar gusar di matanya.
”Ayo bangun, bajingan terkutuk! Hadapi aku. Aku tidak biasa menghadapi lawan yang belum siap,” Sean mendekat. Matanya beringas sembari menuding. Cara memandang laki-laki di depannya sudah merupakan tantangan baginya. Tangannya terkepal.
Gadis di sebelahnya yang sedari tadi diam meredakan perasaan, berusaha melerai.
”Sudahlah. Kamu pergilah, Son. Lupakan semuanya.” Gadis itu mengguguk kecil. Tangannya mengusir halus laki-laki itu.
Tanpa suara dan tanpa menatap lagi, laki-laki itu ngeluyur pergi. Sean menatap penuh kebencian.
”Hei...! Kalau kau memang jantan cari aku disini atau dimana saja kamu ketemu aku, manusia busuk!!” masih sempat terdengar teriakan Sean memecah kesunyian malam.
”Sudahlah.” hanya itu yang terdengar dari mulut gadis itu.
Sean menoleh. Gadis itu sedang menahan isak. Kejadian itu membuatnya kalut. Ekor matanya masih menatap ke arah menghilangnya laki-laki itu.
”Kekasihmu itu sangat bodoh,” Sean bersuara pelan.
Gadis itu menggeleng lemah.
”Seperti itu?”
Gadis itu menunduk, mengusap airmatanya.
Sean membantu mengambil tas dan beberapa buku-buku yang berserakan di tanah lalu menyodorkan pelan. Gadis itu menerima dengan pandangan berterimakasih. Sean menatap wajah itu, terkesima sesaat lalu membuang pandangannya jauh-jauh.
“Aku tidak pernah berpikir sesuatu yang terjadi padamu masih membuatmu memiliki rasa kasihan. Padahal kamu yang akan menanggung akibatnya,” Sean berusaha memancing suara gadis itu.
“Ah, nggak!” Suara gadis itu mulai tenang. “Aku berpikir tentang laki-laki kaummu itu, “ tandasnya menyimpan kemarahan.
Sean memberi kesempatan.
”Dan begitulah bentuk kebaikan yang aku terima dari seorang kawan akrab. Persis seperti yang kamu lihat barusan, ” Gadis itu menutup ceritanya setelah panjang lebar berbicara dan setelah suasana menjadi tenang di tempat yang berbeda.
”Kamu kuliah dimana?” tanya gadis itu seketika.
Pertanyaan yang datangnya tiba-tiba membuat Sean tak mampu untuk menjawab. Hanya kepalanya menggeleng.
“Kerja?”
Lagi Sean menggeleng.
“lalu?”
“Aku tidak tahu!” hanya itu jawab Sean waktu itu, setahun persis dari kejadian itu setelah Sean melupakannya. Melupakan sama sekali sampai ia harus terpancing untuk keluar oleh perbincangan kawan-kawannya. Seorang gadis manis menjadi topik, menjadi bahan untuk lawan jenisnya seperti kebiasaan saling mendahului memancing perhatian. Semula Sean tidak begitu perhatian kalau bukan nama Rosy disebut-sebut, gadis yang pernah ditolongnya waktu itu.
”Siapa yang kamu maksud?” Sean mendekati kawan-kawannya yang pada kumpul di ujung gang.
”Anak kost baru. Manis! Siapa lagi kalau bukan si cantik yang saban hari mengapit buku. Senyumnya; wah.......!”
”Lagipula orangnya nggak begitu sombong, setiap kali disapa selalu membalas dengan senyuman,” yang lain pada ikut nyeletuk.
”Kita sebut saja si gadis yang murah senyum.”
”Setuju! Dan kalau aku sih nggak bakalan bisa tidur ngebayangin dia.”
Sean tersenyum mendengar dialog dan ulah kawan-kawannya.
“Dan belum ada pengikutnya, eh, pengawalnya.”
“Pendampingnya, gitu!”
“Iya…iya!!”
“Ah?”
“Ya!” yang lain meyakinkan.
“Masak sih?”
“Alah, buktinya tiap hari kuliah nggak ada yang temenin.”
“Usul…..usul..!!” suara-suara semakin ramai.
“Gimana?”
“Sebut saja aku. Aku siap jadi pendampingnya,” sahut yang lain konyol disambung ketawanya yang keras.
Akhirnya semua pada ketawa. Sean ikut-ikutan tertawa.
”Eh, Sean gimana kamu ini? Jangan mau ketinggalan!” seperti ingat akan kehadiran Sean yang sedari tadi diam, semuanya menoleh ke arahnya.
Sean akhirnya bersuara tanpa ekspresi jelas.
”Rumahnya dimana?” Sean memulai.
”Nah, gitu dong. Tuh! Tembok bercat kuning yang diterangi cahaya neon,” salah seorang kawannya menunjuk rumah yang kelihatan dari ujung gang. ”baru seminggu dia indekost di sini.”
”O, ya?” Sean beranjak meninggalkan rekan-rekannya.
Memang gadis yang dimaksud, gadis manis bernama Rosy yang pernah ditolong setahun yang lalu, ketika dengan terkejut gadis itu melihat kedatangannya.
”Halo Ros,” sapa Sean santai.
”Hei, Sean, kamu laki-laki yang dulu itu kan?”
”Ehm!” masih ingat juga pikir Sean langsung duduk tanpa dipersilahkan. Seperti mengerti jalan pikiran Sean, gadis itu langsung masuk pada pembicaraan yang sebenarnya, barangkali itu pula yang dia cari, langusng memasuki inti pertanyaan, inti permasalahan yang selama ini belum terjawab di benak gadis itu. Kelembutannya yang banyak bicara, selebihnya agar engkau tahu pula keadaan sesungguhnya tentang aku, pikir Sean.
Sean mengangguk begitu menatap gadis itu. Seakan-akan mengerti apa yang dia maksud.
”Lantas bagaimana yang dulu itu?”
”Maksudmu?” masih juga Sean dalam kepura-puraan.
”Kedatanganmu inilah sepertinya aku harus berbicara, Sean.”
Sean menangkap keakraban pada ucapan gadis itu, suatu pernyataan yang tidak seketika sebagaimana cerita sebelumnya tentang ”tidak tahu” yang secara enak dijawabnya setahun yang lalu atau barangkali telah tersusun di benaknya. Tapi toh juga akhirnya keakraban ini menumbuhkan jadwal baru dalam diri Sean. Minggu pertama bagi Sean memberikan pengakuan yang sebenarnya, minggu berikutnya merupakan suatu persiapan, sebagaimana rencana-rencananya sendiri, minggu ketiga entah apa.
”Pertama aku harus meninggalkan tempat ini,” kata Sean suatu sore di lapangan berumput menemani gadis itu jalan-jalan. ” Kedua, aku mesti sekolah, yang jelas kupilih Yogya tempat memulai langkah baru selanjutnya masa depan dan entah apa lagi namanya.......”
Rosy menatap Sean dengan seribu rasa. Ada setitik binar terbias dari matanya yang indah. Sean menangkap itu kalau bukan tangannya berisyarat untuk merengkuhnya, barangkali gadis itu tak akan tersipu malu. Brengsek juga Sean, wajah Rosy dibuat demikian dekatnya. Buru-buru juga Sean ingat dan melepaskan semuanya.
“Begitulah seharusnya, Sean. Dan kamu harus segera berangkat,” Rosy bersuara pelan, memecahkan kebisuan sesaat atas kerakusan lelaki itu menerobos relung hatinya. Suaranya demikian gugup atau dia tutupi sedikit akibat kelancangan Sean yang sempat mencuri pipi dan keningnya. Ada rona merah menjalar di pipinya.
“Ros, aku saying kamu. Kamu satu-satunya wanita yang menghidupkan semangatku, meniup peluang dan sekaligus memberi celah pada masa depanku. Aku harus merintisnya dari sekarang. Aku harus merintis dan menata ulang jalan hidupku dan hanya keseriusan serta kemauan yang tekun membuat segalanya berhasil seperti yang kita harapkan. Harapan itu sesungguhnya telah membentang di hadapan kita, di mata kita. Kupikir semua orang ingin berhasil dalam hidupnya. Akupun ingin berhasil dalam hidupku, bukankah begitu Rosy?”
Rosy tertawa renyah. Senang mendengar kata-katanya dulu diucapkan dengan persis sama. Tanpa ada yang kurang. Sama sekali tidak ada yang dikurangi.
”begitulah seharusnya Sean,” Rosy bersuara pelan. Kian pelan untuk menutupi kegalauan hatinya.
Selepas senja mengantarkan Rosy, Sean bergegas. Di ujung gang kebiasaan kawan-kawannya kumpul ia hindari. Dari jauh nampak mereka berteriak sembari mengacungkan jempol. Sportifitas? Entah. Sean masih mampu menangkap gelagat itu. Hanya senyumnya membalas ungkapan kawan-kawannya sambil melambaikan tangan persahabatan.
Selamat tinggal kotaku, selamat tinggal ibuku tersayang, selamat tinggal sahabat, selamat tinggal semua kenangan disini dan selamat tinggal satu-satunya sahabat wanita yang pernah aku miliki, akan kukenang engkau di ujung sana, desisnya mantap sambil mengemasi barang-barang yang dibawanya.
Selepas malam, Rosy mengantar sampai batas terminal lalu berbalik untuk menyembunyikan isak cengengnya.
“Pergilah Sean, bersama kesadaranmu. Kamu tidak gagal, tidak akan pernah gagal selama masih kamu anggap peluang itu sebuah ikatan persaudaraan yang harus direncanakan,” bisik hatinya berulang-ulang melepas kepergian laki-laki itu. Kini berlabuh sebuah penantian baru di hatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar