Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Selasa, 09 Maret 2010

PROSA BULAN


Malam pekat. Bayangan bulan tidak hadir di tanah, baru saja menghilang. Barangkali kalau bulan bisa bermimpi, tentu dia akan bermimpi, seperti kita. Barangkali dia akan tersenyum sehingga sinarnya yang cerah akan menghampiri dan kalau bisa tertawa, pasti dia akan terbahak-bahak menertawakan segala kekonyolan ini. Namun sejak tadi bulan bermimpi, dalam dekapan kalarahu. Kalarahu itu memang jahat. Dan bulan masih perawan. Ia tidak tahu, darimana harus memulai. Keletihan telah memberi buah kenyataan yang pahit bagi kehidupannya yang tak pernah memberikan alternatip lain, hanya sebuah kecemasan kecil dari kekalutan-kekalutannya yang kian besar, kian terombang-ambing waktu.
Ia rasakan itu.
“Aku telah menjadi kalut dari buah pikiranku sendiri. Terlalu takut untuk berhati-hati. Mengapa? Terpeleset sedikit ternyata akan dapat menjadikan aku manusia tidak utuh, manusia bentuk lain. Terpeleset sedikit, maka terjerumuslah aku dalam lembah gelap yang tak berbingkai, tidak berlensa. Terlalu takut aku untuk mati. Mungkin kematian yang akan membawa kedamaian selanjutnya dalam menyeberangi perjalanan malam-malamku, “ penatnya merintih, lebih dari segala kegalauan hatinya. Lebih dari semua kegamangan yang ada.
Ia mendesah perlahan dan secara perlahan-lahan pula dimasuki kamarnya yang serupa. Dinding-dinding, lantai dan langit-langit kamar bagi bayangan dari segala bentuk cermin kusam dan lembab. Diambilnya diam-diam buku kusam. Satu-persatu dibolak-balikkan, termakan matanya yang jalang, tak ubah membuka lembar demi lembar benang-benang yang pernah lekat di badan kekasihnya. Jalang ia mengubah bentuk buku lusuh yang merekam segala segala peristiwa perjalanan hidupnya sehari-hari dalam wujud cermin. Bah! Mungkin dia terlalu menganggap bahwa dirinya bercermin kembali dalam catatan-catatan harian masa lalunya.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” desisnya tajam, namun barangkali ia lebih menjatuhkan sasaran lain terhadap desis jeleknya. Ia bergerak.
Setiap pagi berjalan menyusuri lorong, menyusuri gang, menyusuri jalan-jalan setapak, entah kemana kaki membawa, barangkali dalam kemungkinan besar bertemu akherat di cermin. Bertemu sorga di cermin. Bertemu neraka di cermin bahkan mungkin kekasihnya ada di cermin. Entah cermin yang mana, dia bingung untuk mulai menata ulang hidupnya yang porak poranda oleh nasibnya yang selalu jahil menghakimi dirinya. Ia membantah pantulan wajah cermin itu telah merubah keberadaan kekasihnya yang telah hilang. Ternyata masih jauh juga. Teramat jauh. Sungguh benar-benar jauh! Begitu jauhnya kesempatan untuk dapat memperoleh perubahan terhadap kehidupannya yang sekarang, yang terlalu monoton dengan gerak langkah kehidupan baru yang lebih dinamis, penuh rangsangan bagi bathinya yang kehausan akan cinta yang sesungguhnya.
“kamu telah berubah kini,” komentar temannya suatu ketika.
“Rupakukah?”
“kau telah menjadi lain, kawan! Menjadi bentuk lain, menjadi manusia baru bagi segala perubahan-perubahan oleh keadaanmu.”
“O, tentu sebuah usia dan perjalanan. Mungkin kamu melihat jenjangnya saat ini, pada saat aku berdiri dalam posisi begini di hadapanmu. Memang kamu lihat kerut merut di wajahku. Ini sebuah proses. Rambutku, juga bagian dari proses. Tapi juga jangan lupa dengan langkahku yang kian pelan. Mungkin tanpa proses kalau langkah ini sudah terhenti sama sekali. Aku dalam kecemasan tak mampu untuk melangkah lagi. Kecemasan kecemasan untuk membuat sebuah dilema baru. Semuanya itu tak akan pernah menyembunyikan sebuah usia yang pernah muda memudar pada hari yang semakin senja. Lihat bulan! Tatap yang tajam. Bulan telah mati karena langkahku yang semakin surut. Coba lihat!”
“Bukan! Bukan itu maksudku,” ia membantah.
“Bulan itu demikian indahnya menawarkan cahayanya, hingga tubuhnya tak terbagi cahaya sama sekali. Tapi itu sungguh sulit untuk diterima, bahwa bulan itu telah mati, sudah tidak mampu bercerita lagi. Bulan sudah tak pernah bermimpi lagi.”
“Bukan kawan! Bukan itu……”
“Lalu?”
“Yah, seperti yang kulihat. Kamu yang biasanya hanya hadir sekadar jadi penonton dari sebuah pertunjukan yang sedang berlangsung, kini malah terjadi yang sebaliknya. Kamu lebih banyak terjun langsung dan ikut meramaikan, memerankan salah satu tokoh dalam kehidupan ini.”
Ia tertawa, lalu mengutuk keadaan dirinya.
Peran? Peran dari sebagian manusia? Ha….Ha….ha….ha…., lucu sekali kedengarannya kalimat itu. Berarti dia telah menjadi manusia ke dua setelah puas melakoni segala perjalanan kehidupan sebelumnya, sebelum memasuki dunia kehidupan yang sesungguhnya? Terasa kian menggelitik kecemasan dan tiba-tiba ia lebih cemas, sangat cemas bahkan perasaan cemasnya terlampau berlebihan. Ini panggung sebuah lakon yang disinari cahaya bulan berwarna perak? Ini sebuah panggung lakon yang disinari cahaya bulan berwarna hijau? Ini sebuah panggung lakon yang disinari cahaya bulan berwarna merah yang dibakar darah? Ouw! Ini benar-benar sebuah lakon bulan yang tengah bersinarkan cahaya perak-hijau-merah yang berubah menjadi darah……..
Ia mencoba melihat bayangan dirinya di cermin buram dan berdebu.
Tidak pernah bersih dari lingkupnya waktu. Buram dan kusam. Gamang nan lembab. Gagal! Gagal barangkali memantulkan wajahnya. Buramnya memantulkan cahaya yang gagal akan wajah kekasihnya. Bulan dimanakah engkau kini? Kekusaman yang menggagalkan sebuah bentuk wajah. Kegamangan yang nyata. Tidak ada yang ajaib. Ini bukan dongeng tentang sebuah cermin yang mampu mengembalikan wajah kekasihnya, lalu bergerak-gerak, menari dan hoplaaaa…. Keluar dari cermin itu yang mula-mula bisa saja membentuk cahaya, membentuk guratan mata, membentuk alis yang tebal bak camar kecil, membentuk hidung yang indah, membentuk bibir yang kecil mungil. Ini bukan dongeng! Dan seperti bayi yang bari lahir, tidak dapat menemukan sesuatu yang mampu untuk dipakai sebagai pegangan kuat, barangkali hanya mampu menetek dan menetek secara berulang-ulang. Lalu seperti bayi meram-melek dalam dekapan yang pernah menjadi rumah rahim yang merahimi berjanin-janin cahaya cairan kenikmatan yang mengalir deras dalam tenggorokannya, lalu bermula seperti bayi, pulas dalam kepuasan jamannya dan kosong! Besok menetek lagi demikian seterusnya secara berulang-ulang, bersinambungan. Rahim sang pemilik yang pernah manjadi persinggahan suaranya yang kehausan, dengan tanpa tanggung jawab yang sesungguhnya, memberikan susu di luar susu dirinya. Ia menolak tanpa sadar, untuk pertama kalinya mengeluarkan suara membangkang penuh, untuk selanjutnya menggigit keras-keras putting susu rumah rahimnya yang pernah menjadi anak dari rahim sebenarnya. Akh! Lalu mati.
Menjadi rahim berikutnya, mencari berbagai bentuk yang cocok sebagai persinggahan dari awal dia memulai lahir bermula sebagai janin pewaris berikutnya, demikian seterusnya.
Ia mengacak-acak rambutnya di depan cermin. Selalu gagal menjadi menusia kembali. Manusia seutuhnya yang benar-benar utuh untuk sebutan seorang manusia. Ini Cermin batu, bukan kaca dari sebuah pantulan cahaya wajahnya yang hilang tak berbekas. Mana wajahku yang dungu? Mana kedunguan yang membentuk wajahku? Luluh hatinya melilit lender demi lender jatuh dari lengketan cermin yang menjadi kekasihnya, bekas pantulan sosok wajah seorang gadis sewaktu sama-sama bersekolah dulu.
Hari itu ketika ia memiliki sebuah kesempatan untuk mengatur kata-demi kata untuk memiliki keberanian mendatangi bulan.
“Bulan, aku datang!” dengan hentak kaki keras, ia tinggalkan kamar menganga dalam ribuan cahaya yang gelap memasuki relung hatinya yang telah padam. Kamar itu terbuka lebar-lebar dengan daun pintu tak jelas. Kamar tak berbingkai. Ia tinggalkan cermin buram penuh debu. Penuh bayangan mati tentang kematian. Penuh bayangan bulan tentang padamnya cahaya. Lagi-lagi darah dan kematian. Rumah itu masih seperti dulu, tidak ada perubahan sedikit-pun. Dan memang tidak ada yang perlu untuk di ubah. Masuk perlahan dengan pasti akan kebengongan masa lalu. Terbanglah bersama masa lalu. Bersama sang burung camar. Bersama suaranya nan memukau.
Bulan duduk merenda sutera dari ulat. Sepasang tangan yang halus. Jari nan lentik gemulai bergerak lincah. Memang lincah ia. Penuh cahaya kecintaan. Bulan merawat kembang-kembang yang tumbuh tanpa disiangi rembulan. Embunnya menguncup bunga memancarkan keharuman berlebih. Hingga merawat segala daki-dakinya, berikut kuman yang telah mengakar di tubuhnya. Bulan mengerucut. Gemersik asmara yang memandikan segala rupa keindahan taman sebuah rumah. Bulan merawat rumput-rumput yang basah yang barusan sempat diinjaknya. Penuh kasih sayang. Bulan menyediakan teh jahe hangat.
“Jangan kopi, katanya coffein kronis terhadap denyut jantung. Ha? Denyut sebelah mana? Coba tebak, bilik yang mana menyorotkan cahaya cinta kasih? Bilik mana yang menyembunyikan kebohongan? Atau dua-duanya adalah kebohongan yang senantiasa berdenyut pada setiap nadi tak jelas?
Bulan diam. Tanpa suara. Tiga jam berlalu, tanpa cerita. Bulan punya jantung kronis yang perlahan merambat waktu. Bulan tak pernah bercerita kematian. Lebih suka bermain usungan jenazah yang berakhir di sebuah kamar mayat. Atau lebih suka bermain sebagai tanah yang menimbun sosok yang bernama kematian. Terus siapa yang dia perankan sebagai sosok mayat itu? Bulan-kah? Waktu merambat pelan, merambat waktu-waktu yang tak bergeming lintasan cahaya selanjutnya pura-pura diam. Waktu yang menghentikan bulan untuk menyelesaikan candanya. Lalu jantung itu kering. Jantung itu layu. Tidak ada kasih sayang. Tidak ada asmara. Tidak ada kebohongan. Segala bilik yang berdenyut dalam kediaman yang abadi untuk diam-diam pergi mencari musimnya. Hujan turun deras, sangat deras. Begitu lebatnya. Petir menyambar-nyambar, begitu dahsyatnya. Menyambar seakan sinar itu bukan sesuatu yang perlu untuk dicahayakan dalam pantulan air. Sekalipun memantul bukan sosok wajah yang jelas merubah Bulan. Langit yang hitam menutup matahari, begitu kelamnya. Akan yang jelaga, embun bening serupa air hujan menyerpih mencurahkan tanahnya dari atas langit, jasadnya bersembunyi di bumi. Baju dan seluruh badan bulan basah.
Jantungnya tetap kering. Kering, tak menyembunyikan kematian. Jantung yang menjasad gundukan tanah merah di makam. Ia acak-acak gundugan tanah kekasihnyabatu nisan yang tak bicara. Ia acak-acak berualng-ulang. Tidak menemukan secuil berita kematiannya., hanya gundukan tanah kering tanpa suara, tanpa cerita tanpa dongeng tentang perannya sebagai jasad yang menghuni sebuah kamar mayat di sudut rumah sakit. Sebagaimana yang pernah menjadi mainannya dalam setiap perannya, setiap lakon yang paling digandrungi. Semuanya tidak menjanjikan apa-apa. Ia beranjak pergi. Di simpang jalan, lagi-lagi ia bertemu temannya.
“kamu telah berubah kini.” Komentar ulang yang selalu berulang-ulang terdengar di telinganya yang sama.
“Tidak!”
“Ada sesuatu yang kamu cari, sedangkan dirimu tengah dicari-cari sesuatu. Ada yang diam-diam mengintip keberadaanmu. Kamu toh malah berbalik lari. Kamu melupakan sebuah peranan penting. Peranan yang sangat berarti dalam hidupmu kelak dikemudian hari.”
Peran? Lagi-lagi peran. Apa artinya itu? Ia menggeleng sendiri, sebab terasa sulit untuk menemukan dirinya kembali, lebih-lebih peranan yang dirasakan begitu samara. Begitu gamang. Dengan berkacamata, peranan itu sesungguhnya kebisuan yang memperalat dirinya di lembah lenggang, tanpa penghuni. Berarti ia tidak punya peranan sama sekali dalam segala hal, dalam semua kehidupannya. Karenanya ia demikian pasif, mandeg, dan semuanya mencari kemana-mana.
“Ya, justru karena itu aku mengembara kemana-mana, ke semua tempat yang aku suka. Semua itu aku lakukan untuk mengenal siapa sesungguhnya diriku ini. Apakah aku sudah menemukan diriku? Entah aku tengah berada dimana? Siapakah aku itu? Dan sang maut itu kini jadi milik siapa? Aku jelajahi hutan dan gunung, tetap sama saja. Setiap rumah aku datangi, tidak peduli rumah rakyat jelata ataupun rumah pembesar negeri, semuanya memiliki cerita masing-masing. Cerita yang sangat khas kentara dari penghuninya masing-masing. Tidak ada peranan yang sangat istimewa. Rasanya tetap seperti yang dulu, seperti pada masa-masa aku masih bergelut dalam kesibukan hingga bermuara pada keletihan yang mengakhiri dalam kekosongan. Kehampaan tak jelas!”
Ia marah, kentara marahnya. Dalam kemarahan itu melampiaskan arti kekecewaan akan keadaan. Keadaan yang tak jelas. Ia kecewa, kentara kecewanya. Marah-kecewa-marah-kecewa demikian seterusnya secara berulang-ulang, silih berganti, patah tumbuh hilang bergayut!
Malam pekat. Hujan reda. Timbul bayangan dalam air, jatuh di aspal jalanan, memantulkan sinar, memantul-mantul dirinya. Nah, ini dia ketemu! Wujudnya menjadi gembira. Ia kembali berubah, kembali jadi hamba baying, jadi cermin, berbalik jadi cahaya. Bayangan dirinya selalu berubah dalam pantulan cahaya, air yang selalu bermain-main dalam kemarahannya. Tak ubahnya seorang anak kecil yang bermain-main dalam sisa-sisa genangan air, begitulah dia. Setiap lekuknya ia injak sesukanya. Mengumpat sesukanya. Memaki semaunya! Sepanjang jalan ia berteriak-teriak, ia injak kembali, menciptakan cipratan cahaya memantul di toko-toko pinggir jalanan, jadi cermin memantul. Itu cerminnya, ia injak kembali sesukanya berteriak dalam setiap umpatan yang membelah malam, kecahayaannya berkeping-keping jatuh menimpa warung, ia injak kembali. Ia gusar. Sangat gusar. Halaman warung ia injak. Semampu nasib menginjak dirinya. Ah, nasib tak jelas, sesekali ia memaki dirinya. Orang-orang yang mendengar hanya melongo. Orang-orang yang melihat hanya geleng-geleng. Orang-orang mulai menyingkir, menjauh, takut kena injakan kakinya yang keras. Diinjaknya berulangkali, jatuh di gedung megah ciniplek kota. Diinjaknya, jatuh di pasar yang kian gelap. Diinjaknya, jatuh di baju pengemis yang robek-robek. Ah, bualan kosong! Diinjaknya jatuh di pelataran pura. Ah, sandi-sandi Tuhan! Aku yang murtad, yang dihakimi dalam doa bisu tak sampai-sampai.
Bulaaaaaaaaaannnnnnnnnnnnnnn,!!!!!!!!!!!!! bisakah engkau bermimpi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar