Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Senin, 01 Maret 2010

Cerpen:DG.Kumarsana LELUHUR GENTUH

Gentuh punya leluhur. Sama kedudukannya dengan leluhur istrinya. Karena leluhur mereka beragama yang sama sehingga memudahkan untuk terjadinya proses reinkarnasi phunarbawa manakala terlahir anak-anak. Namun yang dia ketahui lebih dominan leluhur Gentuh yang memainkan peran dalam kehidupan rumah tangganya. Leluhur istrinya sifatnya hanya selaku pendamping untuk mengawasi kelangsungan hidup anak-anaknya dalam artian lebih meneduhkan perasaan-perasaan. Dan tidak lebih juga untuk menjaga emosi terkendali manakala mereka mengalami temperamen berlebihan. Namun pada kenyataan kehidupan sehari-hari justru leluhur istrinya lebih dominan memainkan peran. Karena tanggung jawabnya yang besar serta berstatus sebagai ponggawa kerajaan kalau istilah kekinian lebih tepat disebut sebagai aparat keamanan. Status mereka rata-rata sebagai tentara, polisi lalu lintas, sebagai polisi pamong bahkan ada sebagai satpam. Sementara leluhur Gentuh sesungguhnya berstatus sebagai pemuka agama, tokoh adat yang lebih cenderung menyelesaikan prosesi upakara keagamaan, selaku tokoh adat yang dihormati dan untuk sementara, bahkan sampai hari ini..Dan leluhurnya juga adalah seorang seni, seniman yang pintar memahat, seniman yang pintar membuat bade pada upacara pengabenan. Demikianlah hingga seterusnya sampai ke anak cucu keterampilan itu bermanfaat terus, Dari desa ke desa selalu mereka mencari keluarganya untuk menyelesaikan upacara.
Pada suatu ketika rumah tangganya mengalami musibah. Badai semacam “black magic”. Sebuah perkara di luar logika. Mula-mula ia mengalami kesakitan pada perut. Gastritis yang memang kronis akibat lambung bertukak. Rasa nyeri yang berat disertai muntah-muntah. Muntah bercampur darah. Bagian perut terasa kejang. Kolik temperamen ini mengakibatkan Gentuh harus menjalani rawat inap di sebuah rumah sakit. Yang mengherankan justru hasil testimoni pada laboratorium selalu berubah-ubah. Diagnose ini menyebabkan keragu-raguan yang parah pada psikisnya.
“Sebaiknya kita tidak mempercayakan pada dokter saja?” Katanya penuh idealis dalam tanda tanya yang sangat besar.
”Terus kita cari dokter yang lain?” istrinya menjawab berusaha untuk memahami keadaan.
”Bukan! Saya harus minta pendapat seorang balian ”
”Ah, aneh-aneh saja” Istrinya menyepelekan. Dan hal itu pula disampaikan pada salah seorang saudara yang baru beberapa bulan belakangan ini jumpa. Saudara dari kampung sama-sama merantau dan baru dijumpai beberapa bulan yang lalu. Saudara yang sangat baik dalam segala hal. Kebaikan yang muncul dan terkesan sangat tiba-tiba dan seperti dibuat-buat untuk kelihatan baik dihadapan Gentuh dan istrinya. Betapa tersinggungnya seorang saudara manakala hal itu diceritakan akan sebuah ide yang ia inginkan untuk mencari ”orang pintar”.
”Kan’ sudah jelas diagnosenya kok harus cari dukun? Apa tidak cukup dari bli saja?” demikian saudaranya menasihati istri Gentuh sendiri.Kata-katanya sedikit sengit, karena upaya yang dikeluarkan dengan mengobati penyakit Gentuh mempergunakan jurus yang selama ini dipelajari untuk menjadi pintar. Saudaranya menerapkan ilmu bathinnya pada Gentuh karena merasa ada kemampuan untuk melakukan itu. Mantra yang diterapkan menurutnya konon diperoleh dari pelajaran pengembaraan bathinnya dalam pengetahuan demikian hebat. Itu yang pernah diceritakan pada istri Gentuh. Walau sesungguhnya Gentuh tidak pernah percaya penuh akan kemampuan kakaknya. Buktinya ketika dia diberikan air putih hasil komat-kamit kakaknya dan setelah meminum malah sakitnya kian menjadi-jadi.
Gentuh tak yakin kalau saudaranya memiliki ilmu pengobatan.
Selanjutnya ia sudah tahu kalau itu semua hanyalah merupakan penyakit kiriman. Kejanggalan lain dalam kesembuhan dengan cara yang aneh adalah pada saat istrinya secara diam-diam mendatangi ”orang pintar” yang dimaksud tanpa setahu saudara memintakan obat berupa air putih yang dikatakan tirta dipercikan di jidat, diraupkan di wajah dan diminum masing-masing tiga kali.Tapi Gentuh lakukan tujuh kali. Keajaiban terjadi! Secara spontan ia bisa bangun dari tempat tidur dan minta supaya slang infusnya dilepas dari cairan natrium klorida yang sudah beberapa hari dikonsumsi oleh urat nadinya. Dan tengah malam ia malah minta mandi dan keramas. Suatu hal aneh yang dilakukan yang semestinya dalam aturan kesehatan tidak boleh dilaksanakan pada saat stamina masih lemah oleh pengaruh infus.
”Kenapa bisa sampai terjadi demikian? Sangat tidak masuk akal!! Apakah ini daur mimpi awal menuju kesadaran atau akan membuat semakin parah?” Gentuh terheran-heran dengan kejadian itu. Namun kalau tidak percaya kenapa rasa sakit diperut yang demikian melilit tiba-tiba hilang setelah menerima air putih itu? Terus siapa yang membuat sakit begini? Ia tidak punya rasa salah sama orang lain selama pergaulannya selama ini. Apa mungkin ada orang yang diam-diam tidak menyukainya dan mengirimkan penyakit dengan cara sembunyi-sembunyi? Lalu lewat mana masuknya penyakit itu?
”Itu ’cetik’. Biasanya dikirim lewat angin berupa makanan. Pernah menerima makanan dari seseorang? Biasanya orangnya kita kenal, sangat dekat dengan kehidupan kita.”
”Ooooo pernah-pernah. Bahkan sering entah itu dari teman-teman dekat atau dari sanak keluarga. Tapi akh..... masak sih orang-orang seperti mereka yang begitu baik mempunyai niat jelek? Ndak percaya....... sangat sulit untuk dipercaya dan kok kayaknya ndak masuk akal ya?”
Berulangkali dipandang kerut wajah tua yang dikatakan teman-teman dekatnya dan hampir semua masyarakat disana mengatakan ”orang pintar” dengan tatapan wajah sangat bodoh. Ini kebohongan yang memang mengada-ada atau memang sesuatu yang sungguh-sungguh tengah terjadi tanpa ia ketahui apa sesungguhnya di balik semua itu.
Tapi kalau sebuah kebohongan, kenapa kok perutnya tidak terasa sakit sekarang? Wah, benar-benar luar biasa keampuhan air putih itu.
”Apa yang ada dalam pikiramu tentang mereka tentu baik. Itu magnet positip yang ada dalam bathinmu sendiri. Tetapi tahukah kamu apa yang ada dalam pikiran mereka? Itu ada dalam signal yang kamu rasakan lewat feeling yang hanya dalam sepersekian detik direkam memori pikiranmu ” orang pintar ini kian banyak bicara. Dan Gentuh melongo sepertinya harus mempercayai kata-kata itu. Minimal ia mengerti dan diajak untuk mengetahui dan menjenguk kedalaman pikiran masing-masing orang bahwa semua orang belum tentu baik dan juga tidak seluruhnya juga punya tabiat buruk. Perasaanlah yang mewakili dalam sinyalemen yang janggal manakala seperti akan diberikan sebuah rambu-rambu akan terjadi sesuatu peristiwa. Artinya ia benar-benar mengerti itu semua termasuk dalam bahasan entah yang namanya teman dekat, sahabat karib ataupun saudara dekat sekalipun menurut perkiraan perasaan belum tentu seluruhnya punya niat baik.
Malam itu Gentuh bermimpi di datangi orang tuanya yang sudah meninggal, yang keberadaannya sudah dianggap suci. Ia menyebutnya leluhur. Leluhur Gentuh hadir ditengah-tengah senyumnya yang penuh teka-teki. Seakan tidak dapat menebak senyumnya. Kalaupun bicara kata-kata itu tak keluar dari mulut mereka namun seperti tengah mengatakan sesuatu. Ia tidak tahu entah apa yang dikatakan.
Gentuh yakin sekali, kalau mendiang ayahnya hadir dalam mimpinya berturut-turut dalam minggu-minggu ini. Itu artinya lagi ”terjadi sesuatu” yang menimpa hidupnya. Ia bisa menebak. Karena dua kali kejadian didatangi mendiang ayahnya pada tahun-tahun sebelumnya dia selalu tertimpa masalah yang sangat pelik. Selalu saja masalah yang terkait dengan ilmu hitam. Istrinya mendekap dada Gentuh dalam alunan napas turun naik yang teratur. Kali ini suara dengkurnya terdengar berbeda dari biasanya.
Tiba-tiba saja ayahnya sudah berada disampingnya. Dia merasakan suhu tubuh ayahnya. Dia mendengar kata-kata yang keluar dari mulut ayahnya. Dia merasakan ada komunikasi yang tidak biasanya. Gentuh melihat suasana sekitarnya demikian senyap. Dia diajak keliling melihat-lihat suasana desa yang lenggang. Dia merasa sangat gembira dan berbahagia sekali. Dan hai, itu kan gus Raka, teman semasa sekolah dulu. Begitu lama ia menghilang disaat sibuk-sibuknya mempersiapkan pertandingan basket antar sekolah. Dan dia tidak pernah hadir dalam latihan sampai menjelang pertandingan. Apa yang dilakukan disini? Gentuh menyapa namun sapaannya bagai angin, berlalu begitu saja. Dia seolah tidak melihat dan mendengar panggilannya. Gentuh merasa tangannya dipegang. Ayahnya mengajak ke suatu tempat. Daerah perkotaan penuh lalu lalang orang-orang yang sibuk. Mereka menerobos orang-orang yang lagi berseliweran. Langkahnya demikian ringan, seolah ada roh lain yang memompa jantungnya. Diantara hiruk-pikuk kendaraan, menyeberangi jalan menuju sebuah bangunan besar, seperti demikian mengenal sekali bangunan itu. Lho, ini kan’ rumah sakit tempatnya opname? Suster-suster yang pernah merawatnya dia kenal betul. Gentuh tersenyum dan melambai namun lagi-lagi tidak mendapat balasan. Gentuh menegur dan mengajak bicara, namun suaranya tidak terdengar. Suster itu tidak membalas senyumnya, tidak membalas lambaian tangannya, tidak membalas menegur, tidak meladeni bicaranya. Gentuh tercengang. Lho itu teman-temannya di kantor, mereka berjalan menuju ruangan rawat inap. Gentuh berjalan di samping mereka sambil menyenggol tangan Ali, rekan kerja satu ruangan. Ali tidak peduli. Ia menggapai ke arah bang Kusno. Lagi-lagi tak ada tanggapan. Seolah-olah tidak ada yang melihat kehadirannya. Semuanya tidak peduli.
Gentuh merasa jengkel. Emosinya kambuh. Satu persatu dia cuwil tangan teman-temannya. Tidak ada yang bereaksi.Gentuh berteriak di setiap telinga teman-temannya, bagai orang gila ia mulai memaki, mendamprat dan mengeluarkan kata-kata kotor. Tetap tidak ada reaksi. Semuanya tetap berjalan dengan menundukkan kepala. Ada yang mengeluarkan airmata, ada yang saling bicara sesama teman dengan suara pelan dan nada sedih. Ada apa ini? Gentuh geleng-geleng kepala. Ayahnya hanya senyum-senyum saja melihat tingkahnya. Ia akhirnya mengikuti langkah teman-temannya menuju sebuah ruangan bangsal rumah sakit. Betapa kagetnya ia begitu melihat tubuh siapa yang terbujur di atas tempat tidur.
”Ha? itu kan aku? Gentuh terhenyak kaget melihat dirinya terbaring. Ia menoleh ke arah ayahnya dengan pandangan penuh tanda tanya. Lagi-lagi ayahnya hanya tersenyum tanpa mengeluarkan kata-kata.
”Apakah aku sudah mati?” Gentuh bertanya dan menoleh mencari sosok ayahnya. Ayahnya tidak ada di sampingnya. Tidak ada diantara kerumunan orang-orang yang mengerubungi tubuhnya.
Ia melihat istri dan anak-anaknya sedang menangisi dirinya. Ia melihat saudaranya yang dirantau, saudaranya yang dianggap baik lagi memeluk istrinya dan menatap dirinya terbujur dengan pandangan menyeringai. Sorot mata yang sangat menakutkan. Sekarang ia bisa melihat saudaranya itu tengah memasukkan sesuatu ke dalam makanan yang dibawakan untuknya. Dia melihat dirinya lahap memakan makanan itu. Ia melihat sesuatu zat yang memasuki tubuhnya hingga panas dan mendidih. Sekarang ia melihat tubuhnya sendiri mengeluarkan uap panas. Sekarang ia melihat jelas istrinya tertidur dalam pelukan saudaranya. Hingga sama-sama tertidur. Sekarang ia mampu melihat apa yang sedang dilakukan saudaranya, temannya, tetangganya dan musuh-musuhnya. Sekarang ia sudah dapat membedakan mana yang bernama teman dan mana teman yang bernama musuh. Sekarang ia dapat melihat jelas wajah saudaranya yang menyeringai mengerikan. Sekarang ia merasa tubuhnya sangat ringan sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar