Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Jumat, 05 Maret 2010

CeRpeN : SANG PENGARANG

Anak-anak jurusan hukum Unram sedang ramai bercanda. Disana ada Novi, Tina, Niken dan Andani sebagai promotor sekaligus penggerak dari ajang santai. Biasanya kalau dosen belum muncul di kampus, acara rutin diisi dengan kekompakan : ngerumpi.
“Tin, workshop tahun ini dipusatkan di kampus kita, lho!” Novi menyela diantara gelak candanya. Mereka semua pada menatap. Biasa, pembawaan Novi yang paling serius diantara mereka itu.
”Ah, itu kan anak-anak jurusan sastra yang punya kerja. Kita hanya membantu dan mendukung saja,” Niken menjawab. Mulai terbawa arus. ”cukup sebagai pengamat saja.”
”Ah, jangan berlagak intelek. Katakan saja penonton, gitu!! Kita ini hanya hadir untuk menyaksikan pertunjukan” Andani menyela sambil senyum-senyum nakal, ada nada menggigit dalam ungkapannya yang terkesan saklek.
”Kita itu sebenarnya memiliki kancah sendiri. Kita berpotensi dalam memainkan peranan itu sendiri. Jangan asal berkolaborasi saja !?” Niken seperti protes, merasa namanya dimasukan dalam susunan kepanitiaan.
”Sebenarnya segala sesuatunya sudah dipersiapkan. Memang kalau ada kerja ilmiah, kita juga yang sibuk. Namun kita tidak menampik kalau sesungguhnya selama kerja berlangsung lebih banyak dibantu anak-anak jurusan sastra. Ingat kan?” Novi mulai berkata panjang. ”Sekarang ini karena menyangkut nama baik sekolah, kita mesti tunjukkan kekompakan. organisasi kemarin sudah menunjuk anak-anak jurusan sastra yang punya gawe dan duduk sebagai panitia plus Tina, cerpenis kita ini.”
”Nggak jamin deh. Waktu workshop tahun lalu tuh banyak peserta yang protes,” Andani seperti tidak terima. “Padahal kita punya tokoh sastra sendiri,” Andani menatap Tina.
“Belum tentu!”
“Apanya?”
“Itu kan ketua panitianya beda. Sekarang ini diambil alih Rudy. Mungkin berjalan lain. Saya percaya betul kemampuan Rudy memimpin kawan-kawan. Kamu jangan terlalu apreori dulu, An!” Novi menyela.
”Rudy?” Tina terkejut mendengar nama Rudy disebut-sebut. Ada kesan tidak percaya sama sekali. Ada kesan meremehkan sekaligus jengkel bercampur gemas. Nama itu tidak termasuk dalam catatan dirinya. Ah, itu terlampau berlebihan. Ini sudah keterlaluan. Apa sih hebatnya anak jurusan sastra yang satu ini? Mendengar nama Rudy terlalu disanjung teman-temannya saja ia sudah jengkel setengah mati. Ia muak. Mau muntah saja. Puih! Dulu ketika di gelanggang remaja menghadapi pertandingan antar mahasiswa, Rudy sempat menjadi bintang lapangan dan betapa kagum Tina pada penampilan cowok itu. Tangannya seolah-olah bermata. Kemana arah bola selalu berada dalam tangannya. Begitulah, ketika gengnya Rudy mampu menaklukan lawannya, sang musuh bebuyutan., gegap gempita di kubu anak-anak jurusan sastra. Bagaimanapun sebagian besar para pemain termasuk pasukan jurusan sastra. Mahasiswa dari jurusan hukum hanya mesem-mesem saja. Maklum tidak memiliki pemain andalan, tidak ada yang sehandal Rudy. Diam-diam Tina merasa kagum, karena dia merupakan satu kesatuan di kampus itu.
Tapi yang sangat menjengkelkan hati Tina, setiap mereka berpapasan di jalan atau bertemu di kampus, Rudy jarang mau menyapa. Menoleh saja tidak. Akh, sombong sekali! Tina kesal merasa kehadirannya seperti diremehkan sekali. Sekarang, lagi-lagi nama itu yang disebut-sebut. Kali ini benar-benar merasa sangat muak.
”Kenapa Tina? Kok diam?” Niken menyodok tangannya.
Tina cemberut.
”Tuh, coba lihat! Idolamu datang,” Niken menunjuk ke halaman kampus. Nampak di kejauhan satu sosok berjalan dengan tenang setengah gontai. Sikapnya acuh tak acuh, seperti tak menghiraukan sama sekali kehadiran teman-teman di sekolah. Seperti tubuhnya adalah miliknya sendiri dalam keramaian rekan-rekan yang berseliweran di sampingnya. Itu yang dapat ditangkap sekilas pada sudut mata Tina mengenai gerak gerik sosok yang bernama Rudy. Penampilannya terkesan menganggap remeh orang sekitarnya. Sangat tidak peduli, atau lebih tepatnya dapat dikatakan tidak ambil pusing dengan suasana sekelilingnya. Merasa paling hebat sendiri. Uhh! Barangkali ini yang dikatakan dalam istilah bahasa kaum seniman sebagai orang yang top.
”hei.....Rudy, sini dong,” Niken memanggil sembari tangannya nakal menyenggol lengan Tina. Spontan Tina mendelik kesal. Merasa olokan temannya itu ditujukan buatnya, merasa di permainkan.
Di kejauhan Rudy hanya tersenyum pada mereka berempat, terus berlalu, seolah tidak terjadi apa-apa. Niken saja yang terus melambai. Sikapnya menggoda.
”Fuiiii.....! Sombong banget!” umpat Tina bersungut-sungut.
”Yeee....., nanti juga pasti kangen,” Niken lagi-lagi menggoda sembari ngikik menghindar cubitan gemas tangan Tina.
”Cakep lagi....”
Bah! Cakep katanya. Tapi, ya Tina harus mengakui itu. Perlahan tapi pasti pandangannya mulai berubah. Kadang ia heran. Tina merasa sudah betul-betul berpengalaman dalam dunia tulis menulis, entah sudah berapa media yang memuat tulisannya itu. Pernah ketika salah satu cerpennya mendapat sambutan hangat dari kawan-kawan bahkan dosen jurusan sastra Indonesia acung jempol padanya. Eh, ternyata Rudy hanya menganggap itu hanya tulisan kanak-kanak remaja. Masih mentah. Apa sih maunya,dia?
”Cerita pendek berjudul ’di balik kantin sekolah’ hasil karya Tina menurut saya masih menyimpang jauh dari tema yang dimaksud penulisnya. Idenya berputar-putar tak tentu arah. Dialognya yang dibentuk sang tokoh terlalu berbelit-belit. Ending tak jelas. Kurang pengendapan bahkan ada kesan terburu-buru dalam penyelesaian,” Rudy mengomentari tulisannya di depan teman-teman, pada saat apresiasi sekolah berlangsung. Kegiatan rutin yang diadakan setiap minggu sore di halaman depan kampus. Mereka duduk melingkar dan membahas segala hal yang berhubungan dengan seni. Dari tulisan, drama, sampai seni tari dan gamelan.
Uh, Tina bersungut-sungut Kenapa tidak mas Putu atau mas Herry Wijaya yang bicara tentang tulisannya. Kenapa cowok yang menurutnya hanya tahu soal basket saja. Memang dimana-mana Rudy selalu muncul. Itu yang mengherankan Tina. Tidak saja di bidang olahraga, kegiatan organisasi kampus bahkan dalam dunia sastra iapun sering hadir. Seolah-olah ia sedang memata-matai dirinya.
”Eh, cowok! Maumu apaan sih? Ngomong macam-macam, ngalor-ngidul, tak tentu arah soal tulis menulis. Coba dong tunjukin kamu punya karya? Mana? Manaaaa......?? Nulis aja nggak!” Tina saking sudah kelewat jengkelnya, minggu sore itu usai acara apresiasi seni di halaman kampus, mengejar dan menghujamkan dengan berbagai omongan yang lumayan pedas. ” Kamu tuh jurusannya ilmu seni termasuk menulis, tapi satupun tidak ada nongol tulisanmu di majalah. Tahunya hanya main kritik aja, uh! Hei, gini-gini walau aku jurusan hukum tapi aku bisa juga menulis karya sastra. Aku ini berbakat, tahu!? Nggak kayak kamu. Dasar!”
Rudy hanya menatap saja lalu melengos pergi tanpa menjawab dengan langkah seperti biasa.
Tina kian jengkel dibuatnya. Ingin agar Rudy mau meladeni omongannya dan bahkan dia ingin menampar muka pemuda itu. Eh, malah Tina sendiri yang jadi keki dibuatnya. Sikapnya yang cuek bebek dan suka mengalah membuat Tina menjadi semakin uring-uringan.
”Eh, Tin! Jam kuliah mau mulai, yok masuk ruangan. Kok bengong aja sih? Ingat Rudy ya?”
Tina gelagapan. Mukanya merah dadu seketika. Langkahnya setengah dipaksakan mengikuti temannya menuju ruangan.
”Ntar deh kita salamin buat Rudy,” Niken berbisik. Masih dengan godaannya yang menyebalkan Tina. Dia hanya melirik temannya dan melotot.
”Marah? Hehe nggak usah marah. Cinta memang muncul dari rasa marah, awal mulanya ketidak mengertian yang menumbuhkan kasih sayang. Rudy memang menjengkelkan namun sikapnya itu yang membuat kita semakin ingin mengingatnya. Ehmm, aneh kan? Cinta memang demikian,” Lagi-lagi Niken mengutip bahasa dalam cerpen Tina yang diterbitkan majalah kampus bulan kemarin.
”Ah, dasar kamu!” Tina kian mendelik. ” Pintarnya kamu mengutip bahasaku, ya?” Tina mencubit lengan temannya.
”Aku kan pengagum beratmu, Tin.”
* * *
Sibuk juga teman-teman para mahasiswa di Unram. Ruangan auditorium ditata demikian marak. Memang kalau anak-anak jurusan sastra kalau sudah nyeni memang benar-benar hidup dibuat suasana ruangan itu.. Tina tidak punya pilihan lain. Ia maniak sastra, seni yang satu ini mengusiknya untuk kerja bareng dalam kepanitiaan bersama Rudy. Walau sesungguh dalam hatinya ia merasa sangat jengkel. Menjengkelkan memang! Tapi apa boleh buat. Bagaimanapun juga ia sangat menyukai dunia tulis-menulis, dunia yang selalu membuatnya nyaman. Di saat-saat mood itu menghampirinya, ia merasakan suatu penyatuan diri yang total. Seolah dia merasa sudah menjadi dirinya sendiri, dunia yang tidak mampu digugat terlebih diganggu dunia lain selain pilihan menulis. Baginya menulis merupakan sebuah pelampiasan dan bathinya akan merana kalau sampai tidak kesampaian dengan hobbynya ini terlebih lagi dalam membuat cerita pendek. Kalau tidak sampai tuntas dia akan belum mau makan. Itulah memang hebatnya seni. Bila perlu Tina akan menulis semalam suntuk untuk menyelesaikan naskahnya. Walau pada kenyataannya ia sering dikritik oleh pemuda yang satu ini. Uh, sebel! Apa sih kemampuan anak jurusan sastra ini? Tapi tunggu dulu. Lihat gaya Rudy di depan. Tangannya menunjuk sana menunjuk sini. Sekali waktu mendekati pak Harjo, dosen yang penyair yang baru-baru ini menerbitkan buku berjudul: ”Kata yang bermula dari airkata.”
Tina hanya membuang muka sebal ketika selintas mata Rudy menoleh ke arahnya. Tina dan Niken kembali ke ruangan mempersiapkan undangan. Cukup banyak juga. Belum habis waktu untuk menyebarkan. Dalam hal ini lagi-lagi Niken mengakui kelincahan Tina dalam menyebarkan undangan tersebut.. Semuanya ada dalam agenda Tina. Jadi tidak terlalu sulit. Cukup makan waktu sehari. Setelah semua beres, Tina ingin secepatnya berada di rumah. Santai-santai sambil membaca majalah favoritnya ditemani jeruk dingin. Ah, betapa menyegarkan.
”Ufff.......! Capek juga,” Tina bersungut-sungut sambil tidur-tiduran. Tangannya membuka halaman demi halaman cerita pendek. Sekali dua kali memang karyanya muncul menghiasi halaman majalah tersebut. Ada satu karya yang sering membuatnya kagum Ia seperti membaca sebuah cerita penuh dengan ide segar. Setiap ia membaca karya tersebut selalu membuatnya senang dan ingin membaca sekali lagi, entah bagaimana cara pengarangnya menulis. Dialognya pun cukup segar. Nama penulisnya juga tak kalah menarik. “Putra Merana”. Putra Merana? Tina tertawa geli. Tina sering terhanyut oleh gaya berceritanya yang segar dengan ide-ide yang kadang-kadang melonjak penuh dengan kejutan-kejutan. Pernah pengarangnya menceritakan tentang kampusnya, seolah-olah dia sangat akrab dengan kampus tempatnya kuliah. Apakah tidak mungkin pengarangnya mahasiswa di kampus ini? Ya, jangan-jangan dia anak kampus Unram juga, pikir Tina penuh rasa ingin tahu. Terus terang Tina merasa jatuh cinta pada pengarangnya. Tapi siapa ya pengarangnya? Alamat dan foto pengarangnya tidak tercantum..
Sedang asyik-asyiknya ia membaca tulisan tersebut, tiba-tiba ia dikejutkan oleh ketukan halus di ruangan depan.
”Siapa sih?” Tina bersungut-sungut santai melangkah ke ruang depan membuka pintu. Begitu pintu terbuka alangkah terkejutnya Tina melihat siapa yang berdiri di depannya. Lebih-lebih pemuda di depannya itu juga tak kalah terkejutnya begitu melihat siapa yang membukakan pintu.
”Ngg......, maaf Tina, orangtuamu bernama Ir. Gunawan?”
”Ya, ngapain!?” Tina ketus begitu bisa menguasai diri. Hampir saja menutup pintu kembali kalau tidak ia melihat ada dua orang laki-laki menggotong almari pakaian pesanan ibunya. Oh, rupanya di tempat Rudy ini ibu memesan almari? Ternyata dia hanya seorang tukang kayu, pikir Tina setengah sinis tanpa mau mempersilahkan masuk apalagi duduk.
”Taruh di dalam saja. Sana lewat samping,” Tina memerintah lalu menatap Rudy dengan pandangan merendahkan.
”Ayahmu kebetulan memesannya di tempat saya,” Rudy menyodorkan faktur tanda terima. Tina membubuhkan tandatangan di atasnya.
”O, kamu ternyata hanya seorang tukang kayu. Di kampus sok ngerti soal tulisan ya?” Tina memancing emosi cowok itu. Dan lagi-lagi dia kecele, seperti biasa bagaimana gayanya di kampus, pemuda yang bernama Rudy itu hanya melengos serta berlalu seperti tak pernah terjadi apa-apa. Wah, nonchalance!
”Uh, tak menyangka si sombong itu ternyata hanya seorang tukang kayu,” ejek Tina. ” Bisa juga dia bersikap sok dan tidak memandang sebelah mata padaku.”

* * *
”Hei, kamu tahu An?” Tina berbisik saat workshop berlangsung. Andani tidak menoleh. Pandangannya tetap terpaku pada anak-anak yang sedang berlomba.
“Rudy yang sok itu ternyata hanya seorang tukang kayu.”
“Tahu dari mana?” Niken bertanya.
”Kemarin ia datang ke rumah mengantarkan almari pesanan ibuku.”
”Wah, hebat dong. Itu menandakan orangnya mandiri. Di kampus berprestasi malah,” Andani akhirnya berkomentar dan memuji.
Tina hanya melengos. Prestasi? Boleh juga, tapi sikapnya itu terlalu sombong buat Tina. Dari segi apa Tina harus menyukai tipe pemuda seperti itu? Jangankan bicara, menatap mukanya saja enggan. Itu terpaksa kemarin terjadi komunikasi mendadak karena almari pesanan ibunya. Sebetulnya Tina saat ini tidak mau berada di auditorium melihat lagak dan gerak-gerik Rudy yang membosankan. Bisa saja Tina pulang dengan suatu alasan tertentu. Tapi pada susunan acara ada selipan diskusi. Yang menarik hati Tina adalah salah satu pembicaranya pengarang yang selama ini Tina kagumi. Tina ingin tahu siapa sebenarnya dan bagaimana sosok yang bernama Putra Merana secara jelas dan ingin mengetahui rahasia menulisnya. Karenanya ia cukup sabar untuk menunggu.
”Kurasa kali ini semuanya berjalan sukses,” Novi memuji acaranya yang sedari tadi berlangsung hangat.
”Sukses apanya?”
”Lihat saja, mana ada peserta yang protes seperti tahun kemarin?”
Tina masih bersungut-sungut. Acara lomba baca puisi dan cerpen berlangsung tidak lebih dari dua jam, namun cukup membuat Tina dan teman-temannya kecapaian duduk di auditorium. MC melalui pengeras suara menyatakan acara berakhir yang dilanjutkan dengan diskusi seputar dunia sastra. Ada tiga tokoh sastrawan yang bicara. Seperti biasa para mahasiswa-mahasiswi yang demam sastra mulai ikut berkiprah.
Tina tidak usah ditanya. Dua pembicara sudah tidak masuk perhitungan. Dia kurang greget, disamping makalahnya sudah terlalu umum dibicarakan dalam setiap apresiasi sastra budaya. Begitu giliran Putra Merana membawakan makalahnya, hati Tina kebat-kebit. Berpuluh-puluh pertanyaan memenuhi benaknya siap dia muntahkan dalam forum diskusi ini nanti.
”Busyet! Ngapain orang itu yang naik ke atas? Mengganggu acara saja. Uh, sok penting ketumbenan berada di mimbar. Apa sih yang mau diomongin lagi?” Tina sengit menatap Rudy di kejauhan mengambil mike. Terdengar Rudy berdehem sebentar sembari membacakan beberapa kalimat penutup sebuah cerpen dan meneriakan beberapa baris sajak-sajak willy Rendra.....
“Ia yang bawain makalahnya,” Novi menyela sambil tersenyum menatap Tina.
Tina menatap Novi penuh tanya.
”Bukankah kamu ingin tahu tokoh idolamu, wahai cerpenis muda?”
”Ah, jangan bercanda, Nov,” Tina masih memandang penuh tanda tanya sambil menatap ke depan. Dilihatnya Rudy telah duduk menatap semua peserta.
“Namanya Putra Merana. Mungkin nama tambahan Putra Merana sekadar ingin mengejek dirinya sendiri yang hidupnya serba susah. Bayangkan, pulang kuliah ia harus menghadapi pekerjaan buat biaya kuliah. Tidak seperti teman-teman yang lain. Ia hidup dari hasil kayu-kayunya itu.”
“Jadi....jadi ia yang nulis di majalah itu? Yang.....” Tina tak mampu meneruskan kata-katanya. Ia tidak bisa mendengar apa yang diucapkan Rudy di depan. Semua pertanyaan yang sudah ia siapkan menjadi lenyap begitu saja.
Tiba-tiba Tina ingat salah satu judul cerpen pemuda itu. ”Carpenter” Ouww...., pantas, pikirnya. Carpenter mengisahkan tentang kehidupan seorang tukang kayu yang ingin menyatakan cintanya pada teman sekampusnya bernama Tina. Tina? Eh, nanti dulu. Bukankah hanya dia sendiri bernama Tina di jurusan hukum semester 4? Dan pengarangnya begitu saja memakai namanya. Bahkan ia sempat terharu dan hanyut oleh gaya bercerita pemuda itu. Oh, tukang kayu yang malang. Tukang kayu yang rendah diri, bisik hati Tina dengan muka merah dadu saking malunya. Sekarang ia baru mengetahui kenapa sikap Rudy begitu aneh padanya. Bahkan menatap aja tidak mau. Sekarang dia baru tahu, cinta ternyata tidak hanya diungkapkan langsung lewat perjumpaan.
”Kenapa tidak pernah kamu ungkapkan hal itu padaku, Rud?” Tina berbisik lirih. Entah darimana datang rasa simpati yang begitu tiba-tiba terhadap pemuda itu, secepat berlalunya rasa kesal yang pernah dipendam.

catatan:
pernah dimuat di majalah ekspresi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar