Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Selasa, 09 Maret 2010

Dari Jendela Peracikan : RESEP BAYGON


Dengan amat sangat tergesa-gesa si orang tua itu menyodorkan resep ke counter sebuah apotek. Wajahnya berkeringat dengan nada gemetar berucap : “ Tolong segera! Anak saya mau mati. Tolong pak, tolong bu….” Suaranya terbata-bata, setengah memelas, setengah memohon. Sisanya mengguguk. Air matanya mengalir di keriput pipi tuanya.
Petugas apotek, entah laki-laki entah perempuan, bergegas menyediakan obat pada pojok kanan atas resep bertuliskan “CITO” dari sebuah Instalasi Gawat Darurat. Seratus ampul Atropin Sulfat bahkan lebih.
Agaknya petugas apotek tidak perlu banyak tanya terhadap keadaan seperti ini gawatnya. Untuk pengisian sebuah master pasien/pelanggan sebagai data pelengkap system IT kita yang sangat bonafide, sementara waktu tidak perlu bertanya: “ alamat yang bisa dihubungi pak? Nomor rumahnya berapa? Ada telponnya nggak, punya HP nggak? Berapa Nomor yang biasa dipergunakan? Atau rumahnya ikut RT berapa, Siapa RT-nya, rumahnya di jalan apa, jalannya sudah di aspal apa belum, masuk gang berapa, gangnya buntu apa tidak? Dlsb.dlsb. Itu pertanyaan tidak perlu ditanyakan sementara waktu dalam keadaan benar-benar emergency, sebagaimana pasien/pelanggan lain yang biasa kita tanyakan saat menebus obat di apotek. Peristiwa seperti ini memang berbeda.
Cukup diketahui; apakah dia ingat bawa uang atau tidak. Kalau seandainya tidak membawa uang, apa yang dapat dijaminkan atas bon obatnya. KTP, SIM, BPKB, Akta Nikah atau bajunya sendiri. Dan kalau lagi apes, tanpa jaminan apa-apa, kita cukup berdoa 3 kata ajaib: Semoga Nanti Dibayar! Kalau tidak, ya Norok!
“Anak saya minum baygon,” suara tua itu menjelaskan tanpa diminta. Dan tanpa mengucapkan sepatah kata saking bingungnya, ia lari ke IGD begitu menerima satu box penuh Atropin.
“Lho bayarnya pak?” petugas apotek terpaksa berteriak.
“Nanti saja!”
“Wah!!!!” tak urung melihat keadaan seperti ini, pelan tapi pasti kita harus berpikir hati-hati. Namanya juga orang lagi bingung. Salah satu kawan jaga kita mesti datang kesana mendekati keluarganya dengan aksi sedikit slonong-boy longok sana-longok sini diantara kerumunan pengunjung keluarga pasien yang berkumpul di area ruangan IGD. Mencari dan berusaha mengenali bapak tua yang “melarikan” sekotak atropine. Tidak sulit memang kalau mencium bau hawa baygon dari seseorang yang terbujur sedang dikerumuni dokter dan beberapa perawat dengan seragam putihnya. Bahkan juga beberapa keluarga yang bersangkutan dan pengunjung lain yang ingin tahu-pun terlihat disana mengerubungi.
Bagi kita alasan yang tepat memang untuk mencari tahu bagaimana sesungguhnya keadaan si-korban. Pada umumnya pasien kasus begini biasanya segera dapat tertolong, karena begitu sigap di bawa ke rumah sakit terdekat atau rujukan dari puskesmas. Applause buat segenap petugas IGD Rumah Sakit, segalanya dapat tertolong, apalagi rumah sakitnya buka terus, 24 jam full time, full kuman dari semua jenis penyakit yang di bawa pasien dan full music dalam nuansa vocal rintihan kesakitan. Kasihan
Dan si korban tersebut memang lagi terbujur dengan slang zonde di hidung nampak muntah-muntah. Baunya yang keluar, cailah……Baygon doang.!!
“Untung cepat ketahuan. Si Joni belakangan ini sering terlihat berlaku aneh. Sering termenung dan berlama-lama menutup diri di kamar,” ungkap salah satu keluarganya yang kebetulan turut serta mengantar ke rumah sakit.
“Barangkali nyari inspirasi susun strategi politik menjelang kampanye pilkada nanti,” kata keluarga satunya.
“Inspirasi apa kalau otaknya sudah terjungkir!”
“Ya, sekadar ingin tahu alam yang lain di bumi ini….”
“Ah, aneh-aneh saja!”
O, remaja-remaja, kisah remaja bayang buram, kemana kau bawa dirimu. Kalau sudah terjadi “musibah psikis” begini salah siapa? Bukan salah bunda mengandung, wong bundamu belum koit. Persoalan nyawa tak lebih seharga permen karet, padahal harga permen karet tak semahal Atropin. Nyawa tak ubahnya hanyalah sebuah babak permainan yang diukur dengan cairan pembunuh serangga. Kenapa malah ikut-ikutan jadi serangga pake acara menenggak cairan baygon segala? Itu gila namanya, stress, frustasi, jogang!
Asal mulanya mengecap permasalahan dengan menelan penyelesaian dengan cara mudah. Tapi bukannya selesai, malah bikin ruwet semua keluarga. Ujung-ujungnya berakhir di rumah sakit.
Dan jalan pintas. Sangat ringkas! Namun apa yang didengar dari keluhan si anak hilang iman yang sedang diuji imannya? Bukanlah keluhan sakit yang merengek-rengek untuk minta disembuhkan. Justru sebaliknya, suara hati kecilnya menjerit-jerit minta kematian. Ingin mengakhiri jalan hidupnya dengan cara ekstrem, tidak terpuji.
Wahai semudah itukah manusia tercipta, dilahirkan ke dunia ini dengan segalan runtutan ritual keagamaan, pada akhirnya harus memilih kematian sebagai sebuah jawaban tanpa restu? Aapakah tidak ada cara lain yang harus ditempuh untuk mencari solusi tanpa harus membuat repot dan was-was keluarga? Kenapa tidak minum arak saja atau teriak-teriak di simpang jalan sambil ngamen, walau vocal tak jelas. Toh, ini juga namanya sebuah pelampiasan tanpa harus ngoyot baygon?
Melihat kasus ini, biasanya sudah terlampau sering resep-resep baygon datang silih berganti bermunculan di counter apotek, setara dengan kasus-kasus lainnya yang hampir serupa. Entah sebelumnya, sedang terjadi ataupun yang bakal terjadi nanti, terkadang kita tidak mengharapkan kejadian itu. Namun munculnya selalu dalam kasus yang hampir mirip sama.
Setelah beberapa menit berselang, entah mungkin beberapa jam berlalu, petugas apotek mendekati keluarga korban secara extra hati-hati dan berbicara:
”maaf pak, obat yang bapak ambil di apotek tadi belum dibayar.”
“……………………..!?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar