Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Kamis, 18 Maret 2010

POTRET KESEPIAN ADINEGORO

Pakar Komunikasi Fisipol UGM dan Fisipol UI, DR. Eduard Depari, MA, M.Sc pernah berbicara tentang eksistensi pers mahasiswa jangan mengharapkan seperti pers di tahun 1966 dalam situasi yang sudah jauh berbeda. Pesimisme yang tidak dapat dikatakan mengaggumkan. Barangkali juga di jaman sekarang tidak lahir Adinegoro kedua atau hanya sekadar berminat menanamkan bakat seorang Adinegoro untuk dapat disebut sebagai sebuah cap keberhasilan. Atau belajar serta hanya bercermin yang terbayang di mata Adinegoro hanya untuk menggali pengalaman di tengah-tengah sarat dan sumpeknya SKS sebagai suatu dilema lulus jadi sarjana atau drop-out.
Menulis itu butuh minat. Minat yang tumbuh dari kemauan yang terus menerus untuk belajar guna menghasilkan sebuah tulisan atau hasil karya yang berbobot. Minat tidak begitu saja lahir ataupun jatuh dari langit. Minat adalah sebuah kesepahaman antara pikiran dan hati. Dalam upaya berkreatifitas tidak terkandung dari masing-masing personal, sekalipun itu kalangan intelektual, namun tidak dipungkiri mereka semua lahir dari kalangan kampus yang juga banyak melahirkan cendekiawan. Kampus itu merupakan wadah untuk berkreatifitas. Menulis dengan bahasa yang indah butuh pemahanan intuisi seni yang intens, yang terkadang hadir dalam perenungan-perenungan yang maha dalam. Siapakah yang boleh merenung? Sama halnya dengan menjawab kebebasan milik setiap orang yang berkreatifitas. Tidak ada larangan sama sekali. Kreatifitas menulis di kampus tidak boleh dibungkam sama halnya tidak boleh membungkam mahasiswa yang tengah membaca gejala-gejala sebuah ketimpangan yang terjadi di masyarakat; biarkan mereka murni bersuara. Itu kalau ingin melahirkan cendekiawan tulen dari kampus.
Adalah kepenulisan itu sendiri, terkadang perlu pendalaman juga. Baik itu berupa jenis penulisan menyangkut berita, penulisan feature atau juga upaya kreatifitas untuk melahirkan karya fiksi sejenis sastra tentang cerita pendek, sajak, novel dalam misi penyampaian pesan atas sebuah kejanggalan-kejanggalan berikut penyakit-penyakit yang terjadi di masyarakat. Ke semuanya itu masih dianggap jauh bahkan kalau diambil perbandingan antara kalangan mahasiswa yang bukan dari disiplin ilmunya, masih jauh mendominir kepiawaian mereka dalam sebuah pengungkapan bahasa. Artinya kalangan dari berbagai disiplin ilmu harus punya anggapan bahwa menulis yang baik dan mengandung bobot tertentu merupakan akar dari jiwa seorang calon inteletual. Itu tidak bisa lepas sama sekali dalam keseharian sekalipun. Itu pula akan menjadi sedikit lebih cemerlang hasilnya terlebih lagi dengan adanya penunjang khusus, misalnya salah satu jadwal dalam mata kuliah yang mengisi bidang tentang pemahaman dunia tulis menulis.
Mata kuliah yang menyangkut tentang jurnalistik dalam tubuh publisistik yang ditegaskan dalam istilah kita menjadi suatu disiplin ilmu komunikasi yang merupakan pola dasar yang dimiliki semua insan manusia dalam mengemukakan, menyampaikan buah pikirannya. Komunikasi merupakan awal mula pengenalan seorang manusia dalam mengidentifikasikan diri, dalam memproyeksikan diri terhadap lingkungan sesamanya. Tentang komunikasi itu sendiri sudah jelas mengandung informasi, penyampaian suatu maksud dan lain sebagainya dalam hal ini sebuah komunikasi yang terjadi di kampus yang menyangkut dunia pers pada halaman media bernalar ini lewat berbagai bentuk aktifitasnya. Adanya saran menarik dari ungkapan tersebut sekaligus pesimisme yang menggelitik setelah dihubungkan dengan disiplin mata kuliah. Secara target memang ada keharusan bagi mahasiswa untuk mengisi sistim kredit semester tersebut dengan menomorduakan pers. Memang tidak terlalu keliru. Kita juga melihat bahwa, pada hakekatnya kepenulisan adalah semacam pola dasar, sebuah pengalaman yang berharga sekali dengan tujuan sederhana untuk melatih daya nalar mahasiswa terhadap berbagai permasalahan yang tengah dihadapi, terlebih lagi sebagai persiapan dalam menghadapi problema sebenarnya selepas dari dunia kampus dengan gelarnya yang terhormat. Tentu saja tidak ingin tercetus sebuah anggapan mahasiswa klasifikasi kacang goreng kalau pengalaman di dunia terpelajar yang berhasil (dianggap) melahirkan bentuk keahlian demikian berguna yang mendorong ke arah pekerjaan sebagai penghasilan penunjang (penghasilan tambahan).
Namun bagaimanapun ilmiahnya suatu pers kampus akan tetap nantinya membawa kesegaran baru dalam bernalar di lingkungan studi yang menggejala pada bentuk rumours kecil sekaligus menjadi sebuah hiburan bernuansakan ilmiah terhadap batas intelektualitas mahasiswa yang mampu menangkap gejala-gejala sampingan terhadap keseriusan bahan yang disajikan. Misalnya saja minat menulis pada sebuah penulisan artikel yang menyangkut kehidupan mahasiswa secara umum. Pada sisi lain dapat dianggap sebagai sebuah lompatan samar dalam mencari sebuah pengaruh untuk kegiatan kemahasiswaan. Yang pasti bagi mereka-mereka yang tidak terlalu memiliki sifat apatis terhadap berbagai kegiatan kampus akan menyimpulkan bahwa ada makna persuasive yang dituliskan dalam sebuah artikel yang mereka buat dengan beranggapan demikian fleksibelnya makna yang terkandung dalam sebuah jadwal mata kuliah disertai minat baca yang tinggi dari sosok seorang mahasiswa. Keberhasilan menjalin komunikasi lewat system pers kampus ini sebagai pengaruh akan menunjang sekali kalau kegiatan akademik lainnya sebagai kegiatan ekstra kurikuler tempat bersuaranya jelas atau diberikan bersuara secara murni.
Namun bagaimanapun pula DR. Eduard Depari sang master ini tepat kalau suaranya dalam masa kekinian bagi mahasiswa lebih menciptakan nuansa favorable kalau dikatakan pers mahasiswa dapat hidup dan berkembang secara professional. Itupun kalau melihat dari kondisi menyenangkan bagi mahasiswa yang jelas-jelas tercipta dalam konsep wawasan almamaternya. Namun disini patut pula kita pilah antara profesi yang berdiri sendiri dengan kelangsungan mahasiswa yang sedang bergelut di dalamnya. Profesi tetap merupakan profesi dalam kesatuan yang utuh sedangkan kelanjutannya pula memerlukan penunjang sebagai faktor sampingan. Tidak akan berjalan bersama, seiring dalam suatu kesuksesan. Mengharapkan suatu penghasilan dalam profesi satu bidang dalam kehidupan modern di lini millennium seperti sekarang ini masih perlu dipikirkan. Barangkali teori kesuksesan sang wartawan Djamaluddin Adinegoro dapat untuk direnungkan sebagai sosok kental yang akrab dalam media tulis menulis. Beliau mempunyai wawasan tersendiri yang ditekankan pada kebanyakan wartawan muda. Anjuran dengan mengatakan bahwa; jika anda menjadi wartawan, jangan hendaknya menjadi wartawan, thok. Anda musti menjadi pengarang juga. (jagat Wartawan Indonesia.hal.442)
Potret pers mahasiswa, terlepas dari perkembangan yang ada, selain kampus yang bersuara, terkadang dan banyak juga kita lihat gema keras bergaung di luar kampus. Penulis berita dan juga kalangan sastrawan yang akhirnya bermuara di dunia pers di luar lingkungan kampus terkadang malah suaranya bergaung gema lebih keras kalau tidak dapat dikatakan berbobot. Utamanya lewat upaya otodidak yang mereka kerjakan. Mengapa? Karena mereka pun pada dasarnya ingin pula mengungguli kontinuitas berpikirnya lewat kreatifitas yang tidak harus mandul kendati tidal lahir dari lingkungan kampus.
Dan kalau dikatakan pers mahasiswa sangat begitu sepi eksistensinya dan celakanya kalau pernah dikatakan sebagai sebuah penyakit yang perlu diamputasi, barangkali juga tantangan baru bagi generasi pers jebolan kampus kini yang menghayati pula eksistensinya Adinegoro yang pada HUT pers tahun ini benar-benar sepi tanpa mencatat sebuah penghargaan yang belum waktunya buat kita semua. Skala daerah dan nasional.(dgk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar