Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Kamis, 29 Desember 2011

KEMATIAN ISMI

“Makanya jangan pernah berjanji dengan orang mati, nduk. Akan ditagih terus kalau tidak kamu tepati,” kata bude Darno ketika kudatangi ke rumah sebelah. “ Kalau kamu janji dengan orang hidup masih bisa, walau sesibuk apapun, walau jarang ada kesempatan untuk bertemu tapi paling tidak masih bisa ditunda dan cari waktu”
Aku menatap wajah Bude yang sudah tua. Gurat yang masih menyimpan kepahitan hidup dan selalu saja aku percaya apa kata-katanya. Karena Bude mengetahui banyak hal.
Suatu malam aku bermimpi tentang temanku Ismi. Dia menungguku di bawah sebatang pohon besar di dekat rumah sakit angkatan darat. Kupikir siapa namun suaranya aku tanda betul ketika tangannya menggapai dan memanggil.
“Hai Win, kemari”
“Lho, ngapain gelap-gelap berdiri disana Is?” Kulihat wajah Ismi setengah menangis.
“Antar aku pulang, Win. Aku takut sekali.”
Aku mendekat. Semakin mendekat. Kulihat Ismi berdiri di bawah pohon itu dengan kebiasaannya yang sering aku pahami. Memandang lurus ke depan dengan melipat tangan di dada. Itu salah satu kebiasaannya yang sering dia lakukan setiap ada cakapnya yang serius. Apapun gerakan anggota tubuhnya, aku hafal betul. Tangannya masih menggapai seolah melambaikan satu permohonan yang mana aku pikir permohonannya itu harus dipenuhi.
Beberapa jarak lagi langkahku semakin dekat dengan tubuh Ismi yang serupa batang pohon untuk membedakan mana tubuh manusia, mana tubuh yang terpacak pada sehamparan tanah kering dengan sebatang pohon raksasa kuat menancap. Entah berapa usia pohon itu sekarang. Dari dulu masih tetap tegak berdiri ketika aku masih sering diantar ke sekolah taman kanak-kanak Kartika Udayana oleh ayah. Pohon itu hingga aku duduk di bangku SMA sekarang masih tetap kokoh. Bangunan Rumah sakit angkatan darat yang berlokasi di jalan Udayana itu entah sudah berapa kali ganti wajah. Entah ganti genting, ganti tembok, ganti posisi bangsal dan wajah tembok yang hampir setiap tahun sekali dipermak dengan cat yang lebih baru, tapi pohon besar di sebelahnya masih tetap itu itu saja dari dulu. Tidak pernah ada yang berubah. Masih berdiri kokoh.
“Win…….”
Kudengar suara penuh ketakutan. Ada benturan gemetar dan rasa cemas bergelayut dalam pita suara yang perlahan keluar membentuk bongkahan-bongkahan rasa ngeri. Ismi lagi ketakutan, kupikir. Entah takut karena apa. Aku tidak tahu. Hanya beberapa langkah lagi sosok tubuh yang aku kenal itu kudekati. Tidak menyerupai bayangan. Itu sosok tubuh manusia. Dan aku sudah semakin dekat untuk mampu menggapai barangkali ingin untuk dapat memegang tangannya. Menarik lengannya untuk kugamit mengajak pulang ke rumahnya. Namun wajah Ismi sedikitpun tidak mengarah padaku. Masih seperti sikapnya semula. Menatap lurus ke depan.
“Ayo aku antar pulang,” kataku perlahan, seakan ingin meyakinkan bahwa aku sebagai sahabatnya selalu dekat dengan kehadirannya, disaat-saat dia membutuhkan. Namun betapa kagetnya aku ketika Ismi menoleh ke arahku. Wajahnya terlihat sangat buruk dan menakutkan. Bukan wajah Ismi cantik kenes yang pernah aku kenal selama ini. Aku terbelalak. Kulihat matanya berlobang, bibirnya menganga tanpa tulang hidung.
“Is, bukan kamu. Is, bukankah kamu sudah mati..????” Aku kaget. Tengkuk mendadak merinding, keringat sebesar biji kacang kedelai tumpah ruah. Sosok yang menyerupai tubuh manusia itu perlahan terlihat sebagai sebuah bayangan. Dan……tak lama kemudian menghilang. Hanya tinggal sebatang pohon tua yang berdiri tegak kokoh seakan ingin memberi saksi sebuah peristiwa.
“Win………….” Tiba-tiba aku tersadar dan terbangun.
Hanya mimpi……..
Mimpi yang sama untuk ketiga kalinya. Mimpi yang akhir-akhir ini mengganggu aktifitasku, seakan sebuah janji yang pernah terlontar atau apa, entahlah. Mimpi yang aneh tentang kematian temanku yang membuatku selalu berpikir. Aku mendatangi bude sebelah rumah. Aku bertanya, mengapa temanku yang sudah mati selalu mendatangiku dalam mimpi. Apakah arti semua ini?
“Kowe lagi dirasanin, nduk…..”
“Dirasanin opo, bude?” aku bertanya tak mengerti.
“Mungkin kowe pernah janji, nduk. Coba inget-inget”
Aku menatap bude Darno dengan wajah menerawang sembari menatap langit-langit kamar rumahnya dengan mengingat-ngingat sesuatu. Beberapa peristiwa yang pernah terjadi dengan sahabat-sahabatku tergambar satu persatu. Masa ketika bermain bersama-sama. Masa-masa ketika saat saat terakhir aku lihat Ismi di sekolah. Tidak ada satupun percakapan yang berarti yang perlu kuingat. Aku berempat bersahabat dengan Dewi, Artani dan Ismi. Selalu kemana-mana bersama. Ngerujak bersama. Kemanapun selalu kami lakukan bersama-sama. Kalau sehari saja salah satu dari kami tak ketemu pasti akan saling menanyakan satu dengan lainnya. Pokoknya hari-hari tiada akan pernah berarti kalau kami lalui tanpa salah satu dari kehadiran kita berempat.
Pernah ada laki-laki yang berusaha mendekati Ismi. Namanya Arman. Ismi seolah mendapat perhatian yang khusus sehingga beberapa hari isi percakapannya setiap ketemu kami sahabat berempat selalu soal Arman saja. Sedikit-sedikit Arman. Mirip lagu, mau makan..ingat Arman, mau tidur….ingat Arman, mau mandi….ingat Arman. Mau minum obat….tetap ingat Arman. Huh! Aku yang paling sebel. Maka kita sahabat yang hanya tinggal bertiga memutuskan untuk tidak pernah mendatangi rumah Ismi lagi. Akulah tentunya yang paling ngamuk. Paling tidak suka kalau ada hati lain mengendap diantara kita berempat. Perasaan cemburu yang demikian kuat membuatku beserta Artani dan Dewi sepakat untuk tidak mengajak Ismi berbicara lagi. Kami musuhan. Ketika usai pelajaran sekolah kami hanya bertiga ngumpul dan duduk-duduk di halaman samping kantin sekolah.. Di kejauhan kulihat Ismi celingak-celinguk menyapu pandang seakan mencari seseorang. Apakah kami bertiga?
“Ndak mungkinlah, dia kan sudah akrab bersama Arman,” Artani berkata sewot sambil tetap menatap Ismi di kejauhan.
“Iya…Iya…apalagi mau dekat kita, sudah nggak pernah kompak lagi huh…sebel!!” tak kalah sewotnya Dewi centil ikut menimpali.. Aku hanya mengangguk-angguk saja sambil mengisap permen manis dari buah cermen.
“Stttth….., tuh dia mendekat. Dia kemari Win,” Artani memberi isyarat dengan tangannya .
“Cuekin aja” Sahutku.
“Hai kemana aja kok ngilang semua? Aku cari-cari kalian,” Ismi berkata riang ketika mendekati kami bertiga. Suaranya tidak menunjukkan rasa bersalah.
Kami bertiga diam seperti patung.
Ismi tetap dengan tingkahnya yang riang sambil haha-hihi tertawa mengajak mereka bersenda gurau. Sesekali waktu tangannya yang jahil mencolek beberapa teman-teman kelas lain yang kebetulan lewat.
Kami bertiga tetap diam mematung.
Ketika Ismi selama dua hari ini tidak kelihatan hadir di sekolah, ketidakhadirannya-pun bukan menjadi sesuatu yang terlalu istimewa diantara kami bertiga. Tidak ada sesuatu yang aku rasakan hilang. Malah kami tetap dengan aktifitas rutin walau hanya bertiga tanpa kehadiran Ismi.
“Bagaimana keadaan Ismi sekarang nak? Apa sudah sembuh” wali kelas mereka bertanya. Aku, sekalipun berusaha untuk tetap cuek namun mendengar kata-kata ‘sembuh’ yang keluar dari ucapan wali kelas, yang namanya kuping, bagaimanapun juga gerah untuk lebih menyimak apa yang tengah terjadi. Sembuh? Berarti ketidakhadirannya selama ini di kelas dikarenakan sakit? Sakit apakah Ismi? Ternyata bagaimanapun juga untuk menutupi perasaan tentang seorang yang pernah menjadi sahabat, feeling sebagai seorang wanita masih kentara bermukim di jiwa kami bertiga. Yang paling peka perasaannya adalah Dewi, spontan dia bertanya tanpa menunggu wali kelas bertanya selanjutnya yang sesungguhnya menunggu jawaban kami bertiga.
“Sakit apa Ismi pak?”
“Lho, apa kalian tidak tahu? Bukankah kalian sahabat-sahabatnya, bapak perhatikan kalian demikian akrab dan kompak ketika berkumpul bersama-sama. Dewi, Artani dan terutama aku sendiri hanya mampu ber ah-uh tak jelas.
“Nggg, anu pak, akhir-akhir ini kami jarang bertemu,” Artani menutup kebisuan namun jawaban yang diharapkan pak Usman wali kelasnya memang membingungkan.
“Iya pak Usman, ada alasan lain yang membuat kami akhir-akhir ini, hmm yah…begitulah,” Dewi menambahkan dengan kebingungan yang sama dan membuat wali kelasnya menatap mereka bertiga penuh selidik.
“Seharusnya bapak yang mendapat informasi mengenai Ismi pertama kali dari kalian bertiga. Bapak tahu persis dan bukan hanya bapak saja, tapi guru-guru yang lainpun berpendapat demikian. Persahabatan kalian berempat sudah diketahui oleh semua guru-guru disini.,”
“Ya..iyalah…..” Aku menyahut bangga. Namun kabar sakitnya Ismi membuatku sedikit luluh. Maka hari itu juga kami bertiga segera bertindak dengan melakukan gerakan ‘solidaritas keprihatinan sesama teman’ dengan cara memungut sumbangan ke semua kelas. Untuk di ketahui, kalau kelompok kami yang bergerak, maka semua teman-teman pada patuh-patuh saja. Tak membutuhkan waktu lama untuk melakukan itu. Setelah uang cukup terkumpul bergegas kami bertiga ditambah dengan beberapa perwakilan masing masing kelas menuju ke rumah Ismi. jalan kecil menyerupai gang menuju rumah Ismi dari belokan jalan raya lumayan jauh. Kurang lebih sepanjang 3 km menuju rumahnya, kami bertiga hanya diam. Tak ingin saling berbicara, apalagi untuk bersendagurau. Aku berpikir nanti setelah ketemu Ismi, bagaimana nanti mengawali pembicaraan yang akhir-akhir ini sempat terputus hanya oleh kehadiran seseorang diantara kami berempat. Namun, ah, sudahlah! Itu tak terlalu penting untuk dipikirkan, walau terasa masih mengganjal namun ganjalan itu sebaiknya memang harus dilupakan. Lupakan dulu keegoisan masing-masing dari kami, hanya karena soal perasaan. Ya, yang perlu dipikirkan saat ini adalah perasaan Ismi, bagaimana kondisinya melawan sakitnya. Sakit apa yang diderita? Begitu sampai di depan rumah yang sangat kami kenal walau telah jarang kami mendatangi rumah itu, terlihat rumah Ismi telah dipenuhi oleh orang-orang. Demikian ramai. Ada kain berwarna kuning terpasang di halaman depan rumahnya. Aku saling pandang dengan teman-teman. Kaki serasa terpaku di depan rumahnya, halaman rumah yang dulu sering kami jadikan tempat ngumpul bersama saat acara rujakan sambil ngobrol-ngobrol.
“Cari siapa dik?” seseorang ibu tua menyapa kami
“Saya temannya Ismi. Mau ketemu Ismi. katanya sakit?” Aku mendahului menjawab. “Kami datang menengok sekalian mengantarkan sumbangan yang sengaja kami kumpulkan dari teman-teman sekolah untuk biaya Ismi berobat, tante..”
“Oh, kasihan. Adik-adik ini temen sekolahnya? Ah, kasihan sekali. Ismi sudah meninggal ..” tangan ibu itu menunjuk ke dalam rumah yang ramai dipenuhi orang-orang.
“Lho katanya sakit?” Aku bertanya seolah tak percaya mendengar berita itu.
Kami bertiga saling tatap dengan penuh kaget. Tanpa bisa ditahan airmata keluar dan tak mampu lagi mendengar apa yang dikatakan ibu itu selanjutnya. Apa yang keluar dari bibir ibu itu hanya terlihat seperti sebuah bisikan saja. Tak sampai terdengar di telinga kami. Ada rasa bersalah menyelingkupi perasaanku. Diantara Artani dan Dewi barangkali akulah yang paling merasa bersalah. Telah terlalu jauh menumpukan semua bentuk kecurigaan-kerugiaan yang tak jelas. Barangkali juga aku merasa sebagai provokasi atas semua yang terjadi mengenai hubungan yang aku lihat tentang Ismi dan teman lelakinya yang tidak aku suka kehadirannya, yang begitu saja ada ditengah-tengah kita berempat. Seolah ada satu hati yang ingin membetot dan memisahkan kebersamaan kami.
“Ayo teman-temannya Ismi kemari semua,” terdengar suara ibu itu memanggil. Kulihat tangannya menggapai mengisyaratkan untuk mendekat. Aku bengong. Bukan karena bimbang. Di sebelah tubuh yang tertutup kain kafan itu kulihat sosok wajah lelaki yang aku kenal betul. Busyett, itu Arman. Lelaki yang telah merebut persahabatan kami. Eh, ngapain dia sudah mendahului ada di sebelah tubuh sahabatku. Ah, tak perlu kupikir. Tiba-tiba ada satu tangan mencubit halus lenganku. Aku menoleh. Kulihat Dewi seakan mengajak aku dan menganggukkan kepala. Tatapannya mengarah ke tubuh yang tengah terbujur itu.
“Ayo, nak, kemari semua. Ini Lho temanmu lagi menunggu kalian semua disini,” lagi-lagi terdengar suara ibu itu. Kian mendekatt di pendengaran kami. Dewi dan Artani seakan menunggu komando. Mereka menatapku sekali lagi. Aku mengangguk dan melangkah mendekat ke tubuh yang terbujur kaku itu. Kami duduk bersebelahan, khusus aku, tak mau menyapa Arman. Sekalipun lelaki itu mengisyaratkan melalui matanya untuk mengajak berdamai. Fuiiiihhh…..mata yang berulang kali dalam tempat dan waktu yang berbeda senantiasa mengisrayatkan sesuatu yang sangat janggal kurasa. Ngapain sih pacarnya Ismi jelalatan begitu dan bukan hanya saat ini bertemu saja. Waktu-waktu sebelumnyapun tetap jelalatan ketika melihatku. Apakah begitu mata lelaki ketika tidak ada pengawasan dari pacarnya. Dasar lelaki.
Penutup tubuh Ismi di lepas. Tak tahan aku melihat wajahnya, seolah mengguratkan kesakitan. Ibunya Ismi menginginkan kami bertiga sebagai sahabat-sahabat karibnya untuk memandikan jenazahnya. Aku sedikit kaget. Kami bertiga memangku tubuh Ismi yang sudah terbujur kaku. Dewi dan Artani memangku bagian badan dan kaki saling berhadap-hadapan, sementara aku dan lelaki ini kebagian memangku kepala Ismi. Aku kaget melihat mulut Ismi yang setengah terbuka. Sepertinya kain pengikat yang melingkar di dagu dan kepalanya kurang kuat, atau memang sudah dari tadi menganga demikian. Berusaha aku meraih tali itu untuk mengencangkan kembali. Namun mulut Ismi masih terlihat menganga. Ismi yang dulunya centil memiliki sepasang gigi gingsul yang terlihat manis semasa hidupnya itu, dan gingsulnya itu pula membuat kami bertiga iri atas kelebihan yang diia miliki, kini tak ubah seperti sebuah taring yang mengerikan. Seolah dari bibirnya yang kaku tengah meneriakkan rasa sakit yang berkepanjangan. Sakit apa kamu Is, Kenapa wajahmu demikian menyedihkan? Kenapa sangat tiba-tiba kamu pergi?
Kupikir kalau Ismi masih memiliki sepasang mata yang sesungguhnya demikian indah manakala mengedik pastilah akan berkata kalau kepedihan yang dia rasa tak perlu sampai harus dirasakan oleh kami bertiga. Namun itu hanya perasaanku saja, ungkapan perasaan yang terpantul lewat sepasang mata milik Ismi yang kini terpejam tak mengisyaratkan apa-apa, sesuatu yang tak berarti lagi setelah meninggalkan kami bertiga. Aku sangat menyesal. Sungguh-sungguh merasa sangat menyesal melepas ikatan persahabatan yang semestinya terjalin cukup lama. Persahabatan yang seharusnya tidak menjadi renggang hanya karena sosok lelaki yang bernama Arman yang kini tengah duduk di hadapanku dan ah..busyet mata Arman menatapku tajam saat aku melirik. Aku sedikit tersipu. Kualihkan kegalauan tentang Ismi, rasa mendongkol tentang Arman dengan tetap mengambil gayung menyiramkan air serta mengusap-usap wajah Ismi. Kupikir kami dipanggil mendekat dan hanya duduk-duduk saja di sebelah jenazah sambil mendengarkan cerita mereka mengenai kematian Ismi yang bagiku terasa janggal dan sangat begitu tiba-tiba perginya.
“Beristirahatlah dengan tenang, Is. Maafkan segala kesalahanku. Aku pasti selalu berada dekat denganmu meski kini kamu sudah tidak mampu mengungkapkan serta aku tidak akan pernah lupa dengan segala keakraban yang pernah terjadi diantara kita. Istirahat yang tenang ya Is. Aku pasti akan datang menengok.”
“Iyo nduk, iseng tengok dia di kuburannya, kowe dirasanin itu” Aku tersentak kaget mendengar suara Bude Darno. Kejadian beberapa tahun yang lalu seperti tergambar begitu saja, seolah baru kemarin saja kejadiannya.
Kuputuskan untuk membeli kembang, sore itu juga berangkat menuju kuburan di daerah kampung jawa. Berusaha aku mencari batu nisan yang terpahat atas namanya. Namun tak kujumpai batu nisan itu. Sebelumnya aku ingat betul letak batu nisan itu, persis di deretan ke dua di pintu masuk areal tanah pekuburan. Sangat mudah kok untuk menemukan, namun kenapa sekarang tidak ada. Is, ini aku datang menyambangi dengan membawakan kembang dan makanan kesukaanmu ketika pernah saling menjalin persahabatan. Namun tak kujumpa batu nisan bertuliskan nama Ismi. Persis, padahal disini tempatnya. Aku ingat betul. Ya, di deretan ke dua pintu masuk ini. Kok, tidak ada. Aneh! Aku berusaha kembali mengitari area kuburan itu hingga dari ujung sampai ke ujung. Tidak ada! Aku mengernyitkan dahi. Berusaha kembali berjalan ke arah pintu masuk dan kembali berjalan seolah menghitung satu demi satu bahkan membaca satu demi satu nama-nama yang terpahat disana. Namun tetap tidak kutemukan. Kok bisa ya? Padahal aku ingat persis tempatnya disini, karena aku sendiri yang turut mengantar jenazahnya saat penguburan berlangsung. Sekarang kok tidak ada? Aku heran. Hingga tak terasa waktu berjalan pelan mendekat maghrib.
Ismiiiiiiiiiiiiiii, dimana kauuuuuuuuuuuuuuuuuu
Aku berteriak sejadi-jadinya di tengah senyap area pekuburan yang luas. Hari kian beranjak gelap. Dadaku kian berdebar. Debar dalam rasa yang aneh. Demikian meletup-letup. Aku menatap sekeliling dengan rasa yang aneh pula. Ada sesuatu kegamangan sebagaimana sapaan aneh dalam kehadiran Ismi belakangan ini lewat mimpi-mimpiku. Hanya rasa takutlah yang akhirnya menemani langkah kakiku bergegas keluar area kuburan menuju sepeda motor yang aku parkir. Ketika aku melempar pandangan ke arah kuburan, dalam kerenggangan waktu oleh cahaya yang kian mengabur karena kegelapan pohon-pohon sekitarnya seakan melambai membentuk tangan-tangan yang ingin mengikatku untuk kembali kesana. Aku menggeleng. Tidak, aku tidak temukan namamu disini, Is. Entah batu nisan yang bertulis namamu berada dimana. Aku tidak tahu. Entah batu nisan yang bertuliskan namamu sudah lenyap tertelan tanah. Entah juga telah berganti nama. Aku tidak tahu. Entah juga telah tertumpuk dengan kuburan baru. Sudah berusaha aku untuk mencarinya. Tetap tidak kutemukan. Kubuang jauh-jauh kengerian akan lambaian pohon dengan tangannya yang menggapai-gapai. Hari telah gelap. Aku harus pulang membawa kembali kembang dan makanan kesukaan Ismi yang semestinya kuperuntukan buatnya. Aku bawa kembali pulang dengan rasa kecewa.
“Tidak ketemu batu nisannya bude. Padahal Win ingat betul letaknya karena Win juga ikut mengantar saat saat ke peristirahatannya yang terakhir…” aku mengeluh pada bude. Hanya beliaulah harapanku satu-satunya untuk berkeluh kesah.
“Itu tandanya dia lagi marah, nduk. Dia marah sama kamu.”
“Kok bisa, bude? Terus bagaimana sebaiknya bude? Apa yang harus aku lakukan?”
“Kowe taruh saja kembangnya di pintu masuk kuburan itu, nduk. Terus kowe ngomong,” bude menjelaskan.
“Ngomong apa, bude?” Aku bertanya tak mengerti.
“Ya ngomong seperti bagaimana ketika dia masih hidup. Kowe bilang minta maaf tak menepati janji dan bilang jangan ganggu-ganggu lagi. Kita sudah berbeda alam.”
Aku mengangguk-angguk.
Keesokan harinya aku kembali ke kuburan tempat peristirahatan Ismi. Kuburan itu letaknya di daerah kampung jawa tak jauh dari rumahnya. Tepat di depan pintu masuk kuburan, aku taruh kembang dan makanan kesukaannya
“Nih, Is aku telah datang menyambangimu. Aku tidak menemukan tempat kuburanmu secara tepat, persisnya entah dimana. Disini saja aku letakkan dan jangan ganggu aku lagi ya, Is. Jangan marah padaku”
Sejak kembali dari kuburan Ismi hingga kini aku tidak pernah lagi dalam mimpi di datangi Ismi, sahabatku.

Sidakarya suwung okt 2011
`
(dari kumcer dadong inges penerbit pustaka ekspresi 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar