Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Kamis, 29 Desember 2011

J E R A W A T

Telah diputuskan untuk menghilangkan, apa yang dilakukan selama ini sia-sia belaka, usahanya tidak berhasil, ternyata tidak mau hilang-hilang juga. Jangankan untuk hilang, berkurang sedikit saja tidak bisa. Ia tidak mau ambil resiko.
“Ah, sudahlah, biar begini saja apa adanya, sudah seharusnya Neni tidak senang hanya gara-gara jerawat sial ini,” katanya pasrah setengah meringis, ia tahu belakangan ini telah terjadi perubahan yang sangat menjolok pada sikap Neni.
“Tapi itu bisa dirawat perlahan-lahan dengan teliti, ” aku menghibur, mengurangi perasaan kecewa yang melanda hatinya, betapa tidak sebelum beberapa bulan ini memang ada perubahan besar dalam sikap Neni terhadapnya, begitu mengetahui keadaan dirinya. Dia pasrah. Dia mendesah kecewa.
Ceritanya begini: temanku seorang penulis, keseharian paruh hidupnya hanya buat menulis. Waktunya dihabiskan hanya buat aktifitas mengkhayal, terkadang bengong di pinggir jalan dan suka bengong di pegunungan sambil melihat-lihat kehijauan alam. Sekarang hidupnya mulai dirasakan ada yang janggal. Dia punya jerawat di sekitar pipinya. Ia membiarkan. Rasanya muka tanpa jerawat ibarat langit polos mendung tak berbintang. Berarti tidak ada hujan, tidak ada yang membasahi bumi ini dengan air. Bagaimanapun langit tanpa mendung menggambarkan sebuah inspirasi akan karya-karyanya karena hujan biasanya disertai datangnya petir menyalak-nyalak galak, terkadang sedikit ganas. Sebagai sebuah petir yang datangnya dari langit tak ubahnya pemacu bagi langkahnya dalam berkarya. Akan halnya kepikiran dengan jerawatnya itu toh ia hanya menganggap musiman seperti datangnya musim hujan, mendung dan petir di langit. Jerawat disaat ada rasa mengalir dalam dirinya dan rasa itu terabaikan oleh sang kekasih tentu akan nonggol bintik-bintik jerawat, begitu pikirnya. Tidak hanya itu, hal sepele sekalipun mengenai hasrat tak tercapai oleh sesuatu yang namanya keinginan nan maha dahsyat pun dapat memunculkan pernik-pernik menarik di wajah. Perasaan yang sinkron dengan kulit yang paling sensitif. Aku mulanya beranggapan begitu. Temankupun berprasangka demikian.
Masalahnya jadi lain setelah beberapa lama jerawatnya bukannya berkurang, malah semakin menjadi-jadi. Kini mukanya penuh dengan bintik-bintik. Jerawat meronai mukanya yang dulunya halus dan penuh dengan penampilan yang mengundang rasa simpati sangat dalam. Muka yang diimpikan, yang merupakan pesona dari penampilannya, kini telah berubah menjadi momok yang sangat menakutkan. Sungguh sangat menakutkan bagi orang-orang yang melihat, terlebih lagi Neni. Ndak usah dikatakan lagi betapa takutnya Neni dan begitu ngerinya melihat mukanya. Sorot matanya tidak bisa menyembunyikan semua itu. Neni telah menjadi orang asing di dalam hidupnya. Hatinya bahkan mungkin siapa tahu akan bisa mendua karenanya. Kalaupun Neni bukan seorang pengkhianat, barangkali saja akan memutuskan begitu saja tali percintaan ini. Bah! Jerawat ini akan berubah menjadi momok yang sangat kronis bagi hubungan cintanya.
Memang Neni sudah berubah jadi mahluk lain dan tidak mengenal dirinya. Jangankan itu, berkomunikasipun Neni sekarang tidak mau, karena gadis itu tidak mau menatapnya sedikitpun. Dia jadi rendah diri, merasa diri jelek dan tiba-tiba saja kepercayaan pada diri menjadi lenyap. Pupus tak berbekas seperti goresan-goresan jerawat, seperti hilang imajinasi sekaligus seperti kehilangan buah pena berikut kalimat-kalimat yang akan dia tulis. Dia merasa menjadi mandul. Tidak mampu menghasilkan karya-karya yang bagus lagi. Jangankan karya seni yang bagus, berkarya saja dia sudah tak mampu lagi. Mood yang ditunggu-tunggu demikian angkuhnya, sertamerta perkara jerawat ini mampu membuatnya impotent. Dia merasa sudah seperti mati. Dia merasa tidak punya gairah lagi. Akupun merasa harus ikut memikirkan perkara jerawat temanku itu.
”Sudah kupakai segala macam obat yang kamu anjurkan,” ia meyakinkan, bahwa ia benar-benar telah memakai obat itu.
”Sudah rutin dipakai?”
”Sudah!”
”Rutin seperti yang dilakukan teman-teman yang memiliki jerawat yang sama? Perawatan rutin seperti yang dilakukan gadis-gadis. Artinya telaten, bangun tidur, akan tidur dan waktu...........”
“Sudah…….sudah. Alah, pokoknya sudah!”
Aku diam.
“Bahkan aku menambahkan dengan ramuan tradisionil. Jamu sari ayu kepunyaan ibupun kupakai. Cuci muka dengan air suam-suam kuku, setelahnya cuci muka dengan air mawar. Tapi tetap begini-begini saja,” ia mendesah kecewa. Mukanya benar-benar mengundang rasa kasihan bagi yang melihatnya.
”Bisa jadi karena seringnya ngeluyur. Terlalu banyak kena angin malam.”
”kamu percaya itu?”
Aku mengangguk.
”Tapi nyatanya seperti yang kulakukan belakangan ini, aku mulai banyak baca buku di kamar. Sekarang aku lebih senang menghabiskan waktu dengan membaca segala jenis buku. Semuanya aku lakukan di kamar, kecuali hanya pada waktu kuliah saja, aku keluar rumah.” Jawabnya keras, protes terhadap apa yang menjadi penilaianku terhadap kebiasaannya selama ini. Sepertinya dia merasa aku terlalu banyak mengatur dan mengawasinya. Dia merasa seperti dituduh telah melakukan atau berubah dari kebiasaan-kebiasaan sebelumnya. Itu karena jerawat yang kian subur nangkring di wajahnya.
”bahkan sekarang aku jadi pelanggan tetap salon untuk facial wajah. Katanya harus rutin dirawat seminggu sekali. Dan aku disarankan memakai jenis la – tulipe. Hebat kan? Orang seperti aku sudah doyan datang ke salon.”
Memang aku mengetahuinya. Mungkin saja tuduhanku terlalu ngawur dan asal ngomong saja. Tidak terlalu memikirkan perasaannya, bagaimana dia merasa terbebani dengan keadaan begitu. Memang nyatanya kini ia lebih banyak mendekam di kamar.Rak-rak kaset yang biasanya berdebu, kini jadi bersih. Ia habiskan waktunya di kamar dengan mendengarkan musik. Dan tidak perlu kaget memang kalau kebiasaannya menyanyi keras-keras semakin santer saja keluar menerobos pintu kamar. Kebiasaan lain semakin asyik dengan kegiatan lama dengan membaca-baca semua jenis buku. Buku-buku karya YB Mangunwijaya, karya Edgar Allan Poe, karya NH Dini. Bahkan novel-novel cerita anak yang ditulis ibu guru Enid Blyton pun dia lahap habis dalam beberapa seri tanpa jenuh, hanya agar betah bertahan di kamar demi sebuah ketakutan yang namanya jerawat.
”Yang pasti aku ndak mau membaca buku mengenai tata kecantikan wajah. Bosan! Itu semua terlalu banyak alternatip produk yang bersaing. Semuanya mengatakan nomor satu, tak peduli cuaca kota disini terhadap adaptasi kulit. Gombal kadang-kadang. Terlalu banyak teori.”
Yang jelas ia ingin jerawat tersapu bersih dari wajahnya. Urusan pacar nanti dulu dipikirkan.
”Pokoknya aku juga berhenti ngopi, berhenti begadang, jarang lagi merokok. Bila perlu kutulis jadwal kapan harus melakukan kebiasaan-kebiasaan itu tanpa harus mengganggu proses pengobatan yang memakan waktu dan sangat menjenuhkan ini. Lagipula nulispun aku mulai jarang. Akupun mulai mengurangi kehadiran pada pertemuan-pertemuan, segala bentuk saresehan baik itu yang berlangsung siang hari maupun malam hari. Aku telah memutuskan untuk tidak hadir sama sekali. Terserah sosialisasiku menjadi tumpul karenannya. Terserah! Ke rumah Nenipun aku mulai jarang, kurasa dia takut dan ngeri kalau ketemu aku. Aku merasakan itu. Kurasa diam-diam hubungan ini mungkin sudah berakhir begitu saja, tanpa dapat dihindari,” katanya jengkel dan sangat putus asa. Bayangkan saja kalau ia mendekatkan wajahnya pada Neni, Ia yakin kalau kekasihnya takut ketularan dengan jerawat di mukanya yang besar-besar. Sebesar bisul. Ini jerawat sialan. Ini sudah abses. Sudah dilanda wabah infeksi yang maha parah.
Aku meringis.
Kupandang satu persatu buku-buku yang berserakan, kaset-kaset yang berantakan, literatur yang berhamburan disana-sini. Bungkus-bungkus jamu sari ayu berjejer di sebelah botol-botol dan entah apa lagi dalam posisi sangat tidak beraturan. Kamar ini tak ubahnya seperti kapal pecah. Semua berantakan. Kupandang lekat-lekat wajah temanku. Jerawat bagai jamur dimusim hujan, tumbuh rata di pipinya, di sebelah kumisnya yang tipis, di dekat hidung, di dahi, di dagu, dimana-mana. Semuanya jerawatan.
Keesokan harinya aku sudah berada di kamar penampungan kekesalannya. Terkadang aku merasa geli melihatnya, terkesan hidupnya seperti terpasung. Memang belakangan ini aku jadi berpikir tentang dia. Aku jadi teringat ada sebuah obat oral, itupun informasi tidak begitu jelas dari salah seorang teman yang bekerja di bidang obat-obatan. Aku percaya karena formulanya dia yang merancang sebagai spesialis kulit. Kubeli sebotol karena ingat dia. Entah apa namanya. Kusodorkan padanya.
”Dengan butir tablet dan disertai cairan obat luar ini akan mendatangkan kembali keyakinanmu untuk hadir di segala aktifias, di setiap apresiasi yang diselenggarakan, pada setiap sudut-sudut pengembaraan bathin imajinasimu. Percayalah!”
”Pasti hilang?”
”Cobalah dulu. Tapi harus disiplin mengkonsumsinya. Jangan setengah-setengah. Jangan tanggung-tanggung. Tumbuhkan rasa percaya diri dalam pikiranmu bahwa ini semua akan menyembuhkan”
”Kau sengaja memberi sebuah keyakinan buatku? Atau kau hanya mendatangkan kegombalan untuk mengada-ada selanjutnya untuk mengata-ngatai, mengejek, menertawakan bahkan membelenggu diriku dalam ketidakyakinan atau kau......? ah, aku semakin tak mengerti.”
”Apapun alasannmu yang jelas keyakinan harus tetap ditumbuhkan, jangan terlalu mudah putus asa.”
Dia ragu sejenak. Memandang botol obat jerawat di tanganku. Ia rupanya sudah bosan dengan jerawat keparat di wajahnya. Jerawat yang membuat segala sesuatu jadi terhambat.
“Aku tidak tahu, apakah harus mempercayai, mencoba lagi dan terus berusaha meyakini apa yang engkau berikan?”
“Cobalah!” aku mendesak.
“Apakah ini sugesti ?”
“Sudahlah! Segala macam keraguan dan segala tetek bengek aturan-aturan yang mengungkung hanya akan menciptakan teori saja. Akan semakin jauh ditinggalkan oleh solusi yang kau harap-harap dengan kecemasan tak pasti! Sekarang kalau ini sebuah sugesti, berikan keyakinan pada dirimu sendiri. Terapkan dan pakai dengan sungguh-sungguh. Sugesti ini perlahan-lahan akan memberikan kesembuhan total!!.” Aku lebih menekankan sebuah semangat baru dalam kepasrahan yang melotot keluar dari kedua bola matanya.
Perlahan dia mengambil dengan berusaha menampilkan kesan wajah yang baru walau dipaksakan. Sejenak matanya berbinar bersama jerawat-jerawat segede bisul itu.

Pagutan, April 2011
(dari kumcer dadong inges penerbit pustaka ekspresi 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar