Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Sabtu, 31 Desember 2011

ASMARA DI GUNUNG PENGSONG

Alam pegunungan Pengsong menghijau usai disapu hujan. Bersih. Sebetulnya bukan pegunungan sebutannya, namun terlanjur orang-orang, para pengunjung serta beberapa teman-teman yang senang nangkring disana menyebut dengan istilah gunung. Itu bukit, sayang, kataku pada seseorang yang sebetulnya hatinya sudah terlibat denganku.
“Ndak mau! Ndak mau. Itu gunung, itu gunung Pengsong, Pokoknya itu gunung!” Bulan merengut, sepertinya istilah gunung dan bukit sangat berarti baginya. Gunung mungkin saja diartikan tonjolan bumi bagian atas, tonjolan yang rendahan menurutku lebih sreg rasanya menyebut bukit.
“Iya…iya gunung. Itu gunungmu, sayang,” aku mengalah. Dari hasil mengalah itu aku memperoleh sebuah kecupan mesra.
“Eiiiits, sayang, nggak boleh mesum disini,” aku pura-pura mengelak kendati sedikit monyongkan mulut, walau sasaran bibirnya sebenarnya hanya pipiku saja. Pipi yang penuh bekas-bekas bongkahan jerawat sewaktu es-em-pe. Tapi sudah sembuh lho. Hm,, rajin pake acnol. Tapi nggak apa-apalah kalau hanya mengalah untuk sebutan gunung dan bukit buat Bulan demikian berarti, aku akan menjadi senang juga. Lagipula mengalah untuk bukit dan gunungnya Bulan, eh, maksudku mengalah untuk menerima kenyataan kalau bukit itu memang berbeda di mata Bulan, kekasihku yang jelita, aku akan sangat senang sekali. Seandainya monyet yang ada disana dia katakan gorilapun aku akan setuju, karena apa-apa yang menjadi anggapannya serta merta aku menyetujui dan mengiyakan, pasti Bulan akan menghadiahkan ciuman lagi. Siapa tahu kali ini di bagian bibirku, hehehe biasanya saking girangnya Bulan pelampiasannya padaku bisa diluar dugaan. Aku akan dirangkul kuat-kuat dan ngok! Lipstick itu akan menyala-nyala berbekas di sekitar wajahku yang ganteng.
“Kok diem sih? Bener khan itu gunung?” Bulan mengagetkan khayalanku.
“Eh..eh iya Bulan, iya bener itu gunung. Kalo monyet itu apaan Bulan?” Aku berusaha memancing. Siapa tahu khayalanku tepat.
“Monyet ya monyet! “ Bulan menjawab kenes.
Wow meleset. Kukira dengan mengatakannya gorilla aku akan menyetujui dan bibir kami saling berpagutan, hehe keliru ya.
Tapi melihat monyet-monyet yang sibuk berjumpalitan di dahan pohon sepanjang bebukitan itu membangkitkan kenanganku akan Bintang, pacar pertamaku yang hilang entah kemana. Lenyap bak ditelan bumi. Bukan karena monyet itu jadi biang keladinya. Memang aku pernah salah omong saat ngajak dia duduk-duduk nongkrong sambil makan jagung bakar. Beli jagungnya di jalan Udayana sana terus bakarnya di halaman depan pengsong. Biar lebih mesra dan ada cerita jadi sambil bakar jagung aku peluk saja dia. Hanya sekadar memeluk pundaknya. Entah kenapa juga Bintang selalu suka mengajakku kemari. Apa barangkali yang menjadi alasannya. Mungkin dia hobby mendaki sehingga sangat suka melihat tanah bebukitan, namun nggak mau aku mengatakan kalau Bintang itu kelahiran dari seekor monyet sehingga shionya monyet. Tidak! Aku ndak mau berpikir seperti itu, karena sesungguhnya Bintang itu sangat cantik, kemayu, kenes dan sedikit genit. Wajahnya putih mulus tidak ada jerawat seperti wajahku dulu. Dan wow, matanya itu lho, demikian indah dan menawan. Pantas kalau ortunya kasi nama Bintang. Memang mirip Bintang. Kalau menatap matanya lama-lama dan terlalu lama, aku pasti akan nakal. Tapi jangan, ah. Tidak etis, apalagi disini banyak monyet. Tapi belum berakhir pikiranku tentang matanya yang indah, benar saja! Beberapa ekor monyet telah menyambar jagung kami yang sedang dibakar. Bintang menjerit-jerit dan lari tunggang langgang. Dan aku selain kaget ikut lari tapi memilih untuk mengejar Bintang. Bukan monyet.
Hai Bintang ketakutanmu itu keliru sayang, kenapa tidak lari dalam pelukanku saja?
“Dasar monyet, jadah!!” Aku mengumpat.
“Apaaaaaa???? Siapa yang monyet?” Tiba-tiba saja Bulan teriak di sampingku. He, aku terlalu jauh melamun. Di sampingku ini Bulan. Bukan Bintang.
Aku kaget. Kulihat Bulan melotot.
“Siapa yang kamu bilang monyet?”
Aku bengong kayak orang blo’on.
“Ayooo jujur saja, siapa monyet?” Bulan mendekat. Matanya masih melotot. Dan beberapa cubitan mampir dipaha dan lenganku.
“Hahahaha, hei Bulan, sabar..sabar. Aku tuh melihat monyet jadi terkenang cinta monyetku hehe kayak kita, Bulan…” Aku ngoceh seadanya. Tapi justru makin membangkitkan marahnya Bulan.
“Berarti bener khan menganggap aku itu monyet?” Bulan semakin gemas mencubit. Oh, sakitnya. Cubitan Bulan lebih menyakitkan ketimbang cubitan Bintang.
“Hei, sayang, kenapa dikau sensi begini, sih? Maksudnya Cinta monyet itu cinta pertama. Cinta kita yang pertama kali. Cinta pertama kita, sayang. First love honey hehehe cintaku pertama padamu, Bulanku,” Aku menggombal.
Bulan terperangah, setengah terpana. Bibirnya tak mau mingkem. Tatapannya polos nian. Dan tangannya mulai berhenti mencubit. Matanya sudah berkurang membelalak, kayak mata barong tadi kulihat.
Bulan termakan rayuanku. Buktinya dia tersenyum senyum. Hidungnya kembang kempis ketika kukatakan ia cantik jelita, mirip Bulan. Tetapi ketika melihat Bulan senyum-senyum begitu, aku tak mau mengalihkan pandangan ke arah monyet monyet yang pernah nakal padaku sewaktu bersama Bintang dulu. Nggak! Aku tidak mau melihat monyet itu, ntar kalau Bulan hamil aku nggak mau anakku kayak mahluk itu. Hiii
HANYA EMPAT MINGGU………….
Ya……hanya empat minggu cintaku bertahan. Tak putus dirundung sial. Apa karena monyet ini? Tiba-tiba saja Bulan berkata padaku:
“Hei Arjuna, mulai detik ini kamu jangan lagi main ke rumahku.!”
Waduh!
“Sudahlah, nggak usah frustasi gitu. Masih banyak gadis lain kok di kota ini. Kamu tahu di dunia ini perbandingan pria dan wanita itu satu berbanding empat.” Surya menghibur hatiku yang gundah.
“Sompret empat banding satu, katamu!!??” Aku menunjuk hidung sobatku itu. Surya juga yang memperkenalkan aku dengan Bintang dan Bulan. Dia memang sahabat yang baik hati.
“Empat banding satu, tiganya janda semua…” Aku ngedumel mengeluarkan ucapan yang tak pantas keluar. Tapi kalaupun kata-kata itu terucap juga tak pantas untuk di dengar.
Surya memegang bahuku. Menatapku trenyuh. Sangat hati-hati memulai pembicaraan, mungkin khawatir aku tersinggung kalau lidahnya mendadak keseleo salah ucap.
“Arjuna, sahabatku, mungkin aku bisa minta kamu hentikan dulu dah kebiasaan burukmu itu,” Surya lebih pelan berkata.
“Maksudmu?”
“Yahhh, kekurangan seseorang hanya sahabat baik yang bisa memberitahu. Itulah artinya sebuah persahabatan yang tulus,” Surya melanjutkan seperti ingin kata-katanya yang keluar di anggap berfilsafat.
“Iya apaaaaa kebiasaan apaaaaaa?” Aku tak sabar lagi. Huh. Benar-benar aku seorang Arjuna yang tak sabar. Ingin kupentang busur panahku dan kupanah rembulan itu agar meleleh mengeluarkan airmata. Airmata duka dari cinta yang terpenggal. Cintaku yang selalu sia-sia.
“Kamu hilangkan kebiasaanmu kentut di depan orang terutama di depan cewek. Itu saja!”
Aku kaget.
Jadi itu penyebabnya kenapa Bintang dan Bulan secara sontak, mendadak seketika tak ada angin tak ada hujan memutuskan tali kasih yang sesungguhnya kuanggap demikian membahagiakan. Ya, Tuhan, kenapa demikian cepat berlalu apa yang seharusnya engkau berikan padaku dalam kebahagiaan yang secuil ini? Secuil bagiMu yang sesungguhnya demikian besar artinya buatku. Oh, Tuhan……….. Jadi bukan karena monyet-monyet itu.
Bukan karena monyet, seperti perkiraanku.
Sengkongo, Mei 2011

(dari kumcer dadong inges penerbit pustaka ekspresi 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar