Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Rabu, 28 Desember 2011

IBU GURU GINANTI

Siapapun melihat wajah bu guru Ginanti pasti akan senang, karena wajahnya cantik dan senyumnya penuh simpati. Sepertinya kalau melihat wajahnya dan sorot matanya yang demikian teduh, bu guru Ginanti tidak suka marah. Gilang paling suka melihat wajahnya yang cantik. Berbahagialah orang yang menjadi suami bu Guru Ginanti. Lelaki itu pastilah sangat beruntung dalam hidupnya dari sekian banyak laki-laki yang mendambakan untuk dapat memiliki wajah ayu dan secantik bu guru Ginanti. Pastilah banyak laki-laki yang menginginkan bu guru Ginanti. Dewi Sinta Prabawati, pacarnya Gilang sebagai seorang gadis juga sangat senang dan tertarik melihat, apa lagi laki-laki. Sesama perempuan saja mereka demikian kagum. Dan itu bukan cerita kosong. Lihat saja Anik, Reni, Ayu bahkan Ningsih dan entah teman teman yang lainpun tidak menyembunyikan kekaguman. Rasa kagum yang tidak dibuat-buat bahkan terlontar pujian dari bibir mereka. Atau di sela jam kosong selalu ngerumpi tentang Ibu guru Ginanti. Seolah dengan mengagumi bu Ginanti, aura kecantikan ingin juga disebar pada mereka semua. Dan pada akhirnya selain mereka semua meniru gerak-gerik bu guru yang satu ini, merekapun berlomba-lomba untuk tampil cantik.
“Awas kalau tertarik padanya, Dewi nggak mau lagi temenan ama kamu,” Dewi Sinta Prabawati mengingatkan pacarnya yang diam-diam selalu melirik bu guru Ginanti.
Gilang senyum senyum saja di hadapan pacarnya. Nggak mungkinlah Gilang pacaran ama gurunya. Masak murid mau macarin bu guru? Kalau pak guru macarin muridnya yang perempuan sih ada.
“Itu sih karena muridnya yang nakal,” Dewi jadi memperdebatkan masalah pacaran guru dan murid.
“Iya, tapi pak gurunya nakal juga khan? ” Gilang tak mau kalah.
“Muridnya juga kok”
“Gurunya!!!”
“Muridnya!”
“Gurunya! “
“Muridnyaaaaaaaaa…!!!” Dewi berteriak keras.
“Eh, sudah! Sudah! Kok kita jadi bertengkar sih?” Gilang akhirnya senyum senyum mengalah sambil memeluk Dewi. “ Iya muridnya dah!”
“Jelek, pringas-pringis gitu. Jelek! Aku ndak suka laki-laki prangas-pringis. Jelek, tauu!!?? jelek! Jelek!!” Kontan Dewi mencubit pacarnya.
Gilang meringis.
Kalau Bu guru Ginanti sudah berdiri di depan kelas, semua teman-teman pasti terbengong-bengong bagai disihir hingga terkadang sampai lupa kalau pelajarannya sudah selesai.
“Lho, sudah selesai bu?” Anton berkomentar dengan nada kecewa. Yang lain pada mengeluarkan suara-suara tak jelas. Ketika ditanya bu Ginanti, mereka bengong tak bisa menjawab. Tangan bu Ginanti menunjuk ke arah Agus
“Khan udah ibu terangkan tadi,” Bu Ginanti menegaskan lagi sambil mendekati Agus yang duduk di bangku belakang paling pojok. Agus berkeringat. Hanya mengeluarkan suara ah-oh-ah-oh
“Hush, bu Gin nanya tuh,” Reni yang duduk di samping mencuwil lengan Agus. Masih saja Agus seolah terjebak dalam sihir tak mampu menjawab. Matanya hanya menatap bu guru yang cantik itu dengan mulut menganga. Bau wangian parfum yang keluar dari tubuh bu Ginanti semakin membuat Agus kian gelagapan.
“Hei, Gus, mulutmu jangan nganga gitu, dong!” Herman menendang kakinya di bawah meja.
Agus meringis. Seolah baru tersadar dari mimpi, menatap Herman dan teman-temannya yang lain secara bergantian. Seperti orang bego ia tengadah menatap Bu Ginanti dengan suara ah-eh-oh.
“Maaf ibu tanya apa tadi nggg….”
Teman-temannya yang lain spontan ketawa ngakak. Bu Ginanti melengos berusaha menyembunyikan senyum manisnya dan melangkah ke depan kelas sambil geleng-geleng kepala. Ruangan riuh sesaat dengan tawa anak-anak.
“Bu, kenapa nggak tanya aku aja?” seketika Gilang berteriak mengacungkan tangan, namun yiaaouuwww, matanya mengernyit berusaha tidak mengaduh. Dewi di bangku sebelah mendelik lagi-lagi menancapkan kuku di paha Gilang.
Bu Ginanti menoleh, mengarahkan pandangan. Mata beradu mata, hati belum sampai menyentuh. Gilang klemes-klemes seperti bayi kurang gizi. Kalau Dewi melihat persis: bayi yang telat diteteki ibunya.
“He.. he.. he.. nggak bu. Nggak jadi!” Gilang mendadal gagap. Linglung yang tidak dibuat-buat.
“Lho…??”
Lagi-lagi semua ketawa, bukan ngetawain bu guru Ginanti, tapi tertawa melihat ulah Gilang. Semakin membuatnya pringas-pringis kecut melirik Dewi di samping. Yang dilirik tambah melotot, ih!
Ibu guru Ginanti memang selalu penuh dengan kejutan. Seminggu tidak bertemu, anak-anak sudah pada kangen. Bukan kangen dengan pelajarannya, tapi wajah bu Ginanti itu lho! Semua di kelas seperti merasa cepat bosan tanpa kehadiran bu Ginanti. Waktu terasa begitu lamban berjalan. Jarum jam demikian perlahan detaknya. Seolah tidak bergerak sama sekali. Beberapa anak-anak lebih suka duduk-duduk di luar daripada mengikuti pelajaran di dalam kelas. Ada yang membolos nangkring di parkiran motor. Ada malah nongkrong di kantin sekolah. Sedemikian hebat pengaruh guru cantik itu.
“Hei..hei, bu Ginanti datang ….bu Ginanti datang….hari ini udah mulai ngajar,” salah seorang anak berteriak memberi kabar.
Dengan lenggak lenggok bu Ginanti terlihat memasuki ruangan kelas Gilang.
Dan apa yang terjadi? Gilang mau ketawa saja melihat kehadiran bu Ginanti kali ini. Penampilannya sangat berbeda. Ada yang berubah. Ya, ada yang lain pada diri bu Ginanti. Rambutnya itu lho. Rambutnya telah berubah jadi kriting. Wow, kian menambah cantik wajahnya. Kian menawan saja penampilannya. Membuat terkagum-kagum. Bu Ginanti memang cantik. Ck..ck..ck….Gilang-lah yang paling semangat mengikuti pelajaran bu Ginanti. Tanpa sadar tangannya mencoret-coret sesuatu di atas kertas. Lalu tertawa sendiri melihat hasil goresannya sendiri.
“Buat apa itu?” Dewi menoleh curiga. Berusaha ingin merebut kertas yang ada di tangan Gilang. Gilang mengelak dengan cara mengibas tangan pacarnya dan berusaha melipat kertas itu, meremas-remas dan memasukkan di bawah kolong meja.
Memang besar pengaruh bu Ginanti. Ruangan kelas yang semula beberapa bangku terlihat kosong, kini malah penuh, sebagian ada yang duduk bertiga dalam satu bangku. Bahkan dari kelas lainpun ikut-ikutan mengikuti pelajaran bu Ginanti. Mereka rela duduk berhimpitan dalam waktu 2 jam hanya untuk dapat memandang wajah guru cantik itu. Kalau bisa mereka ingin tidak hanya 2 jam pelajaran, bila perlu pelajaran guru lain ganti aja dengan bu Ginanti.
“Iya ganti aja,” Gilang berseloroh. Terbawa khayalannya sendiri.
“Hush, diam! Ngomong apa sih kamu? Tuh dengar bu guru,” Dewi mengingatkan.
“Ada yang bertanya?” Bu Ginanti memandang seisi ruangan. Bu Ginanti rupanya tidak begitu perhatian kalau bangku semua terisi. Nyaris tidak tahu kalau ada siswa kelas lain ikut bergabung di ruangan ini.
“Bu, kalo bisa pelajaran lain ibu aja yang ngisi, gimana?” Gilang acungkan tangan tinggi-tinggi.
“Iya bu, bener bu, ibu saja yang ngajar,” yang lain nyeletuk.
“Iya bu, kalau bisa ibu saja,” terdengar suara anak-anak.
“Iya,..iya….” yang lain ikut-ikutan bersuara, Dan ruangan kembali riuh oleh suara-suara. Bu Ginanti keplok-keplok tangan. Mirip ngajar anak-anak TK. Berarti kalau di ruang sidang senayan para wakil rakyat rapat paripurna dengan acara ngotot-ngototan bahkan sampai adu jotos segala di tonton jutaan rakyatnya, ya bermula seperti ini. Semua bermula dari sekolah, bagaimana cara bu Ginanti mengajar mereka untuk bisa santun ketika mereka nanti sudah duduk jadi anggota dewan wakil rakyat yang terhormat. Keplok-keplok tangan bu Ginanti mampu mendinginkan suasana. Semua bengong kembali seperti sediakala. Semua kena sirep. Dan melongo-longo tersihir, lalu mengangguk-ngangguk, dan segalanya bisa di atur. Demikian sempurna tanpa kurang suatu apapun. Segalanya pasti beres di tangan bu Ginanti.
Hebat!
Memang segalanya bisa beres di tangannya. Tapi untuk yang satu ini ternyata tidak. Kali ini di ruangan kepala sekolah nampak bu Ginanti nangis meraung-raung. Kecantikannya lenyap oleh isak tangis jeleknya. Guru-guru lainnya saling pandang satu sama lain. Sesekali menatap Gilang bak pesakitan duduk tertunduk lesu di ruangan guru. Kepala sekolah nampak memegang kertas bekas remasan tangan yang sedikit kucek seperti ingin menahan senyum.
“Kenapa kamu lakukan ini Lang?” pak Sahid kepala sekolah itu memandang Gilang. Gilang tertunduk lesu. Takut beradu tatap dengan bu Ginanti yang masih terdengar isaknya.
“Saya tidak bermaksud apa-apa, pak Guru. Apalagi mau bikin bu Ginanti sampai menangis.,” Gilang bersuara pelan membela diri. Tatapannya polos. Sepolos tatapan bayi tanpa mengenal dosa. Bagaimana bayi polos, ya seperti itulah tampang Gilang saat ini. Sedikitpun ia tidak merasa bersalah. Hanya saja Gilang merasa aneh. Kenapa kertas yang sudah ia remas-remas dan di buang di tong sampah bisa berada di tangan kepala sekolah. Itu saja keheranan Gilang. Siapa memberikan kertas isengnya itu? Reni, Wawan ataukah Anton sendiri? Ah, Dia jadi bingung. Atau jangan jangan? Ya, jangan jangan pacarnya sendiri yang memberikan sebagai bentuk pelampiasan kekesalan kepadanya. Iya, jangan jangan………
“Iya, tapi kenapa bu guru Ginanti kamu gambar seperti ini. Coba lihat, aduhhh, kau ini!”
Pak Sahid memperlihatkan kertas yang di gambar oleh Gilang.. Nampak gambar wajah seorang wanita berambut kriting yang di atas bibir wanita itu dibuat goresan menyerupai kumis. Melihat gambar dirinya lagi dipertontonkan di hadapan guru-guru lain, bu Ginanti kembali terisak bahkan semakin keras menangis. Saking tak tahan lalu pergi meninggalkan ruangan.
Keesokan harinya dan hari-hari selanjutnya bu Ginanti tidak terlihat lagi di sekolah itu.

Labuapi, September 2011
(salah satu cerpen dalam kumcer dadong inges terbitan pustaka eskpresi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar