Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Rabu, 28 Desember 2011

KEMATIAN ANAK ITU

Barangkali kalau tidak ingat suara anak itu aku tidak akan terlalu mempersoalkan kematiannya ini. Kematian anak ini aku anggap sebagai sebuah takdir yang memang sudah harus dihadapi. Karena kematian hanyalah peristiwa biasa seperti halnya sebuah kelahiran awal mulanya hadir di dunia serta fase pada saat menjalankan kehidupan. Jadi fase lahir-hidup-mati sudah diatur sedemikian adanya. Nggak perlu terlalu dipersoalkan.
”Ya, memang menurutmu nggak perlu terlalu dipersoalkan, hanya cara matinya itu yang perlu kita pertanyakan,” Temanku Anwar membantah caraku berpikir dan memandang persoalan lahir hidup dan mati terkadang terlampau berlebihan.
”Ya, itupun sudah diatur. Sudah ada dalam catatan. Ada manusia matinya di laut, matinya saat gempa, matinya dibunuh. Ada pula yang mati diam-diam, tidur bermimpi, esoknya sudah tak bernyawa lagi,” aku berkata bukan seadanya. Karena saat-saat menjelang ajal anak itu ketika peristiwa kecelakaan itu terjadi, aku sudah dan bukan hanya mengira-ngira tentunya. Sekali lagi aku bukan sembarangan mengira. Karena saat-saat dia sekarat itu, rohnya sudah jalan-jalan datang mengunjungi satu persatu teman-teman bermainnya. Bahkan rohnya sempat berbicara denganku. Jadi tidak ada alasan untuk membahas bagaimana cara anak itu mati. Atau sebagaimana orang-orang mati menurut cara-cara yang telah di atur olehNya. Semua kematian manusia sudah diatur, dari caranya lahir, bagaimana sewaktu hidup dan sampai proses menemui ajal.
”Ada yang mati bunuh diri!”
”Iya, dengan gantung diri, minum baygon, minum racun tikus......”
”Ada yang mati perlahan-lahan!”
”Iya, kena serangan stroke, makan hati...”
”Ada yang mati pura-pura!”
”Mati suri.............”
”Hidup lagi!”
”Iya......iya.....”
Biasanya kalau sore begini ia sering duduk-duduk di teras depan rumah sambil makan mie. Lalu berteriak pada seisi rumah minta diambilkan air minum. Terkadang kelihatan bersenda gurau dengan kawan-kawan sebayanya. Ada saja celotehnya yang kerap mengundang tawa. Anak itu memang sangat lucu. Terkadang aku ikut ngikik dari balik kaca jendela rumah mencuri dengar pembicaraan mereka. Pembicaraan anak-anak. Demikian lepas. Demikian polosnya berpendapat yang dibarengi dengan imaji kekanak-kanakannya.
Itu kebiasaannya ketika masih hidup.
Aku menyukai cara anak itu duduk duduk di teras depan rumah sambil teriak-teriak. Tubuh gemuknya masih terbayang jelas.
Melihat anak itu ketika sudah ajal, seperti teringat lagi apa yang dilakukan teman bermainnya saat semua suntuk mengikuti permainan apa yang tengah mereka lakukan. Aku teringat bagaimana darah yang keluar dari rongga hidungnya saat berada di rumah sakit ditunggui oleh banyak teman-teman yang ikut mengantar ke rumah sakit.
”Saat itu dia mendahului kita di depan. Dia menyalip kita semua,” demikian Anto menceritakan kronologis kejadian sebenarnya sampai ia disrempet sepeda motor yang menurut saksi mata warga di kampung itu, bahwa pengendara dalam keadaan tidak konsen mengendarai sepeda motor sambil berbicara lewat ponselnya.
”Katanya dia standing, dia kan suka mengangkat roda depannya sering akrobat di lapangan saat bermain main dengan teman-teman yang lain.,” Ridwan berkata seolah tahu betul gimana tingkah laku almarhum semasih hidup.
”Ndak tahu, soalnya dia ngebut diluar dari kebiasaannya sehari-hari, katanya mau ngaji dan dia cepet cepet pulang mendahului kita semua,” dan di tikungan itu Beni sudah tak terlihat lagi bayangannya. Hanya sepedanya saja terlihat sudah tergeletak di pinggir jalan. Ridwan lari ketakutan dengan suara tangis memberi tahu ayahnya yang lagi duduk-duduk di rumah.
”Seandainya cepat ditangani saat itu. Seandainya tidak keliling kebingungan cari rumah sakit. Tapi sudah nasib, mau bilang apa lagi.
”Tapi kalau seandainya cepat diantar ke rumah sakit terdekat, mungkin dapat tertolong. Mungkin tidak kehabisan darah.” yang lain menyambunng
”Tapi bagaimana bisa menolong. Kepalanya pecah lho!”
”Masak?”
”Iya, saat di IGD kulihat ada darah mengalir di sela-sela telinganya. Kupikir, wah, sepertinya anak ini tidak mungkin tertolong lagi,” aku berkata pelan. Teringat anak itu saat hidungnya dimasukkan slang zonde di kedua lobang hidungnya. Tangannya tak mampu bergerak. Diikat kain verban di slempangkan pada bed tempat tidur. Karena bergerak-gerak seperti menahan beban rasa sakit yang luar biasa.
Saat penguburan berlangsung, semua teman-teman bermainnya saling bertangis-tangisan. Terlihat saling sambung menyambung bertangis-tangisan. Guru-gurunya semua datang. Wajah duka menyelimuti areal pemakaman itu. Teman teman bermainnya semua tertunduk lesu. Ibunya sempat pingsan di tanah kuburan itu dan beberapa warga akhirnya menggotong ke tempat yang teduh. Menjauhkan dari jasad anaknya.
Malam itu usai tutup toko, aku pulang. Agak maghrib, jalanan sepi. Tumben tidak ada kendaraan yang melintas. Entah dalam jalur searah maupun berlawanan arah. Melewati kuburan tua di perkampungan, suasana kurasakan demikian senyap. Orang-orang kampung mempercayai kalau kuburan yang satu ini memang sangat angker. Dari tiga buah kuburan yang aku lewati menuju rumah, hanya kuburan yang satu ini membikin bulu kudukku sering merinding. Sering kalau melewati kuburan ini aku keras-keras nyalakan klakson mobil sambil memain-mainkan lampu. Itu pesan dari orangtuaku dulu. Entah kenapa perasaanku menjadi tidak enak sama sekali. Inderaku yang satunya seolah-olah mengatakan dari arah belakang seperti ada sosok wajah terus mengikuti. Sesosok wajah ke kanak-kanakan nempel di kaca mobil belakang. Ketika aku mencoba melihat melalui kaca spion, kosong. Melompong. Tidak ada apa-apa. Entah darimana perasaan takut itu tiba-tiba datang. Tubuhku menjadi merinding. Sekuat kakiku menekan pedal gas, kendaraan seolah lari dalam kecepatan yang sama. Persis di pinggir jalan, dimana saat kejadian almarhum di tabrak, kulihat seperti masih ada bekas bercak-bercak darah segar menempel di aspal. Persis di pinggir kiri jalan aspal.
Pernah aku mengingatkan Ibunya almarhum Beni kalau dibuatkan sedikit acara selametan. Karena sebagaimana dalam hukum agamaku sendiri, tidak saja kecelakaan yang menimpa hingga menghilangkan nyawa, hingga menyebabkan meninggal dunia, kecelakaan yang hanya sampai mengakibatkan luka-luka saja di jalanan, sekalipun lukanya ringan, biasanya kita mintakan pada rohnya yang masih ketinggalan di jalan untuk kita bawa pulang kembali menyatu dengan badan kasarnya. Kendati yang tertimpa kecelakaan itu masih hidup. Apalagi sampai meninggal dunia seperti yang menimpa almarhum Beni. Rohnya pasti masih ada di tempat kecelakaan itu terjadi. Aku yakin rohnya masih ada disana.
Aku yakin roh anak itu tadi sedang mengikutiku. Wajahnya terbayang jelas. Seperti ingin mengatakan sesuatu, entah apa. Mulutnya terbuka seolah ingin mengucapkan sesuatu yang tidak jelas aku dengar. Seperti ingin meminta pertolongan. Namun pertolongan dalam bentuk apa, itu belum jelas. Karenanya aku mendatangi rumah ibunya untuk mengajak bicara dan mengingatkan ucapan-ucapan apa yang pernah dikeluarkan ibunya semasa almarhum hidup, sehingga setelah meninggal itu masih diingat dan dikejar terus sebagai sebuah janji.
”Cobalah buatkan sedikit acara selametan, bu,” aku mengingatkan. ”Bagaimana menurut agamanya ibu. Sebab Beni datang tadi dan seperti berdiri di depan rumah, ingin mengatakan sesuatu.” Aku terus mengingatkan ibunya. Apalagi ketika Beni meninggal, ibunya tidak berada di tempat. Saat terjadi kecelakaan yang menimpa anaknya itu, ibunya sedang ngantar keluarganya berobat di Jakarta yang membutuhkan waktu beberapa hari. Aku ingat cerita ibunya bahwa Beni sempat telpon ibunya di Jakarta sehari sebelum meninggal, dan minta dibelikan tas sekolah. Dan suaranya di telpon sungguh aneh dia dengar. Seolah-olah seperti bukan suara anaknya.
”Barangkali tas yang ibu janjikan itu masih diingat anak itu, sehingga saat maghrib-maghrib dia sering mendatangi dan duduk-duduk di depan pintu rumah saya.” Aku menambahkan. Memang sering aku lihat dia duduk-duduk dan menampakkan diri saat aku menyisir rambut sehabis mandi atau saat duduk-duduk sore hari sehabis memberi makan si Coki, pudel kesayanganku di halaman rumah. Dan ketika aku menunduk, dari arah belakang seperti ada sepasang mata kanak-kanak tengah memperhatikan gerak-gerikku. Sepasang mata yang nakal. Aku hafal betul siapa pemilik mata kanak-kanak itu. Ya, aku sangat hafal. Mata yang dulu sering datang ke rumah bercanda mesra bermain-main dengan anak-anakku. Dan dia sangat begitu akrab dengan anakku yang paling kecil. Usia mereka sama. Sama-sama satu kelas dan juga sama-sama bersaing dalam soal nilai pelajaran. Mata itu seperti masih bermain-main di belakangku.
”Ibu melihat jelas ?” ibunya bertanya.
Aku mengangguk. Aku tahu persis anak itu seperti ingin meminta sesuatu. Biasanya kalau seseorang yang sudah meninggal sering datang mencari kita apalagi sering mendatangi rumah kita, pasti ada sesuatu yang ingin dia katakan atau menagih apa yang pernah kita janjikan semasa hidupnya.
Ibunya tercenung. Seperti berusaha mengerti apa yang aku katakan. Entah dia mempercayai ucapanku atau tidak.
”Iya, tas itu......!!! tas itu...!! Beni pernah minta itu,” Ibunya seperti teringat sesuatu setengah kaget berteriak-teriak.
Aku terkejut.
Lagi-lagi bagai orang histeris ibunya berteriak-teriak, Seperti baru diingatkan akan sesuatu. Padahal aku sudah mengatakan perihal mengenai tas itu barusan.
Nampaknya ibu itu seperti orang bingung. Terlihat dari pancaran matanya, trus sikapnya sedikit aneh, sebentar-sebentar duduk. Tak berapa lama lagi berdiri.
Pagi-pagi sekali ibu itu sudah berdiri di depan pintu rumahku. Menenteng tas besar seperti akan melakukan perjalanan jauh.
”Mau kemana?”
”Saya pamitan bu. Mau belikan tas almarhum di Jakarta.” kata-katanya terdengar seperti orang yang kebingungan. Tatapannya kosong. Sekilas kulihat tatapannya seperti mata kanak-kanak itu.
”Lho?” Aku bergetar. Aku kaget, namun tak kuasa melawan kodrat. Aku tidak boleh memberi tahu sesuatu yang sebenarnya manusia belum mengetahui. Inderaku yang satu ini seperti telah memberikan sesuatu bentuk isyarat. Warisan indera leluhur yang selalu menunjukkan keajaiban yang tepat. Apa yang kurasa, itulah yang sering terjadi. Oh, Tuhan....untuk yang kali ini saja jangan sampai terjadi. Jangan! Karena ibu almarhum demikian akrab dalam persahabatan denganku. Jangan, Tuhan. Jangan terjadi itu lagi.
Aku merasa gemetar dan tak kuasa untuk menahan kepergiaannya.
Seminggu kemudian...dua minggu...tiga minggu..sebulan...dua bulan bahkan hingga berbulan-bulan jalannya waktu aku tak pernah bertanya tentang ibunya almarhum. Karena sejak bepergiannya, sepasang mata kanak-kanak yang sering mengawasiku sambil duduk-duduk di beranda rumah juga sudah tak pernah terlihat lagi.
Telagawaru, Januari 2011
(dari kumcer dadong inges, terbitan pustaka ekspresi 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar