Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Rabu, 28 Desember 2011

HAMIL

Terkadang sulit dipercaya memang di dunia ini, di jaman yang dikatakan sudah modern, dijaman tehnologi sudah merajai dunia dan hampir menguasai sebagian besar kehidupan manusia, ternyata masih ada orang yang punya sifat iri. Begitu merasa seolah aku ini memiliki suatu kelebihan di matanya yang mendatangkan kecemburuan? Entah! Pontang panting dengan napas sisa satu satu dalam menjalankan usaha terkadang melawan dan menepis rasa letih itu sendiri. Toko tempatku menjalankan usaha yang terbilang ramai dan hampir tak pernah sepi pengunjung, barangkali tolok ukur sebuah keberhasilan sebuah usaha, apakah itu yang ada dalam pandangannya? Apakah sih yang ada dalam pikirannya? Dan sebenarnya akupun tidak terlalu percaya dengan apa yang dikatakan orang yang memiliki kelebihan mampu jauh menembus batas pikir seseorang. Bukannya menyepelekan kemampuannya, namun apa yang dikatakan sepertinya nyaris membuatku marah dan menyepelekan kekuatan staminaku, sampai akhirnya aku menyerah dan berkata: “ memang barangkali tubuh ini sudah terlampau capek ya, bli,”
Suamiku menatap dan memandang jauh. Tidak ada satupun yang diyakini sebagai sebuah keluhan. Tidak ada satupun matanya mengisyaratkan suatu kelemahan sebagai manusia yang takluk, namun akhirnya mengangguk saja. Membenarkan kata kata istrinya dan menyarankan sesuatu.
“Cobalah kita tuntaskan dulu secara medis sebelum melangkah jauh. Jangan terlalu terpaku pada mimpi itu,” katanya sembari menghiburku dan mengajak ke dokter. Jenis obat maag yang mengandung Aluminium magnesium gel kering dengan kombinasi simetikon dalam sediaan berupa syrup aku tenggak hampir sehari tiga kali berturtut turut menandakan rasa lambung yang demikian penuh dengan angin. Lambung bertukak. Sengaja memang aku meminta jenis syrup karena semasa masih gadis dulu aku memang tidak pernah doyan dengan yang namanya mengkonsumsi obat. Jarang tahu yang namanya dokter. Kalau meriang sedikit cukup dengan pemijatan mbah Darno sedikit saja, maka lega lila rasa tubuh ini. Menurutku, segala jenis penyakit yang menyerang tubuh sesungguhnya hanya bermula dari angin. Angin itu jahat. Aku menganggap kalau tiba tiba saja kepala menjadi pusing, maka itulah angin dalam kepala yang harus dikeluarkan, dan dengan sedikit urutan maka keluarlah angin itu lewat mulut yang secara tak bisa ditahan bersendawa, maka kepalaku akan ringan seperti sedia kala. Jadi aku tidak perlu mengkonsumsi segala jenis obat sakit kepala. Bukan hanya dari masa remaja saja, bahkan dari kecilpun ibuku membiasakan pemijatan pada bagian bagian tubuh, makanya aku jarang terkena penyakit. Kalau aku menelan yang namanya tablet maka aku mesti atur napas dulu, terkadang yang terasa tertelan termuntahkan begitu saja, meski telah didorong dengan air minum. Tubuhku memang unik, jenis obat-obatan apapun jarang masuk ke dalam tubuh, dan itu artinya aku memang jarang sakit. Bahkan boleh dikatakan tidak pernah sakit. Nah, ketika perut ini tiba tiba seperti merasa melilit, kuanggap itupun hanya sekadar angin nakal yang lewat. Cukup di dorong dengan minum air hangat segelas besar hingga habis, dahi berkeringat, bersendawa sedikit, maka kurasakan biasanya….ya, biasanya perut mulai terasa nyaman.
Tapi kali ini tidak, ketika tiba tiba saja tanpa mampu kutahan seluruh isi perut tumpah ruah dihadapan pelanggan yang sedang aku tangani rambutnya, maka ini merupakan sebuah bencana yang pertama kali dalam hidupku. Padahal tadi pagi biasa biasa saja, bahkan masih sempat bernyanyi-nyanyi kecil ketika merapikan semua peralatan rias, membersihkan lantai sembari melenggang santai mengkuti irama music.
Pelangganku terkaget-kaget. Barangkali karena ia seorang perawat kesehatan, sudah menjadi terbiasa melihat kejadian itu.
“Mungkin lagi masuk angin saja, mbak,” katanya menatapku dari balik cermin rias yang tertempel di dinding.
“Iya, maaf…” dan hueeeekkkkk, lagi-lagi sebagian dari isi perut yang masih tersisa keluar dengan leluasa memenuhi lantai. Anakku yang sedang menemani aku sedari tadi dengan sigap mengambil beberapa lembar koran bekas untuk menutup muntahan yang tercecer di lantai. Mengambil beberapa lembar lagi hingga muntahan itu benar-benar tak terlihat.
Pandanganku jadi berkunang-kunang. Sebenarnya ketika pelanggan terakhir datang untuk rebonding dan sedikit penyatokan di kepala sudah aku sarankan untuk datang besok pagi. Terlalu malam selesainya untuk mengerjakan pekerjaan yang rata-rata memakan waktu sekitar 3 hingga 4 jam ini. Bukan berarti aku menolak kedatangan seseorang yang telah jauh-jauh hari mungkin sudah mempersiapkan diri untuk sebuah perawatan kecantikan. Bukan juga aku ingin menolak rejeki yang datang. Setelah obat kedua masuk di rambutnya dan sedikit penyatokan lagi akan merampungkan kerjaan kalau tidak dihabisi dengan rasa sakit yang mendadak. Perut terasa nyeri. Dokter yang kebetulan prakteknya bersebelahan dengan dengan tempat usahaku tergopoh gopoh datang memberikan pertolongan. Sebuah suntikan mampir di lengan. Kemudian secara perlahan ingatan menurun, namun masih mampu mendengar suara-suara di sekitarku yang membantu. Anakku yang paling kecil menelpon kakaknya yang sedang menghadiri acara ulang tahun temannya di daerah gebang. Dan ini juga salah satu letak keberhasilanku dalam mengajarkan anak-anak, ketika masih sekolah SMP sudah aku ajarkan belajar menyetir mobil, seperti situasi sekarang inilah, betapa berartinya dia ketika memapahku ke dalam kendaraan dan dengan ketenangan penuh ia menyetir mobil itu hingga sampai di rumah.
“Ibu pasti telat maem,” katanya seperti biasa, suaranya ketus tidak dibuat-buat. Terkadang disertai omelan. “Itulah kalau ibu lagi sibuk, selaluuuuu saja menunda perut untuk harus diisi. “
“Iya…” aku hanya mampu menyahut lemah.
“Makanya inget maem!” suara itu demikian keras terdengar di kuping. Suara anak kecil dalam kecemasan melihat keadaan ibunya dalam keadaan demikian., sehingga ada sedikit rasa bangga sebagai seorang ibu mendengar celoteh kecemasan anak, sosok yang dulunya berada dalam rangkulanku, sosok yang dulunya kecil yang selalu aku jaga dalam kecintaan dan ketulusan yang kini telah berubah menjadi demikian dewasanya menasihati ibunya. Kupikir dengan sepotong kue dan segelas teh panas barangkali akan mampu untuk menahan rasa lapar hingga siang tadi. Ternyata tidak. Tubuh ini memang punya batas kekuatan dan kini sepertinya menunjukkan kelemahannya.
Aku terlentang menatap langit-langit kamar. Menerawang dalam berbagai perasaan yang aneh. Dan mimpi itu, mimpi di siang hari di saat berat mata ini menahan kantuk entah seperti merupakan titipan pratanda akan terjadi sesuatu.Ya, itulah yang menyebabkan hingga cairan bening kumuntahkan disaat-saat sedang sibuknya melakukan pekerjaan rutin.
“Jangan terlalu terbawa-bawa soal mimpi itu,” suamiku mengingatkan.
“Tapi, bli, benar-benar mimpi aneh yang saya alami,”
“Iya coba dulu minum obatnya. Itu perutmu yang lagi kosong dari pagi belum kena apa-apa,”
“Aku bermimpi kebelet pipis dan masuk ke kamar mandi. Sungguh aneh, entah darimana datangnya begitu banyak kecoak memenuhi kamar mandi. Saking banyaknya sampai-sampai lantai kamar mandi berubah menjadi warna coklat yang bergerak-gerak. Memenuhi bak mandi, mengerubungi jamban. Aku berinjit-injit berusaha melangkah untuk menghindar. Mungkin saking banyaknya kecoak hingga sebagian ada yang mengeluarkan lender-lendir yang uuhh, menjijikan. Pikirku juga ruangan itu menjadi sangat pengap karenanya. Seolah begitu susahnya menghirup oksigen. Ketika aku dalam posisi jongkok, aku berusaha untuk menghindari jangan sampai kecoak-kecoak itu memasuki kemaluanku. Sebagian dari padanya bahkan sudah ada yang merayap di kedua kaki dan sebagian kecil ada yang merayap ke tangan. Aku berusaha mengambil centong untuk membersihkan. Namun centong itupun dipenuhi kecoak. Bergegas aku keluar kamar mandi karena napasku terasa sesak. Sepertinya dalam ruangan yang sempit itu aku berebutan oksigen dengan kecoak-kecoak yang demikian banyaknya . Aku rasakan udara yang bebas dan merasa lega berada di luar. Sungguh aneh…”
Suamiku diam mematung, bola matanya menatap dengan menampilkan wajah setengah percaya mendengar ceritaku itu.
Dan itulah yang terjadi ketika beberapa harinya aku mendadak muntah.
“Iya, walaupun itu merupakan petunjuk, tapi pikiran jangan dibawa kesana dulu,” suamiku menasihati, walau sedikit serius mendengarkan cerita tentang mimpi itu.
Selama tiga hari penuh aku istirahat total, tidak diijinkan untuk buka toko dulu semasih dalam kondisi belum sehat benar. Karena aku mulai merasakan mual yang tiba-tiba. Apakah karena gangguan lambung? Aku disarankan mengatur makanan. Menurutnya karena kondisi perut sudah dalam keadaan sakit. Ketika hari ke empat aku mulai lagi buka toko, lagi lagi aku muntah. Dan rasa mual itu memang tidak pernah berhenti. Munculnya setiap jam 9 pagi.
“Mimpi itu…”
“Aahhh, sudahlah!” suamiku menepis.
“Tapi……”
Suamiku melengos seperti tidak mau mendengar penjelasanku lebih lanjut. Benar-benar aneh.
“Kita tanya dukun..”
“Ah, jangan percaya itu..”
“Iseng saja, siapa tahu penyakitku ini ada hubungannya dengan mimpi mimpi itu.”
“Minum saja dulu obatnya”
“Tapi kenapa tidak sembuh? Malah mual-mual terus?”
“Ya, itu kan karena dinding lambungmu sudah luka.”
“Tapi kenapa rasa mual itu angin-anginan datangnya?”
“Sudahlah. Selesaikan dulu minum obatnya. Satu-satu dulu kita tuntaskan. Kalau belum sembuh, nanti kita cari alternatif lain,”
Aku mengiyakan, bisa saja kalau sudah habis jangka waktunya mengkonsumsi obat maag ini belum sembuh juga, maka bisa juga cari pengobatan secara alternatif. Pengobatan secara tradisional, misalnya. Namun beberapa hari setelah aku kembali ke aktifitas rutin, seperti biasa rasa mual itu tidak pernah hilang. Sehari bisa muncul dua kali. Pagi sekitar jam 9 dan sore hari menjelang mahgrib. Aneh!. Padahal sebagaimana penyakit yang pernah juga dialami suamiku, aku membuat racikan tradisional dengan memarut induk kunyit yang diperas dengan air hangat dan airnya di campur dengan sedikit madu dan gula batu, katanya obat ini mampu untuk menyembuhkan luka dalam seperti rasa sakit di lambung. Hanya beberapa minggu saja bisa sembuh. Tapi rasa mual itu seperti biasa tetap datang dan pergi semaunya. Seolah mengintip kegiatanku di tempat usaha.
“Jangan-jangan mbak lagi hamil,” kata seorang pelanggan yang datang mengantarkan istrinya untuk facial.
“Ah, masak sudah setua ini mesti hamil lagi.” Aku tersenyum tipis. Tapi nggak apa-apa juga kan kalau memang benar-benar hamil. Toh aku punya suami. Suamiku yang berbuat. Bukan siapa-siapa. Lain ceritanya kalau hamil tanpa suami. Itu baru aneh, demikian aku sempat berseloroh menimpali ucapan pelanggan tersebut. Tapi, masak sih harus hamil? Teringat ketika mengandung anak paling kecil. Pada saat persalinan demikian sakitnya. Kesakitan yang paling hebat aku rasakan dibandingkan dengan melahirkan kakak-kakaknya. Sehingga yang ada dalam pikiran pada waktu itu: “ hanya kali ini saja untuk yang terakhir kalinya aku melahirkan. Setelahnya tak akan mau lagi”, sebab rasa sakit itu seolah masih terasa hingga kini. Tidak! Aku tidak mau hamil lagi, walau ini memang terjadi tapi aku tidak mau itu terjadi. Semoga rasa mual ini ada kaitannya dengan lambungku yang memang benar-benar bertukak. Lambung yang sudah rusak akibat terlalu banyak menggiling angin ketimbang makanan. Itu artinya sama dengan nasihat suami dan anak-anakku, bagaimanapun sibuknya, perut harus tetap diisi. Ingat makan, itu kata anakku yang paling bengis mengingatkan. Sudah terlatih untuk mengatur jadwal makan, tapi kok masih tetap merasakan mual-mual juga. Semacam perasaan ingin muntah yang tertahan. Namun lama-lama akhirnya aku seperti ragu juga. Jangan jangan aku sedang hamil. Benar-benar hamil.
“Ah, masak sih?” aku setengah tak percaya.
“Kenapa lagi?”
“Masak sih aku hamil,bli?”
“Ah, ndak mungkin. Masak pake alat kontrasepsi bisa hamil. Ndak mungkin!” sahut suamiku cepat sambil memonyong-monyongkan mulutnya. Lucu terlihat.
“Ada pelanggan mengatakan kalau orang pake alat KB pun bisa hamil. Kata dia alat kontrasepsinya malah bisa nempel di kepala bayi, keluar begitu saja pada saat partus. Lagipula alat KB yang terpasang ini kan sudah hampir 10 tahun lebih. Hanya pernah control sekali saja. Tapi, ah, aku tidak mau hamil lagi bli. Melahirkan anak yang terakhir itu saja sudah hampir 10 tahun yang lalu, namun rasa sakitnya masih terasa sampai sekarang. Nggak ah, aku nggak mau hamil.”
“Kalau nggak mau, ya nggak usahlah,” suamiku menjawab kalem.
“Trus gimana dong ini?”
“Iya kalau sakit… iya diobati dan itu perlu proses, nanti kalau sudah ada sedikit perubahan apalagi yang namanya gangguan lambung, iya perhatikan dulu makannya. Jangan makan ngawur dan sembarang saja apa yang mau dimakan, seperti ketika masih sehat. Kondisimu beda dengan sebelum terkena penyakit ini. Jadwal makannya juga diatur, jangan suka telat makan…”
“Kurangi ngopi…kurangi merokok, jangan suka begadang, kurangi ngeteh, jangan suka nongkrong sembarangan, kurangi jajan sembarangan di luar yang tidak sehat, kurangi….”
“Lho…lho, dikasi tahu, malah….”
“Sudahlah, bli. Pokoknya gini aja, belikan aku test kehamilan sekarang, biar aku yakin!”
“Sekarang??”
“Iya, sekarang juga”
Suamiku garuk garuk kepala.
“Lho, tunggu apa lagi??”
“Sekarang???”
“Iya..iya..sekarang…..!! Sekarang!!!”
Suamiku kembali garuk-garuk kepala.

Lereng Pengsong, 15 nop 2011
(dari kumcer dadong inges penerbit pustaka ekspresi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar