Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Rabu, 28 Desember 2011

DADONG INGES

Seluruh keluarga besar nampak pada kumpul di bale tengah. Ada yang duduk-duduk menghadap ke timur berjejer sambil cerita ngalor ngidul tertawa-tawa riang. Ada yang asyik mendengar dan seolah-olah mengerti dengan apa yang dikatakan wayan Rerod. Ada juga yang bisik-bisik membicarakan cucu menantu dadong Inges yang akan datang dari benua kangguru Australia. Semua anak-anak, kakak, adik dan saudara dari sepupu pertama, saudara dari sepupu kedua dan seterusnya hingga sepupu yang keberapa dan juga para tetangga pada datang berkumpul di rumah wayah. Anak-anak kecil terdiri dari para cicit-cicit dari pekak Dayuh nampak teriak-teriak di bale tengah. Suasananya persis seperti berada di pasar. Pokoknya ramai membicarakan sesuatu yang tak jelas alurnya.
”Di sebelah mana Nusa Penida tempatnya itu, yan?” pekak Dayuh bertanya.
”Jauh pekak. Jauh sekali. Katanya melewati Nusa Penida tapi kalau dilihat dari pojok timur wilayah Bali, mungkin juga di selatan, arah barat daya kalau terlihat dari peta. Saya juga tidak pernah bepergian kesana, ” Wayan Rerod menjawab.
Barangkali pekak bingung mendengar penjelasan Wayan, tapi toh ia tetap bertanya juga. Karena sama-sama bingung.
”Katanya?”
”Iya....”
”Siapa disana?”
”Waduh! Ini baru namanya pertanyaan seorang pekak. Itu dadong aja tanya. Sama-sama pikunnya. Baru kemarin malam dikasi tahu kalau cucunya akan pulang. Betul-betul nih pekak!” Wayan ngakak ketawa sambil guyon memukul-mukul perut pekaknya. Perutnya besar oleh tuak yang over dosis hampir tiap petang dia minum. pekak ini lagi mabuk apa iya? Masih suka mabuk? Tidak berhenti mabuk dari tadi malam. Tadi malam minum kok baru sekarang mabuknya.
Dadong Inges hanya cengar-cengir saja mendengar percakapan mereka. Percakapan konyol antara seorang kakek dan cucunya. Apa karena ia tuli, ataukah gembira. Orang-orang memanggil dengan sebutan dadong Inges itu karena sang kakek sewaktu masih jaman paceklik di desa, susah mencari pekerjaan, semua pakaian sudah habis di lego karena tidak memegang uang sama sekali, terlebih lagi untuk masak menanak nasi, hanya berbekal otak bolong dan pikiran bingung kemudian merantau di daerah suku sasak. Ada pekerjaan bagus disana sambil berjualan garam. Disanalah ketemu gadis cantik yang kalau bahasa sasaknya orang-orang menyebut dengan kata ’inges’. Inges itu artinya cantik. Kemudian mereka menikah. ”pintar memang pekak. Hebat sekali dia” Jikalau melihat gurat-gurat yang tersisa di wajah dadong Inges tak bisa ditutup-tutupi dan terbukti kalau sewaktu gadisnya, sewaktu masih remaja benar-benar cantik jelita. Pemuda mana tidak akan pernah berhenti menatapnya.
Ini barulah namanya sesuai hingga punya cucu bernama wayan Gadang yang semestinya ganteng. Tapi Wayan Gadang hitam pekat, itu karena kalau diceritakan bagaimana sewaktu dadong Inges ngidam, sempat mengejek seorang tourist dari negara Uganda afrika yang jalan-jalan ke bumi sasak. Akhirnya pada saat kelahiran wayan Gadang jadi berwujud hitam pekat kayak cat. Hitamnya bukan karena berjemur di pantai mencari garam. Bukan!. Pekak sudah pernah melarang waktu itu, jangan suka mengejek, terkejut atau melakukan hal yang aneh-aneh jika lagi hamil muda. Begitulah ceritanya pertemuan pekak dan dadong Inges. Hingga sekarang di desa tetap memanggil sebutannya saja dadong Inges, tanpa pernah mau tahu atau ingin mengetahui, apa arti kata ’inges’ itu sesungguhnya. Atau ingin mengetahui lebih jauh siapa sebenarnya nama panjang dadong inges.
Kemudian wayan Gadangpun tidak mau kalah dengan perjalanan cinta pekaknya. Sejauh-jauhnya bumi ini dia telusuri, melanglang buana mencari jodoh, kemudian mempunyai anak di benua Australia. Anaknya kembar, tapi bukan kangguru. Jangan keliru!. Gini-gini laku juga wajahnya di benua kangguru itu. Masih dipercaya sama orang. Model manusia seperti wayan Gadang masih disukai oleh orang-orang di daerah rantau. Memang juga bermodalkan cuek bebek dengan tingkahnya yang lucu mengundang gelak tawa orang, itu yang disukai setiap bertemu dengannya. Gerak-geriknya yang penuh humor itu membuat tenang dan begitu santainya membuang diri di daerah orang. Entah bagaimana caranya hidup di rantau, di daerah yang tak dikenal, jauh dari sanak famili, eh tahu-tahu ada berita sudah tinggal disana dan berita selanjutnya keluarganya di Bali mendengar dia sudah menikah bahkan sudah punya anak.
“Bagaimana rupa anaknya kalau kita lihat sebentar lagi?” Wayan Getul tidak habis-habisnya berpikir.
“Sungguh bagus sekali perjalanan hidup bli wayan Gadang mencari istri. Itu namanya memperbaiki keturunan,” Kadek Laad menimpali menjawab sambil keluar jahilnya narik-narik telinga pekaknya. Memang suka bercanda. Dasar manusia kualat.
“Kenapa begitu?”
”Coba aja lihat wajah bli wayan Gadang seperti langit mendung .”
“Waduh!”
Cara untuk memperbaiki keturunan itu yang paling bagus itu bagaimana? Ataukah dengan “mempermak” wajah agar terlihat lebih menarik? Wajah disolder bak operasi plastik? Ketika kita harus melirik diam-diam serta bertanya: bagaimana perjalanan reinkarnasi dari seberang lautan? Seumpama para leluhurnya bertanya bahasa apa kira-kira yang akan kita pergunakan untuk bisa komunikasi itu nyambung?
Waduh! Terlalu jauh kita berpikir. Wah, kamu nantinya akan berbicara cas-cis-cus saja. Saya tidak mengerti.
Sekarang ini orang-orang sudah modern di dalam kehidupan. Tidak hanya bicaranya saja serba modern, dari rambut hingga kaki juga modern. Ada yang rambutnya disemir seperti leak. Badan bagus-bagus di tatto. Anak laki-laki memakai anting-anting separoh dan juga lidahnya ditusuk segala dengan berbagai asesoris. Memang jamannnya sekarang ini jaman zig-zag aneh-aneh semuanya bersikap serba aneh.
Begitu juga halnya dengan kedatangan istrinya Wayan Gadang setibanya di rumah wayah, semua keluarganya terkejut. Mereka pikir kok ada leak mabuk datang ke rumah. Waduh. Kedua anaknya yang kembar hanya terlihat senyum-senyum saja. Bola matanya berwarna biru, melirik kesana-kemari seperti kebingungan. Ternyata memang bukan jenis kangguru yang datang, sebagaimana dugaan mereka sebelumnya yang was-was menanti.
”Begini ternyata rupa istrimu, Yan? Ayo coba pekak perhatikan anak-anakmu itu , bagaimana caranya berbicara dengan mereka Yan?” Pekak Dayuh kemudian bertanya menyembunyikan keraguan karena baru kali ini melihat cucunya pulang membawa istri dan anak-anaknya yang aneh. Sekarang sulit memulai pembicaraan. Bahasa apa kira-kira yang cocok dan mudah dipergunakan agar komunikasi dua arah bisa nyambung dan saling mengerti maksud masing-masing. Jelas bahasa isyarat, dengan gerakan tangan dan angguk-angguk sebagai tanda mengerti. Menggeleng lalu putar kepala.
Wayan Gadang mengangguk kemudian mendekati istrinya, berbicara ala barat, entah apa yang dibicarakan, pekak tidak mengerti sama sekali dan mereka semua melihat istri Wayan Gadang tersenyum manis lalu menyalami saudara-saudaranya satu persatu.
Sesudah itu istri bli wayan Gadang berbicara, semua bengong. Melongo, tak ubahnya seperti sapi sakit perut karena gas asam lambung berlebih.
”Eh, sapi ngomong apa kamu!?” Pekak dalam umpatan bercandanya yang khas. Pertanyaan ke timur jawabnya ke barat. Menuju ke barat dikira memanggil. Ia bernyanyi-nyanyi sambil menjerit dikira mengunyah santet. Waduh, rumah wayah ini sekarang penuh dengan santet. Bak kena ajian sirep.
”Hi, how are you? What is your name? My name is ketut Sanglir,” Ketut sok bertanya karena di sekolah dulu pernah dapat pelajaran bahasa Inggris. Begitu caranya Ketut Sanglir bertanya kemudian ia kaget mendengar jawaban istrinya bli Wayan.
”Nama saya Marry, bli sehat-sehat semua, bagaimana kabar keluarga semuanya?” Marry, isri bli wayan Gadang menjawab. Jawabannnya benar-benar menggunakan bahasa Bali yang sangat halus. Lebih halus bagi pendengaran ketut Sanglir yang belum pernah ia dengar. Itu hanya bahasa kaumnya orang puri. Orang yang dianggap berdarah biru. Entah dimana istri bli wayan Gadang belajar atau tepatnya kapan ia belajar, malah pengucapannya lebih pintar dari dirinya. Ketut Sanglir heran.
Yang lain tak kalah heran.
Semuanya bengong. Tidak menyangka istri wayan Gadang pintar berbahasa Bali. Seketika mata pekak Dayuh melotot dan ketawa ngakak. Suara ketawanya demikian keras dan terdengar nyaring, seakan membelah seisi rumah wayah. Waduh, sungguh luar biasa senangnya hati si pekak, mempunyai seorang cucu beristrikan orang yang dia anggap aneh dan malah pintar berbahasa Bali. Saking senangnya pekak memeluk erat-erat tubuh Marry.
Marry tercekik sulit napas. Pekak saking senang terlalu kuat memeluknya.
”Pintar sekali kamu cari istri yan, Istrimu juga pintar, bisa mengikuti pembicaraan pekak,”
Ketika mendengar Marry pintar berbahasa Bali apalagi bahasanya demikian halus, semuanya serempak mulai berani mendekat dan ngajak ngobrol. Dadong Inges yang paling sibuk bertanya. Dari hari pertama cucunya datang dadong Inges hampir tidak pernah mau berjauhan dengan Marry.
Setiap pagi Dadong Inges sibuk ngobrol berdua hingga matahari terbenam. Kecuali mungkin kalau tidur saja dia istirahat ngobrol. Itu tandanya dia lagi capek. Karena keesokan harinya dadong Inges akan melanjutkan kembali pembicaraannya dengan Marry, hingga benar-benar merasa puas.
”Gimana, dong?”
”Besok dadong mau ikut ke Australia bersama dengan Marry....”
”Terus pekak disini gimana dunk?”
”Tinggalkan saja......”
”Waduh, kalau besok seandainya dadong kamu pulang. pekak pasti tidak akan mengenal lagi wajahnya. Karena wajahnya akan mirip kangguru.” pekak menjawab marah sambil menatap galak wayan Gadang.
Dadong Inges hanya terlihat cengar-cengir saja.

Bajur, Nopember 2010
Ket:
Dadong = nenek (bhs daerah Bali)
Inges = Cantik (bhs daerah Sasak Lombok)
Bli = panggilan kakak laki-laki (bhs daerah Bali)
Pekak = kakek (bhs Bali)
(dari kumcer dadong inges, penerbit pustaka ekspresi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar