Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Rabu, 21 September 2011

MENGENAL DARI DEKAT TAMAN NARMADA LOMBOK Oleh . G Arimbawa

Kebanyakan orang-orang sering menghubungkan hindhunya Bali dengan hindhunya yang berada di luar Bali seperti sebuah kelompok-kelompok kecil yang tidak saling berhubungan. Dengan kata lain kalau orang menghubungkan tentang Hindhu konotasinya pastilah umat beragama hindhu yang berada di Bali atau Hindhu itu pusatnya di Bali.. memang benar. Hal ini pernah diungkapkan pada saat diadakan seminar PHDI yang berlangsung di Kampus Udayana Tembau Denpasar Bali (1991). Memang kalau dilihat dari rumusan mengenai tingkat strukturalnya saja, kalau dilihat dari sudut pandang sebuah organisasi. Hal itu manakala melihat dari tatanan akar budaya yang dianggap kuat dalam wilayah agama itu sendiri, terlebih dalam pendukung yang lebih dominan. Namun sesungguhnya kalau kita melihat lebih jauh darisejarah akan nampak suatu hubungan yang kuat antara pemeluk agama Hindhu di Bali dengan pemeluk hindhu yang berada di luar Bali. Contohnya daerah Lombok di Nusa tenggara Barat. Kalau melihat beberapa bangunan yang berdiri disana dalam tata kehidupan masyarakat Hindhunya lebih dekat dengan masa kejayaan kerajaan Anak Agung gede ngurah Karangasem yang pernah berkuasa di Lombok.
Ada beberapa bangunan tempat pemujaan di Lombok yang cukup besar peranannya bagi pemeluk umat Hindhu kebanyakan disana yang masih merupakan cikal-bakal masyarakat Bali khususnya di daerah Bali timur, dimana pada masa-masa pemerintahan kerajaan Karangasem Bali yang masih membekas dan melekat kuat dalam kultur kejayaan sesuhunannya Raja Anak Agung. Di daerah Lombok bagian barat akan kita jumpai tempat-tempat persembahyangan sebagai bukti masih ada sisa-sisa kejayaan kerajaan Karangasem yang pernah memerintah disana (sekitar tahun 1870-1894), seperti : Pura Lingsar,pura Suranadi,,Pura Batubolong,Pura Taman Mayura,pura Meru bertempat di Cakranegara, pura Taman Narmada dll.
Di Pura Taman Narmada misalnya, puncak acara pada saat dilakukan penyelenggaraan upacara setahun sekali, pada sasih ke lima bulan penuh (purnama). Di Pura Taman Narmada yang konon dinamakan atau juga lebih dikenal dengan sebutan : “Istana Musim Kemarau” pada masa pemerintahan Anak Agung Gede Ngurah Karangasem, dimana pura Taman Narmada tersebut merupakan dwi fungsi, disamping sebagai tempat peristirahatan Raja-raja, juga yang utama sekali sebagai tempat pemujaan bagi keluarga raja-raja, serta para pengikutnya yang selanjutnya diikuti seluruh masyarakat di sekitarnya. Awal mulanya adalah karena pusat kerajaan yang bertempat di Taman Mayura Cakranegara dilanda musim kemarau dengan tidak ada airnya sama sekali, maka pada musim-musim paceklik tersebut keluarga raja serta para pengikutnya berpindah ke suatu tempat yang memiliki mata air dengan dengan air yang berlimpah serta mengalir terus. Maka dipilihlah oleh beliau Taman Narmada sekaligus juga sebagai tempat pewedaan serta pemujaan kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa. Dengan demikian diketahui sangat erat sekali hubungan antara Pura Taman Mayura dengan Taman Narmada.
ARSTISTIK TRI MANDALA
Bangunan Taman Narmada dilihat dari sisi filsafat artistiknya akan terlihat lebih berpedoman pada arsitek Tri Mandala sesuai dengan ajaran Tri Hita Karana yang masing-masing dihubungkan dengan mandala terdiri dari:
Mandala I disebut juga Japa, merupakan bangunan telaga taman,
Mandala II disebut japa tengah terdiri dari tempat-tempat untuk melakukan persiapan persembahyangan yang juga dilengkapi dengan bale
Mandala III disebut japa tiga terdiri dari bangunan jero.
Pada tiap-tiap japa dihubungkan dengan jalan-jalan bertangga dimana pada setiap tangga masing-masing dijaga oleh raksasa yang sangat ganas dan kejam(jogor manik). Pada setiap peningkatan iman seseorang untuk mencapai masing-masing tangga tersebut mesti mampu mengatasi gangguan-gangguan sampai mencapai tingkat Rohani yang bersih.
Pada waktu piodalan berlangsung, mendak tirta biasanya dilakukan di sebelah barat, tengah dan timur yang bersamaan pula, pada saat itu waktunya dilakukan persembahyangan di Pura Suranadi (kurang lebih berjarak 5 km dari Narmada). Mendak tirta yang dilakukan di tiga arah juga merupakan simbol kebesaran Gunung-gunung suci yang berada di lintasan pulau Jawa, Bali dan Lombok yang saling bertalian erat, dengan catatan; di tengah ditujukan mengarah pada gunung Semeru sebagai kepala dengan ngacep Padmawangi, di barat mengarah pada gunung Agung yang merupakan simbolik badan dengan ngacep Gandawari, serta ke timur mengarah pada gunung Rinjani sebagai ekor ngacep Gandari.
Pada saat upacara meras danu (mulang pakelem) berlangsung yang bersamaan dengan upacara meras danu di segara anak di puncak gunung Rinjani sebelum tanda dimulainya pujawali yang jatuhnya pada purnama sasih ke lima akan dilaksanakan dengan runtutan melabuhkan benda-benda berwujud emas seperti: ikan emas, kepiting serta penyu yang bertulisklan huruf-huruf magis dan segala jenis binatang yang ada di marcapada ke dalam danau dengan tujuan untuk memohon kepada Sanghyang Widhi Wasa agar melimpahkan kebahagiaan dan kesejahteraan kepada rakyat dimana raja yang sedang memerintah senantiasa diberikan kelanggengan.
Terjadinya perubahan pada puncak acara meras danu/pakelem itu, mengingat raja yang pada waktu itu telah lanjut usia dan tidak kuat lagi untuk naik mencapai puncak Gunung Rinjani, maka dibuatlah miniature telaga segara anak di bagian selatan kolam renang dengan catatan : Labuhannya tetap dilakukan di danau segara anak yang merupakan simbolisasi dari pelaksanaan meras danu yang selanjutnya dilakukan di Pura Taman Narmada.
KELEBUTAN PADMAWANGI/WINDU SARA
Tidak diketahui secara pasti kapan timbulnya kelebutan padmawangi yang selanjutnya dikenal orang sebagai “tirta awet muda” atau air padmawangi yang merupakan sumber mata air yang sangat disucikan oleh umat agama Hindhu disana. Sebutan air padmawangi yang disucikan itu terdiri dari panca Tirtha yang terdiri dari Gandari yang bersumber di pura Suranadi dimana saat upacara berlangsung merupakan tempat petirtaan, pelukatan, pengentas dan pebersihan pada masa Danghyang Nirartha meyatra ke Lombok. Tempat petirtan itu bertalian erat dengan padmawangi, yang dikenal dengan air awet muda, Gandari, Carmawati serta Mahendra yang merupakan satu kesatuan.
RIWAYAT AIR AWET MUDA
Sejak kapan adanya mata air itu, tidak jelas sejarahnya. Semenjak Taman Narmada dibangun, air awet muda itu sudah ada, berupa mata air yang tiba-tiba muncul dan mengalirkan air sepanjang tahun. Kawasan narmada sejak itu merupakan sumber mata air yang melimpah.
Mungkin kedengarannya luar biasa, jika Gusti mangku yang biasa berada disana bercerita bahwa air awet muda itu bersumber dari sungai yang sangat suci di India (sungai Gangga) yang dikeramatkan seluruh umat Hindhu di Dunia. Dengan mengambil kepala atau otak dari gunung Semeru, badan di gunung Agung serta ekornya yang melingkar di gunung Rinjani dikatakan airnya muncul dari dalam tanah sebagai sumber kelebutan padmawangi di Taman Narmada.
Para wisatawan yang datang berkunjung kesana, akan diantar oleh seorang mangku apabila ingin ke mata air tersebut disertai selendang yang disediakan dan upakara secukupnya, , maka mat air yang muncul itu dapat kita minum dengan gelas yang disediakan disana dapat pula untuk membasuh muka.

Ket gb: Sumber foto dokumentasi Pemda NTB
Taman Narmada tahun 1870

Tidak ada komentar:

Posting Komentar