Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Jumat, 23 September 2011

BONEKA BERDARAH

Kampung itu tiba-tiba berubah menjadi riuh. Jalan-jalan mulai diblokir. Setiap wajah asing yang memasuki kawasan itu wajib ditanya. Interogasi dengan cara pemeriksaan KTP. Beberapa pendatang yang tak dikenal berlaku sebagai makelar sudah tidak terlihat batang hidungnya. Entah kabur kemana setelah kebingungan mendengar kabar adanya sweeping dari aparat keamanan.
Rani tidak peduli melihat amaqnya yang sedari tadi sibuk kesana-kemari memegang linggis. Dia melihat teman-teman bapaknya, saudara-saudara bapaknya di kampung, nampak hilir mudik dengan wajah memendam kemarahan. Ada yang membawa parang, pisau, keris, celurit dan macam-macam senjata tajam. Keris papuq Nirwan yang baru kali ini keluar dari sarangnya nampak menghunus. Konon keris pusaka peninggalan leluhurnya itu memberi pratanda akan terjadi sesuatu ketika terhunus keluar dari kamarnya yang pengap. Luk tubuh keris itu berkilau terpantul cahaya matahari yang sengat menerpa suasana kampung yang berubah jadi ramai..
Rani dasar namanya anak kecil tidak mempedulikan apa yang akan dilakukan amaqnya. Dia demikian asyik dengan boneka mainannya sambil mendendangkan lagu yang baru ini diajarkan kakaknya Intan. ” hatiku gembira riang tak terkira mendengar berita kabar yang bahagia....... ayahku kan tiba....datang dari India....membawa boneka...yang cantik jelita...oh...sayang...” demikian berulang-ulang Rani senandungkan dengan lafal ”R” yang tak jelas. Hanya lagu itu saja dia ketahui.
”Hush, anak kecil masuk rumah sana..!!”
“Ada apa amaq.....ada apa? Apa yang terjadi? Ada apa inaq?” Intan pada seseorang yang dilihat tengah memegang sesuatu benda tajam mencoba bertanya. Di kampung ini siapapun memanggil amaq untuk sebutan seorang ayah. Dan sebutan inaq untuk para ibu-ibunya, itu sudah merupakan bahasa panggilan sehari-hari di kampung. Intan beserta anak-anak yang lain berlari-lari kecil memasuki halaman rumah belakang. Di beranda depan dilihat adiknya Rani masih dengan keasyikannya menggendong boneka sambil mengayunkan tangan ke arah kanan dan kiri secara beraturan. Ditarik tangan adiknya dengan setengah memaksa.
Boneka itu dia peroleh secara diam-diam ketika mengantarkan inaqnya rebonding pada sebuah salon kecantikan di kota. Sejak suaminya berhasil memburu emas sebagai seorang penambang di sebuah bukit, inaq Nirwan mulai berubah gaya hidupnya. Sekarang sudah berhenti jualan sayur di pasar. Rumahnya perlahan mulai berubah. Perabotan yang mahal-mahal mulai menghiasi rumahnya. Setiap 2 minggu sekali bersama teman-teman sekampung ramai-ramai pergi ke kota. Jarak tempuh dua setengah jam dari desa benar-benar mereka manfaatkan. Mereka mengunjungi supermarket, membeli apa yang menjadi keinginannya, datang ke mall jalan-jalan melihat keramaian sambil membawa pulang kulkas, TV baru dan perlatan memasak yang semuanya berbau elektronik. Membeli HP baru, mereka mendatangi showroom mobil dan menawar kendaraan terbaru yang ada disana. Inaq Nirwan mulai berubah wajahnya setelah melihat teman-teman sekampung sempat turun gunung. Inaq Nirwan tidak mau ketinggalan. Dia ingin seperti teman-temannya yang lain.
”Berapa?”
”tujuh ratus ribu rupiah. Rambut mbaknya panjang dan tebal, pemakaian bahannya cukup banyak.” kata petugas salon kecantikan.
Inaq Nirwan mengeluarkan tujuh lembar uang ratusan ribu dari lipatan kerengnya yang dikenakan. Lalu dengan sangat santainya menyerahkan uang itu. Ada senyum menghias wajahnya. Rambutnya hitam lurus. Persis seperti seorang artis sinetron, demkian teman-temannya mengomentari penampilannya. Ucapan dengan kata-kata ”mbak” dari petugas itu lebih-lebih menyungging senyumnya lagi. Dia merasa 10 tahun lebih muda dari usia sebenarnya. Tumben ada yang memanggil demikian. Di kampungnya kata-kata itu terlalu janggal didengar. Bahkan tak ada yang tahu artinya. Selentingan memang pernah didengar kata-kata itu dari beberapa pendatang dari luar kampung yang turut menambang disana. Dan sekarang kata-kata itu dia dengar langsung di kota. Ditujukan untuk dirinya. Betapa menyenangkan. Sungguh merasa tersanjung karenanya.
Anaknya Rani bersama anak-anak lain dan teman-temannya duduk di ruang tunggu salon menunggu giliran. Ada yang minta creambath, ada yang menunggu giliran di masker yang sebelumnya sudah sempat datang rebonding. Rani tengah asyik memainkan boneka yang ada di sofa. Tangan mungilnya sesekali memain-mainkan mata boneka itu, menarik-narik telinganya, terkadang mengelus-elus kepalanya. Lucu sekali. Sangat menggemaskan!
”Boneka panda ini pemberian salah seorang pelanggan, karena anak satu-atunya telah meninggal maka dia titipkan disini. Entah sengaja dibiarkan atau ketinggalan. Boneka ini mengingatkan pada mendiang anaknya. Mungkin lebih baik ditaruh disini daripada dibuang,” kata pemilik salon kecantikan itu dengan ramah. Keramahan yang sesuai dengan penampilan wajahnya yang cantik.
”Ih, bagusnya,” Rani cekikikan geli sambil mengibas-ngibaskan mulut boneka itu di perutnya.
”Boneka ini memang sesuai di tempatkan di ujung meja dekat sofa ruang tunggu. Perpaduan yang pas dengan suasana ruangan. Sejak ada boneka itu usaha kami semakin meningkat. Entah, kadang kami tidak percaya itu. Pengunjung disamping puas dengan layanan kami, sepertinya pada rela antre menunggu. Ini benar-benar sebuah mukjizat. Boneka ini seperti memiliki kekuatan gaib.” bagaikan air yang mengalir begitu saja pemilik salon itu nyeroscos bicara. Inaq Nirwan hanya manggut-manggut saja sambil memperhatikan beberapa temannya yang lagi dipermak rambutnya oleh karyawan disana.
“Hanya saja ada ketakutan sering datang menghantui. Setiap malam kecemasan itu selalu menghantui hidup saya tentang boneka ini....” suaranya hampir tak terdengar, sepertinya ditujukan pada dirinya sendiri.
”Apa itu?” Inaq Nirwan seolah mendengar ucapan wanita itu. Rasa ingin tahu yang besar sengaja disembunyikan di balik matanya..
Wanita ramah itu terdiam. Inaq Nirwan menatap seperti tidak ingin mengetahui. Seolah tidak menginginkan wanita itu melanjutkan ceritanya.
“Entah apa hubungan kematian anak itu dengan boneka ini.....” seraya mendesah wanita itu penuh dengan tanda tanya seperti tidak ingin didengar suaranya. Inaq Nirwan hanya menatap bengong, kebengongan orang desa yang lugu. Antara mengerti atau tidak.
Sepulang dari kota, masing-masing dengan wajah riang gembira para inaq-inaq membeberkan barang-barang belanjaan dari supermarket serta menunjukkan rambutnya yang bagus pada suami mereka. Menanti hujan pujian. Memamerkan rambutnya pada para tetangga, inaq-inaq bahkan gadis-gadis di kampung yang belum sempat turun ke kota. Mereka pada teriak histeris saking gembira dengan suara-suara yang sangat memekakkan telinga. Luapan kegembiraan khas wajah desa.
”Eh, dimana dapat boneka itu? ” amaq Nirwan tiba-tiba mengalihkan pandangan menatap Rani yang tengah menggendong boneka dengan wajah suka-ria. Istrinya menoleh dan terperanjat.
”Kenapa kamu bawa boneka itu?” Inaq Nirwan berteriak kaget baru menyadari apa yang ada dalam genggaman Rani. Suaranya keras memenuhi ruangan. Terdengar bagai petir di telinga suaminya. Rani menggeleng-geleng dan mendekap erat-erat boneka itu. Seperti tidak menginginkan boneka itu lepas dari pelukannya. Amaq Nirwan menatap anaknya dengan tatapan bingung. Kemudian beralih menatap istrinya dengan tatapan aneh. Penuh tanda tanya.
Inaq Nirwan akhirnya menceritakan semua yang didengar mengenai boneka itu dari pemilik salon kecantikan yang ramai-ramai barusan mereka datangi. Menceritakan tentang kematian anak itu. Menceritakan kegaiban boneka itu.
”Ah, aku tidak percaya cerita itu,” suaminya tertawa sambil menekuk dahinya dengan gerakan mengejek dan melanjutkan dengan kata-kata: ” Nanti bayar saja boneka itu. Aku kan banyak uang”
” Ini bukan soal uang. Tapi bagaimana dengan cerita itu?” Inaq Nirwan mulai cemas.
“Itu takhyul!” suaminya menandaskan dengan suara keras. Tidak mampu dibengkokkan lagi kemauannya. Sama seperti kemauan anaknya.
Malam itu inaq Nirwan bermimpi tentang boneka gaib. Boneka yang digenggam Rani. Di halaman belakang dilihat anaknya dengan wajah gembira menyanyikan sebuah lagu sambil menggendong boneka. Inaq Nirwan begitu bahagia menularkan luapan kegembiraan anaknya Sampai ikut serta mendendang mengikuti nyanyian anaknya.:”....hatiku gembira....riang tak terkira....”. Nampak Rani berloncat-loncatan mengelilingi halaman rumput. Inaq Nirwan menatap boneka itu. Terus menatap dan astaga! Dia menjadi kaget. Ada warna merah darah mengalir dari lipatan wajah boneka itu. Sepasang mata itu mengeluarkan darah. Boneka itu menangis. Dia berusaha mendekat, makin mendekat. Inaq Nirwan berteriak keras. Boneka itu benar-benar menangis. Darah mengalir keluar dari kelopak mata itu, meleleh dari pipi turun menetes jatuh ke tanah. Dia tidak percaya dengan penglihatannya. Dia gosok-gosok matanya untuk meyakinkan. Tetap seperti semula, tidak ada yang berubah. Darah tetap mengalir dari kelopak mata boneka itu. Tanah itu berubah jadi merah warna darah Inaq Nirwan berteriak berusaha merebut boneka itu dari tangan anaknya. Namun tangannya terasa sakit seperti ada yang memukul. Dia kaget dan terbangun.
”Kamu mimpi apa?” Suaminya menegur. Inaq Nirwan mengusap-usap mata. Tubuhnya berkeringat. Teringat mimpi itu bergegas dia berlari menuju kamar anaknya. Kosong. Matanya mencari-cari dengan perasaan was-was. Sayup-sayup terdengar senandung anak kecil di beranda depan. Inaq Nirwan merasa lega. Dilihat Rani tengah bercengkrama dengan teman sebayanya sambil tetap menggendong boneka kesayangannya. Inaq Nirwan mengurut dada lega. Tidak terjadi apa-apa dengan anaknya. Sekali lagi diamati anaknya. Masih seperti semula, Rani sibuk dengan boneka kesayangannya. Seolah-olah menjadi seorang ibu dari benda mainannya itu.
-------------------
“Arak musibah....arak musibah.....!!!” Di kejauhan terdengar suara-suara para penambang.
”Sai.......? Sai.......?”
”Amaq pangus, lik Ampah, kance papuq Bengul........” suara-suara warga kian santer terdengar. Satu nama lagi disebut namun tak jelas terdengar. Entah siapa dimaksud. Tergopoh-gopoh warga kampung pada berhamburan keluar.
“Sai malik?”
“Seorang meninggal, tiga lainnya luka parah.”
”Ditembak petugas!” sahut seseorang.
”Bukan....!!” yang lain menjawab.
” Iya, tadi para petugas datang ke tempat penambangan dan terdengar suara tembakan...”
“Bukan! Tertimbun longsoran di lubang tambang.” Yang lain menyela merasa mengetahui kejadian yang sebenarnya. Beberapa warga kampung yang hanya mendengar kata-kata ”tembakan” dan ”petugas” spontan menyerbu para aparat. Mobil dalmas pol PP yang sedang parkir mereka hancurkan. Beberapa petugas yang lagi berada di kantor camat kaget dan terjebak lautan massa yang mengamuk. Jalanan diblokir semua. Tidak setuju tempat penambangan emas sebagai mata pencaharian mereka di tutup pemerintah. Terdengar berkali-kali suara tembakan peringatan dari aparat kepolisian. Beberapa warga kabur. Menjelang maghrib suasana sudah mulai dapat ditenangkan.
Sementara inaq Nirwan dari tadi celingukan kesana-kemari. Sampai sore ini suaminya tidak ada di rumah. Sejak dari keributan itu berlangsung. Hanya papuqnya anak-anak saja dengan bau badannya yang khas nampak memasuki halaman rumah sambil menyelipkan keris pusaka di pinggang yang sejak tadi terhunus.
”Bapaknya Rani dimana, puq?” Inaq Nirwan bertanya pada mertuanya.
Papuqnya hanya menggeleng.
Inaq Nirwan lari keluar menuju lokasi bukit. Beberapa orang berlarian berlawanan arah dengannya menunjuk jari tangan ke arah bukit tanpa bicara apa-apa. Napasnya tersengal-sengal.
”Nirwan?” dia menegaskan sambil bergegas mendaki bukit. Di deretan tenda-tenda yang sesungguhnya sudah mulai ditinggalkan para penambang terlihat kerumunan orang-orang. Inaq Nirwan terbelalak kaget. Matanya seolah tidak percaya melihat tubuh di depannya. Pandangannya mulai kabur. Matanya berkaca-kaca, serta merta menangis sejadi-jadinya. Kakinya dihentak-hentakan. Sepasang tangannya mengacak-acak rambutnya. Rambut yang baru seumur jagung di rebonding nampak patah-patah. Satu persatu berjatuhan. Tubuh suaminya terbujur kaku dengan kepala pecah mengeluarkan darah. Darah segar masih mengalir di beberapa tangan rekan-rekannya yang menggotong jenazahnya menuruni bukit. Darah segar menetes satu satu membasahi tanah bebukitan.
”Amaaaaaaaaaaaq....!!!!” Intan berteriak histeris begitu melihat tubuh bapaknya sudah kaku berlumuran darah..
Di beranda depan Rani kecil masih asyik mendendang dengan lafal ”R” tak jelas sambil menggendong boneka kesayangannya. Tidak mengetahui apa sesungguhnya yang sedang terjadi.





Catatan:
Amaq = bapak
Inaq = Ibu
Papuq = kakek
Kereng= kain,kamben
Kance= dengan
Arak = ada
Sai = siapa
Sai malek= siapa lagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar