Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Minggu, 09 Januari 2011

Prosa liris: ROMANSA SAHIDI (61)

Sebutan haji baginya lama-lama hanyalah sebuah selaput tipis. Itu ketika ia sudah menjadi mesin dari rekan-rekan sesama birokrat yang dia datangi.
Ketika mesin itu kembali merasakan suatu kebutuhan-kebutuhan.
Kebutuhan akan lapar, haus dan kebutuhan akan hiburan-hiburan sejenisnya.
Artinya untuk hiburan ini adalah segala sesuatunya yang membawa makna keduniawian.
Sebutan haji baginya tak ubah hiasan semata, hiasan ketika prilakunya secara sedikit demi sedikit mulai terlihat gelagat yang aneh-aneh di mata Sahatun.
Sebutan sebagai sebuah kata pengantar. Sebagai sebuah catalog hafalan.
Sebagai sebuah symbol besar-besar yang menandakan bahwa dia pernah datang ke Mekah sebagai umat yang taat dan tahu aturan.
Namun dia sia-siakan kedatangannya itu.
Terlalu menganggap sepele arti sebuah kesucian dan terlalu mengada-ngada akan sebuah perangkat yang sesungguhnya harus dia sucikan sendiri.
Orang terbahak-bahak dalam kelasnya yang sama.
Dibalik semua itu beberapa orang akan sinis memandang.
Dan tak lebih anggapannya sebagai sosok haji mardut yang mengecewakan eksistensi umat lain, yang juga sesungguhnya seharusnya turut serta menghormatinya.
Haji Sahidi tidak bisa membawa semua itu.
Terlalu berat bebannya untuk menyandang sebuah kehormatan yang justru dia injak-injak sendiri.
Sebagai pelengkap kewibawaan dalam pergaulannya.
Itu yang hidup dalam dirinya untuk menutupi segala kemaksiatan hidupnya.
Dia lebih suka menjalani hidup sebagai sebuah kebebasan diam-diam yang membuat hidupnya berjalan nyaman. Kebebasan hidup yang membuat porosnya bergeser.
Dialah sosok lelaki yang mengikat moral rapuh dan terurai lepas, pecah, terburai berantakan dan menimbulkan sebuah luka baru yang ternyata demikian sulit untuk disembuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar