Selamat Datang di Ruang Pajang Cipta Karya Sastra (Puisi, Cerpen, Drama, Artikel, dan Catatan Budaya) =============================================================================

Rabu, 13 Maret 2013

HAHAHEHE…HAHAHEHE…

Setahun lalu kembali menjadi sebuah cerita hari ini. Sepertinya baru hari-hari kemarin saja. Itu menunjukkan betapa cepatnya waktu berlalu. Berdesing bagai peluru. Demikian sigap memutar angka dan tahunpun berganti tanpa mampu dicegah sama sekali. Tidak ada alasan untuk mencegah. Kalaupun dicegah, siapa yang mampu mencegah. Jangan-jangan malah kita mati duluan. Ya, kalau sudah mati tidak ada cerita dan tulisan inipun tidak akan terselesaikan sama sekali. Setahun lalu teringat aku bagaimana sampai mata terkantuk-kantuk menunggu tamu yang datang ke rumah secara bergantian. Semuanya datang ke rumah menyalami bapak dan ibu. Kemudian duduk bercakap-cakap. Bermanis-manis. Lalu hahahehe seperlunya. Aku keluar sesuai petunjuk ibu membawa nampan berisi minuman. Beberapa makanan kecil telah tersedia di atas meja tamu. Ada kacang kapri,kacang asin,kacang kedelai. Ada berbagai permen dari yang asin sampai yang manis. Ada berbagai kerupuk udang, meninjo, kerupuk singkong hingga kerupuk daun bayam. Semua lengkap tersedia. Kulihat para tamu pada duduk berjejer empat ah bukan empat tapi enam orang. Dua anak-anak. Dan aku kembali berinjit ke belakang mengantarkan dua gelas lagi. “Ini anaknya?” salah seorang bertanya, sepertinya aku baru mengenal pula entah ibu yang tinggal di rumah sebelah mana. Sulit terhitung saking banyaknya warga baru berdatangan. “hehe…iya tante,” aku menjawab sekenanya sambil menerima uluran tangannya. Hmmm, halus benar tangan ibu ini. Wajahnya putih cantik. Anak-anaknya cantik-cantik. “Ini tante Isya nak. Baru pindah dari Kupang ikut suami bertugas disini,” tanpa diminta ibuku menjelaskan dan memperkenalkan padaku. Terjadi basa-basi sedikit. Lalu aku ke belakang dan terantuk antuk kembali menahan kantuk. Dari tadi entah terhitung berapa banyak tamu yang datang dan pergi dari rumah. Entah berapa gelas yang telah aku cuci. Barangkali kalau aku hitung langkah dari ruang dapur menuju ruang makan melewati kamar keluarga hingga sampai di ruang tamu, bolak balik sudah puluhan kilometer melangkah. Silaturahmi yang benar-benar menekan dan menjengkelkan. Mestinya open-house itu dilakukan bagi mereka-mereka yang punya sepuluh babu. Beberapa lembar halaman koran tokoh sudah habis kubaca menunggu tamu berakhir. Aku sengaja tidak mau membaca buku pelajaran, karena pasti ngantuk. Karena kalau buku pelajaran lebih suka aku baca di WC. Baca buku pelajaran sambil jongkok di kakus tidak membuat ngantuk dan memiliki keasyikan sendiri. Iya, hampir dua jam telah berlalu. Suara di depan masih terdengar percakapan dengan selingan hahahehe…….. Dan aku mengembalikan letak pipi pada posisi semula. Senyum terlalu banyak pada setiap tamu yang datang terkadang membuat geraham pun ikut bergeser. Kalau tidak tersenyum nanti malah dikatakan tidak sopan. Kurang ramah. Sombong. Angkuh. Terkadang senyum penghabisan saking dipaksa keluar dari tuasnya malah berubah jadi berengut. Nah, mumpung di belakang selagi rest sesaat, kembalikan dulu semua fungsi organ tubuh. Terutama bagian wajah. “Sssttt…. Lagi 3 gelas,” Ibu ke belakang memberi isyarat. “Ada yang datang lagi,bu?” aku bertanya sambil mengambil nampan. Seperti sigap dibuat untuk berbuat. Pake es batu. Tambah syrup. Tambah air dingin “Iya, keluarga pak Osy” “Oooo…” Kemudian ibu ke depan lagi. Kemudian terdengar suara hahahehe “Ini anaknya pak?” tanya pak Osy sembari menatap padaku. Pandangannya genit. Meski ada istrinya. “Iya hehehe….” “Sudah remaja ya?” “Iya hahaha….” “Gadis yang cantik,” Bu Osy ikut menimpali “Iya hehehe….” “Sudah kelas berapa?” “ Tiga, hahaha….” “SMA?” “Iya hehehe….” “Sudah punya pacar?” “Iya hahaha…” “Sudah?” “Iya hehehe…” “Sudah apa belum?” “iya belum hahaha…” “Hehehe…” “Hahaha…” Aku jadi geleng geleng melihat tingkah bapak di hadapan para tamu-tamunya. Mestinya acara silaturahmi saling maaf memaafkan jangan sampai larut malam. Karena aku khawatir terlalu lama meladeni tamu akan bisa membuat bapak semakin gila. Ah, dampak hari raya, aku ngedumel sembari beranjak kembali ke belakang menunggu intruksi lebih lanjut. Angka jarum jam pendek di dinding sudah tegak lurus ke atas. Apakah tamu-tamu bapak akan sampai pagi berdatangan? Berapa banyak yang belum termaafkan selepas hari raya tahun baru Caka ini. Seberapa banyak tangan yang belum sempat saling berjabat di rumah ini. Namun masih aku dengar suara-suara hahahehe yang kian menggelikan. Semakin membuat geli. Semakin terasa keki. Lama-lama membikin aku ngantuk dan pasrah terbawa mimpi. Tapi belum sempat mimpi. Ibu dengan tergopoh-gopoh ke belakang sembari menatap serius. “Masak nasi, nduk” perintah ibu. “Lho, malam-malam masak?” “Iya, semakin malam tamu yang datang pada kelaparan. Jadi masaknya agak banyak ya.” “Lho? Khan mereka bisa beli di rumah makan….” “Hush, kali ini yang datang atasan bapakmu. Kamu beli lauk matang aja dulu di warung sebelah. Utang dulu….utang dulu…” “Yang kemarin aja belum dibayar bu?” “Alaaaahhh, gampang itu. Besok aja sekalian. Ini yang datang atasan bapakmu, nduk. Pak direksi di tempat perusahaan bapakmu bekerja. Kita layani dengan baik. Jangan bikin kecewa, nduk. Ntar bapakmu sulit naik pangkat. Eh, kalau beliau puas nanti bapakmu bisa pegang jabatan, nduk. Ayoooooo…….cepaaaaaatttttttt eh pleaseeeeeeeeeeeeeeeeeeee!!!!!!!” suara ibuku setengah menjerit tertahan tapi pasti. Aku manggut-manggut. Iya benar juga. Atasan bapakku harus bikin kenyang di rumah ini. Harus bikin puas. Harus bikin senang dan tidak mengecewakan. Apalagi malam-malam mau menyempatkan diri datang ke rumah Masih ku dengar suara hahahehe di ruang depan. Aku bergegas cari utangan lauk matang. Demi jabatan bapakku. Demi nama baik bapakku. Demi kehormatan ibuku. Demi rasa gengsi keluargaku. Dengan harapan bapak naik pangkat. Iya, mudah-mudahan seusai saling maaf-memaafkan hahahehe malam ini, bapak lekas naik pangkat dan memegang jabatan penting. Dan mudah-mudahan pula sepulang dari acara hahahehe ini bapak direksi menjatuhkan bintang di atap rumahku. Bintang keberuntungan. Dan kalau itu benar-benar terjadi, maka aku tidak sia-sia semalam suntuk mendengar suara-suara hahahehe di ruang tamu. Namun ketika akan beranjak membuka jeding tempat menyimpan beras…astaga!!?? “Berasnya habiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiss!” tanpa sadar aku teriak memecah malam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar